Untuk
proyek tulis cerpen mantan #3, gue masukin Lin sebagai target cerita
selanjutnya. Lin mantan gue setelah gue putus dari Dini dan sebelum gue jadian
sama Ovi. Lin cukup terkenal di sekolah dengan kemaskulinannya. Dia sering
mewakili sekolah untuk berbagai perlombaan, seperti olahraga volly, lari,
badminton, tenis meja, silat dan lainnya. Karena saking maskulin, gak ada cowok
yang berani nembak Lin. Lin sebenarnya cakep, hanya saja gayanya yang udah
kayak cowok membuat cantiknya hilang dan berganti ganteng,,maka banyak cewek
asrama yang naksir Lin dibanding gue, Uda, dan Oga.
Gue dan
Lin mulai sekelas pada saat kami milih jurusan yang sama di kelas XI, yaitu
jurusan IPA. Sebenarnya gue paham, Lin gak cerdas-cerdas amat untuk bisa masuk
IPA. Tapi karena desakan kawan-kawannya, akhirnya dia lebih milih jurusan IPA
dibanding IPS.
Awalnya
gue dan Lin biasa aja, gak ada hubungan apa-apa dan hanya sebatas teman biasa. Kedekatan
gue dengan Lin bermula ketika ada pertandingan sepak bola tingkat kota, yang
pada saat itu gue di posisi kiper. Sejak itulah gue mulai sering sms Lin minta
dukungan, sekaligus minta ajarin nendang bola sama dia. Sebelum
pertandingan, gue minta Lin nonton gue di lapangan sambil bawa para suporter
lainnya untuk jadi penyemangat.
”Lin,
besok nonton ya!”, sms gue.
“Gampang
Mad” jawab Lin.
Mad
adalah panggilan Lin ke gue, padahal kawan-kawan gue sering manggil gue Zid. Bahkan
ada juga yang manggil gue Riel, Ariel.....ngayal.
-------------***-----------
Keesokan
harinya, pertandingan bola dimulai. Gue masih ingat, waktu itu hari Jum’at,
hari libur mingguan di sekolah gue. Karena libur, anak-anak asrama rame yang
nonton, termasuk Lin. Gak nanggung-nanggung, official tim kami bawain drum band
beserta pemainnya untuk meramaikan dukungan buat tim sekolah gue. Pas gue liat
dari tribun, gue liat Lin yang paling heboh di tribun. Lin mengayunkan bendera
yang melambay liar di terpa angin.
Pada saat
pertandingan dimulai, pemain drum band pun mulai menabuh bas, snare, kuarto
tom-tom, symbal, bahkan stick mayoret dipukul-pukul ke suporter lawan saking
riuhnya. Bola mengelinding kesana-kemari di lapangan, seolah tak pernah lelah.
Para pemain saling berebut bola, berlari tanpa henti, bahkan mengece’ dengan
sangat lincah.
Pemain
dengan costum biru hitam bermain kompak, passingnya pas, mulai dari
posisi kiper sampai penyerang. Para pemain bermain santai seperti tidak ada
beban. Bola selalu mengelinding ke arah tim yang bercostum merah hitam. Tim dengan
costum merah hitam, terlampau sering
diserang, sehingga permainan kocar-kacir. Dari mulai kiper sampai penyerang
udah gak tau dengan posisinya masing-masing. Karena baru pernah main di
lapangan besar, salah satu pemain dengan costum merah hitam sampai keluar
lapangan muntah-muntah. Ngomong-ngomong costum biru hitam adalah tim lawan, dan
merah hitam adalah tim kami. Jadi harap dimaklumi.
Dengan
permainan yang gak seimbang ditambah pelatih yang mangkir dari lapangan, membuat
tim kami kalah telak 0-5. Sebenarnya kami terlalu kecape’an karena banyak jam
terbang, jam terbang ngayal sebelum tanding. Gara-gara papan skor sudah
terpampang 0-5, membuat suara drum band semakin meredup, kecuali yang terdengar
hanya suara pianika dengan melodi duka karena memainkan lagu mengheningkan
cipta. Namun Lin tetap semangat dan gak pernah redup supportnya buat
tim. Lin tetap mengibarkan bendera drum band yang sesekali menghantam rekan yang
sedang nonton di sampingnya. Saat itulah gue kagum dengan Lin.
Akhirnya
para suporter pulang dengan kecewa. Gue tau yang lebih kecewa adalah pemain
drum band, karena berat bawa peralatan keliling stadium. Walau kalah, Lin tetap
support gue dan nyamperin gue yang sedang duduk istirahat nunggu mobil
jemputan untuk menjemput tim.
“Keren
Mad”, kata Lin sambil mengacungkan jempolnya.
“Keren?,
Kalah kok keren?”, kesal gue.
“Kalah
menang soal biasa Mad, yang penting kita udah ngelakuin dengan total”, nasehat
Lin sambil duduk di samping gue.
Gue
paham, Lin tau banget masalah motivasi kayak beginian, karena dia udah sering
ikut perlombaan olahraga. Dia tau banget gimana caranya ngangkat mental para
pemain semacam gue yang sedang down karena kalah.
“Thanks
Lin”, kata gue sambil senyum karena udah merasa di semangatin lagi.
“Sama-sama
Mad. O ya kapan kalian tanding lagi?”, tanya Lin.
“Mungkin
3 hari lagi”, jawab gue.
“Aku
bakal support kalian lagi”, kata Lin sambil meninggalkan gue karena mobil
jemputan untuk anak asrama udah datang.
“Duluan
Mad”, teriak Lin sambil berlari mengejar mobil yang berputar-putar meliuk di
depan stadium udah kayak mau test drive.
“Ok Lin”,
jawab gue sambil mengangkat tangan, simbol terima kasih.
Sikap Lin
waktu itu buat gue jadi melayang-layang kayak layangan yang gak seimbang waktu
diterbangkan. Pandangan gue ke Lin yang sebelumnya takut sama dia karena tomboy
banget jadi berubah. Sekarang gue merasa
nyaman dengan Lin.
------------***------------
Gara-gara
kekalahan sebelumnya, membuat tim kami menjadi lebih sering berlatih. Setiap
sore kami latihan, ada yang latihan passing, ada yang latihan free
kick, ada yang latihan sprint, sementara gue latihan nendang bola.
Gue adalah satu-satunya kiper yang gak bisa nendang bola jauh. Tendagan gue
selalu berjarak dekat dengan gawang. Gara-gara itulah lawan gak pernah nunggu
jauh kalau pas gue nendang, tapi nunggu dekat gawang, dan akhirnya sering kebobolan.
Selain
latihan, tim gue juga medapatkan do’a dari pimpinan pondok pesantren. Tidak
nanggung-nanggung, tim gue dikasi minum air zam-zam dan dikasih do’a khusus
sebelum tanding, luar biasa kan?. Selain do’a yang syariah, tim kami
juga dapat bomo (pawang) dari salah satu rekan tim. Kami dikasi air tawar (air
jimat) buat pelindung gawang agar gak jebol.
“Zid,
nanti air tawar ni kau curahkan di gawangmu!”, perintah Edo.
“Oke Do”,
jawab gue mantap sambil merampas sebotol air dari tangannya.
Edo
menatap gue tajam, sambil komat-kamit.
“Ngapa
Do, kau liat gue kayak gitu?”, tanya gue penasaran.
“Gue
nyuruh jin Qorin masuk ke tubuh kau Zid”, jawab Edo.
“Haaaaa?”,
gue langsung nelen ludah, karena heran betapa sudah gak warasnya tim ini.
------------------***------------------
Hari yang
ditunggu-tunggu pun datang. Pertandingan kali ini adalah pertandingan penentuan
agar bisa masuk semi final. Jika kami menang, maka kami punya harapan untuk
melaju ke babak selanjutnya. Tapi jika kami kalah, maka gak bakal ada harapan
lagi untuk melaju ke babak selanjutnya, walau kami masih punya satu
pertandingan lagi setelah ini.
Sebelum berlaga,
para pemain melakukan pemanasan di lapangan. Ada yang meluruskan kaki, ada yang
lari di tempat, ada yang push up, sementara gue lari-lari kecil udah
kayak jama’ah haji yang sedang sa’i. Saat pemanasan, terdengar suara
riuh penonton di tribun memekikkan telinga. Ada yang manggil-manggil dan
nyebutin nama pemain sambil siulan seperti burung Murai. Dari sekian banyak
nama yang dielu-elu, nama gue yang gak terdengar, nasib anak malang. Pas
gue berharap kayak gitu, tiba-tiba gue dengar nama gue yang paling nyaring
dipanggil, gue penasaran dan cari-cari di tribun. Gue berharap yang manggil
adalah Lin. Semakin dicari semakin suaranya nyaring.
“Zid,
pelatih manggil kau tu”, kata Arul sang kapten.
“Kampret,
gue kira cewek di tribun Rul”, gerutu gue sambil berlari ke arah pelatih.
“Zid,
nanti kalau nendang tu kayak gini”, kata pelatih sambil memperagakannya dengan
benar-benar menendang bola tinggi banget sampai keluar stadium.
“Ok pak”,
gertak gue siap dengan arahan pelatih.
“Udah
pemanasan lagi sana!, sambil ambil bola yang bapak tendang tadi!”. Perintah
pelatih.
“Ok pak”,
jawab gue kesal karena disuruh ngambil bola yang ditendang sangat jauh sampe
keluar stadium.
-----------------***----------------
Pertandingan
pun hampir dimulai. Para pemain keluar dari ruang ganti dan berbaris berjalan
menuju ke arah lapangan. Ketika para pemain berjalan memasuki lapangan, suara
riuh penonton semakin bersorak ramai. Gue segera mengambil posisi kiper di
dekat mistar gawang sambil membawa air tawar. Pas nyampe di gawang, gue
langsung numpahin air tawar mulai dari tiang kanan ke tiang kiri, seperti yang
telah diwasiatkan Edo. Peluit panjang ditiup tanda pertandingan dimulai. Kali
ini suporter dari pesantren gak lagi bawa drum band karena kecewa dengan
performa sebelumnya. Selain itu, suporter dari pesantren gak banyak yang
nonton. Walaupun dukungan sudah mulai berkurang, kami tetap berusaha dengan
sebaik mungkin. Permainan hari itu agak seimbang, karena lawan kami memang gak
sekuat dari lawan sebelumnya. Peluit panjang bertiup lagi tanda babak pertama
usai. Di babak pertama kami memimpin dengan skor 2-1.
Saat berjalan
untuk rehat, gue nyempetin liat area tribun, memastikan ada gak Lin di bangku
tribun?. Sejauh pandangan gue, gue masih tetap tidak mendapatkan Lin. Gue agak
kecewa, tapi tetap harus fokus pada pertandingan.
“Gimana
Zid, manjur kan air tawar gue?”, tanya Edo sambil membujurkan kakinya.
“Manjur
Do, biasanya banyak bola yang masuk ke gawang, tapi hari ini hanya satu, gue
perhatiin setiap ada bola yang mendekat ke gawang, pasti berhenti seperti ada
yang memberhentikan”, jelas gue panjang.
“Ya
iyalah, itu kan kau yang nangkap Zid”, tegas Edo.
“Hehehe”,
nyinyir gue.
Peluit
ditiup pendek menandakan pertandingan akan segera dimulai. Kami mengambil
posisi masing-masing. Gue masih gak nemuin Lin berada di tribun yang mana.
Setelah semua siap, peluit panjang ditiup dan pertandingan babak ke dua
dimulai. Gue males mau ceritain pertandingan secara detailnya seperti apa?.
Kesimpulannya, tim kami kalah dengan skor 2-3. Para penonton telihat kecewa
dengan kekalahan kami yang kedua kalinya. Pelatih kecewa, rekan se tim
tertunduk malu, penonton dari pesantren yang dukung kami juga pulang sambil merunduk
ke bawah siapa tau ada uang yang kececeran. Bahkan gue liat beberapa orang tua
dengan setelan preman juga kecewa dan menunduk kesal ketika beranjak dari
tempat duduk, mungkin karena mereka kalah taruhan. Dan gue juga kecewa, kecewa
karena gak liat Lin dari awal pertandingan.
Gue duduk
di tempat biasa, tempat ketika Lin support gue sebelumnya. Gue berharap
Lin nyamperin gue lagi kayak waktu itu. Tapi sampai tribun sepi, dan hari mulai
malam, gue gak liat Lin. Gue baru sadar, kalau gue juga ketinggalan mobil dan
akhirnya pulang jalan kaki, kamprettttt.....
-------------***--------------
Malamnya
ketika udah di asrama gue sms Lin, menanyakan ketidakhadirannya di pertandingan
sore tadi.
“Lin”,
sms gue singkat.
Sampe jam
10 malam gue nungguin Lin balas sms. Bahkan sampe ketiduran dan HP ikut
terbaring di perut gue yang udah keroncongan kemasukan angin malam. Untungnya Ustadz
gak ada razia waktu itu. Kalau ada razia, HP gue yang terdampar di perut pasti
lenyap disita dan bakal gak balik-balik lagi.
---------***----------
Keesokan
harinya pada saat sekolah, gue gak liat Lin masuk kelas. Sampe bel masuk juga
Lin tetap gak hadir. Karena penasaran, gue tanya ke teman cewek yang satu
asrama dengan Lin.
“Eh Lin
mana?”, tanya gue ke Cinta.
Ya.......
namanya Cinta, tapi tingkahnya gak menunjukkan keindahan Cinta sama sekali.
Cinta sering merayap-rayap di dinding kelas kayak cicak kelaparan. Suka buang
ingus sembarangan, bahkan gak malu-malu kentut saat berlangsungya jam pelajaran.
“Lin sakit
Zid”, jawab Cinta sambil ngorek upil depan gue.
“Sakit
apa?”, tanya gue.
“Demam”,
jawab Cinta yang udah gak ngorek upil lagi, tapi berganti dengan membulatkan
upilnya di ujung jari telunjuk dan jari jempol.
“Titip
salam ya Cin”.
“Oke Zid”
jawab cinta yang nyentillin upilnya ke muka gue, kamprettt...
----------------***----------------
Kekecewaan
gue kepada Lin berubah jadi kekasihanan, karena gue salah sangka sama dia. Gue
kira dia emang malas nonton pertandingan gue waktu itu, seperti beberapa
suporter lainya. Ternyata penyebab dia gak nonton karena sakit, “semoga
cepat sembuh Lin” do’a gue dalam hati. Pas gue mau tidur HP gue yang gue
selipin di balik bantal bergetar. Ternyata Lin sms gue.
“Sori ya
Mad, gak nonton pertandingan kalian kemarin” sms Lin.
“Gak
apa-apa Lin. Udah sembuh demamnya?”, tanya gue.
“Udah
mendingan Mad”.
“Syukurlah
Lin. Bagus Lin istirahat lagi deh!, supaya cepat sembuh”.
“Oke
Mad”.
Akhirnya
percakapan gue dengan Lin di sms berakhir dan gue bisa tidur dengan tenang di
pembaringan, udah kayak cerita mau mati aja.
--------------***-------------
Tim kami
menang di pertandingan akhir dengan skor 3-2. Walaupun menang, kami tetap gak
masuk semi final waktu itu, karena kalah poin. Di pertandingan akhir, gue gak dimainkan
karena digadang-gadang sebagai pembawa sial. Dan kayaknya emang benar. Pas
pertadingan akhir, tim malah menang. Di pertandingan akhir, gue liat Lin ikut
jadi suporter, walau gak teriak-teriak kayak dulu, karena baru sembuh dari
demamnya. Lin bilang permainan gue bagus hari itu, padahal gue kan gak main, aneh......
Semenjak
pertandingan itulah gue jadi sering smsan sama Lin. Lama kelamaan gue dan Lin
jadian. Gue males mau cerita gimana jadiannya karena udah capek nulis dua
cerita sebelumnya. Saat jadian dengan Lin, gue sering dibully kawan.
“Zid kau
udah jadi homo ya?”, ledek Uni, kawan gue yang lumayan nakal.
“Hehehe”,
gue hanya balas ketawa dengan sangat terpaksa.
“Bukan
Homo Ni, tapi Lesbi”, sambung Eri, kawan akrab Uni.
Bahkan
salah satu Ustadz gue juga tau, kalau gue jadian sama Lin. Dia sering bully
gue dan bilang kalau gue pacaran ama laki. Padahal gue liat Lin sama aja kayak
perempuan lain. walau dia dari segi gaya dan pakaian serta tingkah laku lebih
maskulin, tapi ketika sms dan ngobrol di kelas, Lin lebih nampak feminim nya.
Gue lebih melihat banyak sisi feminim daripada maskulin dari dirinya.
Semakin
hari semakin banyak kawan yang ngebully gue dan menghina tingkah gue
yang udah dekat sama Lin. Awalnya gue hanya cuek, dan selalu mengingat sebuah
kalimat yang tenar sebagai penguat, kata-katanya seperti ini, “Anjing
menggonggong kafilah tetap tidak berlalu karena kecape’an hijrah melulu”, hehehe.
Namun lama-kelamaan, gue gak tahan juga dibilang gak waras, dan akhirnya gue
dan Lin END. Sebenarnya alasan gue dan Lin end bukan karena gue gak tahan
dengan hinaan kawan-kawan, tapi karena sesuatu yang gak bisa gue ceritain
disini, tapi disana nanti (sambil nunjuk cerpen selanjutnya).
---------------------***---------------------
Setiap ending cerita, gue selalu bawa kalian ke masa gue yang sekarang, di masa gue sedang berada di bangku kuliah. Gue giring ke sini supaya pembaca tau apa relevansi kisah masa lalu gue untuk masa sekarang.
Baru-baru
ini gue bahas masalah feminisme untuk satu mata kuliah terakhir. Feminisme
adalah suatu gerakan kesetaraan wanita. Untuk menambah wawasan mengenai
feminisme, gue beli beberapa buku yang terkait dan paham tersebut. Salah satu
buku yang ngulas secara luas dan menyeluruh adalah bukunya Rosemarie Putnam
Tong, salah satu Dosen di mana ya?, gue lupa, soriiii. Dalam
bukunya dijelaskan beberapa aliran feminisme. Di buku itu gue baru tau
permasalahan gender, feminim dan maskulin.
Bagi gue,
Lin secara luar emang sering menampilkan sosok maskulin. Gayanya kayak laki,
tigkahnya kayak laki, Lin lebih jago nendang bola kaki daripada gue. Tapi
secara intern, wess bahas ilmiah, tepat gak istilahnya diletakkan disini ni?.
Pokoknya, kalau diliat dari dalam atau liat perasaan dan hatinya, gue malah
liat Lin adalah sosok yang feminim, sama dengan cewek lain. Lin juga perasa, minta
diperhatiin, minta dimanjain, halus, lembut dan punya sifat-sfat feminim
lainnya. Sayangnya, gak banyak kawan gue yang tau akan hal ini.
Bagi gue,
bullyan dari kawan-kawan terhadap Lin lah yang bisa merusak perempuan
seperti Lin. Ketika kawan-kawan sepergaulannya udah gak menghargai sifat
maskulin yang ada pada cewek dan gak pernah melihat secara lebih dalam lagi
kalau ternyata si cewek yang maskulin itu juga tetap punya sifat feminim, maka
terkadang jadinya bisa membuat perempuan tersebut frustasi. Bayangkan, kalau
misalkan Lin sampe sekarang dicap laki oleh kawan-kawanya, akhirnya gak bakal
ada cowok yang mau sama Lin, maka bisa-bisa terjadilah Lesbian. Jauh benar
ya obrolan gue bisa sampai sini,,,hehehe.
Kekhawatiran
gue sampai saat ini masih sama. Gue sering liat fotonya Lin di medsos udah laki
banget. Rambutnya pendek, lebih pendek dari rambut gue. Dan sering foto bareng
cewek, dimana Lin terlihat sebagai cowok, sementara ceweknya meluk dan megangin
tangan Lin, udah kayak pacaran tau gak?....
Tapi, ya
sudahlah. Di sesi ini, ceritanya memang agak sedih sedikit, karena Lin memang
mantan gue yang paling beda dari mantan lainnya. Gue belajar dari Lin tentang
sosok wanita yang bagaimanapun maskulinnya, tetap,.....mereka perlu sosok
laki-laki yang bisa ngasi perhatian dengannya. Gue belajar dari Lin tentang
semangat dan pantang menyerah, walau di saat down sekalipun. Gue belajar
dari Lin tentang empati dan rasa peduli. Gue belajar dari Lin tentang
ketulusan, ketulusan untuk mendukung sesama. Dan masih banyak lagi.
Di akhir
cerita ini, gue pengen say Thanks to you Lin.......terima kasih telah
menjadi bagian dari pengalaman hidup gue......
Sekian.........ada
tisu gak?
bagus banget artikelnya
BalasHapusSukese selalu yah..
di tunggu postingan selanjutnya...
izin share yah gan
Kunjungi website situs agen poker terpercaya
http://www.aladincash7.com
Ingin mencari situs poker online terpercaya dengan winrate yang tinggi dan melakukan WithDraw setiap harinya? JPSPOKER pilihan kita!!
BalasHapusJPSPOKER menyediakan Bonus Berupa sebagai berikut:
- Bonus New Member 20%
- Minimal Deposit / Withdraw Rp. 15,000.-
- Bonus Refferal 10%
- Bonus Next Deposit 5%
- Bonus Rollingan Mingguan 0.3% - 0,5%
- Proses Deposit / Withdraw Cepat
- Bonus TurnOver Bulanan
Mensupport 4 Bank terbesar di indonesia yaitu:
✅BCA
✅MANDIRI
✅BNI
✅BRI
Menerima Deposit Via Pulsa TELKOMSEL,XL Dan via Uang Elektronik lainnya berupa:
👍OVO
👍DANA
👍GOPAY
Jika anda perlu bantuin bisa hubungi kami di:
📲 LiveChat: www. jpspoker8 ,com
📲 LINE : jpspoker
📲 Whatsapp : +6282370836863
📲 YM : JPSPOKER
PANDUAN BERMAIN JUDI ONLINE
POKER ONLINE
IDN Poker
Agen Poker
Poker Terbaik