Kamis, 27 April 2017

STATUS "RELIGIUS" BAPER DI MEDIA SOSIAL



“Karena jodoh, aku disini terus berikhtiar dan berdoa dalam mendandani hati. Semoga ia bisa menjadi pendamping hidupku kala aku kehilangan arah. Ia juga bisa mengembalikan aku ke jalanMu.”

“Cari salon suami itu yang  ngajinya bener, tajwid aja diperhatikan, apa lagi kamu. Seperti yang diatas (sambil ngasi sign jari telunjuk ke gambar Muzammil Hasballah). Intinya baikin diri sendiri aja dulu, jaga hati, jaga pandangan, maka Allah juga akan siapkan yang terbaik untuk kita”.

Perlu diketahui, kedua pragraf yang bercetak miring diatas bukanlah kata mutiara atau pepatah dari tokoh besar dunia. Bukan. Dua pragraf bercetak miring di atas adalah contoh status yang saya kutip dari status teman saya di media sosial, dan tentu saja tidak akan saya sebutkan namanya disini, atau boleh kita sepakati bersama sebagai status anonim, tapi orangnya beneran ada, bukan fiktif belaka.

Semenjak istilah “Hijrah” booming di dunia nyata dan menjalar ke dunia maya, status-status seperti di atas juga semakin ramai berseliweran di dinding media sosial kita. Fenomena itu saya istilahkan dengan “hijrah” materialisme dan produknya yaitu status “religius” baper.

 
blog.maxyart.com

Mengapa “hijrah” materialisme?.

Karena hampir kebanyakan status tersebut di atas diproduksi oleh pemuda-pemudi yang “katanya” sedang berusaha untuk berhijrah.

Sementara materialisme untuk lebih mempermudah pengistilahan bagi mereka –yang berhijrah- karena tujuan materi, mencari perhatian lawan jenis salah satunya.

Mengapa status “religius” baper?.

Saya sebenarnya juga kurang yakin, apakah istilah “religius” baper pas untuk menunjukkan sifat dari status yang ditulis. Saya menyebut status mereka “religius” baper karena status -yang mereka tulis- yang seharusnya bersifat religius, seringkali  terbawa oleh perasaan penulis status yang ujungnya akan mengarah pada masalah jodoh dan nikah.

***

Sebelum menulis panjang lebar, saya akan perjelas, hijrah seperti apa yang saya maksud di dalam tulisan ini. 

Sebenarnya istilah hijrah itu luas, sebagaimana yang ditulis oleh Dedih Surana, seorang dosen di Universitas Islam Bandung. Ia membagi hijrah menjadi dua, hijrah makaniyah dan hijrah maknawiyah

Hijrah makaniyah adalah hijrah tempat, sifatnya wilayah atau teritorial, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti Rasulullah SAW pindah dari Mekkah ke Madinah. Dan tulisan ini tidak sedang membahas hijrah tersebut.

Hijrah kedua adalah hijrah maknawiyah, yang dibagi lagi oleh Dedih menjadi empat: i’tiqadiyah; hijrah keyakinan, fikriyah; hijrah pemikiran, syu’uriyah; hijrah kesenangan, sulukiyah; hijrah tingkah laku. 

Bisa dikatakan, hijrah yang saya bahas di tulisan ini adalah hijrah Syu’uriyah. Contoh, hijrahnya seseorang yang dulunya suka mendengarkan musik menjadi anti terhadap musik setelah mendengarkan pengajian dari salah satu ustadz. Atau hijrahnya seorang perempuan yang dulunya menggunakan pakaian yang kurang menutup aurat menjadi perempuan yang pakaiannya sudah berhijab (syar’i). Atau yang dulunya pacaran, semenjak dengar ceramah Ustadz Felix, La ode munafar, Hanan attaki dan sebagainya, atau karena dikhianati pacar, hijrah menjadi nggak mau pacaran lagi. 

Hijrah seperti inilah yang sedang ingin sedikit saya bahas pada tulisan kali ini. Terkhusus pada teman-teman yang hijrah dari pacaran menjadi tidak lagi pacaran, dan biasanya hijrah ini juga akan bermuara menuju hijrah dalam berpakaian.

Oke, balik lagi ke permasalahan awal. Fenomena “hijrah” materialisme ini sebenarnya bukan cerita baru. Kalau kalian sering buka kitab hadis, apalagi buka kitab shahih Bukhari, tepat di hadis yang pertama, maka kita akan menemukan ada satu hadis yang sebenarnya menyinggung masalah “hijrah” materialisme ini, hijrah yang tujuannya sekedar untuk mencari materi.  Atau kalau mau lebih tertantang lagi untuk membuka kitab hadis sambil senam anggota jari, kalian bisa cari hadis Muslim nomor 1907. 

Kurang lebih terjemahannya seperti ini.

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan RasulNya. Siapa yang hijrahnya karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”

Kalau kita liat lagi konteks hadisnya pada saat hadis ini keluar, yaitu pada saat Rasul dan para sahabat hijrah, kita bisa melihat bahwa kasusnya hampir sama dengan fenomena “hijrah” materialisme saat ini. 

Ceritanya: waktu Rasul dan para sahabat hijrah, sahabat menemukan ada pemuda yang ikut hijrah bukan karena Allah dan Rasul, melainkan karena ada wanita yang sedang ia incar, dan yang ingin ia nikahi. Awalnya pemuda ini nggak ada niat sama sekali untuk berhijrah, tapi karena wanita yang ia sukai ikut hijrah bersama Rasul, akhirnya ikutlah si pemuda ini berhijrah. Hal ini diketahui oleh salah seorang sahabat, ia pun menanyakan hal ini kepada Rasul. Akhirnya lahirlah hadis di atas, yang intinya kalau hijrahnya karena Allah dan Rasul, ya hijrahnya akan menuju ke sana. Tapi kalau tujuan hijrahnya untuk wanita, ya maka hasil dari hijrahnya ya untuk wanita itu.

Saya tidak tahu bagaimana tujuan si pemuda hijrah karena mengincar wanita yang ia suka ini ketahuan oleh salah seorang sahabat. Apakah tampak dari raut wajahnya?, atau dikasi tahu oleh sahabat si pemuda?, atau tampak dari gerak-geriknya yang suka cari perhatian sama si wanita?, yang jelas bukan karena status di akun facebooknya.

Kesimpulannya, pertama: hijrah si pemuda tidak untuk Allah dan RasulNya, sehingga ia pun tidak mendapatkan apa-apa dari Allah dan RasulNya. Dia hanya mendapatkan si wanita, tidak lebih. Kedua: terkadang, apa yang kita lakukan, kalau niatnya nggak bener, akhirnya bakal nggak bener dan besar kemungkinan akan ketahuan. Sebagaimana pemuda di atas yang tujuannya hijrah ketahuan oleh sahabat.

Apakah kisah pemuda di atas sama dengan kisah “hijrah” materialisme di era milenium saat ini?. Apakah hijrahwan dan hijrahwati saat ini mengidap penyakit yang sama dengan pemuda zaman Rasul, yang ia berhijrah hanya untuk mendapatkan wanitanya?.

Dua contoh status di atas mungkin sudah menjawab. Ada gejala yang tampak.

Kalau belum, mari kita analisis bersama!, terutama pada produk dari seseorang yang diduga mengidap “hijrah” materialisme, yaitu statusnya. Caranya dengan melemparkan tiga pertanyaan tepat pada status yang dibuat di media sosial. 

"Untuk apa status “religius” baper ditulis?."
  
"Mengapa orang yang baru berhijrah bawaan statusnya selalu mengarah pada masalah jodoh dan nikah?." 

"Mengapa status yang “religius” baper itu harus disertai foto si pemilik status yang tidak relevan dengan materi status?."

Pertama, untuk apa status “religius” baper itu ditulis?. 

Jawaban positifnya adalah untuk dakwah. 

Tapi kalau kita lihat dari dampak yang bisa muncul selanjutnya malah bisa berbahaya. Status “religius” baper bisa mengundang lawan jenis untuk berkomentar bahkan mengirim direct message ke pembuat status. Mengapa?. Karena sifat dari status “religius” baper itu lebih pesonal dan menarik perhatian.

Nggak percaya?.

Coba anda buat status yang bertema religi atau dakwah terserah, sertakan pula bumbu-bumbu baper. Sebagai perbandingan untuk mengujinya, share video langsung dari ustadz yang ahli dalam membahas hal yang sama, pernikahan misalkan. Manakah yang lebih banyak dilike, ditanggapi dan dikomentari?. 

Sudah pasti status anda yang baper itu, karena status anda yang baper itu lebih personal, langsung dari hati dan perasaan anda, lansung dari pemilik akunnya. Sementara video yang dishare dari akun lain itu tidak, padahal nilai kebenaran video ustadz yang ahli tadi lebih kuat.

Silahkan dicoba!.

Kedua, “Mengapa hampir kebanyakan status media sosial orang yang “baru” berhijrah sering lari ke masalah nikah dan jodoh, bukankah ada sejuta masalah agama yang perlu diperhatikan?.”

Coba perhatikan, hampir setiap muda-mudi yang “baru” berhijrah, seringkali status di media sosialnya bersifat “religius” baper. 

Apakah Islam hanya menganjurkan kita untuk menyegarakan menikah?, kan enggak. Ada banyak hal lain yang diperintahkan di dalam Islam selain menikah. Islam memerintahkan kita untuk mencari ilmu, belajar, bermanfaat untuk orang lain, peduli terhadap sesama, bukan hanya sekedar masalah nikah dan jodoh. Lalu mengapa ada gejala status “religius” baper yang dibumbui dengan keinginan menikah dan minta jodoh setelah mereka berhijrah?.

Ketiga, “Mengapa status yang bertema religi dan bertabur bumbu-bumbu baper itu terkadang atau bahkan seringkali disertai dengan foto si pemilik akun yang seringkali pula tidak relevan dengan materi status. “Apa kaitannya antara cewek berhijab dengan status yang bertemakan zikir kepada Allah swt?, yang sebenarnya akan sangat nyambung bila foto yang ia sertakan dalam status adalah foto untaian tasbih.” "Apa hubungannya foto cowok memegang Al-Quran dengan status tentang anjuran menyegerakan menikah?, akan lebih nyambung bila foto yang ia unggah adalah foto pelaminan atau buku nikah.”

Untuk sementara penulis masih berspekulasi itu adalah promosi diri. Dan tentu saja tidak dilarang promosi diri di akun media sosial, itu hak anda. Tapi kalau sampai menjadikan agama untuk menarik minat lawan jenis anda, nah pada garis ini perlu diperhatikan dan dipertimbangkan lagi. Benar nggak nih caranya?. 

Dari tiga pertanyaan diatas, kita bisa tarik kesimpulan bahwa jangan-jangan hijrahnya si penulis status “religius” baper masih kurang benar. Tujuan hijrahnya karena pengen dapat jodoh bukan karena Allah. Dan ketauan dari status media sosial yang ia produksi. Sama dengan pemuda di zaman Rasulullah yang hijrahnya karena pengen mendapatkan hati wanita. Ketebak sama sahabat, karena pasti terasa kejanggalannya, sama seperti pembuat status “religius” baper tadi, rasanya janggal. Kok harus ada foto pemilik akun?, kok harus ada bumbu-bumbu pengen nikah?, kok pas hijrah bawaan statusnya nikah dan jodoh melulu. Kan janggal rasanya.

Dampaknya apa?.

Dampaknya adalah ada pada hijrah itu sendiri. Niat itu bisa mempengaruhi kekuatan dan keistiqomahan dalam hijrah.

Kalau hijrahnya untuk menarik lawan jenis agar diperhatikan, maka ada dua hal yang akan terjadi, dan ini tergantung dari bagaimana respon si lawan jenis yang menjadi target tujuan hijrah tadi.

Pertama, kalau target merespon, si cewek/cowok. Maka besar kemungkinan hijrah gagal, hubungan “khusus” pra nikah pun akan terjadi. 

Lah kan bisa saja jadi langsung nikah?. 

Ya, mungkin bisa. Tapi kalau status baper anda itu anda tabur di media sosial, maka yang memanen status anda pun orang-orang maya di media sosial. Hal seperti ini malah kelihatan menjadi gurauan, bukan sesuatu yang serius. Dan nikah harus melalui cara yang serius.

Kedua, kalau target tidak respon, maka orang yang mulai berhijrah tadi bisa stres sendiri. Kalau udah tujuan hijrah nggak respon, ya buat apa lagi hijrah?. Apalagi kalau si target udah keburu nikah sama orang lain. 

Tapi kalau hijrah karena Allah swt maka hijrahnya akan kuat, karena tujuannya kekal yaitu Allah swt. Sementara bila tujuannya manusia, tujuannya fana, ada limitnya, ada batasnya. 

Inilah yang mungkin menjadi penyebab, mengapa banyak dari kita yang hijrah tapi belum mampu istiqomah. Karena niat. Sekali lagi, kekuatan hijrah ada pada niat.

***

Saya tidak menyalahkan anda yang sudah membenarkan pakaiannya, menghindari untuk tidak pacaran, sekali lagi tulisan ini tidak untuk melemahkan semangat hijrah itu. Tapi yang juga turut diperhatikan adalah niat dan tingkah laku, serta etika setelah hijrah itu.

Karena saat anda sudah benar-benar ingin berhijrah memperbaiki diri, saat itulah anda akan menjadi perhatian orang yang belum berhijrah. Posisi anda akan dikunci oleh orang, tingkah laku anda akan diperhatikan seteliti mungkin. Tujuannya apa?, kalau anda down, jatuh, mereka –yang belum berhijrah- akan menertawakan anda. 

“Mana yang katanya nggak mau lagi pacaran?.” 

“Mana katanya yang udah tobat?.”

“Mana katanya yang udah berhijab syar’i, kok kelakuan kurang lebih sama kami yang belum hijrah, masih aja tu gandengan sama cowok?.”

***

Lalu bagaimana cara menguji kekuatan niat?.

Lihatlah pada output dari diri anda, sederhananya status anda di media sosial. Status religi yang sering dimbumbui dengan perasaan mendalam tentang ingin jodoh dan nikah adalah salah satu indikasinya, bahwa ada niatan hijrah yang mengarah pada materi (lawan jenis).

Karena begini, masalahnya adalah: hampir kebanyakan motivasi orang berhijrah adalah jodoh. Mereka menjadikan jodoh sebagai tujuan, sebagaimana yang ada dalam Al-Quran surah Nur ayat 26, lelaki baik untuk wanita yang baik, begitu juga sebaliknya. Padahal jodoh adalah akibat dari hijrah, ia adalah hadiah, akibat dari hijrah. Kalau jodoh menjadi tujuan hijrah, maka dia akan kena pasal hadis Bukhari nomor satu, manusia yang hijrah karena ingin dapat manusia, yang ia dapat hanya manusia itu saja. 

Oleh karena itu, hijrahlah karena Allah!. Masalah jodoh dan nikah juga serahkan padaNya. Tak perlu baperan dalam berstatus. Apalagi bercampur antara baperan dan ayat suci Al-Quran. 

Perbaiki niat, kalau sudah tau niatnya, maka status “religius” baper pra nikah pun akan hilang dengan sendirinya, karena anda akan sibuk mengejar Allah bukan mengejar nikah.

Share:

1 komentar: