Selasa, 13 Februari 2018

SENI BERSIKAP BODO AMAT


Hai para pembaca sekalian....
Kali ini saya akan mengulas sebuah buku (self improvment) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, judulnya: “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat”. Buku ini ditulis oleh Mark Manson, seorang blogger yang blognya telah dibaca lebih dari dua juta pembaca.
Sumber gambar: Gramedia.com

Sebelum kita bahas apa isinya, saya ingin menyampaikan kesan saya terhadap buku ini. Mau bad news apa good news dulu, nih? (Niru Arman Maulana di Indonesian Idol). Oke, good newsnya, buku ini termasuk buku self improvment yang antimainstream. Mengapa? Karena biasanya buku yang bertemakan self improvment itu pembahasannya seringkali mengajak kita untuk berpikir positif atau memandang dunia ini dengan kacamata yang positif. Selain itu, buku self improvment juga biasanya berisikan motivasi-motivasi yang intinya “Anda Bisa!” “Sukses itu mudah” “Hidupmu baik-baik saja!” Dan segala bentuk dukungan positif lainnya.
Namun tidak dengan buku ini. Buku ini mengajarkan kepada kita bahwa hidup ini penuh masalah, sulit, menderita dan banyak hal negatif di dalamnya. Bagaimana itu? nanti kita bahas.
Bad newsnya, buku ini termasuk yang sulit dipahami, bukan karena bahasanya yang sulit, tapi kurang detailnya penjelasan dan (menurut saya) susunannya masih acak-acakan. Anda tau lah ya, kalau baca tulisan yang tidak terstruktur itu sulit untuk dipahami. Sudah paham D, eh... lompat ke T. Paham T, eh... lompat ke B. Nah... begitu lah kurang lebih rasanya membaca buku ini. Sekali lagi, ini menurut saya.
Selain itu, buku ini juga kadang-kadang terasa tidak konsisten. Di awal-awal kita akan dihempaskan dengan penjelasan bahwa hal-hal yang bersifat negatif baik untuk langkah kita ke depan. Tapi di akhir-akhir, penulis malah terlihat tampil sebagai seorang motivator yang memberikan kiat-kiat menuju sukses, kebahagiaan, dan hal-hal positif lainnya.
Oke, mungkin good news dan bad news itu hanyalah perasaan saya saja, dan sangat mungkin kalian akan merasakan hal yang berbeda.
Sekarang kita masuk pada isi buku.
Saya tidak akan memaparkan banyak hal mengenai isi bukunya, saya cukup memfokuskan pada sikap bodo amatnya saja.
Pertama-tama, kita perlu mengetahui terlebih dahulu, hal-hal apa saja yang melatarbelakangi pentingnya seni bersikap bodo amat?
Jawabannya adalah karena: “Sekarang ... masyarakat kita saat ini lewat keajaiban budaya konsumen dan media sosial yang giat dijadikan ajang pamer, telah melahirkan generasi manusia yang percaya bahwa memiliki pengalaman-pengalaman negatif ini –rasa cemas, takut, bersalah, dan lain-lain – sangat tidak baik (2018: 7-8)”.
Anda cemas dengan kemiskinan anda hari ini, itu tidak baik. Anda kecewa dengan kehidupan anda, itu tidak baik. Anda kecewa dengan ujian hari ini, itu tidak baik. Itulah yang ada hari ini. Semua ketakutan, kecemasan, kekecewaan menurut banyak orang harus dihilangkan, karena itu tidak baik buat anda.
Dulu saya sering diingatkan seperti ini oleh kawan-kawan ketika mengikuti suatu perlombaan, “Sudahlah, jangan takut, positif aja, kita pasti juara!” Tau-taunya nggak juara. Inilah yang disebut oleh Mark Manson dengan istilah “Visualisasi konyol”, yaitu kita berlagak pasti juara hanya sekedar untuk menghilangkan rasa cemas kita akan kekalahan. Dengan berpikiran pasti juara itulah, kawan-kawan saya jadi malas latihan, tidak mau berjuang mati-matian, menganggap remeh perlombaan dan sebagainya. Dan hasilnya sudah ketebak: pasti kalah.
Selain seringnya kita menganggap penderitaan adalah sesuatu yang tidak baik, kita juga terlalu sering memedulikan banyak hal. Menurut Mark Manson (2018: 6), “Ini membuat anda menjadi terlalu terikat pada hal-hal yang dangkal dan palsu, anda membiarkan hidup anda demi mengejar fatamorgana kebahagiaan dan kepuasan”.
Jadi dua sebab itulah (menghindari penderitaan dan terlalu sering memedulikan banyak hal), menjadikan bersikap bodo amat itu penting. Bodo amat dengan penderitaan artinya jangan menghindar seolah-olah anda tidak menderita, dan bodo amat terhadap hal-hal yang menurut kita tidak begitu penting. Ketika ada orang yang bilang kita kurang ini, kurang itu; BODO AMAT.
Tapi bodo amat yang seperti apa dulu?
Mark Manson (2018: 14), mengatakan bahwa, “Masa bodoh atau bodo amat artinya memandang tanpa gentar tantangan yang paling menakutkan dan sulit dalam kehidupan dan mau mengambil suatu tindakan”.
Menurut Mark Manson (2018: 16-21), ada tiga seni untuk bersikap masa bodoh:
1)  Masa bodoh bukan berarti menjadi acuh tak acuh; masa bodoh berarti nyaman saat menjadi berbeda. Intinya adalah bukan menghindari kesulitan. Intinya adalah menemukan hal sulit yang bisa anda hadapi dan nikmati.
2)  Untuk bisa mengatakan ‘bodo amat’ pada kesulitan, pertama-tama anda harus peduli terhadap sesuatu yang jauh lebih penting dari kesulitan. Jadi menemukan sesuatu yang penting dan bermakna dalam kehidupan anda, mungkin menjadi cara yang paling produktif untuk memanfaatkan waktu dan tenaga anda. Karena jika anda tidak menemukan sesuatu yang penuh arti, perhatian anda akan tercurah untuk hal-hal tanpa makna dan sembrono.
3)  Entah anda sadari atau tidak, anda selalu memilih suatu hal untuk diperhatikan.
Jadi ada tiga hal yang penting dari tiga seni di atas, yaitu tidak menghindari kesulitan, menemukan sesuatu yang penting dalam kehidupan, dan selalu memilih suatu hal untuk diperhatikan. Kalau anda sudah punya tiga ini, maka barulah anda bisa untuk bersikap bodo amat terhadap hidup anda di luar dari yang tiga ini.
Karena begini, penderitaan itu tidak bisa ditolak. Mau jadi apapun kita, pasti ada menderitanya. Jadi orang kaya juga menderita, ingat menderita disini bukan hanya fisik tapi psikis. Mau jadi orang miskin juga menderita. Mau jadi orang baik juga menderita. Mau jadi orang jahat juga menderita. Mau berkarya dan bekerja juga menderita. Mau diam-diam nggak bekerja juga menderita. Hidup di dunia ini kesimpulannya adalah penuh dengan penderitaan, tidak bahagia, cemas, takut, dan sebagainya.
Oleh karena itu, kata Mark Manson (2018: 81), “Jika penderitaan tidak bisa ditolak, jika permasalahan dalam kehidupan kita tidak dapat dihindari, pertanyaan yang harus kita ajukan bukan ‘bagaimana saya menghentikan penderitaan?’ tapi ‘mengapa saya menderita-demi tujuan apa?’
Kalau indikatornya adalah kesuksesan,  maka kata Mark Manson (2018: 84), “Mengapa saya menganggap ini sebagai kesuksesan atau kegagalan? Bagaimana saya mengukur diri saya? Dengan standar apa saya menilai diri saya dan setiap orang di sekitar kita?”
Oleh karena itu, satu hal yang penting untuk kita miliki di sini adalah NILAI.
Mark Manson (2018: 101), membagi nilai menjadi dua: baik dan buruk. Nilai yang baik: berdasarkan pada kenyataan, membangun secara sosial, segera dan dapati dikendalikan. Nilai-nilai yang buruk: tahayul, merusak secara sosial, tidak segera dan tidak dapat dikendalikan.
Jadi intinya begini, penderitaan itu tidak bisa dihindari, karena tidak bisa dihindari maka kita harus hadapi, namun tidak semua penderitaan harus kita pilih. Oleh karena itu, untuk memilih penderitaan mana yang kira-kira harus kita hadapi, maka kita harus punya nilai yang kita pegang. Fungsi nilai adalah untuk mengukur; penderitaan mana yang layak kita hadapi dan mana yang tidak. Ketika kita sudah memilih penderitaan yang ingin kita hadapi, maka barulah kita bisa bersikap bodo amat dengan penderitaan yang tidak kita pilih.
Jika kita tidak setuju dengan nilai yang dibuat oleh Mark Manson, maka kita bisa menggantikannya dengan nilai agama. Maka praktiknya akan lebih mudah. 
Lebih jelasnya, kalau kita gunakan contoh maka jadinya seperti ini. Kita menggunakan nilai Islam dalam hidup (misalkan). Kita mau jadi baik; menderita, mau jadi penjahat juga menderita. Lalu mana yang kita pilih? Tentu saja lebih baik menderita di dalam kebaikan. Sebagaimana kita tahu, menjalankan ibadah dan menjauhi larangan itu kan berat dan pasti menderita, tapi karena kita punya nilai yang kita pegang, maka penderitaan itu kita jalani. Dan kita bisa bersikap bodo amat dengan segala ejekan, makian, cacian, hinaan terhadap apa yang sedang kita jalani.
Misalkan, seorang perempuan berhijab dan tidak mau pacaran, menderitakah dia? Pasti, karena ia bakal diejek dan dihina, paling tidak disindir. Saat itulah anda bisa mengatakan bodo amat, toh anda punya nilai yang anda pegang, sehingga anda lebih memilih penderitaan itu dibandingkan dengan penderitaan yang lain.
Begitulah yang bisa saya tangkap dari seni bersikap bodo amat ini.
Jika anda yang beragama lain atau bahkan tidak beragama, atau punya nilai yang berbeda dengan contoh saya, maka carilah nilai apa yang layak anda jadikan sebagai pedoman untuk memilih penderitaan. Setelah anda pilih, maka bersikap bodo amatlah dengan kicauan orang tentang pilihan penderitaan anda.
Selamat mencoba!
Share:

33 komentar:

  1. Boleh saya pinjam bukunya? Hehe

    BalasHapus
  2. Mau beli bukunya, alhamduliLlaah sudah ada resume yang bagus.

    BalasHapus
  3. Boleh minjem bukunya ga?hehe btw thanks buat ulasan bukunya

    BalasHapus
  4. makasi reviewnya! bermanfaat sekali :)

    BalasHapus
  5. Pengen baca bukunya.... 😍

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. Kadang kita menganggap bahwa judul itu bakalan sextrream judulnya Dont judge the cover books ,karena buku ini punya nilai dan arti tersendiri ,mancaaap

    BalasHapus
  8. Blom sempat baca bukunya. Pas baca resumenya. Seprtinya menarik.

    BalasHapus
  9. Jadi meenurut anda. Ini buku recomended banget atau tidak? 🙏

    BalasHapus
  10. comment-nya cukup banyak, ini juga adalah penderitaan bila harus membalas semua karena masih ada penderitaan yang lebih penting, jadi tinggalkan saja hehehe.. contoh saja..

    BalasHapus
  11. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  12. Keren.... Pengen memiliki bukunya. itu aja

    BalasHapus
  13. sebelum bukunya dateng mampir dulu kesini

    BalasHapus
  14. Keren reviewnya bro. Keep up the good work.

    BalasHapus
  15. Ingin memiliki dirimu (Buku)

    BalasHapus
  16. Review yang bagus😍
    Mampir disini juga yaa:)
    https://calongurusains.blogspot.com/2019/04/review-buku-sebuah-seni-untuk-bersikap.html?m=1

    BalasHapus