Hai ... para pembaca semuanya.
Kali ini
saya mau ngomongin satu buku yang menurut saya sangat menarik untuk dibaca dan
dibahas, karena buku ini berbicara tentang keadaan suatu generasi di Indonesia,
yaitu generasi phi. Apa itu generasi Phi?
Bagaimana bentuknya? Punya kaki atau tidak? Bla, bla, bla dan sebagainya, itu akan
kita bahas nanti.
Yang
ingin saya ceritakan di awal adalah bagaimana perjalanan singkat ketika membeli
buku ini. Gini ceritanya: pada suatu hari saya mengunjungi toko buku, untuk
mencari buku tentunya, bukan mencari pacar. Nah, saya kemudian bertemu dengan
buku ini. Judulnya menarik: “Memahami Milenial Pengubah Indonesia”. Tapi kovernya
kok kayak buku anak ABG? Saya membatin. Pas saya lihat penulisnya; oh,
sudah doktor. Lumayan nih, pikir saya. Akhirnya saya beli.
Selanjutnya
saya akan bahas masalah kover dan penulisnya. Kovernya terbuat dari kertas,
bukan dari aluminium atau baja ya, karena kalau pake baja bakal berat kalau
dibawa kemana-mana. Untuk buku jangan berat-berat! Nanti yang baca nggak kuat. Cukup
besi aja yang berat, buku jangan. Eh, ini kok jadi tagline film Dilan.
Oke,
kembali ke kover tadi, jadi kovernya ini agak ke alay-alayan menurut saya: ada
gambarnya, warnanya hijau sama biru, pokoknya nggak match sama orang
dewasa awal seperti saya. Tapi saya mencoba berprasangka baik mengenai
pemilihan kovernya. Mungkin pemilihan kovernya lebih karena ingin menyesuaikan
dengan kontennya, jadi jangan sampai kontennya ngomongin masalah generasi
milenial, tapi kover bukunya generasi zaman paleolitikum. Kan nggak banget, iya
nggak cuy? O ... cuy!
Selanjutnya,
mengenai penulis buku ini. Awalnya saya mengira penulisnya ini orang biasa aja,
bukan siapa-siapa. Tapi pas saya baca pada bagian “tentang penulis”, saya mengelus
dada karena buku yang saya baca ini bukan dari penulis abal-abal. Oke, buku ini
ditulis oleh Muhammad Faisal. Beliau adalah pendiri dari Youth Laboratory
Indonesia, yaitu sebuah biro riset pertama di Indonesia yang mendedikasikan
diri pada studi psikografi, tren dan pengetahuan, serta budaya anak muda di
Indonesia.
Nah ini
yang cukup penting, diantara klien yang pernah dibantu oleh Youthlab
adalah Nike, Google, Coca-Cola, Yamaha, Line, Indofood, dan
perusahaan-perusahaan besar lainnya.
Intinya gini,
kegiatan penulis dan rekan-rekannya ialah meneliti generasi muda di berbagai
belahan dunia, yang informasinya nanti akan menjadi masukan kepada
perusahaan-perusahaan besar. Apa kesukaan anak muda zaman sekarang? Minat
mereka apa? Pengetahuan mereka seperti apa? Pokoknya segala hal terkait
informasi tentang anak muda akan mereka gali.
Oke, mungkin
cukup mengenai penulis dan kover buku, sekarang kita masuk pada pembahasan yang
ada di dalam buku, terutama mengenai generasi phi.
Pertanyaan
Pertama, Apa itu Generasi Phi?
Generasi phi adalah mereka yang lahir
antara tahun 1989 hingga 2000. Saya lahir tahun 1994, berarti saya generasi phi, bukan generasi micin. Sederhananya begitu. Dan perlu kita ketahui
juga, menurut Muhammad Faisal, ada empat generasi di Indonesia dan empat generasi
ini akan terus berulang. Si penulis menggunakan teorinya William Strauss dan
Neill Howe mengenai siklus generasi.
Dalam hal
ini, penulis tidak menggunakan putaran generasi yang dipakai di luar negeri,
yaitu generasi X, Y, Z, karena menurut penulis, kondisi dan latar belakang
munculnya generasi di Indonesia beda dengan di luar negeri. Jadi, empat
generasi yang dikonsepkan oleh penulis adalah generasi alpha (masa remaja di
tahun 1900-1930), generasi beta (masa remaja di tahun
1930-1966), generasi omega (masa remaja di
tahun 1970-1998), dan generasi phi (masa remaja di awal
abad 21).
Sumber gambar: http://onedigital.mx |
Setelah
kita mengetahui empat generasi itu, sekarang kita fokus pada satu generasi,
yaitu generasi phi.
Sebelum saya
lanjut, ada yang mau ditanyakan?
Oke,
tidak ada.
Identitas
Generasi Phi
Generasi phi memiliki empat
identitas atau self image:
Pertama,
memiliki sifat komunal. Kalian tau komunal? Yang palu arit. Bukan, itu
komunis. Komunal ini artinya mengelompok. Jadi, generasi ini hidup dengan cara
mengelompok. Kalau dia suka film, maka ia akan mengelompok ke penyuka film.
Suka baca, mengelompok ke grup yang suka baca. Suka olahraga sepakbola, akan
mengelompok ke penyuka olahraga sepak bola. Suka sesama jenis ... itu lain
cerita.
Kedua, generasi
Indonesia cenderung menyukai
kesederhanaan dalam rancangan hidup. Maksudnya? Nah, begini: Generasi phi ini, termasuk saya ya,
itu rencana hidupnya jangka pendek. Apa yang ingin digapai itu ya sesuatu yang
sifatnya dekat. Misalkan, lima tahun ke depan pengen nikah. Empat tahun ke
depan pengen jualan cilok. Enam tahun ke depan, pengen balikan sama mantan.
Pokoknya jangka pendek semua. Beda dengan pemuda di luar negeri, mereka punya
rencana hidup yang fix dan jangka panjang. Kalau pengen jadi pilot, ya
jadi pilot, dikejar terus. Kalau generasi muda Indonesia nggak: hari ini pengen
ini, tahun depan pengen itu, tahun depannya lagi pengennya yang lain lagi. Jadi
berubah-ubah. Tapi bagus juga, kita jadi lebih fleksibel. Right?
Ketiga,
generasi ini memiliki naive
personality (menghargai nilai-nilai dalam berbagai aspek). Dalam arti
positif tentunya, seperti kalau dalam persahabatan, kita masih menjunjung
tinggi nilai ketulusan dan kesetiaan. Jadi kalau ada teman anda yang tidak
setia atau pasangan anda yang tidak setia, mungkin mereka generasi old.
Keempat,
generasi generasi ini sangat into values.
Hal yang sifatnya virtue, kearifan, dan religious wisdom masih
sangat kuat. Sangat jelas kan? Meskipun terkadang bandel, tapi generasi muda
seperti saya itu masih menghargai nilai-nilai luhur dari agama dan budaya. Uhuk
....
Kelima, generasi phi sangat family
matters, menjunjung tinggi kebahagiaan dalam ikatan kekeluargaan. Bagi
generasi ini, keluarga adalah segalanya. Sehingga semua keputusan tidak bisa
diambil secara sepihak. Apapun keputusannya, keputusan dari keluarga termasuk
yang sangat menentukan. Contohnya teman saya, dia belum bisa menikahi cowoknya
karena hambatan dari keluarga, dan dia menghargai keputusan keluarga. Sori ya,
kamu dijadiin contoh. Hehe .... Selain itu, segala yang generasi ini
lakukan berpulangnya kepada keluarga, baik itu tujuan dan hasilnya.
Generasi Phi Dalam Aksi
Politik
Pergerakan
politik generasi phi lebih banyak disalurkan
melalui media online, khususnya media sosial. Aksi kreatif yang viral di
media sosial lebih disukai generasi Phi dibandingkan dengan
demonstrasi politik yang kerap berakhir dengan bentrokan fisik.
Nah, ini
yang cukup penting. Jadi generasi ini, aksi politiknya udah
beda dengan generasi sebelumnya. Generasi phi lebih menyukai aksi yang
“kreatif” dan “viral” di media sosial. Dua kata itu yang perlu diingat; kreatif
dan viral. Aksi jalanan mungkin masih diminati, tapi mau dibilang kreatif,
sudah nggak lagi. Mau dibilang viral, juga nggak. Paling masuk koran dan berita
dalam satu atau dua hari. Tapi aksi kartu kuning, walkout, moonwalk
dan sebagainya itu bisa dibilang kreatif karena suatu hal yang baru, dan pastinya
bisa viral. Buktinya bisa kita lihat sendiri.
Jadi
kalau ada yang suka ngebandingin anak zaman old dan anak zaman now,
aduh ... sori bray, kita beda zaman lah yauw ....
Generasi Phi dalam
Karir dan Pendidikan
Oke,
selanjutnya kita bahas generasi ini dari segi karir dan pendidikan. Ini gue
banget. Generasi phi itu sebenarnya berada
dalam keadaan yang dilematis. Di satu sisi dia ingin mengembangkan passionnya,
namun di sisi lain di harus punya pekerjaan yang hasilnya pasti. Di satu sisi
ingin jualan hijab syar’i, tapi di sisi lain pengen jadi guru PNS. Di satu sisi
pengen punya kafe, dan di sisi lain pengen kerja yang pasti-pasti aja, seperti jadi
pegawai bank. Dilema kan?
Dalam
perjalanannya, kegalauan ini semakin menurun dengan banyaknya anak muda yang
sukses dalam passion mereka. Sehingga mengikuti passion bukan suatu
ketakutan lagi. Generasi Phi sudah mulai berani memilih passion mereka
dan keluar dari zona nyaman. Begono?
Nah,
dampaknya ada pada dunia pendidikan. Kalau zaman dulu, ketika di tanya,
“Cita-citamu apa?” Jawabannya, “Pengen jadi dokter, guru, polisi, tentara,
sikat semua yang PNS PNS itu. Tapi kalau sekarang, ketika ditanya cita-citanya
apa? Jawabannya udah beda, “Pengen jadi youtuber,” kata si entong. “Pengen jadi
gamer.” “Pengen jadi komikus.” “Pengen jadi novelis.” “Pengen jadi animator.” “Pengen
jadi fotografer.” Dan sebagainya, semuanya sudah berkaitan dengan dunia
kreatif.
Sehingga
mau tidak mau, ke depan, jurusan-jurusan perkuliahan yang berada di luar dari
hal-hal yang kreatif bisa jadi mulai ditinggalkan. Jurusan teknik mesin,
keguruan, keperawatan, dsb. Itu kan sebenarnya hanya keinginan orang tua aja kan?
Yang generasi old itu. Kalau sekiranya ditanya dalam lubuk hati yang
terdalam, mungkin kita ogah jadi pegawai, pengennya jadi wirausahawan atau
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kreatifitas. Betul tidak? Kalau
nggak, ya udah. Nggak maksa juga.
Generasi Phi dalam Kesalehan
Selanjutnya,
penulis mengatakan bahwa Muslim di Indonesia memiliki corak keislaman yang
sudah melebur dengan budaya, sikap yang lebih moderat dan toleran dalam
kehidupan sosial. Generasi phi muslim Indonesia ingin
menjadi saleh, lebih baik, dan memiliki pemahaman agama. Mengapa? Karena kita
berada di era keterbukaan akses informasi.
Saya
awalnya ragu dengan pernyataan penulis. Benarkah generasi muda muslim Indonesia
seperti itu? Bukannya sangar-sangar dan sering beradu komen. Tau kan adu komen?
Lempar wacana, perang di kolom komentar. Lempar wacana, perang di kolom
komentar. Lempar kotoran, bubar ....
Tapi
setelah saya pikir-pikir, benar juga. Walaupun tampaknya generasi muda muslim
itu sangar di kolom komentar, sejatinya mereka itu di kesehariannya biasa-biasa
aja. Kamu ajak makan pecel ayam, juga mau dia. Walaupun sering share
yasinan dan tahlilan haram, tapi biasanya dia juga ngeshare meme-meme
yang galau dan kocak. Btw: Ini generasi muda lo, ya. Bukan yang udah tua.
Selain
itu, generasi muda muslim juga kesalehannya semakin menjamur dan ramai. Karena
begini, hal-hal yang nakal itu kan sudah biasa. Kenakalan-kenakalan itu
sebenarnya tradisi dari generasi sebelumnya yang ingin menunjukkan dirinya
berbeda. Tapi untuk zaman sekarang, yang beda atau unik dan terlihat itu justru
mereka-mereka yang alim, hijab syar’i, pake cadar mungkin, pakai kopiah,
berjanggut seperti saya ini, kan. Nah itu dia. Menjadi beda dan unik itu keren.
Yuhu ....
Generasi Phi dalam
Tren
Terakhir,
walau sebenarnya masih banyak yang penting, tapi ini terakhir aja deh, capek
juga nulis. Nah, yang terakhir kita perlu tau bahwa generasi phi ini dalam hal
tren tidak lagi berpatokan pada media mainstream atau publik figur seperti
artis. Generasi phi sudah lebih cerdas. Mereka tau mana produk yang benar-benar
bagus dan mana produk yang sekedar mencari keuntungan belaka.
Maka itu,
ini saya kasi bocoran untuk para wirausahawan muda, kita sama-sama saling bantu
lah, ya kan? Tipsnya, iklan produk itu tidak perlu lagi sewa artis atau pasang
di tv, karena generasi phi sudah tidak percaya itu. Generasi phi lebih percaya
pada teman atau review online mengenai suatu produk.
Kita bisa
melihat hal itu dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan, saya punya teman cewek,
tapi dia tidak menganggap saya sebagai teman (malah curhat). Jadi dia itu suka
baca buku dan sering ngereview bukunya di youtube dan instastory. Gara-gara
review itu, banyak temannya yang beli buku persis seperti apa yang sudah dia review.
Jadi orang membeli sesuatu itu bukan karena iklan di tv, tapi lebih karena
melihat review dari teman.
Jadi para
wirausahwaan atau pembisnis muda, cari teman kalian yang benar-benar klop sama
produk kalian dan minta ia gunakan produk itu. Kalau produk itu bagus, dia
bakal share tanpa dibayar. Dan dampaknya, teman-temannya yang lain akan
ikut membeli produk itu. Simpel kan? Nggak, ya? Ya udah.
Sekian.
kereen ulasan nya
BalasHapusTerimakasih.
HapusSaya banyak baca apa yg anda tuliskan. Pembahasannya ringan tapi dengan analisa yang mendalam. Saya yakin banyak yg tergoda dengan review anda. Semangat dan terimakasih untuk tulisan yg menyenangkan untuk dibaca selain berita gosip.
BalasHapusTerima kasih
BalasHapus