Minggu, 03 Januari 2016

MEMBACA & MENULIS

Sebuah ide, gagasan, pengetahuan tersebar lewat lisan dan tulisan. Dosen mata kuliah Bahasa Indonesia saya pernah bilang, bahwa informasi lebih kuat apabila tersampaikan lewat tulisan. Karena pada saat menulis diperlukan banyak pertimbangan dan pengkoreksian, tidak seperti bicara yang kadang langsung terucap tanpa banyak pertimbangan.

Tulisan-tulisan ini pun tersebar dengan banyak media lagi, salah satunya adalah buku. Jadi membaca buku itu penting sekali. Nah kali ini saya ingin cerita sedikit tentang pengalaman membaca buku. Mengapa begitu penting?, karena saya yakin membaca buku bagi orang yang belum biasa itu susah sekali. Menatap milyaran teks tanpa ada gambar plus kata-kata yang tak menentu itu lumayan menyakitkan. Saya disini tidak menggurui dan merasa lebih dari kalian, tapi disini saya hanya share pengalaman dan kalau ada yang berkesan silahkan diambil. Tapi kalau tidak ada silahkan komentar di bawahnya.

Saya sudah bisa membaca itu mulai TK (taman kanak-kanak). Jadi kawan-kawan kenal huruf alfabet aja belom, saya malah udah bisa baca. Karena sebelum TK saya udah diajar huruf dan mengeja, jadi pas TK saya udah bisa baca. Makanya waktu TK dan SD kelas 1 dan 2 saya belajarnya agak nyantai, karena disitu kita lebih banyak belajar membaca.

Di rumah waktu itu tersebar buku-buku Sekolah Dasar, karena orang tua saya guru SD. Jadi saya masih ingat buku yang banyak itu buku bahasa Indonesia warna sampulnya hijau. Nah di buku bahasa Indonesia ini banyak cerita-cerita rakyat. Termasuk yang banyak tersebar juga buku kemerdekaan, sampul depannya gambar pahlawan menancapkan bendera merah putih, mungkin ini juga buku favorit kalian waktu kecil dulu. Awalnya saya penasaran apa sih ceritanya?, karena belum bisa membaca, saya hanya liat-liat gambarnya saja. Karena penasaran itulah, orang tua saya lalu mengajari saya membaca.


Begitu juga dengan menulis. Saya masih ingat dulu waktu saya TK, sehabis pulang dari TK saya langsung ke sekolah ibu saya. Jadi saya dibawa oleh ibu saya ikut beliau ngajar, ini waktu TK. Ketika ibu saya ngajar, saya sibuk nulis dan gambar. Jadi ibu saya paham sekali, kalau udah ada saya ikut, maka beliau langsung nyimpan lembaran kertas kosong dan pulpen di atas meja guru di depan untuk saya supaya saya nggak ganggu beliau ngajar.

Yang saya lakukan kalau udah dikasi modal kertas dan pulpen waktu itu adalah buat gambar kemudian ada tulisannya. Saya berimajinasi kalau apa yang saya buat itu adalah sebuah judul film. Jadi ada gambar filmnya entah itu robot atau monster, kemudian ada tulisan................ultraman, power ranger dsb.

Itu dulu waktu kecil. Pas SMP beda lagi. Sekitar kelas 2 atau kelas 3 SMP, saya langganan majalah bola dan soccer. Karena waktu itu memang lagi booming-boomingnya dunia sepak bola. Selepas itu juga saya sempat suka sama komik-komik naruto, doraemon, nah kalau conan sempat beli tapi pusing bacanya, karena jalan ceritanya maen logika, jadi saya sempat pusing tujuh keliling baca conan. Beda sama komik-komik ringan seperti doraemon, pembaca di bawa berimajinasi dan mengalir bebas tanpa harus berpikir, cukup berimajinasi dan menikmati.

Masuk usia SMA, dunia membaca saya agak berkurang. Komik jarang beli, novel cuman beli sekali dengan judul sang pemimpi, baca ke perpustakaan juga waktu ada tugas saja. SMA saya lebih menikmati masa-masa remaja saja, bergaul dsb.

Masuk ke kuliah saya terbawa atmosfer akademis yang kuat. Kawan-kawan punya opini yang dikuatkan dengan teori dan pendapat tokoh. Para mahasiswa dan mahasiswi yang ada berargumen dan beretorika dengan luar biasa tidak seperti waktu ketika saya di bangku sekolah.

Disini saya mulai tertantang untuk membuka juga wawasan dan pemahaman saya. Oleh karena itu, sekitar semester 3 saya sering beli buku. Alasan saya jelas, kalau beli kita yang punya, tapi kalau minjem di perpustakaan buku itu akan dipulangkan lagi, sehingga kalau sewaktu-waktu kita perlu, maka kita sulit mencarinya lagi.

Jujur, membaca itu bukan hal yang mudah. Mungkin waktu sekolah dulu saya baca komik rasanya enak sekali. Tapi ketika kuliah, saya baca buku pemikiran, teori, gagasan dsb, saya mendadak shock juga. Menghabiskan satu muka itu lumayan susahnya bagi saya. Jadi banyak buku-buku tebal yang sampai sekarang saya belum selesai membacanya, karena bahasanya yang berat.

Sampai sekarang, banyak buku-buku yang saya beli itu tidak saya pahami dan akhirnya tidak selesai dibaca. Sampai-sampai salah satu dosen saya sarankan untuk beli kamus ilmiah populer, supaya kata-kata ilmiah dalam buku yang kalian baca itu bisa kalian pahami. Saran dosen itupun saya lakukan, tapi tetap saja menghabiskan satu buku ilmiah itu susah minta ampun. tapi tidak juga semua buku tidak bisa dibaca, banyak juga buku yang saya khatam membacanya dan paham maksudnya. Tapi buku ini lebih bertema inspirasi, kalau buku yang teori-teori tetap saja malas untuk dibaca.

Namun, saya merasa ada satu hal yang saya dapatkan dari membaca, yaitu kita serasa menjadi semakin bijak. Kalian tau ada banyak perbedaan pemahaman di luar sana, jika anda tidak punya pemahaman tentang pemahaman-pemahaman tersebut, maka akan dengan mudah anda menjudge perbedaan tersebut. tapi jika anda sudah belajar dan mengetahui apa-apa saja perbedaanya, maka kita merasa lega, “oh bedanya disini, salahnya disini, benarnya disini”, bijak kita dalam menghadapi wawasan itu.

Walau banyak buku yang saya tidak paham, tapi dari beberapa buku yang saya paham, saya belajar tentang hal lain, yaitu “Peduli”. Seperti yang saya bilang diatas, bahwa buku-buku yang saya kebanyakan paham itu buku-buku inspirasi dan kritikan-kritikan, itu mudah sekali memahaminya, karena isinya cuman protes, opini, pendapat, nasehat dsb. jadi dari buku-buku kita belajar peduli, peduli terhadap nasib bangsa, peduli terhadap perpecahan umat, peduli terhadap generasi bangsa, walaupun bukti kepedulian kita hanya lewat opini saja.

Setelah membaca buku juga, saya merasa ada yang memberontak di hati saya, bergeliat di kepala saya, yang memaksa untuk dimuntahkan. Maka muntahan itu lahirlah menjadi tulisan. Semakin banyak kita membaca, semakin banyak pengetahuan yang masuk ke dalam diri kita, dan ketika pikiran ini penuh di otak, maka dia akan segera tumpah menjadi tulisan. Maka resep ampuh menulis sebenarnya adalah membaca. Orang yang tidak mau membaca tidak akan menulis. Saya punya teman yang mana waktu itu kita sama-sama buat blog barengan. Saya buat blog, mereka juga buat blog dan saya yang buatkan mereka. awal-awalnya kita ngisi blog kita dengan makalah. Jadi kawan saya ngisi makalah-makalahnya, saya juga awal-awal ngisi blog saya dengan makalah. Sampai sekarang blog yang konsisten nambah terus cuman blog saya, sementara blog kawan saya jangankan nambah, bahkan mereka sampai lupa password blognya saking gak pernah lagi diurus. Saya berpikir, “wajar kalau tulisannya gak nambah-nambah, baca buku aja nggak, jadi apa yang mau ditulis?”.

Namun bagi saya menulis itu bukanlah ingin cari pamor atau terkenal. Tapi saya merasa dengan menulis itu kita bisa lega, karena semua keresahan sudah ditumpahkan lewat tulisan. Saya tidak peduli mau dibaca atau enggak tulisan saya, bagi saya tidak ada pengaruhnya sama sekali. Namun yang berpengaruh adalah ketika saya meluapkan segala gagasan mentah saya ke dalam sebuah tulisan, sehingga tidak ada lagi pikiran yang menggeliat di dalam otak saya.

saya juga merasa, sebagai pembaca tentu menulis adalah keperluan. Jadi membaca dan menulis ini berkolerasi. Ketika seseorang ingin menulis tentu di harus punya pengetahuan dulu dengan membaca, begitu juga ketika dia ingin membaca tentu dia akan menuliskan apa yang telah ia baca. Ada korelasinya enggak sih?.

Maksud saya adalah ketika orang banyak membaca dia akan segera menulis. Saya menuliskan beberapa hal karena saya rasa, ketika apa yang saya baca kemudian saya tulis, membuat pemahaman saya tentang bacaan itu meningkat dibanding hanya sekedar membacanya saja tanpa menulis. Dengan menulis saya mengingat kembali konsep-konsep yang pernah saya baca dalam suatu buku, maka ada beberapa tulisan saya yang menuliskan tentang operasi buku, tujuannya sederhana yaitu supaya saya ingat kembali konsep dalam buku tersebut.

Jujur saja, ketika membaca satu buku selesai, maka satu jam setelah membaca, apa yang kita baca tadi lenyap seketika, tidak ingat lagi idenya, tidak ingat lagi kata-katanya, tidak ingat lagi gagasannya dsb. jangankan setelah satu jam, setelah satu bab terlewati dan masuk bab berikutnya kadang kita lupa apa sebenarnya yang disampaikan dalam bab sebelumnya. Maka untuk mengingat itu kita perlu menulis.

Jadi kesimpulannya adalah membaca dan menulis satu paket. Tidak bisa dipisahkan. Semakin banyak membaca semakin mahir kita dalam menulis. Semakin mahir kita menulis, semakin perlu kita memperindah tulisan kita dengan pengetahuan baru, sehingga mengajak kita untuk membaca, membaca dan membaca.
Share:

1 komentar:

  1. iqro iqro iqro perintah dari allah kepada rasulullah saw. betapa mulia orang yang suka membaca di mata allah (iqroul quran)

    BalasHapus