“Karena
jodoh, aku disini terus berikhtiar dan berdoa dalam mendandani hati. Semoga ia
bisa menjadi pendamping hidupku kala aku kehilangan arah. Ia juga bisa
mengembalikan aku ke jalanMu.”
“Cari
salon suami itu yang ngajinya bener,
tajwid aja diperhatikan, apa lagi kamu. Seperti yang diatas (sambil ngasi sign
jari telunjuk ke gambar Muzammil Hasballah). Intinya baikin diri sendiri aja
dulu, jaga hati, jaga pandangan, maka Allah juga akan siapkan yang terbaik
untuk kita”.
Perlu
diketahui, kedua pragraf yang bercetak miring diatas bukanlah kata mutiara atau
pepatah dari tokoh besar dunia. Bukan. Dua pragraf bercetak miring di atas
adalah contoh status yang saya kutip dari status teman saya di media sosial,
dan tentu saja tidak akan saya sebutkan namanya disini, atau boleh kita
sepakati bersama sebagai status anonim, tapi orangnya beneran ada, bukan fiktif belaka.
Semenjak
istilah “Hijrah” booming di dunia
nyata dan menjalar ke dunia maya, status-status seperti di atas juga semakin
ramai berseliweran di dinding media
sosial kita. Fenomena itu saya istilahkan dengan “hijrah” materialisme dan produknya
yaitu status “religius” baper.
Mengapa
“hijrah” materialisme?.
Karena
hampir kebanyakan status tersebut di atas diproduksi oleh pemuda-pemudi yang
“katanya” sedang berusaha untuk berhijrah.
Sementara
materialisme untuk lebih mempermudah pengistilahan bagi mereka –yang berhijrah-
karena tujuan materi, mencari perhatian lawan jenis salah satunya.
Mengapa
status “religius” baper?.
Saya
sebenarnya juga kurang yakin, apakah istilah “religius” baper pas untuk menunjukkan
sifat dari status yang ditulis. Saya menyebut status mereka “religius” baper
karena status -yang mereka tulis- yang seharusnya bersifat religius, seringkali
terbawa oleh perasaan penulis status
yang ujungnya akan mengarah pada masalah jodoh dan nikah.
***
Sebelum
menulis panjang lebar, saya akan perjelas, hijrah seperti apa yang saya
maksud di dalam tulisan ini.
Sebenarnya
istilah hijrah itu luas, sebagaimana yang ditulis oleh Dedih Surana, seorang dosen
di Universitas Islam Bandung. Ia membagi hijrah menjadi dua, hijrah makaniyah dan hijrah maknawiyah.
Hijrah
makaniyah adalah hijrah tempat, sifatnya
wilayah atau teritorial, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti
Rasulullah SAW pindah dari Mekkah ke Madinah. Dan tulisan ini tidak sedang
membahas hijrah tersebut.
Hijrah
kedua adalah hijrah maknawiyah, yang
dibagi lagi oleh Dedih menjadi empat: i’tiqadiyah; hijrah keyakinan, fikriyah;
hijrah pemikiran, syu’uriyah; hijrah kesenangan, sulukiyah; hijrah tingkah
laku.
Bisa
dikatakan, hijrah yang saya bahas di tulisan ini adalah hijrah Syu’uriyah. Contoh, hijrahnya seseorang
yang dulunya suka mendengarkan musik menjadi anti terhadap musik setelah
mendengarkan pengajian dari salah satu ustadz. Atau hijrahnya seorang perempuan
yang dulunya menggunakan pakaian yang kurang menutup aurat menjadi perempuan
yang pakaiannya sudah berhijab (syar’i). Atau yang dulunya pacaran, semenjak dengar
ceramah Ustadz Felix, La ode munafar, Hanan attaki dan sebagainya, atau karena
dikhianati pacar, hijrah menjadi nggak mau pacaran lagi.
Hijrah
seperti inilah yang sedang ingin sedikit saya bahas pada tulisan kali ini.
Terkhusus pada teman-teman yang hijrah dari pacaran menjadi tidak lagi pacaran, dan biasanya hijrah ini juga akan bermuara menuju hijrah dalam berpakaian.
Oke,
balik lagi ke permasalahan awal. Fenomena “hijrah” materialisme ini sebenarnya
bukan cerita baru. Kalau kalian sering buka kitab hadis, apalagi buka kitab
shahih Bukhari, tepat di hadis yang pertama, maka kita akan menemukan ada satu
hadis yang sebenarnya menyinggung masalah “hijrah” materialisme ini, hijrah
yang tujuannya sekedar untuk mencari materi. Atau kalau mau lebih tertantang lagi untuk membuka
kitab hadis sambil senam anggota jari, kalian bisa cari hadis Muslim nomor
1907.
Kurang
lebih terjemahannya seperti ini.
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung
pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang
hijrahnya karena Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan RasulNya. Siapa
yang hijrahnya karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia
tuju.”
Kalau
kita liat lagi konteks hadisnya pada saat hadis ini keluar, yaitu pada saat
Rasul dan para sahabat hijrah, kita bisa melihat bahwa kasusnya hampir sama
dengan fenomena “hijrah” materialisme saat ini.
Ceritanya:
waktu Rasul dan para sahabat hijrah, sahabat menemukan ada pemuda yang ikut hijrah
bukan karena Allah dan Rasul, melainkan karena ada wanita yang sedang ia incar,
dan yang ingin ia nikahi. Awalnya pemuda ini nggak ada niat sama sekali untuk
berhijrah, tapi karena wanita yang ia sukai ikut hijrah bersama Rasul, akhirnya
ikutlah si pemuda ini berhijrah. Hal ini diketahui oleh salah seorang sahabat,
ia pun menanyakan hal ini kepada Rasul. Akhirnya lahirlah hadis di atas, yang intinya kalau hijrahnya karena Allah dan Rasul, ya hijrahnya akan menuju ke sana. Tapi kalau tujuan hijrahnya untuk wanita, ya maka hasil dari hijrahnya ya untuk wanita itu.
Saya
tidak tahu bagaimana tujuan si pemuda hijrah karena mengincar wanita yang ia
suka ini ketahuan oleh salah seorang sahabat. Apakah tampak dari raut wajahnya?,
atau dikasi tahu oleh sahabat si pemuda?, atau tampak dari gerak-geriknya yang
suka cari perhatian sama si wanita?, yang jelas bukan karena status di akun
facebooknya.
Kesimpulannya,
pertama: hijrah si pemuda tidak untuk Allah dan RasulNya, sehingga ia pun tidak
mendapatkan apa-apa dari Allah dan RasulNya. Dia hanya mendapatkan si wanita,
tidak lebih. Kedua: terkadang, apa yang kita lakukan, kalau niatnya nggak
bener, akhirnya bakal nggak bener dan besar kemungkinan akan ketahuan.
Sebagaimana pemuda di atas yang tujuannya hijrah ketahuan oleh sahabat.
Apakah
kisah pemuda di atas sama dengan kisah “hijrah” materialisme di era milenium
saat ini?. Apakah hijrahwan dan hijrahwati saat ini mengidap penyakit yang sama
dengan pemuda zaman Rasul, yang ia berhijrah hanya untuk mendapatkan wanitanya?.
Dua
contoh status di atas mungkin sudah menjawab. Ada gejala yang tampak.
Kalau
belum, mari kita analisis bersama!, terutama pada produk dari seseorang yang
diduga mengidap “hijrah” materialisme, yaitu statusnya. Caranya dengan
melemparkan tiga pertanyaan tepat pada status yang dibuat di media sosial.
"Untuk apa status “religius” baper ditulis?."
"Mengapa orang yang baru berhijrah bawaan statusnya selalu mengarah pada masalah jodoh dan nikah?."
"Mengapa status yang “religius” baper itu harus disertai foto si pemilik status yang tidak relevan dengan materi status?."
"Untuk apa status “religius” baper ditulis?."
"Mengapa orang yang baru berhijrah bawaan statusnya selalu mengarah pada masalah jodoh dan nikah?."
"Mengapa status yang “religius” baper itu harus disertai foto si pemilik status yang tidak relevan dengan materi status?."
Pertama,
untuk apa status “religius” baper itu ditulis?.
Jawaban
positifnya adalah untuk dakwah.
Tapi
kalau kita lihat dari dampak yang bisa muncul selanjutnya malah bisa berbahaya.
Status “religius” baper bisa mengundang lawan jenis untuk berkomentar bahkan
mengirim direct message ke pembuat
status. Mengapa?. Karena sifat dari status “religius” baper itu lebih pesonal
dan menarik perhatian.
Nggak
percaya?.
Coba
anda buat status yang bertema religi atau dakwah terserah, sertakan pula
bumbu-bumbu baper. Sebagai perbandingan untuk mengujinya, share video langsung dari ustadz yang ahli dalam membahas hal yang
sama, pernikahan misalkan. Manakah yang lebih banyak dilike, ditanggapi dan dikomentari?.
Sudah
pasti status anda yang baper itu, karena status anda yang baper itu lebih personal,
langsung dari hati dan perasaan anda, lansung dari pemilik akunnya. Sementara
video yang dishare dari akun lain itu
tidak, padahal nilai kebenaran video ustadz yang ahli tadi lebih kuat.
Silahkan
dicoba!.
Kedua, “Mengapa hampir kebanyakan
status media sosial orang yang “baru” berhijrah sering lari ke masalah nikah
dan jodoh, bukankah ada sejuta masalah agama yang perlu diperhatikan?.”
Coba
perhatikan, hampir setiap muda-mudi yang “baru” berhijrah, seringkali status di
media sosialnya bersifat “religius” baper.
Apakah
Islam hanya menganjurkan kita untuk menyegarakan menikah?, kan enggak. Ada
banyak hal lain yang diperintahkan di dalam Islam selain menikah. Islam memerintahkan
kita untuk mencari ilmu, belajar, bermanfaat untuk orang lain, peduli terhadap
sesama, bukan hanya sekedar masalah nikah dan jodoh. Lalu mengapa ada gejala
status “religius” baper yang dibumbui dengan keinginan menikah dan minta jodoh setelah
mereka berhijrah?.
Ketiga,
“Mengapa status yang bertema religi dan bertabur bumbu-bumbu baper itu
terkadang atau bahkan seringkali disertai dengan foto si pemilik akun yang
seringkali pula tidak relevan dengan materi status. “Apa kaitannya antara cewek
berhijab dengan status yang bertemakan zikir kepada Allah swt?, yang sebenarnya
akan sangat nyambung bila foto yang ia sertakan dalam status adalah foto
untaian tasbih.” "Apa hubungannya foto cowok memegang Al-Quran dengan status
tentang anjuran menyegerakan menikah?, akan lebih nyambung bila foto yang ia
unggah adalah foto pelaminan atau buku nikah.”
Untuk
sementara penulis masih berspekulasi itu adalah promosi diri. Dan tentu saja
tidak dilarang promosi diri di akun media sosial, itu hak anda. Tapi kalau
sampai menjadikan agama untuk menarik minat lawan jenis anda, nah pada garis ini
perlu diperhatikan dan dipertimbangkan lagi. Benar nggak nih caranya?.
Dari
tiga pertanyaan diatas, kita bisa tarik kesimpulan bahwa jangan-jangan hijrahnya
si penulis status “religius” baper masih kurang benar. Tujuan hijrahnya karena
pengen dapat jodoh bukan karena Allah. Dan ketauan dari status media sosial
yang ia produksi. Sama dengan pemuda di zaman Rasulullah yang hijrahnya karena
pengen mendapatkan hati wanita. Ketebak sama sahabat, karena pasti terasa
kejanggalannya, sama seperti pembuat status “religius” baper tadi, rasanya
janggal. Kok harus ada foto pemilik akun?, kok harus ada bumbu-bumbu pengen
nikah?, kok pas hijrah bawaan statusnya nikah dan jodoh melulu. Kan janggal
rasanya.
Dampaknya
apa?.
Dampaknya
adalah ada pada hijrah itu sendiri. Niat itu bisa mempengaruhi kekuatan dan keistiqomahan
dalam hijrah.
Kalau
hijrahnya untuk menarik lawan jenis agar diperhatikan, maka ada dua hal yang
akan terjadi, dan ini tergantung dari bagaimana respon si lawan jenis yang
menjadi target tujuan hijrah tadi.
Pertama,
kalau target merespon, si cewek/cowok. Maka besar kemungkinan hijrah gagal,
hubungan “khusus” pra nikah pun akan terjadi.
Lah
kan bisa saja jadi langsung nikah?.
Ya,
mungkin bisa. Tapi kalau status baper anda itu anda tabur di media sosial, maka
yang memanen status anda pun orang-orang maya di media sosial. Hal seperti ini
malah kelihatan menjadi gurauan, bukan sesuatu yang serius. Dan nikah harus
melalui cara yang serius.
Kedua, kalau target tidak
respon, maka orang yang mulai berhijrah tadi bisa stres sendiri. Kalau udah
tujuan hijrah nggak respon, ya buat apa lagi hijrah?. Apalagi kalau si target
udah keburu nikah sama orang lain.
Tapi
kalau hijrah karena Allah swt maka hijrahnya akan kuat, karena tujuannya kekal
yaitu Allah swt. Sementara bila tujuannya manusia, tujuannya fana, ada limitnya, ada batasnya.
Inilah
yang mungkin menjadi penyebab, mengapa banyak dari kita yang hijrah tapi belum
mampu istiqomah. Karena niat. Sekali lagi, kekuatan hijrah ada pada niat.
***
Saya
tidak menyalahkan anda yang sudah membenarkan pakaiannya, menghindari untuk
tidak pacaran, sekali lagi tulisan ini tidak untuk melemahkan semangat hijrah
itu. Tapi yang juga turut diperhatikan adalah niat dan tingkah laku, serta
etika setelah hijrah itu.
Karena
saat anda sudah benar-benar ingin berhijrah memperbaiki diri, saat itulah anda
akan menjadi perhatian orang yang belum berhijrah. Posisi anda akan dikunci
oleh orang, tingkah laku anda akan diperhatikan seteliti mungkin. Tujuannya apa?,
kalau anda down, jatuh, mereka –yang
belum berhijrah- akan menertawakan anda.
“Mana
yang katanya nggak mau lagi pacaran?.”
“Mana
katanya yang udah tobat?.”
“Mana
katanya yang udah berhijab syar’i, kok kelakuan kurang lebih sama kami yang
belum hijrah, masih aja tu gandengan sama cowok?.”
***
Lalu
bagaimana cara menguji kekuatan niat?.
Lihatlah
pada output dari diri anda, sederhananya status anda di media sosial. Status religi
yang sering dimbumbui dengan perasaan mendalam tentang ingin jodoh dan nikah
adalah salah satu indikasinya, bahwa ada niatan hijrah yang mengarah pada
materi (lawan jenis).
Karena
begini, masalahnya adalah: hampir kebanyakan motivasi orang berhijrah adalah jodoh. Mereka menjadikan jodoh sebagai tujuan, sebagaimana yang ada dalam
Al-Quran surah Nur ayat 26, lelaki baik untuk wanita yang baik, begitu juga sebaliknya. Padahal jodoh adalah akibat dari hijrah, ia adalah hadiah, akibat dari hijrah. Kalau jodoh menjadi
tujuan hijrah, maka dia akan kena pasal hadis Bukhari nomor satu, manusia yang
hijrah karena ingin dapat manusia, yang ia dapat hanya manusia itu saja.
Oleh
karena itu, hijrahlah karena Allah!. Masalah jodoh dan nikah juga serahkan
padaNya. Tak perlu baperan dalam berstatus. Apalagi bercampur antara baperan
dan ayat suci Al-Quran.
Perbaiki
niat, kalau sudah tau niatnya, maka status “religius” baper pra nikah pun akan
hilang dengan sendirinya, karena anda akan sibuk mengejar Allah bukan mengejar
nikah.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus