Tanggal
15 April 2017, kampus tempat saya kuliah –IAIN Pontianak- menggelar hajatan
terbesar yaitu wisuda sarjana dan pascasarjana. Tidak lama setelah itu, kampus
UNTAN Pontianak, tepatnya pada tanggal 27 April 2017, juga turut menggelar
pesta yang sama. Saya ingin mengucapkan selamat kepada semua yang sudah
berhasil meraih gelar sarjana. Dan ucapan selamat ini penting sekali untuk
mendinginkan perasaan kalian, sebelum kalian –yang sudah bergelar sarjana-, membaca pragraf-pragraf selanjutnya.
sumber gambar: www.uib.ac.id |
Ada
satu hal yang selama ini cukup menganggu pikiran saya, yaitu ketika melihat
seorang sarjana yang membanggakan wisuda dan gelarnya secara berlebihan. Dari mana kok
tau berlebihan?. Dari foto wisuda yang tidak henti-hentinya diupload ke media sosial.
Saya
punya teman di media sosial, dia kemarin wisuda tanggal 15 April 2017. Dan di
media sosialnya, dari tanggal 15 April 2017 sampai sekarang -28 April 2017-, foto-foto
wisudanya nggak pernah khatam nongol
di media sosial. Jam empat shubuh -baru bangun-, upload foto wisuda, tiga jam berikutnya upload foto wisuda, empat jam berikutnya lagi, upload foto wisuda lagi, lima kali sehari, udah mirip sama
jadwal sholat wajib, lima waktu harus ada.
Dan
yang cukup menggelitik, fotonya itu beda-beda; ada foto bersama rektor, bersama
dosen (dosen kuliah, pembimbing, penguji), bersama teman (teman TK, SD, SMP, SMA,
kuliah, organisasi, teman tapi mesra dsb), bersama keluarga (orang tua,
saudara, saudari, sepupu, keponakan, kakek, nenek), dan itu nggak habis-habis.
Dan
latar tempat fotonya juga bermacam-macam, ada yang foto di gedung tempat berlangsungnya
acara, ada di luar gedung, ada yang di studio buatan di luar gedung -yang backgroundnya barisan buku-buku palsu-,
ada yang di bawah pohon, di tepi parit, ini foto wisuda atau foto model?.
Saya
curiga, ni orang punya 500 koleksi foto wisuda. Jadi, untuk menghabiskan fotonya
agar bisa terlihat semua oleh temannya di media sosial, dia punya taktik, selama satu hari harus upload lima foto wisuda. Sehingga dalam
waktu 100 hari, foto wisudanya bisa terupload
semua di media sosial, dengan harapan orang tau kalau dia udah wisuda.
Tapi
masih mending, ada lagi yang sangat berlebihan. Dia udah wisuda beberapa bulan
yang lalu. Tapi pada saat temennya baru wisuda, dan temennya upload foto wisuda, eh yang udah wisuda
beberapa bulan yang lalu ini ikut-ikut upload
foto wisuda. Setelah diselidiki, ternyata dia masih punya beberapa stok foto
wisuda yang belum diupload, maklum
ada 500 koleksi foto wisuda. Abis itu kasi caption
di bawah foto: “Upload foto wisuda
juga ah, ikut teman-teman yang wisuda hari ini”, padahal ni orang udah wisuda beberapa
bulan yang lalu. Kok masih aja... foto lamanya diungkit-ungkit?.
Dari
kejadian itu saya berkesimpulan bahwa; bukan hanya orang yang diputusin pacar
aja yang nggak bisa move on. Sarjana juga
banyak yang belum bisa move on, belum
bisa move on dari wisuda, padahal
wisudanya dia udah lewat, masih aja diingat dan dibawa-bawa ke permukaan.
Dan
hal ini, yaitu berlebihan dalam membanggakan wisuda, sudah membudaya di kehidupan
kampus kita. Saking membudayanya, temen saya heran saat liat saya yang waktu selesai
acara wisuda langsung keluar. Waktu itu saya tidak lagi foto bersama pihak
kampus, tidak lagi foto bersama temen, tidak lagi foto sama bangunan kampus dan
sebagainya. Saya keluar, ketemu keluarga, foto dengan dua kali jepret sama
keluarga setelah itu pulang. Seandainya saja bukan orang tua yang melahirkan
dan membiayai saya kuliah, saya mungkin akan menolak untuk diajak foto. Sumpah.
Karena bagi saya foto wisuda nggak penting, yang penting tu ijazahnya; penting
untuk kerja, penting untuk lanjut S2. Kalau foto..., mungkin penting sih...
penting untuk dipamerkan. Lah riya’ jadinya.
Karena
begini, ada empat alasan yang membuat saya berpandangan bahwa membanggakan dan
mengunggah foto wisuda sarjana secara berlebihan itu tidak pantas, dan empat alasan yang membuat kita sekarang seharusnya menyikapi gelar sarjana dan wisuda dengan sikap yang biasa saja.
Apa saja keempat alasan itu?.
Apa saja keempat alasan itu?.
Pertama, jumlah
sarjana udah banyak. Organisasi kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD)
menyatakan Indonesia bakal menjadi negara dengan jumlah sarjana muda terbanyak
kelima di masa depan. Bahkan posisinya terbanyak kelima di dunia. Mereka memprediksikan
akan terwujud di tahun 2020. Berita ini ditulis tahun 2012 di merdeka.com.
Sekarang 2017, berarti sekarang lagi banyak-banyaknya sarjana dibanding
sebelumnya dan akan memuncak pada tahun 2020.
Kalau
sarjana sekarang udah banyak, nggak lagi sedikit seperti zaman kakek nenek kita, terus
apa yang mau dibanggakan?. Mau pamer ke tetangga, dia udah sarjana. Pamer ke
teman, dia udah sarjana. Pamer ke orang yang nggak dikenal, dia malah udah
dapat kerja. Malah kita yang sarjana yang sedih, karena belum dapat kerja. Jadi
buat apa bangga secara berlebihan?. biasa aja, anggap aja lulus SD, udah.
Kedua, masa-masa
kuliah yang biasa. Kalau saya liat, terutama teman-teman kampus saya, kuliahnya
ya biasa-biasa aja, malah ada yang malas-malasan. Ngerjain makalah biasa,
presentasi di depan kelas ya biasa, nggak juga meriah-meriah amat power pointnya, kemudian nilainya ya
biasa, nggak ada yang IPK 4,00. Ilmunya ya biasa, bahkan ada yang belum bisa
baca Al-Quran. Penelitiannya atau skripsinya ya biasa, beberapa bulan selesai,
bahkan ada yang dua bulan selesai, penelitian macam apa yang selesai dua bulan?.
Kita juga meneliti nggak seperti Harry A. Poeze, yang meneliti tokoh Tan Malaka
selama 40 tahun, nggak kan?. Lalu apa yang di wow kan dari sarjana?. Biasa aja. Lalu ngapain foto wisudanya harus
disebarkan tujuh hari tujuh malam seolah udah menemukan teori baru saat sarjana?.
Ketiga, sarjana
adalah penyumbang pengangguran terbesar. Saya kutip dari Okezone.com, nanti
kalian boleh googling sendiri. Disitu
disebutkan, pada tahun 2015, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai
7,56 juta orang. Dan 600 ribu dari 7,56 juta itu adalah lulusan perguruan
tinggi baik diploma maupun sarjana. Jadi?.
Jadi
seharusnya kita bersedih saat sarjana, jangan-jangan setelah kita sarjana
bukannya mengurangi angka pengangguran (aib) di negeri ini, yang ada malah menambah.
Seharusnya orang-orang saat wisuda itu merenung, tatapannya nanar, tak berdaya
untuk membuka kamera dan berselfie ria, karena dia tau, setelah dia sarjana nyawa
negeri ini ada di tangannya, tugas dia akan lebih berat, baik untuk diri
sendiri, negaranya dan dunia.
Bukan
sebaliknya, jepret sana-sini, selfie, groufie, kemudian upload di media sosial lima kali sehari selama berpuluh-puluh hari.
Yang jadi pertanyaan, “Apa kontribusi foto wisuda yang diupload lima kali sehari itu untuk dunia?”. “Apakah dengan adanya
foto wisuda anda selama 30 hari di media sosial membuat lapangan pekerjaan jadi
bermunculan?, kan enggak”.
Keempat,
sarjana dan bukan sarjana punya peluang sukses yang sama. Mungkin sejak kecil sudah ditanamkan di dalam
pikiran kita bahwa orang yang sukses adalah orang yang berpendidikan tinggi,
dan sarjana adalah salah satu indikatornya. Tapi itu mantra-mantra zaman dulu. Sekarang
mantra itu udah nggak kepakai lagi. Sebab orang yang tidak kuliah pun, yang
tidak ada gelar sarjana di belakangnya, juga bisa sukses.
Nggak
percaya?.
Forbes.com
(situs dari majalah bisnis dan finansial Amerika Serikat) sudah merilis data The World’s Billionaires Top 100 untuk
tanggal 28 April tahun 2017. Peringkat orang kaya pertama dunia masih ditempati oleh Bill Gates.
Silahkan masuk ke situs tersebut dengan keyword The World’s Billionaires Top 100, kalau sudah masuk silahkan klik foto Bill Gates di situs itu, dan scroll ke bawah, anda bisa lihat bagian educationnya, Bill Gates -orang kaya
pertama itu- ternyata Drop Out dari
Harvard University. Nggak selesai kuliah, tapi kekayaannya berada di peringkat
pertama. Bukan hanya kaya, badan amalnya juga banyak, keliling dunia untuk
beramal. Itu Bill Gates, kuliahnya nggak selesai.
Terus
di peringkat lima ada Mark Zuckerberg (Cofounder Facebook), Drop Out dari Harvard juga sama dengan
Bill Gates. Peringkat ke tujuh ada Larry Ellison (CEO dan Founder Oracle), yang
Drop Out dari University of Chicago,
University of Illionis, Urbana-Champaign.
Itu
semua orang kaya dan yang harus dicatat, mereka nggak selesai kuliah, tapi
sukses luar biasa. Jadi sekarang ubah mindset kita
bahwa sarjana bukan satu-satunya makhluk yang istimewa, sehingga harus
dibanggakan secara berlebihan. Biasa aja. Kalau masalah sukses, yang nggak
sarjana juga bisa. Jadi biasa aja.
***
Lalu
tidak bolehkah upload foto wisuda?.
Ya
bolehlah, tapi ya sekedar aja. Jangan terlalu yang berlebihan. Kan malu sama
Bill Gates dan Mark Zuckerberg. Mereka yang kaya dengan tanpa gelar sarjana aja
woles, kok yang sarjana belum tentu
dapat kerja udah lebay.
***
Tapi
menurut saya, ada satu orang yang saya rasa dia harus upload foto wisuda sarjananya, bahkan disebarkan ke orang banyak. Siapa
dia?.
Yaitu
yang berhasil mendapatkan gelar sarjana dengan biaya sendiri dan memang karena
orang tuanya tidak mampu, setelah itu berprestasi pula, dan dia satu-satunya
yang berhasil mendapatkan gelar sarjana di kampungnya. Orang seperti ini yang
seharusnya dipersilahkan dan diberi ruang seluas-luasnya untuk mengupload foto wisudanya, lebih mantap lagi
kalau ada caption motivasinya. Supaya
apa yang ia lakukan itu bisa menjadi pelajaran buat orang lain, terutama buat
orang-orang yang ada di kampungnya yang belum bisa mendapatkan gelar sarjana
karena kendala biaya.
Tapi
bagi kita yang sarjananya biasa aja, kuliah biaya orang tua, kuliahnya juga biasa
aja, penelitiannya biasa aja, dapat pekerjaan pun belum tentu juga,... ya...
merayakan wisudanya juga biasa-biasa aja lah ya, jangan yang berlebihan seperti
contoh sebelumnya.
Sekian.
Dilema foto wisuda.. Keren..��
BalasHapusTerima kasih
HapusSelama itu tidak menggangu kenapa harus di hiraukan. I think that is a wich make they pround.Dont fals they. PIIIS
BalasHapusI think thank think thank
HapusMantap Celoteh tulisan kawan saye ni.. Bise bayak belajar saye ni.dengan kwn saye 1 ni..
BalasHapusWoles aja kawan... Hhhh
Hapus