Senin, 11 April 2016

MANTAN YANG MASKULIN (CERPEN MANTAN #3)

Untuk proyek tulis cerpen mantan #3, gue masukin Lin sebagai target cerita selanjutnya. Lin mantan gue setelah gue putus dari Dini dan sebelum gue jadian sama Ovi. Lin cukup terkenal di sekolah dengan kemaskulinannya. Dia sering mewakili sekolah untuk berbagai perlombaan, seperti olahraga volly, lari, badminton, tenis meja, silat dan lainnya. Karena saking maskulin, gak ada cowok yang berani nembak Lin. Lin sebenarnya cakep, hanya saja gayanya yang udah kayak cowok membuat cantiknya hilang dan berganti ganteng,,maka banyak cewek asrama yang naksir Lin dibanding gue, Uda, dan Oga.

Gue dan Lin mulai sekelas pada saat kami milih jurusan yang sama di kelas XI, yaitu jurusan IPA. Sebenarnya gue paham, Lin gak cerdas-cerdas amat untuk bisa masuk IPA. Tapi karena desakan kawan-kawannya, akhirnya dia lebih milih jurusan IPA dibanding IPS.
Awalnya gue dan Lin biasa aja, gak ada hubungan apa-apa dan hanya sebatas teman biasa. Kedekatan gue dengan Lin bermula ketika ada pertandingan sepak bola tingkat kota, yang pada saat itu gue di posisi kiper. Sejak itulah gue mulai sering sms Lin minta dukungan, sekaligus minta ajarin nendang bola sama dia. Sebelum pertandingan, gue minta Lin nonton gue di lapangan sambil bawa para suporter lainnya untuk jadi penyemangat.

”Lin, besok nonton ya!”, sms gue.

“Gampang Mad” jawab Lin.

Mad adalah panggilan Lin ke gue, padahal kawan-kawan gue sering manggil gue Zid. Bahkan ada juga yang manggil gue Riel, Ariel.....ngayal.

-------------***-----------

Keesokan harinya, pertandingan bola dimulai. Gue masih ingat, waktu itu hari Jum’at, hari libur mingguan di sekolah gue. Karena libur, anak-anak asrama rame yang nonton, termasuk Lin. Gak nanggung-nanggung, official tim kami bawain drum band beserta pemainnya untuk meramaikan dukungan buat tim sekolah gue. Pas gue liat dari tribun, gue liat Lin yang paling heboh di tribun. Lin mengayunkan bendera yang melambay liar di terpa angin.
Pada saat pertandingan dimulai, pemain drum band pun mulai menabuh bas, snare, kuarto tom-tom, symbal, bahkan stick mayoret dipukul-pukul ke suporter lawan saking riuhnya. Bola mengelinding kesana-kemari di lapangan, seolah tak pernah lelah. Para pemain saling berebut bola, berlari tanpa henti, bahkan mengece’ dengan sangat lincah.

Pemain dengan costum biru hitam bermain kompak, passingnya pas, mulai dari posisi kiper sampai penyerang. Para pemain bermain santai seperti tidak ada beban. Bola selalu mengelinding ke arah tim yang bercostum merah hitam. Tim dengan costum  merah hitam, terlampau sering diserang, sehingga permainan kocar-kacir. Dari mulai kiper sampai penyerang udah gak tau dengan posisinya masing-masing. Karena baru pernah main di lapangan besar, salah satu pemain dengan costum merah hitam sampai keluar lapangan muntah-muntah. Ngomong-ngomong costum biru hitam adalah tim lawan, dan merah hitam adalah tim kami. Jadi harap dimaklumi.

Dengan permainan yang gak seimbang ditambah pelatih yang mangkir dari lapangan, membuat tim kami kalah telak 0-5. Sebenarnya kami terlalu kecape’an karena banyak jam terbang, jam terbang ngayal sebelum tanding. Gara-gara papan skor sudah terpampang 0-5, membuat suara drum band semakin meredup, kecuali yang terdengar hanya suara pianika dengan melodi duka karena memainkan lagu mengheningkan cipta. Namun Lin tetap semangat dan gak pernah redup supportnya buat tim. Lin tetap mengibarkan bendera drum band yang sesekali menghantam rekan yang sedang nonton di sampingnya. Saat itulah gue kagum dengan Lin.

Akhirnya para suporter pulang dengan kecewa. Gue tau yang lebih kecewa adalah pemain drum band, karena berat bawa peralatan keliling stadium. Walau kalah, Lin tetap support gue dan nyamperin gue yang sedang duduk istirahat nunggu mobil jemputan untuk menjemput tim.

“Keren Mad”, kata Lin sambil mengacungkan jempolnya.

“Keren?, Kalah kok keren?”, kesal gue.

“Kalah menang soal biasa Mad, yang penting kita udah ngelakuin dengan total”, nasehat Lin sambil duduk di samping gue.

Gue paham, Lin tau banget masalah motivasi kayak beginian, karena dia udah sering ikut perlombaan olahraga. Dia tau banget gimana caranya ngangkat mental para pemain semacam gue yang sedang down karena kalah.

“Thanks Lin”, kata gue sambil senyum karena udah merasa di semangatin lagi.

“Sama-sama Mad. O ya kapan kalian tanding lagi?”, tanya Lin.

“Mungkin 3 hari lagi”, jawab gue.

“Aku bakal support kalian lagi”, kata Lin sambil meninggalkan gue karena mobil jemputan untuk anak asrama udah datang.

“Duluan Mad”, teriak Lin sambil berlari mengejar mobil yang berputar-putar meliuk di depan stadium udah kayak mau test drive.

“Ok Lin”, jawab gue sambil mengangkat tangan, simbol terima kasih.

Sikap Lin waktu itu buat gue jadi melayang-layang kayak layangan yang gak seimbang waktu diterbangkan. Pandangan gue ke Lin yang sebelumnya takut sama dia karena tomboy banget jadi berubah.  Sekarang gue merasa nyaman dengan Lin.

------------***------------

Gara-gara kekalahan sebelumnya, membuat tim kami menjadi lebih sering berlatih. Setiap sore kami latihan, ada yang latihan passing, ada yang latihan free kick, ada yang latihan sprint, sementara gue latihan nendang bola. Gue adalah satu-satunya kiper yang gak bisa nendang bola jauh. Tendagan gue selalu berjarak dekat dengan gawang. Gara-gara itulah lawan gak pernah nunggu jauh kalau pas gue nendang, tapi nunggu dekat gawang, dan akhirnya sering kebobolan.

Selain latihan, tim gue juga medapatkan do’a dari pimpinan pondok pesantren. Tidak nanggung-nanggung, tim gue dikasi minum air zam-zam dan dikasih do’a khusus sebelum tanding, luar biasa kan?. Selain do’a yang syariah, tim kami juga dapat bomo (pawang) dari salah satu rekan tim. Kami dikasi air tawar (air jimat) buat pelindung gawang agar gak jebol.

“Zid, nanti air tawar ni kau curahkan di gawangmu!”, perintah Edo.

“Oke Do”, jawab gue mantap sambil merampas sebotol air dari tangannya.

Edo menatap gue tajam, sambil komat-kamit.

“Ngapa Do, kau liat gue kayak gitu?”, tanya gue penasaran.

“Gue nyuruh jin Qorin masuk ke tubuh kau Zid”, jawab Edo.

“Haaaaa?”, gue langsung nelen ludah, karena heran betapa sudah gak warasnya tim ini.

------------------***------------------

Hari yang ditunggu-tunggu pun datang. Pertandingan kali ini adalah pertandingan penentuan agar bisa masuk semi final. Jika kami menang, maka kami punya harapan untuk melaju ke babak selanjutnya. Tapi jika kami kalah, maka gak bakal ada harapan lagi untuk melaju ke babak selanjutnya, walau kami masih punya satu pertandingan lagi setelah ini.

Sebelum berlaga, para pemain melakukan pemanasan di lapangan. Ada yang meluruskan kaki, ada yang lari di tempat, ada yang push up, sementara gue lari-lari kecil udah kayak jama’ah haji yang sedang sa’i. Saat pemanasan, terdengar suara riuh penonton di tribun memekikkan telinga. Ada yang manggil-manggil dan nyebutin nama pemain sambil siulan seperti burung Murai. Dari sekian banyak nama yang dielu-elu, nama gue yang gak terdengar, nasib anak malang. Pas gue berharap kayak gitu, tiba-tiba gue dengar nama gue yang paling nyaring dipanggil, gue penasaran dan cari-cari di tribun. Gue berharap yang manggil adalah Lin. Semakin dicari semakin suaranya nyaring.

“Zid, pelatih manggil kau tu”, kata Arul sang kapten.

“Kampret, gue kira cewek di tribun Rul”, gerutu gue sambil berlari ke arah pelatih.

“Zid, nanti kalau nendang tu kayak gini”, kata pelatih sambil memperagakannya dengan benar-benar menendang bola tinggi banget sampai keluar stadium.

“Ok pak”, gertak gue siap dengan arahan pelatih.

“Udah pemanasan lagi sana!, sambil ambil bola yang bapak tendang tadi!”. Perintah pelatih.

“Ok pak”, jawab gue kesal karena disuruh ngambil bola yang ditendang sangat jauh sampe keluar stadium.

-----------------***----------------

Pertandingan pun hampir dimulai. Para pemain keluar dari ruang ganti dan berbaris berjalan menuju ke arah lapangan. Ketika para pemain berjalan memasuki lapangan, suara riuh penonton semakin bersorak ramai. Gue segera mengambil posisi kiper di dekat mistar gawang sambil membawa air tawar. Pas nyampe di gawang, gue langsung numpahin air tawar mulai dari tiang kanan ke tiang kiri, seperti yang telah diwasiatkan Edo. Peluit panjang ditiup tanda pertandingan dimulai. Kali ini suporter dari pesantren gak lagi bawa drum band karena kecewa dengan performa sebelumnya. Selain itu, suporter dari pesantren gak banyak yang nonton. Walaupun dukungan sudah mulai berkurang, kami tetap berusaha dengan sebaik mungkin. Permainan hari itu agak seimbang, karena lawan kami memang gak sekuat dari lawan sebelumnya. Peluit panjang bertiup lagi tanda babak pertama usai. Di babak pertama kami memimpin dengan skor 2-1.

Saat berjalan untuk rehat, gue nyempetin liat area tribun, memastikan ada gak Lin di bangku tribun?. Sejauh pandangan gue, gue masih tetap tidak mendapatkan Lin. Gue agak kecewa, tapi tetap harus fokus pada pertandingan.

“Gimana Zid, manjur kan air tawar gue?”, tanya Edo sambil membujurkan kakinya.

“Manjur Do, biasanya banyak bola yang masuk ke gawang, tapi hari ini hanya satu, gue perhatiin setiap ada bola yang mendekat ke gawang, pasti berhenti seperti ada yang memberhentikan”, jelas gue panjang.

“Ya iyalah, itu kan kau yang nangkap Zid”, tegas Edo.

“Hehehe”, nyinyir gue.

Peluit ditiup pendek menandakan pertandingan akan segera dimulai. Kami mengambil posisi masing-masing. Gue masih gak nemuin Lin berada di tribun yang mana. Setelah semua siap, peluit panjang ditiup dan pertandingan babak ke dua dimulai. Gue males mau ceritain pertandingan secara detailnya seperti apa?. Kesimpulannya, tim kami kalah dengan skor 2-3. Para penonton telihat kecewa dengan kekalahan kami yang kedua kalinya. Pelatih kecewa, rekan se tim tertunduk malu, penonton dari pesantren yang dukung kami juga pulang sambil merunduk ke bawah siapa tau ada uang yang kececeran. Bahkan gue liat beberapa orang tua dengan setelan preman juga kecewa dan menunduk kesal ketika beranjak dari tempat duduk, mungkin karena mereka kalah taruhan. Dan gue juga kecewa, kecewa karena gak liat Lin dari awal pertandingan.

Gue duduk di tempat biasa, tempat ketika Lin support gue sebelumnya. Gue berharap Lin nyamperin gue lagi kayak waktu itu. Tapi sampai tribun sepi, dan hari mulai malam, gue gak liat Lin. Gue baru sadar, kalau gue juga ketinggalan mobil dan akhirnya pulang jalan kaki, kamprettttt.....

-------------***--------------

Malamnya ketika udah di asrama gue sms Lin, menanyakan ketidakhadirannya di pertandingan sore tadi.

“Lin”, sms gue singkat.

Sampe jam 10 malam gue nungguin Lin balas sms. Bahkan sampe ketiduran dan HP ikut terbaring di perut gue yang udah keroncongan kemasukan angin malam. Untungnya Ustadz gak ada razia waktu itu. Kalau ada razia, HP gue yang terdampar di perut pasti lenyap disita dan bakal gak balik-balik lagi.

---------***----------

Keesokan harinya pada saat sekolah, gue gak liat Lin masuk kelas. Sampe bel masuk juga Lin tetap gak hadir. Karena penasaran, gue tanya ke teman cewek yang satu asrama dengan Lin.

“Eh Lin mana?”, tanya gue ke Cinta.

Ya....... namanya Cinta, tapi tingkahnya gak menunjukkan keindahan Cinta sama sekali. Cinta sering merayap-rayap di dinding kelas kayak cicak kelaparan. Suka buang ingus sembarangan, bahkan gak malu-malu kentut saat berlangsungya jam pelajaran.

“Lin sakit Zid”, jawab Cinta sambil ngorek upil depan gue.

“Sakit apa?”, tanya gue.

“Demam”, jawab Cinta yang udah gak ngorek upil lagi, tapi berganti dengan membulatkan upilnya di ujung jari telunjuk dan jari jempol.

“Titip salam ya Cin”.

“Oke Zid” jawab cinta yang nyentillin upilnya ke muka gue, kamprettt...

----------------***----------------

Kekecewaan gue kepada Lin berubah jadi kekasihanan, karena gue salah sangka sama dia. Gue kira dia emang malas nonton pertandingan gue waktu itu, seperti beberapa suporter lainya. Ternyata penyebab dia gak nonton karena sakit, “semoga cepat sembuh Lin” do’a gue dalam hati. Pas gue mau tidur HP gue yang gue selipin di balik bantal bergetar. Ternyata Lin sms gue.

“Sori ya Mad, gak nonton pertandingan kalian kemarin” sms Lin.

“Gak apa-apa Lin. Udah sembuh demamnya?”, tanya gue.

“Udah mendingan Mad”.

“Syukurlah Lin. Bagus Lin istirahat lagi deh!, supaya cepat sembuh”.

“Oke Mad”.

Akhirnya percakapan gue dengan Lin di sms berakhir dan gue bisa tidur dengan tenang di pembaringan, udah kayak cerita mau mati aja.

--------------***-------------

Tim kami menang di pertandingan akhir dengan skor 3-2. Walaupun menang, kami tetap gak masuk semi final waktu itu, karena kalah poin. Di pertandingan akhir, gue gak dimainkan karena digadang-gadang sebagai pembawa sial. Dan kayaknya emang benar. Pas pertadingan akhir, tim malah menang. Di pertandingan akhir, gue liat Lin ikut jadi suporter, walau gak teriak-teriak kayak dulu, karena baru sembuh dari demamnya. Lin bilang permainan gue bagus hari itu, padahal gue kan gak main, aneh......

Semenjak pertandingan itulah gue jadi sering smsan sama Lin. Lama kelamaan gue dan Lin jadian. Gue males mau cerita gimana jadiannya karena udah capek nulis dua cerita sebelumnya. Saat jadian dengan Lin, gue sering dibully kawan.

“Zid kau udah jadi homo ya?”, ledek Uni, kawan gue yang lumayan nakal.

“Hehehe”, gue hanya balas ketawa dengan sangat terpaksa.

“Bukan Homo Ni, tapi Lesbi”, sambung Eri, kawan akrab Uni.

Bahkan salah satu Ustadz gue juga tau, kalau gue jadian sama Lin. Dia sering bully gue dan bilang kalau gue pacaran ama laki. Padahal gue liat Lin sama aja kayak perempuan lain. walau dia dari segi gaya dan pakaian serta tingkah laku lebih maskulin, tapi ketika sms dan ngobrol di kelas, Lin lebih nampak feminim nya. Gue lebih melihat banyak sisi feminim daripada maskulin dari dirinya.

Semakin hari semakin banyak kawan yang ngebully gue dan menghina tingkah gue yang udah dekat sama Lin. Awalnya gue hanya cuek, dan selalu mengingat sebuah kalimat yang tenar sebagai penguat, kata-katanya seperti ini, “Anjing menggonggong kafilah tetap tidak berlalu karena kecape’an hijrah melulu”, hehehe. Namun lama-kelamaan, gue gak tahan juga dibilang gak waras, dan akhirnya gue dan Lin END. Sebenarnya alasan gue dan Lin end bukan karena gue gak tahan dengan hinaan kawan-kawan, tapi karena sesuatu yang gak bisa gue ceritain disini, tapi disana nanti (sambil nunjuk cerpen selanjutnya).

---------------------***---------------------




Setiap ending cerita, gue selalu bawa kalian ke masa gue yang sekarang, di masa gue sedang berada di bangku kuliah. Gue giring ke sini  supaya pembaca tau apa relevansi kisah masa lalu gue untuk masa sekarang.

Baru-baru ini gue bahas masalah feminisme untuk satu mata kuliah terakhir. Feminisme adalah suatu gerakan kesetaraan wanita. Untuk menambah wawasan mengenai feminisme, gue beli beberapa buku yang terkait dan paham tersebut. Salah satu buku yang ngulas secara luas dan menyeluruh adalah bukunya Rosemarie Putnam Tong, salah satu Dosen di mana ya?, gue lupa, soriiii. Dalam bukunya dijelaskan beberapa aliran feminisme. Di buku itu gue baru tau permasalahan gender, feminim dan maskulin.

Bagi gue, Lin secara luar emang sering menampilkan sosok maskulin. Gayanya kayak laki, tigkahnya kayak laki, Lin lebih jago nendang bola kaki daripada gue. Tapi secara intern, wess bahas ilmiah, tepat gak istilahnya diletakkan disini ni?. Pokoknya, kalau diliat dari dalam atau liat perasaan dan hatinya, gue malah liat Lin adalah sosok yang feminim, sama dengan cewek lain. Lin juga perasa, minta diperhatiin, minta dimanjain, halus, lembut dan punya sifat-sfat feminim lainnya. Sayangnya, gak banyak kawan gue yang tau akan hal ini.

Bagi gue, bullyan dari kawan-kawan terhadap Lin lah yang bisa merusak perempuan seperti Lin. Ketika kawan-kawan sepergaulannya udah gak menghargai sifat maskulin yang ada pada cewek dan gak pernah melihat secara lebih dalam lagi kalau ternyata si cewek yang maskulin itu juga tetap punya sifat feminim, maka terkadang jadinya bisa membuat perempuan tersebut frustasi. Bayangkan, kalau misalkan Lin sampe sekarang dicap laki oleh kawan-kawanya, akhirnya gak bakal ada cowok yang mau sama Lin, maka bisa-bisa terjadilah Lesbian. Jauh benar ya obrolan gue bisa sampai sini,,,hehehe.

Kekhawatiran gue sampai saat ini masih sama. Gue sering liat fotonya Lin di medsos udah laki banget. Rambutnya pendek, lebih pendek dari rambut gue. Dan sering foto bareng cewek, dimana Lin terlihat sebagai cowok, sementara ceweknya meluk dan megangin tangan Lin, udah kayak pacaran tau gak?....

Tapi, ya sudahlah. Di sesi ini, ceritanya memang agak sedih sedikit, karena Lin memang mantan gue yang paling beda dari mantan lainnya. Gue belajar dari Lin tentang sosok wanita yang bagaimanapun maskulinnya, tetap,.....mereka perlu sosok laki-laki yang bisa ngasi perhatian dengannya. Gue belajar dari Lin tentang semangat dan pantang menyerah, walau di saat down sekalipun. Gue belajar dari Lin tentang empati dan rasa peduli. Gue belajar dari Lin tentang ketulusan, ketulusan untuk mendukung sesama. Dan masih banyak lagi.

Di akhir cerita ini, gue pengen say Thanks to you Lin.......terima kasih telah menjadi bagian dari pengalaman hidup gue......

Sekian.........ada tisu gak?
Share:

2 komentar:

  1. bagus banget artikelnya
    Sukese selalu yah..
    di tunggu postingan selanjutnya...

    izin share yah gan
    Kunjungi website situs agen poker terpercaya
    http://www.aladincash7.com

    BalasHapus
  2. Ingin mencari situs poker online terpercaya dengan winrate yang tinggi dan melakukan WithDraw setiap harinya? JPSPOKER pilihan kita!!

    JPSPOKER menyediakan Bonus Berupa sebagai berikut:
    - Bonus New Member 20%
    - Minimal Deposit / Withdraw Rp. 15,000.-
    - Bonus Refferal 10%
    - Bonus Next Deposit 5%
    - Bonus Rollingan Mingguan 0.3% - 0,5%
    - Proses Deposit / Withdraw Cepat
    - Bonus TurnOver Bulanan

    Mensupport 4 Bank terbesar di indonesia yaitu:
    ✅BCA
    ✅MANDIRI
    ✅BNI
    ✅BRI

    Menerima Deposit Via Pulsa TELKOMSEL,XL Dan via Uang Elektronik lainnya berupa:
    👍OVO
    👍DANA
    👍GOPAY

    Jika anda perlu bantuin bisa hubungi kami di:
    📲 LiveChat: www. jpspoker8 ,com
    📲 LINE : jpspoker
    📲 Whatsapp : +6282370836863
    📲 YM : JPSPOKER

    PANDUAN BERMAIN JUDI ONLINE
    POKER ONLINE
    IDN Poker
    Agen Poker
    Poker Terbaik

    BalasHapus