Di sore
itu, awan mulai merapat dan menyatu dari berbagai arah. Warnanya hitam pekat,
rapat menghalau cahaya matahari senja. Sudah lama sekali musim kemarau dan tak
turun hujan. Mungkin hari inilah saatnya alam memuntahkan timbunan air untuk
membasahi bumi yang kerontang. Cahaya kilat bergiliran muncul di balik gumpalan
awan yang terlihat mengamuk. Suara guruh yang bergema mengikuti cahaya kilat turut menambah
suasana menjadi semakin menakutkan.
Di balik
suasana yang mengerikan itu, para santri malah merasa senang, karena sudah lama
mereka tidak mandi dengan air bersih. Sekitar dua minggu sebelumnya, para
santri harus merelakan tubuh kurusnya disiram oleh air bor yang sangat bau dan
berwarna kecoklatan. Suasana mendung sore itu memberi harapan untuk merasakan
mandi air hujan. Segera para santri menyiapkan ember-ember dan menjejerkannya
di bawah seng masing-masing asrama.
Polah seperti
itu juga dilakukan oleh aku dan Oga. Di kamar kami, Hanya aku dan Oga yang
bersemangat untuk menadah air hujan yang akan turun. Sementara Uda dan Eri masih
tidur, karena tidak puas dengan tidur siang yang singkat beberapa jam yang lalu.
Segera ember bekas cat berukuran besar dan ember hitam ukuran sedang kusimpan
di bawah talang air yang mencurahkan air hujan disamping kamar.
Tidak lama
setelah itu, hujan pun turun. Hujan turun begitu deras menghantam bumi dan atap
seng asrama, sehingga membuat suara ribut. Begitu ributnya, aku dan Oga sampai
berteriak untuk saling memanggil satu sama lain. Angin juga begitu kencang,
menghempas apa yang ada di sekitarnya. Pelepah dan daun kelapa dibawa hilir
mudik bergoyang karena dihantam angin.
Aku dan
Oga tidak membiarkan momen itu berlalu begitu saja. Segera kami mengambil
peralatan mandi yang tersusun di dalam centong dan membawanya keluar kamar. Aku
dan Oga tidak keluar lewat pintu asrama, melainkan langsung melompat dari
jendela kamar. Disitulah aku dan Oga mandi, di bawah pancuran air hujan yang
jatuh deras dari talang air. Aku dan Oga seperti suku Afrika yang tidak pernah
menemukan air. Rasa senang kami luar biasa, bahkan tak ingin rasanya melepas
air hujan yang jatuh begitu saja dari
langit ke permukaan tanah.
Karena
badan sudah menggigil dan jari tangan sudah berkerut, aku dan Oga memutuskan
untuk berhenti mandi air hujan. Kami berdua kedinginan, menggigil, dan disertai
gertakan gigi dan bibir yang sudah berubah menjadi biru kehitam-hitaman. Aku dan
Oga mengambil handuk yang digantung di jendela, dan mengelap serta membalutnya
ke badan. Segera kami naik lagi ke kemar lewat jendela dan berlekas untuk
memasang pakaian.
Waktu sudah
menunjukkan pukul 5 sore. Uda dan Eri tidur mati. Suara berisik dan hembusan
angin yang masuk ke kamar tidak sama sekali menganggu tidur mereka. Uda tidur
dengan posisi bujur kaku dengan telapak tangan bersedekap seperti mayat fir’aun.
Eri tidur dengan posisi melengkung seperti udang yang digoreng di minyak yang panas.
Oga
membangunkan Uda dan Eri dengan menggoyangkan badan mereka. “Woi, woi, bangun!.
Udah jam 5, ambek nasi lagi!”.
Eri
membalikkan badannya dan meregangkan badan seperti kucing yang habis tidur
panjang. Matanya masih mengantuk dan sulit membuka. “Jam berape Ga?”, kata Eri
dengan mata yang masih terpejam.
“Jam 5”
jawab Oga.
Eri pun
beranjak dari tidurnya dan duduk bersila. Tangannya liar, menggaruk-garuk leher
dan mata yang sudah begitu merah. Eri kemudian menggoyangkan kaki Uda. “Da, Da,
bangun Da!”.
“Eeghhh,
eeghhh”. Uda memonyongkan, memiringkan, memutar mulutnya seolah urat wajahnya
sudah begitu kaku sehingga harus dibujurkan kembali. Tangan dan kakinya
dibujurkan dan diregangkan, bahkan kepalan tangan Uda hampir menonjok wajah Eri
yang masih kusut.
“Yok
ambek nasi”, ajak Oga.
“Yok”,
jawabku.
“Nitip,
nitip”, pinta Eri yang sudah sangat malas bergerak untuk bangkit dari duduknya.
“Aku
sekalin Ga”, pinta Uda yang berbicara namun mata masih terpejam.
Itulah kebiasaan
Uda dan Eri yang menjengkelkan. Tapi nitip ngambil nasi dan lauk untuk makan
biasanya juga bergiliran. Terkadang Oga minta ambilkan Uda dan terkadang aku
minta ambilkan Eri. Seperti itulah adanya, simbiosis mutualisme di kamar kami.
----------------------------***-------------------
Oga masuk
ke kamar dengan dua piring nasi di dua tanganya seperti pelayan restoran. “Da,
nah nasi kau”.
Aku pun
masuk ke kamar dengan membawa dua piring yang sudah terisi dengan nasi, ikan
pisang-pisang goreng dan sayur sawi. “Ri, nasi kau”, ucapku sambil
meletakkannya di atas lemari.
Aku dan
Oga duduk berhadapan menyantap makan sore waktu itu. Eri dan Uda melompat dari
jendela menuju ember yang sudah berisi air hujan untuk mencuci muka. Setelah itu,
mereka melompat lagi masuk ke kamar.
Eri
mengelap mukanya dengan handuk. “Ujan rupanya. Saking tidur mati, aku sampai
tidak dengar suara hujan”, kata Eri.
Ketika Uda
hendak mengambil piringnya, dia terkejut. “Ga.......banyak benar kau ngasi kuah
ke nasiku ini?”
Seketika
itu butiran nasi langsung muncrat dari mulut Oga, karena tidak tahan menahan
tawa. “Bukan kuah Da, tu air hujan. Kau tau lah, aku ndak ade pakai payung, jadi
masuklah air hujan ke nasi kau”, jelas Oga.
“Adoh....nasi
aku pun banjir Da”, gerutu Eri.
“Dah lah
Ri, makan-makan jak!. Anggap jak kuah sawi”, ujar Uda.
--------------------***-------------------------
Ketika
sehabis isya, Hujan mulai reda. Di beberapa bagian, air tampak menggenang. Suasana
malam dihibur dengan paduan suara katak dan kodok. Angin masih membawa hawa
dingin masuk ke dalam kamar, menerobos celah-celah dinding dan jendela kayu. Seharusnya
para santri belajar bersama di masjid. Akan tetapi karena hawa dingin yang membuat
malas untuk keluar, akibatnya santri memilih belajar di kamar. Ustadz yang
seharusnya mengontrol dan menyuruh para santri untuk belajar di masjid pun
tidak tampak batang hidungya.
Ketika tempat
belajar beralih dari mesjid ke kamar, maka aktivitas pun beralih dari belajar
ke hal-hal yang nggak jelas. Eri sibuk smsan sama pacar gelapnya. Uda sibuk
smsan sama pacarnya di kampung. Oga memasangkan earphone di telinganya. Kebiasaan
Oga adalah mendengarkan siaran radio kota, karena kebetulan penyiarnya adalah
wanita yang ia incar sejak lama. Maka kangen-kangenannya adalah dengan
mendengarkan si Eli yang sedang ON AIR. Itulah nama gadis tersebut, Eli.
Sementara aku hanya main game snake xenzia di HP Nokia yang sudah butut.
Waktu itu Ovi, Dini dan Lin sudah jadi mantan, jadi gak bakal ada lagi episode
kisah mereka disini.
---------------------***-----------------
Sekitar jam
10, setelah Uda puas smsan dengan pacarnya, ia pun bangkit dari pembaringan. Ia
mulai gelisah menggeliat seperti cacing yang disiram air panas.
“Ngapa
Da?”, tanyaku.
“Ndak”,
jawab Uda.
Uda
membuka jendela dan melihat ke arah rumah ustad Mau. Ustadz Mau adalah usatdz
tergalak di pesantren kami. Selain pembina, dia juga seorang guru silat. Eri sudah
pernah terkena tendangan T oleh ustad Mau. Oga sudah pernah dibotak karena ketauan
keluar main game di warnet tanpa izin. Uda sudah pernah ditempeleng. Dan aku
sudah tiga kali dirazia HP oleh beliau. Tak heran bila setiap tindakan yang
berbau kriminal harus direncanakan dengan matang, terutama untuk menghindari
sergapan ustad Mau.
Dari kami
bereempat, semuanya sudah punya tindakan kejahatan masing-masing. Dan salah
satu santri yang mendapatkan predikat jahat oleh Ustadz Mau adalah Uda. Kebiasaan
buruk Uda adalah merokok. Lokasi para perokok juga nomaden seperti manusia
purba. Kadang-kadang di WC tua, di bumbung asrama, di toko-toko depan pesantren,
dan yang paling favorit adalah di hutan kecil belakang asrama.
Uda
sesekali mengintip dari celah kecil jendela yang sedikit terbuka. Matanya mengintip
ke arah rumah ustad Mau. Ketika belum dirasa aman, maka dia duduk kembali dan
memainkan jemarinya pada HP genggam yang ada di tangannya. Ketika waktu sudah
menunjukkan pukul 11 malam lewat, ia kembali mengintip rumah ustad Mau dari
celah jendela kamar. Rumah Ustad Mau sepertinya sudah agak gelap, karena
beberapa lampu yang sudah tidak menyala lagi. Di saat itulah Uda merasa keadaan
sudah aman.
Tak lama
kemudian, ada seseorang mengetuk pintu kamar. Uda langsung membuka dan ternyata
berdiri Nus di depan pintu dengan mengenakan jaket serta celana training. Nus
adalah teman Uda dalam aksi merokoknya. Walaupun sudah jam 11, tetap saja hawa
dingin hujan tidak berubah. Uda segera mengenakan pakaian yang hampir sama dengan
Nus dan keluar menutup pintu kemudian pergi bersama Nus.
Mereka keluar
dari asrama dengan melompati jendela belakang. Setelah melompat, mereka harus
melangkahi parit yang berukuran lumayan besar. Suasana malam itu sangat dingin.
Walaupun hujan tidak turun sederas sore tadi, tapi hujan gerimis cukup membuat
suasana malam begitu sejuk dan sedikit membasahi pakaian mereka berdua.
Di belakang
asrama, tempat yang dituju Uda dan Nus adalah sepetak hutan kecil. Di dekat
hutan terdapat bekas lapangan tenis yang sudah tidak digunakan lagi. Rumput liar
menjalar merayap menutupi sebagin lapangan tenis tersebut. Semen yang sudah
retak di beberapa bagian memberitahukan bahwa lapangan tenis ini sudah cukup
lama tidak digunakan. Di samping lapangan tenis terdapat pohon ketapang yang
besar. Di bawah pohon ketapang itulah Uda dan Nus mendudukkan dirinya untuk
mengisap beberapa batang rokok.
Pohon ketapang
itu menjulang tinggi ke atas. Batangnya lumayan besar, sebesar pelukan dua orang
dewasa. Dahan dan daunnya rimbun menutup langit. Beberapa akar tanaman liar
menggantung dan melilit batang pohon tersebut. Sekitar pohon hanya semak
belukar yang tidak beraturan. Banyak akar batang pohon ketapang yang menyembul
di tanah. Di akar yang menyembul itulah Uda dan Nus duduk. Suasana malam itu
begitu mencekam dan gelap. Tidak ada bintang, tidak ada bulan dan yang ada
hanya sinar dari bara rokok mereka yang serupa titik merah bila dilihat dari
kejauhan.
Cerita
angker di tempat tersebut telah beredar di kalangan santri. Tapi cerita itu
hanya seperti angin lalu saja, karena tidak banyak santri yang pernah menemukan
sesuatu yang menakutkan disitu. Ada yang mengatakan pernah melihat sosok
manusia yang bertubuh besar sedang duduk di bawah pohon. Ada yang mengatakan
pernah melihat wanita berjalan melintas di semak-semak. Dan masih banyak lagi
cerita lainnya. Tapi bagi Uda dan Nus, cerita-cerita itu tak pernah memadamkan
keinginan mereka untuk merokok di bawah pohon itu.
Bagi perokok,
rasa masam di mulut tidak bisa dihilangkan kecuali dengan mengisap tembakau
yang telah dilinting. Rasa ketagihan itulah yang memberanikan kedua santri ini
menikmati rokok-rokok mereka di bawah pohon tersebut. Sambil merokok dengan
posisi jongkok, Uda dan Nus juga sesekali bercerita untuk memecahkan kesunyian
dan keheningan. Mereka berbicara dengan sangat pelan agar suara mereka tidak terdengar terlalu jauh dan diketahui oleh
ustadz, terutama ustadz Mau. Selain bercerita, mereka juga sesekali menepakkan
tangan ke wajah dan telinga serta telapak kaki, karena nyamuk hutan yang juga
sedang kehausan akibat suasana dingin malam itu.
Ketika Uda
dan Nus sedang asik bercerita tentang satu dua perkara. Tiba-tiba satu ranting
kecil seukuran jari tangan jatuh ke bawah menimpa kepala Uda. Uda sempat
menyumpah namun masih bisa ditahan. Uda merasa ranting itu tidak jatuh begitu
saja, akan tetapi jatuh karena ada sebab, seperti dilempar. Uda sempat
merinding tapi dia tidak berani bercerita dengan Nus, karena itu dapat
membuatnya jadi seperti orang yang penakut. “Tok”, ranting kecil dengan ukuran
yang sama menimpa kepala Uda lagi. Kali ini ranting itu menghantam kepalanya
dengan cukup kuat. Dalam hatinya ia berucap “tidak mungkin ada ranting yang
jatuh dari atas pohon bisa menghantam sekuat itu”. Uda lebih merasa itu seperti
lemparan seseorang yang begitu kuat.
“Nus
kayak ada yang melempar aku dari atas Nus”, ucap Uda dengan suara pelan.
Nus pun
menyemburkan asap rokoknya ke muka Uda. “Da, Da, itu angin Da”.
“Tapi
kuat Nus”, ucap Uda lagi.
“Anginnya
kan kuat Da”,
Uda
merasa perkataan Nus ada benarnya. Ranting yang jatuh itu mungkin disebabkan
angin yang bertiup kuat, sehingga jatuhnya pun kencang ke arah dirinya. Seketika
itu udara makin terasa dingin. Mungkin waktu sudah menunjukkan pukul 12 lewat. Suasana
semakin sunyi dan yang terdengar hanya suara katak dan kodok bersaut-saut
bergiliran.
Uda
menyulutkan rokoknya yang entah sudah keberapa. Segera tokainya ia pantikkan
dan api menyambar lintingan tembakau. Saat api yang masih hidup itu membakar
tembakau, Uda juga mengisapnya agar bara api menjalar dan menghidupi rokok. Seketika
isapannya masih di pertengahan untuk menghidupkan rokok, seketika itu juga
ranting dengan ukuran yang sama menghantam tokai dan rokoknya sehingga terpelanting
ke tanah.
Uda
tersentak kaget dan memegang tangan Nus. “Nus apa tu?”
Nus pun
memantikkan tokai miliknya dan mencari arah tokai dan rokok Uda yang jatuh ke
tanah akibat hantaman ranting. Nus kemudian mengambil dan mengembalikan Tokai
Uda serta rokonya. “Yang tadi itu ranting Da”, ucap Nus yang mengibur Uda agar
tidak merasa cemas.
“Tapi
kuat sekali Nus”, jelas Uda dengan agak gemetaran.
“Iyalah,
dengan ranting pun takut, Bencong Da, Da”
Uda pun
menghidupkan kembali rokonya dengan tokai. Ketika itu tidak ada lagi yang
melemparnya. Uda tidak berani melihat ke atas, karena takut ada sesuatu yang
menakutkan. Lagi pula ia tidak dapat melihat dengan jelas ada apa diatas pohon
itu, karena suasana yang begitu gelap. Sebenarnya hal itu bisa saja ia lakukan
dengan menghidupkan tokainya dan kemudian melihat ke atas pohon. Tapi itu tidak
akan dilakukan, karena lebih baik menyimpan saja rasa takut itu, daripada harus
terkejut melihat apa yang ada diatas.
Nyamuk semakin
ramai mengerumuni tubuh mereka. Walaupun nyamuk hanya dapat menjangkau bagian
kepala dan kaki mereka, itu sudah cukup membuat Uda dan Nus harus menggerakkan
tangannya ke atas dan kebawah menghalau nyamuk yang ada. Udara dingin semakin
menjadi-jadi. Tiba-tiba Uda merasa ada yang mendekati mereka dari arah atas
pohon. Walaupun Uda tidak melihat keatas, tapi Uda merasa ada bayangan hitam
melebihi gelapnya malam mencoba berpindah dari satu dahan ke dahan lain yang
lebih rendah. Uda melihat Nus dengan santai menghisap dan menghembuskan asap
rokonya sambil menatap ke depan dengan tatapan yang kosong seolah sedang
melamunkan sesuatu. Uda merasa bayangan itu sudah semakin dekat dengan mereka
dan siap menerkam. Seketika itulah, terdegar suara tawa yang begitu melengking,
mengejutkan mereka. Ketawanya seperti suara wanita atau kuntilanak yang sering
mereka dengar dan tonton di film-film horor. Tapi suara itu hanya terdengar
satu kali saja dan setelah itu senyap, tidak lagi terdengar.
Nus
dengan langkah seribu langsung berlari menuju asrama menghantam semak belukar
di depannya. Uda sempat jongkok kaku tidak tau apa yang harus dilakukan, karena
takut dan bercampur heran melihat Nus yang tunggang langgang berlari lebih
duluan. Uda ingin sekali berlari tapi tubuhnya sama sekali sulit untuk
digerakkan. Satu kali lagi ranting seukuran jempol kaki menghantam kepalanya
lebih keras daripada sebelumnya, dan saat itulah ia langsung berlari menyusul
Nus yang sudah jauh di depan.
Nus
langsung melompat jauh melewati parit dan langsung meraih jendela kemudian
masuk ke asrama. Uda yang berjarak agak jauh menyusul namun lupa dengan parit
yang ada di dekat jendela asrama. Sebenarnya ia tau bahwa di dekat jendela ada
parit, namun karena takut dan gelap maka ia melompat terlebih dulu dan malah
mendarat di parit dan “buurrrr”, Uda menceburkan kakinya diparit yang banjir
akibat hujan lebat tadi sore. Uda tak berhenti sampai situ saja, ia langsung
berusaha naik dan meraih telinga jendela dan masuk ke asrama.
Nus entah
lari kemana. Mungkin ia balik ke kamarnya di asrama lain. tapi Uda
langsung masuk ke kamar dengan celana
yang basah sampai lutut. Ia ngos-ngosan dan duduk jongkok di dekat pintu. Mendengar
itu, aku, Eri dan Oga bangun dan melihat Uda yang duduk jongkok dengan wajah
yang agak pucat dan sedikit berkeringat.
“Ngape
Da?”, tanya Eri
Uda tak
bisa menjawab. Dia langsung mengganti celananya dan membersihkan kakinya yang
sedikit kotor dengan handuk. Setelah itu ia pun menceritakan kejadian seperti
apa yang telah terjadi diatas. kami pun merasakan suasana menyeramkan itu dari
cerita Uda. Kami merasa hantu itu masih mengikuti Uda dan mendengarkan pembicaraan
kami dari balik jendela. Saking takutnya, kami berempat tidak bisa tidur
kecuali hanya berbaring dengan jarak yang agak berdekatan dan pura-pura
memejamkan mata sampai azan shubuh dikumandangkan.
----------***--------------
hahaha...
BalasHapusLUCU,
Hahaha lanjutkan kawan, karakter uda dg eri luar biase hahaha
BalasHapushaha aneh klakuan anak asrma, apalagi uda dan nus.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus