sumber gambar: merdeka.com |
Masih
hangat dalam ingatan saya, saat saya berada di bangku Sekolah Dasar dulu, Bibi
saya yang berada di Pontianak membelikan saya sebuah buku komik yang kontennya
berupa materi pelajaran Sekolah Dasar. Selain ada gambarnya, kayak komik gitu,
pembahasannya juga memuat materi pelajaran, seperti materi IPA dan IPS. Jadi kalau
belajar saya nggak pakai buku paket, tapi pakai buku komik itu, nangkap
materinya lebih mudah. Buku itu berulang-ulang kali saya baca di rumah dan di
sekolah sampai sampul depannya sobek.
Selain
pengalaman itu, saya juga punya pengalaman lain terkait minat baca, tepatnya
saat saya masih berada di TK (taman kanak-kanak) 0 kecil. Waktu TK saya sudah
bisa membaca tanpa mengeja, sementara teman-teman saya belum ada yang bisa
membaca, jangankan membaca, mengenal huruf aja banyak yang belom bisa. Karena sudah
bisa membaca itulah, pada suatu hari Ibu Guru di TK saya meminta saya untuk
membaca di depan kelas.
“Yazid...,”
rayu Bu guru. Maklumlah, guru waktu TK kan emang suaranya agak mendayu-dayu
gitu, supaya muridnya nggak nangis dan ngompol di celana.
“Ya
Bu Guru..” jawab saya dengan suara mendayu-dayu juga, saking mendayunya sampai teman-teman
TK saya yang berada di belakang ada yang main seruling dan main gendang, jadi
konser dangdut.
“Ayo
maju ke depan, bawa bukunya dan bacakan ke teman-temannya!,” pinta Bu Guru.
Jadi Ibu Guru udah tau kalau saya bisa baca, dan hari itu ia minta saya bawa
buku untuk membaca di depan teman-teman. Tentu saja waktu itu saya bawa buku
dongeng, bukan bawa buku Das Kapitalnya Karl Marx.
Saya
pun maju dan membaca. Guru terpana, karena emang jarang ada anak TK yang udah
bisa membaca tanpa mengeja, sementara anak-anak TK lainnya pipis di celana,
saking... nggak taulah saking apanya.
Sejak
peristiwa itu, teman-teman TK saya jadi semangat untuk belajar membaca, karena
mereka sadar, hampir di setiap benda yang mereka lihat selalu saja ada
tulisannya. Di buku ada tulisan, di buku gambar ada tulisan, di tas yang mereka
bawa ada tulisan, di kotak makanan mereka ada tulisan, di pensil dan crayon
yang digunakan untuk menulis pun ada tulisan, jadi mereka penasaran, ni tulisan
bacaannya apa?.
Karena
teman-teman TK saya tau saya bisa baca, jadi mereka sering nanya ke saya
terkait tulisan-tulisan itu.
“Zid,
ni apa bacaannya?,” tanya Teja sambil nunjuk botol minumannya.
“Rabbit,”
jawab saya dengan ucapan khas Indonesia, karena saya belum tahu bahasa Inggris
waktu itu. Tapi tulisannya benar Rabbit, ada gambar kelinci di botol
minumannya.
Ada
lagi, “Zid ni apa bacaannya?,” tanya Zubaidah sambil nunjuk tulisan yang ada di
dinding TK.
“Bodoh,”
jawab saya agak keras.
Zubaidah
langsung kaget, nangis dan ngadu kepada Bu Guru. Dia kira saya bilang dia
bodoh, padahal tulisannya emang BODOH. Sebenarnya tulisan itu adalah: “Jika
tidak belajar maka kalian akan bodoh”. Cuma tulisan “Jika kalian tidak belajar
maka kalian akan” nya itu udah pudar, nggak jelas. Jadi saya baca aja tulisan yang
jelas, yaitu bodohnya, dan Zubaidah juga nunjuk pada kata Bodohnya, bukan pada
bagian kalimat yang pudarnya. Zubaidah,
Zubaidah,,,udah gedekah kamu sekarang?.
Semenjak
atraksi membaca dongeng di depan kelas itulah minat baca teman-teman TK saya
jadi meningkat, mereka udah peduli dengan huruf, dengan kata, dengan kalimat.
Karena tadi?, hampir semua yang mereka lihat ada tulisannya. Rasa ingin tahu
mereka tentang “apa” di balik tulisan itulah yang membuat mereka semangat
belajar membaca, ya paling tidak untuk mengenal huruf.
Selain
itu, terkait minat baca juga, waktu kecil itu ada snack yang hadiahnya buku mini lipat, konten di dalam bukunya
berupa cerita bergambar. Disebut buku mini lipat karena dia semacam kertas
panjang kemudian dilipat-lipat. Jadi sebelum dibaca, buku itu dibentangkan dulu
sepanjang tangan, setelah itu barulah dibaca. Dan hal ini diingatkan oleh teman
saya, dia bilang masa kecilnya dulu suka baca buku mini lipat ini. Akhirnya
saya teringat juga, ternyata emang pernah ada buku mini lipat ini dalam daftar
bacaan masa kecil saya. Dan buku mini lipat ini sempat viral waktu saya kecil dulu,
juga disukai sama anak-anak.
Tidak
jauh dari buku mini lipat hadiah snack.
Saya juga pernah ketagihan beli susu bubuk yang ada hadiah buku dongengnya. Harga
susunya satu kotak kalau tidak salah saya sekitar 20.000 rupiah. Karena suka
baca buku dongengnya, saya jadi cepat ngabisin susu bubuknya. Prinsipnya, semakin
cepat susu bubuknya habis, semakin cepat pula saya bisa beli sekotak susu bubuk
yang baru, semakin cepat saya beli sekotak susu bubuk yang baru, semakin cepat
pula saya bisa baca buku dongeng yang baru.
Dari
pengalaman diatas, entah nyambung atau enggak, saya berkesimpulan bahwa setiap
anak kecil itu punya minat baca yang tinggi. Saya pernah lihat komunitas
membaca Pontianak upload foto di
media sosial terkait kegiatan mereka mengampar buku di beberapa desa, dan di
setiap foto itu pasti anak-anak kecil yang mengerubungi lapak buku mereka,
bukan orang dewasa.
Dari
situ saya berpikir bahwa aslinya minat baca anak-anak itu tinggi.
Mengapa?.
Karena
anak-anak itu punya rasa ingin tahu yang besar. Dan sumber pengetahuan yang
paling bagus dan tepat adalah buku. Kata teman saya, Buku adalah jendela dunia,
media sosial adalah jendela munculnya fitnah. Emang agak keras, maklum, teman saya
itu memang menganut paham ekstrimisme kiri-kanan.
Hanya
saja, ini masalah kita semua, minat baca yang tinggi pada anak-anak itu mati
dengan seiring bertambahnya usia mereka.
Mengapa mati?.
Karena
kurangnya fasilitas bacaan yang dekat dan bersahabat dengan anak. Sehingga
potensi besar itu -minat baca yang tinggi pada anak-anak-, tidak bisa
dioptimalkan. Mereka punya minat baca yang tinggi, tapi mereka tidak punya
bacaannya, nggak tau dimana bisa mendapat buku. Dan tidak ada yang mendekatkan
buku kepada mereka.
Lah, kan di kota, di sekolah itu sudah
ada perpustakaan, tapi tetap aja anak-anak tidak suka mengunjungi
perpustakaan?.
Ya,
benar sekali, perpustakan sudah ada di perkotaan, bagaimana dengan desa dan
kecamatan?. Kalaupun ada, dekatkah perpustakaan itu dengan anak-anak.
Sekarang
begini, kita harus sadar bahwa anak-anak itu tidak bergerak secara aktif,
sederhananya: mereka itu harus disuap dulu baru makan. Dan perpustakaan tidak
menyuap anak-anak untuk mau membaca. Mereka tidak mendekatkan anak dengan buku.
Tapi anak yang harus pergi mendatangi perpustakaan, bukan begitu?. Itulah
masalahnya. Perpustakaan itu gedung, masuk harus isi absen, di dalam harus
diam, nggak boleh ribut, nggak boleh makan dan minum, ketika pergi ke
perpustakaan harus berpakaian rapi dan sopan, kalau pinjam harus lapor, ada
batas waktu pinjam, kalau mau perpanjang pinjaman harus lapor lagi. Semua keformalitasan
ini membuat anak-anak jadi ogah ke
perpustakaan. Ribet. Kesimpulannya,
kita tidak bisa berharap banyak pada perpustakaan untuk menjaga kestabilan
minat baca anak yang tinggi.
Maka
dari itu saya mengapresiasi usaha komunitas membaca daripada perpustakaan dalam
menjaga kestabilan minat baca anak yang tinggi. Komunitas membaca bergerak menulusuri
ruang-ruang yang disukai anak. Mereka bawa banyak buku, pergi ke taman dan
tempat bermain anak, kemudian menggelar karpet di tempat tersebut dengan
bermacam buku di atasnya. Anak-anak kemudian mendekat dan membaca.
Sementara
lebih luar biasanya lagi, komunitas membaca ini pergi ke desa-desa sambil bawa
buku dan menggelar lapak buku di sana. Anak-anak pasti mendekat dan membaca.
Mereka –komunitas membaca- ini punya peluang yang besar untuk menarik anak di
desa daripada anak-anak di kota, karena anak-anak di desa belum diperkosa oleh
berbagai macam hiburan dan gadget seperti
anak-anak di kota kebanyakan.
Give applause for
komunitas membaca di manapun mereka berada!.
Oke,
cukup tepuk tangannya!.
Sekarang ada pertanyaan lagi, bagaimana
saya -selaku mahasiwa/i- yang tidak bergabung dengan komunitas membaca bisa
turut berpartisipasi menjaga kestabilan minat baca anak yang tinggi?.
Belilah
banyak buku selama anda kuliah di kota. Saran ini memang tidak untuk mahasiswa/i
yang kurang mampu, tapi khusus untuk mereka yang mampu. Tapi jangan juga
mengaku mahasiswa/i kurang mampu jika beli pakaian modis dan kuota internet
mampu. Sekarang kita klasifikasikan dulu mana mahasiswa yang mampu dan tidak
mampu untuk membeli buku. Sambil cerita
aja ya.
Waktu
kuliah saya pernah nemu list
pengeluaran bulanan teman saya. Cewek kebetulan. Dia mencatat list itu di sebuah buku agenda.
Kebetulan waktu itu dia nitip buku itu ke saya, karena kepo saya buka buku tersebut. Dan di halaman kesekian saya
menemukan list pengeluaran bulanan
yang akan datang. Di situ tertulis:
Pakaian
: 300.000
Kosmetik
: 100.000
Kuota
internet : 200.000
Liburan
: 200.000
Nongkrong
sama teman : 200.000
Mantap
kan?. Tampaknya list pokok seperti
uang bensin dan makan tidak ditulis, karena udah hafal dan ya... biasa aja.
Tapi list pakaian, kuota internet,
kosmetik, liburan dan nongkrong sama teman adalah anggaran yang harus
diperhitungkan.
Ini
tipe mahasiswa/i yang mampu. Dan belum lagi kalau kita lihat anggaran
mahasiswa/i yang punya pacar. Ada uang malam mingguan, ada uang traktiran, ada
uang bensin untuk antar jemput pacar, ada uang persiapan yang digunakan kalau
pacarnya tiba-tiba sakit mendadak, wah pokoknya banyak lah. Nah, mahasiswa/i
yang begini tergolong mahasiwa/i menengah ke atas dan mampu untuk beli buku.
Sekarang
kalau anggaran buat beli kuota internet besar, anggaran untuk beli pakaian
besar, anggaran untuk malam mingguan besar, mengapa tidak ada anggaran untuk
beli buku?.
Bukankah
tugas mahasiswa/i para calon sarjana memang untuk itu, mengabdi, berguna untuk
negerinya, bukan hanya bermanfaat untuk pribadi. Mahasiswa/i dan calon sarjana
adalah pilar pendidikan, dan seharusnya turut serta dalam meningkatkan minat
baca anak-anak para generasi penerus bangsa. Asik ya orasi gue.
Seandainya
saja, satu kecamatan ada seratus mahasiswa/i yang kuliah di kota dalam rangka
untuk mendapatkan gelar sarjana, dalam sebulan seratus mahasiswa ini membeli
dua sampai tiga buku, maka selama empat tahun mereka sudah bisa membawa pulang
seratus buku. Jadi waktu pulang ke kampung halaman nggak hanya bawa koleksi
foto wisuda, tapi juga bawa buku untuk bacaan keluarga.
Tenang,
seratus buku itu tidak untuk dihibahkan kepada Pak Camat. Tapi seratus buku itu
anda simpan di rumah anda, letakkan pada tempat yang bisa dijangkau oleh
keluarga anda, dan dengan itu anda -wahai para mahasiswa/i, calon sarjana dan
sarjana- sudah berkontribusi untuk meningkatkan minat baca, minimal di keluarga
anda.
Tadi
kan ada seratus mahasiswa tuh, jadi seratus rumah sudah punya perpustakaan mini
di rumahnya masing-masing, dan ini terus berlanjut pada mahasiswa/i yang akan kuliah
berikutnya.
Siapa
tau ada adik, keponakan, sepupu yang lihat tumpukan buku kalian, karena menarik,
dia ambil satu dan baca. Tingginya minat baca anak-anak di rumah dan di
keluarga anda bisa terakomodir. Minat baca mereka yang tinggi itu bisa mereka
lampiaskan. Karena kita sudah sepakat di awal bahwa minat baca anak itu tinggi,
hanya saja fasilitasnya yang tidak ada dan tidak terjangkau oleh mereka.
Bayangkan
kalau jutaan mahasiwa/i melakukan hal tersebut, saya rasa tidak ada lagi suara
sumbang yang mengatakan minat baca orang Indonesia ini rendah, budaya literasi
kita kurang dan sebagainya. Karena jutaan mahasiswa/i, calon sarjana, dan para
sarjana sudah menyelesaikan permasalahan tersebut, yaitu tadi, dengan cara
membuka perpustakaan mini di rumah mereka masing-masing.
Makanya,
ketika saya kuliah saya usahakan satu bulan minimal beli lima buku. Saya nggak cuma
beli buku yang berkaitan dengan mata kuliah saya, tapi juga buku-buku lain yang
ringan seperti fabel, novel, dongeng, puisi, buku sejarah. Dengan harapan
ketika buku ini saya bawa pulang, saya bisa meningkatkan minat baca keluarga
saya dan terutama memfasilitasi keluarga saya yang masih kecil-kecil agar hausnya
mereka akan ilmu pengetahuan dan tingginya minat baca mereka bisa terakomodir.
Tapi
sayangnya, sampai saat ini, kebanyakan mahasiwa/i yang kuliah hanya hobi beli
kuota, dan para sarjananya pulang ke kampung hanya membawa koleksi foto wisuda.
Ya
sudahlah.....ya.
Sekian.
“Kita
coba berpikiran terbalik untuk meningkatkan minat baca di Indonesia. Dekatkan buku
ke mereka, bukan mereka yang harus datang untuk mencari buku.”
-Eka
Kurniawan (penulis)-
“Ada gejala di Indonesia, jika orang tuanya
suka membaca, maka anaknya akan suka membaca. Maka kalau kita ingin anak-anak
kita suka membaca, maka diri kita harus suka membaca dulu”
-Andrea
Hirata (penulis)-
Analisis yg cerdas bg Yazid. Siapa saja adalah Duta. Karna setiap kita dituntut tuhan agar bisa jadi suri tauladan yg baik bagi orang2 disekitar kita.
BalasHapusTermasuk jadi suri tauladan membaca. Kebiasaan emas.
Tak perlu menunggu jadi pustakawan, duta baca, anggota komunitas membaca, dll.
Semuanya bisa langsung dimulai. Persis seperti bg Yazid yg berusaha beli 5 buku dalam 1 bulan biar kalau pulang bisa ngomporin org2 dirumah buat kepo dgn buku2 yg abg bawa.
Bravo.
Salam Book Blogger bg. 👌
www.katamahdi.com