Sabtu, 29 April 2017

SETIAP MAHASISWA/I BISA JADI DUTA BACA

sumber gambar: merdeka.com

Masih hangat dalam ingatan saya, saat saya berada di bangku Sekolah Dasar dulu, Bibi saya yang berada di Pontianak membelikan saya sebuah buku komik yang kontennya berupa materi pelajaran Sekolah Dasar. Selain ada gambarnya, kayak komik gitu, pembahasannya juga memuat materi pelajaran, seperti materi IPA dan IPS. Jadi kalau belajar saya nggak pakai buku paket, tapi pakai buku komik itu, nangkap materinya lebih mudah. Buku itu berulang-ulang kali saya baca di rumah dan di sekolah sampai sampul depannya sobek. 

Selain pengalaman itu, saya juga punya pengalaman lain terkait minat baca, tepatnya saat saya masih berada di TK (taman kanak-kanak) 0 kecil. Waktu TK saya sudah bisa membaca tanpa mengeja, sementara teman-teman saya belum ada yang bisa membaca, jangankan membaca, mengenal huruf aja banyak yang belom bisa. Karena sudah bisa membaca itulah, pada suatu hari Ibu Guru di TK saya meminta saya untuk membaca di depan kelas. 

“Yazid...,” rayu Bu guru. Maklumlah, guru waktu TK kan emang suaranya agak mendayu-dayu gitu, supaya muridnya nggak nangis dan ngompol di celana.

“Ya Bu Guru..” jawab saya dengan suara mendayu-dayu juga, saking mendayunya sampai teman-teman TK saya yang berada di belakang ada yang main seruling dan main gendang, jadi konser dangdut. 

“Ayo maju ke depan, bawa bukunya dan bacakan ke teman-temannya!,” pinta Bu Guru. Jadi Ibu Guru udah tau kalau saya bisa baca, dan hari itu ia minta saya bawa buku untuk membaca di depan teman-teman. Tentu saja waktu itu saya bawa buku dongeng, bukan bawa buku Das Kapitalnya Karl Marx.

Saya pun maju dan membaca. Guru terpana, karena emang jarang ada anak TK yang udah bisa membaca tanpa mengeja, sementara anak-anak TK lainnya pipis di celana, saking... nggak taulah saking apanya.

Sejak peristiwa itu, teman-teman TK saya jadi semangat untuk belajar membaca, karena mereka sadar, hampir di setiap benda yang mereka lihat selalu saja ada tulisannya. Di buku ada tulisan, di buku gambar ada tulisan, di tas yang mereka bawa ada tulisan, di kotak makanan mereka ada tulisan, di pensil dan crayon yang digunakan untuk menulis pun ada tulisan, jadi mereka penasaran, ni tulisan bacaannya apa?.

Karena teman-teman TK saya tau saya bisa baca, jadi mereka sering nanya ke saya terkait tulisan-tulisan itu.

“Zid, ni apa bacaannya?,” tanya Teja sambil nunjuk botol minumannya.

“Rabbit,” jawab saya dengan ucapan khas Indonesia, karena saya belum tahu bahasa Inggris waktu itu. Tapi tulisannya benar Rabbit, ada gambar kelinci di botol minumannya.

Ada lagi, “Zid ni apa bacaannya?,” tanya Zubaidah sambil nunjuk tulisan yang ada di dinding TK. 

“Bodoh,” jawab saya agak keras.

Zubaidah langsung kaget, nangis dan ngadu kepada Bu Guru. Dia kira saya bilang dia bodoh, padahal tulisannya emang BODOH. Sebenarnya tulisan itu adalah: “Jika tidak belajar maka kalian akan bodoh”. Cuma tulisan “Jika kalian tidak belajar maka kalian akan” nya itu udah pudar, nggak jelas. Jadi saya baca aja tulisan yang jelas, yaitu bodohnya, dan Zubaidah juga nunjuk pada kata Bodohnya, bukan pada bagian kalimat yang pudarnya. Zubaidah, Zubaidah,,,udah gedekah kamu sekarang?.

Semenjak atraksi membaca dongeng di depan kelas itulah minat baca teman-teman TK saya jadi meningkat, mereka udah peduli dengan huruf, dengan kata, dengan kalimat. Karena tadi?, hampir semua yang mereka lihat ada tulisannya. Rasa ingin tahu mereka tentang “apa” di balik tulisan itulah yang membuat mereka semangat belajar membaca, ya paling tidak untuk mengenal huruf.

Selain itu, terkait minat baca juga, waktu kecil itu ada snack yang hadiahnya buku mini lipat, konten di dalam bukunya berupa cerita bergambar. Disebut buku mini lipat karena dia semacam kertas panjang kemudian dilipat-lipat. Jadi sebelum dibaca, buku itu dibentangkan dulu sepanjang tangan, setelah itu barulah dibaca. Dan hal ini diingatkan oleh teman saya, dia bilang masa kecilnya dulu suka baca buku mini lipat ini. Akhirnya saya teringat juga, ternyata emang pernah ada buku mini lipat ini dalam daftar bacaan masa kecil saya. Dan buku mini lipat ini sempat viral waktu saya kecil dulu, juga disukai sama anak-anak.

Tidak jauh dari buku mini lipat hadiah snack. Saya juga pernah ketagihan beli susu bubuk yang ada hadiah buku dongengnya. Harga susunya satu kotak kalau tidak salah saya sekitar 20.000 rupiah. Karena suka baca buku dongengnya, saya jadi cepat ngabisin susu bubuknya. Prinsipnya, semakin cepat susu bubuknya habis, semakin cepat pula saya bisa beli sekotak susu bubuk yang baru, semakin cepat saya beli sekotak susu bubuk yang baru, semakin cepat pula saya bisa baca buku dongeng yang baru. 

Dari pengalaman diatas, entah nyambung atau enggak, saya berkesimpulan bahwa setiap anak kecil itu punya minat baca yang tinggi. Saya pernah lihat komunitas membaca Pontianak upload foto di media sosial terkait kegiatan mereka mengampar buku di beberapa desa, dan di setiap foto itu pasti anak-anak kecil yang mengerubungi lapak buku mereka, bukan orang dewasa. 

Dari situ saya berpikir bahwa aslinya minat baca anak-anak itu tinggi. 

Mengapa?.

Karena anak-anak itu punya rasa ingin tahu yang besar. Dan sumber pengetahuan yang paling bagus dan tepat adalah buku. Kata teman saya, Buku adalah jendela dunia, media sosial adalah jendela munculnya fitnah. Emang agak keras, maklum, teman saya itu memang menganut paham ekstrimisme kiri-kanan.

Hanya saja, ini masalah kita semua, minat baca yang tinggi pada anak-anak itu mati dengan seiring bertambahnya usia mereka. 

Mengapa mati?. 

Karena kurangnya fasilitas bacaan yang dekat dan bersahabat dengan anak. Sehingga potensi besar itu -minat baca yang tinggi pada anak-anak-, tidak bisa dioptimalkan. Mereka punya minat baca yang tinggi, tapi mereka tidak punya bacaannya, nggak tau dimana bisa mendapat buku. Dan tidak ada yang mendekatkan buku kepada mereka.

Lah, kan di kota, di sekolah itu sudah ada perpustakaan, tapi tetap aja anak-anak tidak suka mengunjungi perpustakaan?.

Ya, benar sekali, perpustakan sudah ada di perkotaan, bagaimana dengan desa dan kecamatan?. Kalaupun ada, dekatkah perpustakaan itu dengan anak-anak. 

Sekarang begini, kita harus sadar bahwa anak-anak itu tidak bergerak secara aktif, sederhananya: mereka itu harus disuap dulu baru makan. Dan perpustakaan tidak menyuap anak-anak untuk mau membaca. Mereka tidak mendekatkan anak dengan buku. Tapi anak yang harus pergi mendatangi perpustakaan, bukan begitu?. Itulah masalahnya. Perpustakaan itu gedung, masuk harus isi absen, di dalam harus diam, nggak boleh ribut, nggak boleh makan dan minum, ketika pergi ke perpustakaan harus berpakaian rapi dan sopan, kalau pinjam harus lapor, ada batas waktu pinjam, kalau mau perpanjang pinjaman harus lapor lagi. Semua keformalitasan ini membuat anak-anak jadi ogah ke perpustakaan. Ribet. Kesimpulannya, kita tidak bisa berharap banyak pada perpustakaan untuk menjaga kestabilan minat baca anak yang tinggi.

Maka dari itu saya mengapresiasi usaha komunitas membaca daripada perpustakaan dalam menjaga kestabilan minat baca anak yang tinggi. Komunitas membaca bergerak menulusuri ruang-ruang yang disukai anak. Mereka bawa banyak buku, pergi ke taman dan tempat bermain anak, kemudian menggelar karpet di tempat tersebut dengan bermacam buku di atasnya. Anak-anak kemudian mendekat dan membaca. 

Sementara lebih luar biasanya lagi, komunitas membaca ini pergi ke desa-desa sambil bawa buku dan menggelar lapak buku di sana. Anak-anak pasti mendekat dan membaca. Mereka –komunitas membaca- ini punya peluang yang besar untuk menarik anak di desa daripada anak-anak di kota, karena anak-anak di desa belum diperkosa oleh berbagai macam hiburan dan gadget seperti anak-anak di kota kebanyakan. 

Give applause for komunitas membaca di manapun mereka berada!.

Oke, cukup tepuk tangannya!.

Sekarang ada pertanyaan lagi, bagaimana saya -selaku mahasiwa/i- yang tidak bergabung dengan komunitas membaca bisa turut berpartisipasi menjaga kestabilan minat baca anak yang tinggi?.

Belilah banyak buku selama anda kuliah di kota. Saran ini memang tidak untuk mahasiswa/i yang kurang mampu, tapi khusus untuk mereka yang mampu. Tapi jangan juga mengaku mahasiswa/i kurang mampu jika beli pakaian modis dan kuota internet mampu. Sekarang kita klasifikasikan dulu mana mahasiswa yang mampu dan tidak mampu untuk membeli buku. Sambil cerita aja ya.

Waktu kuliah saya pernah nemu list pengeluaran bulanan teman saya. Cewek kebetulan. Dia mencatat list itu di sebuah buku agenda. Kebetulan waktu itu dia nitip buku itu ke saya, karena kepo saya buka buku tersebut. Dan di halaman kesekian saya menemukan list pengeluaran bulanan yang akan datang. Di situ tertulis:

Pakaian : 300.000
Kosmetik : 100.000
Kuota internet : 200.000
Liburan : 200.000
Nongkrong sama teman : 200.000

Mantap kan?. Tampaknya list pokok seperti uang bensin dan makan tidak ditulis, karena udah hafal dan ya... biasa aja. Tapi list pakaian, kuota internet, kosmetik, liburan dan nongkrong sama teman adalah anggaran yang harus diperhitungkan.

Ini tipe mahasiswa/i yang mampu. Dan belum lagi kalau kita lihat anggaran mahasiswa/i yang punya pacar. Ada uang malam mingguan, ada uang traktiran, ada uang bensin untuk antar jemput pacar, ada uang persiapan yang digunakan kalau pacarnya tiba-tiba sakit mendadak, wah pokoknya banyak lah. Nah, mahasiswa/i yang begini tergolong mahasiwa/i menengah ke atas dan mampu untuk beli buku.

Sekarang kalau anggaran buat beli kuota internet besar, anggaran untuk beli pakaian besar, anggaran untuk malam mingguan besar, mengapa tidak ada anggaran untuk beli buku?. 

Bukankah tugas mahasiswa/i para calon sarjana memang untuk itu, mengabdi, berguna untuk negerinya, bukan hanya bermanfaat untuk pribadi. Mahasiswa/i dan calon sarjana adalah pilar pendidikan, dan seharusnya turut serta dalam meningkatkan minat baca anak-anak para generasi penerus bangsa. Asik ya orasi gue.

Seandainya saja, satu kecamatan ada seratus mahasiswa/i yang kuliah di kota dalam rangka untuk mendapatkan gelar sarjana, dalam sebulan seratus mahasiswa ini membeli dua sampai tiga buku, maka selama empat tahun mereka sudah bisa membawa pulang seratus buku. Jadi waktu pulang ke kampung halaman nggak hanya bawa koleksi foto wisuda, tapi juga bawa buku untuk bacaan keluarga.

Tenang, seratus buku itu tidak untuk dihibahkan kepada Pak Camat. Tapi seratus buku itu anda simpan di rumah anda, letakkan pada tempat yang bisa dijangkau oleh keluarga anda, dan dengan itu anda -wahai para mahasiswa/i, calon sarjana dan sarjana- sudah berkontribusi untuk meningkatkan minat baca, minimal di keluarga anda. 

Tadi kan ada seratus mahasiswa tuh, jadi seratus rumah sudah punya perpustakaan mini di rumahnya masing-masing, dan ini terus berlanjut pada mahasiswa/i yang akan kuliah berikutnya.

Siapa tau ada adik, keponakan, sepupu yang lihat tumpukan buku kalian, karena menarik, dia ambil satu dan baca. Tingginya minat baca anak-anak di rumah dan di keluarga anda bisa terakomodir. Minat baca mereka yang tinggi itu bisa mereka lampiaskan. Karena kita sudah sepakat di awal bahwa minat baca anak itu tinggi, hanya saja fasilitasnya yang tidak ada dan tidak terjangkau oleh mereka. 

Bayangkan kalau jutaan mahasiwa/i melakukan hal tersebut, saya rasa tidak ada lagi suara sumbang yang mengatakan minat baca orang Indonesia ini rendah, budaya literasi kita kurang dan sebagainya. Karena jutaan mahasiswa/i, calon sarjana, dan para sarjana sudah menyelesaikan permasalahan tersebut, yaitu tadi, dengan cara membuka perpustakaan mini di rumah mereka masing-masing.

Makanya, ketika saya kuliah saya usahakan satu bulan minimal beli lima buku. Saya nggak cuma beli buku yang berkaitan dengan mata kuliah saya, tapi juga buku-buku lain yang ringan seperti fabel, novel, dongeng, puisi, buku sejarah. Dengan harapan ketika buku ini saya bawa pulang, saya bisa meningkatkan minat baca keluarga saya dan terutama memfasilitasi keluarga saya yang masih kecil-kecil agar hausnya mereka akan ilmu pengetahuan dan tingginya minat baca mereka bisa terakomodir.

Tapi sayangnya, sampai saat ini, kebanyakan mahasiwa/i yang kuliah hanya hobi beli kuota, dan para sarjananya pulang ke kampung hanya membawa koleksi foto wisuda. 

Ya sudahlah.....ya.

Sekian.

“Kita coba berpikiran terbalik untuk meningkatkan minat baca di Indonesia. Dekatkan buku ke mereka, bukan mereka yang harus datang untuk mencari buku.”
-Eka Kurniawan (penulis)-

 “Ada gejala di Indonesia, jika orang tuanya suka membaca, maka anaknya akan suka membaca. Maka kalau kita ingin anak-anak kita suka membaca, maka diri kita harus suka membaca dulu”
-Andrea Hirata (penulis)-

Share:

1 komentar:

  1. Analisis yg cerdas bg Yazid. Siapa saja adalah Duta. Karna setiap kita dituntut tuhan agar bisa jadi suri tauladan yg baik bagi orang2 disekitar kita.

    Termasuk jadi suri tauladan membaca. Kebiasaan emas.

    Tak perlu menunggu jadi pustakawan, duta baca, anggota komunitas membaca, dll.

    Semuanya bisa langsung dimulai. Persis seperti bg Yazid yg berusaha beli 5 buku dalam 1 bulan biar kalau pulang bisa ngomporin org2 dirumah buat kepo dgn buku2 yg abg bawa.

    Bravo.

    Salam Book Blogger bg. 👌
    www.katamahdi.com

    BalasHapus