Jumat, 22 April 2016

HOROR DI PESANTREN (KISAH LAIN CERPEN MANTAN)

Di sore itu, awan mulai merapat dan menyatu dari berbagai arah. Warnanya hitam pekat, rapat menghalau cahaya matahari senja. Sudah lama sekali musim kemarau dan tak turun hujan. Mungkin hari inilah saatnya alam memuntahkan timbunan air untuk membasahi bumi yang kerontang. Cahaya kilat bergiliran muncul di balik gumpalan awan yang terlihat mengamuk. Suara guruh yang bergema mengikuti cahaya kilat turut menambah suasana menjadi semakin menakutkan.

Di balik suasana yang mengerikan itu, para santri malah merasa senang, karena sudah lama mereka tidak mandi dengan air bersih. Sekitar dua minggu sebelumnya, para santri harus merelakan tubuh kurusnya disiram oleh air bor yang sangat bau dan berwarna kecoklatan. Suasana mendung sore itu memberi harapan untuk merasakan mandi air hujan. Segera para santri menyiapkan ember-ember dan menjejerkannya di bawah seng masing-masing asrama.

Polah seperti itu juga dilakukan oleh aku dan Oga. Di kamar kami, Hanya aku dan Oga yang bersemangat untuk menadah air hujan yang akan turun. Sementara Uda dan Eri masih tidur, karena tidak puas dengan tidur siang yang singkat beberapa jam yang lalu. Segera ember bekas cat berukuran besar dan ember hitam ukuran sedang kusimpan di bawah talang air yang mencurahkan air hujan disamping kamar. 

Tidak lama setelah itu, hujan pun turun. Hujan turun begitu deras menghantam bumi dan atap seng asrama, sehingga membuat suara ribut. Begitu ributnya, aku dan Oga sampai berteriak untuk saling memanggil satu sama lain. Angin juga begitu kencang, menghempas apa yang ada di sekitarnya. Pelepah dan daun kelapa dibawa hilir mudik bergoyang karena dihantam angin. 

Aku dan Oga tidak membiarkan momen itu berlalu begitu saja. Segera kami mengambil peralatan mandi yang tersusun di dalam centong dan membawanya keluar kamar. Aku dan Oga tidak keluar lewat pintu asrama, melainkan langsung melompat dari jendela kamar. Disitulah aku dan Oga mandi, di bawah pancuran air hujan yang jatuh deras dari talang air. Aku dan Oga seperti suku Afrika yang tidak pernah menemukan air. Rasa senang kami luar biasa, bahkan tak ingin rasanya melepas air hujan yang jatuh begitu saja  dari langit ke permukaan tanah.

Karena badan sudah menggigil dan jari tangan sudah berkerut, aku dan Oga memutuskan untuk berhenti mandi air hujan. Kami berdua kedinginan, menggigil, dan disertai gertakan gigi dan bibir yang sudah berubah menjadi biru kehitam-hitaman. Aku dan Oga mengambil handuk yang digantung di jendela, dan mengelap serta membalutnya ke badan. Segera kami naik lagi ke kemar lewat jendela dan berlekas untuk memasang pakaian.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Uda dan Eri tidur mati. Suara berisik dan hembusan angin yang masuk ke kamar tidak sama sekali menganggu tidur mereka. Uda tidur dengan posisi bujur kaku dengan telapak tangan bersedekap seperti mayat fir’aun. Eri tidur dengan posisi melengkung seperti udang yang digoreng di minyak yang panas. 

Oga membangunkan Uda dan Eri dengan menggoyangkan badan mereka. “Woi, woi, bangun!. Udah jam 5, ambek nasi lagi!”.

Eri membalikkan badannya dan meregangkan badan seperti kucing yang habis tidur panjang. Matanya masih mengantuk dan sulit membuka. “Jam berape Ga?”, kata Eri dengan mata yang masih terpejam.

“Jam 5” jawab Oga.

Eri pun beranjak dari tidurnya dan duduk bersila. Tangannya liar, menggaruk-garuk leher dan mata yang sudah begitu merah. Eri kemudian menggoyangkan kaki Uda. “Da, Da, bangun Da!”.

“Eeghhh, eeghhh”. Uda memonyongkan, memiringkan, memutar mulutnya seolah urat wajahnya sudah begitu kaku sehingga harus dibujurkan kembali. Tangan dan kakinya dibujurkan dan diregangkan, bahkan kepalan tangan Uda hampir menonjok wajah Eri yang masih kusut.

“Yok ambek nasi”, ajak Oga.

“Yok”, jawabku.

“Nitip, nitip”, pinta Eri yang sudah sangat malas bergerak untuk bangkit dari duduknya.

“Aku sekalin Ga”, pinta Uda yang berbicara namun mata masih terpejam.

Itulah kebiasaan Uda dan Eri yang menjengkelkan. Tapi nitip ngambil nasi dan lauk untuk makan biasanya juga bergiliran. Terkadang Oga minta ambilkan Uda dan terkadang aku minta ambilkan Eri. Seperti itulah adanya, simbiosis mutualisme di kamar kami.

----------------------------***-------------------

Oga masuk ke kamar dengan dua piring nasi di dua tanganya seperti pelayan restoran. “Da, nah nasi kau”.

Aku pun masuk ke kamar dengan membawa dua piring yang sudah terisi dengan nasi, ikan pisang-pisang goreng dan sayur sawi. “Ri, nasi kau”, ucapku sambil meletakkannya di atas lemari.

Aku dan Oga duduk berhadapan menyantap makan sore waktu itu. Eri dan Uda melompat dari jendela menuju ember yang sudah berisi air hujan untuk mencuci muka. Setelah itu, mereka melompat lagi masuk ke kamar. 

Eri mengelap mukanya dengan handuk. “Ujan rupanya. Saking tidur mati, aku sampai tidak dengar suara hujan”, kata Eri.

Ketika Uda hendak mengambil piringnya, dia terkejut. “Ga.......banyak benar kau ngasi kuah ke nasiku ini?”

Seketika itu butiran nasi langsung muncrat dari mulut Oga, karena tidak tahan menahan tawa. “Bukan kuah Da, tu air hujan. Kau tau lah, aku ndak ade pakai payung, jadi masuklah air hujan ke nasi kau”, jelas Oga.

“Adoh....nasi aku pun banjir Da”, gerutu Eri.

“Dah lah Ri, makan-makan jak!. Anggap jak kuah sawi”, ujar Uda.

--------------------***-------------------------

Ketika sehabis isya, Hujan mulai reda. Di beberapa bagian, air tampak menggenang. Suasana malam dihibur dengan paduan suara katak dan kodok. Angin masih membawa hawa dingin masuk ke dalam kamar, menerobos celah-celah dinding dan jendela kayu. Seharusnya para santri belajar bersama di masjid. Akan tetapi karena hawa dingin yang membuat malas untuk keluar, akibatnya santri memilih belajar di kamar. Ustadz yang seharusnya mengontrol dan menyuruh para santri untuk belajar di masjid pun tidak tampak batang hidungya. 

Ketika tempat belajar beralih dari mesjid ke kamar, maka aktivitas pun beralih dari belajar ke hal-hal yang nggak jelas. Eri sibuk smsan sama pacar gelapnya. Uda sibuk smsan sama pacarnya di kampung. Oga memasangkan earphone di telinganya. Kebiasaan Oga adalah mendengarkan siaran radio kota, karena kebetulan penyiarnya adalah wanita yang ia incar sejak lama. Maka kangen-kangenannya adalah dengan mendengarkan si Eli yang sedang ON AIR. Itulah nama gadis tersebut, Eli. Sementara aku hanya main game snake xenzia di HP Nokia yang sudah butut. Waktu itu Ovi, Dini dan Lin sudah jadi mantan, jadi gak bakal ada lagi episode kisah mereka disini.

---------------------***-----------------

Sekitar jam 10, setelah Uda puas smsan dengan pacarnya, ia pun bangkit dari pembaringan. Ia mulai gelisah menggeliat seperti cacing yang disiram air panas. 

“Ngapa Da?”, tanyaku.

“Ndak”, jawab Uda.

Uda membuka jendela dan melihat ke arah rumah ustad Mau. Ustadz Mau adalah usatdz tergalak di pesantren kami. Selain pembina, dia juga seorang guru silat. Eri sudah pernah terkena tendangan T oleh ustad Mau. Oga sudah pernah dibotak karena ketauan keluar main game di warnet tanpa izin. Uda sudah pernah ditempeleng. Dan aku sudah tiga kali dirazia HP oleh beliau. Tak heran bila setiap tindakan yang berbau kriminal harus direncanakan dengan matang, terutama untuk menghindari sergapan ustad Mau.

Dari kami bereempat, semuanya sudah punya tindakan kejahatan masing-masing. Dan salah satu santri yang mendapatkan predikat jahat oleh Ustadz Mau adalah Uda. Kebiasaan buruk Uda adalah merokok. Lokasi para perokok juga nomaden seperti manusia purba. Kadang-kadang di WC tua, di bumbung asrama, di toko-toko depan pesantren, dan yang paling favorit adalah di hutan kecil belakang asrama.

Uda sesekali mengintip dari celah kecil jendela yang sedikit terbuka. Matanya mengintip ke arah rumah ustad Mau. Ketika belum dirasa aman, maka dia duduk kembali dan memainkan jemarinya pada HP genggam yang ada di tangannya. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam lewat, ia kembali mengintip rumah ustad Mau dari celah jendela kamar. Rumah Ustad Mau sepertinya sudah agak gelap, karena beberapa lampu yang sudah tidak menyala lagi. Di saat itulah Uda merasa keadaan sudah aman.

Tak lama kemudian, ada seseorang mengetuk pintu kamar. Uda langsung membuka dan ternyata berdiri Nus di depan pintu dengan mengenakan jaket serta celana training. Nus adalah teman Uda dalam aksi merokoknya. Walaupun sudah jam 11, tetap saja hawa dingin hujan tidak berubah. Uda segera mengenakan pakaian yang hampir sama dengan Nus dan keluar menutup pintu kemudian pergi bersama Nus.

Mereka keluar dari asrama dengan melompati jendela belakang. Setelah melompat, mereka harus melangkahi parit yang berukuran lumayan besar. Suasana malam itu sangat dingin. Walaupun hujan tidak turun sederas sore tadi, tapi hujan gerimis cukup membuat suasana malam begitu sejuk dan sedikit membasahi pakaian mereka berdua.

Di belakang asrama, tempat yang dituju Uda dan Nus adalah sepetak hutan kecil. Di dekat hutan terdapat bekas lapangan tenis yang sudah tidak digunakan lagi. Rumput liar menjalar merayap menutupi sebagin lapangan tenis tersebut. Semen yang sudah retak di beberapa bagian memberitahukan bahwa lapangan tenis ini sudah cukup lama tidak digunakan. Di samping lapangan tenis terdapat pohon ketapang yang besar. Di bawah pohon ketapang itulah Uda dan Nus mendudukkan dirinya untuk mengisap beberapa batang rokok.

Pohon ketapang itu menjulang tinggi ke atas. Batangnya lumayan besar, sebesar pelukan dua orang dewasa. Dahan dan daunnya rimbun menutup langit. Beberapa akar tanaman liar menggantung dan melilit batang pohon tersebut. Sekitar pohon hanya semak belukar yang tidak beraturan. Banyak akar batang pohon ketapang yang menyembul di tanah. Di akar yang menyembul itulah Uda dan Nus duduk. Suasana malam itu begitu mencekam dan gelap. Tidak ada bintang, tidak ada bulan dan yang ada hanya sinar dari bara rokok mereka yang serupa titik merah bila dilihat dari kejauhan.



Cerita angker di tempat tersebut telah beredar di kalangan santri. Tapi cerita itu hanya seperti angin lalu saja, karena tidak banyak santri yang pernah menemukan sesuatu yang menakutkan disitu. Ada yang mengatakan pernah melihat sosok manusia yang bertubuh besar sedang duduk di bawah pohon. Ada yang mengatakan pernah melihat wanita berjalan melintas di semak-semak. Dan masih banyak lagi cerita lainnya. Tapi bagi Uda dan Nus, cerita-cerita itu tak pernah memadamkan keinginan mereka untuk merokok di bawah pohon itu.

Bagi perokok, rasa masam di mulut tidak bisa dihilangkan kecuali dengan mengisap tembakau yang telah dilinting. Rasa ketagihan itulah yang memberanikan kedua santri ini menikmati rokok-rokok mereka di bawah pohon tersebut. Sambil merokok dengan posisi jongkok, Uda dan Nus juga sesekali bercerita untuk memecahkan kesunyian dan keheningan. Mereka berbicara dengan sangat pelan agar suara mereka tidak terdengar terlalu jauh dan diketahui oleh ustadz, terutama ustadz Mau. Selain bercerita, mereka juga sesekali menepakkan tangan ke wajah dan telinga serta telapak kaki, karena nyamuk hutan yang juga sedang kehausan akibat suasana dingin malam itu.

Ketika Uda dan Nus sedang asik bercerita tentang satu dua perkara. Tiba-tiba satu ranting kecil seukuran jari tangan jatuh ke bawah menimpa kepala Uda. Uda sempat menyumpah namun masih bisa ditahan. Uda merasa ranting itu tidak jatuh begitu saja, akan tetapi jatuh karena ada sebab, seperti dilempar. Uda sempat merinding tapi dia tidak berani bercerita dengan Nus, karena itu dapat membuatnya jadi seperti orang yang penakut. “Tok”, ranting kecil dengan ukuran yang sama menimpa kepala Uda lagi. Kali ini ranting itu menghantam kepalanya dengan cukup kuat. Dalam hatinya ia berucap “tidak mungkin ada ranting yang jatuh dari atas pohon bisa menghantam sekuat itu”. Uda lebih merasa itu seperti lemparan seseorang yang begitu kuat.

“Nus kayak ada yang melempar aku dari atas Nus”, ucap Uda dengan suara pelan.

Nus pun menyemburkan asap rokoknya ke muka Uda. “Da, Da, itu angin Da”.

“Tapi kuat Nus”, ucap Uda lagi.

“Anginnya kan kuat Da”, 

Uda merasa perkataan Nus ada benarnya. Ranting yang jatuh itu mungkin disebabkan angin yang bertiup kuat, sehingga jatuhnya pun kencang ke arah dirinya. Seketika itu udara makin terasa dingin. Mungkin waktu sudah menunjukkan pukul 12 lewat. Suasana semakin sunyi dan yang terdengar hanya suara katak dan kodok bersaut-saut bergiliran.

Uda menyulutkan rokoknya yang entah sudah keberapa. Segera tokainya ia pantikkan dan api menyambar lintingan tembakau. Saat api yang masih hidup itu membakar tembakau, Uda juga mengisapnya agar bara api menjalar dan menghidupi rokok. Seketika isapannya masih di pertengahan untuk menghidupkan rokok, seketika itu juga ranting dengan ukuran yang sama menghantam tokai dan rokoknya sehingga terpelanting ke tanah.

Uda tersentak kaget dan memegang tangan Nus. “Nus apa tu?”

Nus pun memantikkan tokai miliknya dan mencari arah tokai dan rokok Uda yang jatuh ke tanah akibat hantaman ranting. Nus kemudian mengambil dan mengembalikan Tokai Uda serta rokonya. “Yang tadi itu ranting Da”, ucap Nus yang mengibur Uda agar tidak merasa cemas.

“Tapi kuat sekali Nus”, jelas Uda dengan agak gemetaran.

“Iyalah, dengan ranting pun takut, Bencong Da, Da”

Uda pun menghidupkan kembali rokonya dengan tokai. Ketika itu tidak ada lagi yang melemparnya. Uda tidak berani melihat ke atas, karena takut ada sesuatu yang menakutkan. Lagi pula ia tidak dapat melihat dengan jelas ada apa diatas pohon itu, karena suasana yang begitu gelap. Sebenarnya hal itu bisa saja ia lakukan dengan menghidupkan tokainya dan kemudian melihat ke atas pohon. Tapi itu tidak akan dilakukan, karena lebih baik menyimpan saja rasa takut itu, daripada harus terkejut melihat apa yang ada diatas.

Nyamuk semakin ramai mengerumuni tubuh mereka. Walaupun nyamuk hanya dapat menjangkau bagian kepala dan kaki mereka, itu sudah cukup membuat Uda dan Nus harus menggerakkan tangannya ke atas dan kebawah menghalau nyamuk yang ada. Udara dingin semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba Uda merasa ada yang mendekati mereka dari arah atas pohon. Walaupun Uda tidak melihat keatas, tapi Uda merasa ada bayangan hitam melebihi gelapnya malam mencoba berpindah dari satu dahan ke dahan lain yang lebih rendah. Uda melihat Nus dengan santai menghisap dan menghembuskan asap rokonya sambil menatap ke depan dengan tatapan yang kosong seolah sedang melamunkan sesuatu. Uda merasa bayangan itu sudah semakin dekat dengan mereka dan siap menerkam. Seketika itulah, terdegar suara tawa yang begitu melengking, mengejutkan mereka. Ketawanya seperti suara wanita atau kuntilanak yang sering mereka dengar dan tonton di film-film horor. Tapi suara itu hanya terdengar satu kali saja dan setelah itu senyap, tidak lagi terdengar.

Nus dengan langkah seribu langsung berlari menuju asrama menghantam semak belukar di depannya. Uda sempat jongkok kaku tidak tau apa yang harus dilakukan, karena takut dan bercampur heran melihat Nus yang tunggang langgang berlari lebih duluan. Uda ingin sekali berlari tapi tubuhnya sama sekali sulit untuk digerakkan. Satu kali lagi ranting seukuran jempol kaki menghantam kepalanya lebih keras daripada sebelumnya, dan saat itulah ia langsung berlari menyusul Nus yang sudah jauh di depan. 

Nus langsung melompat jauh melewati parit dan langsung meraih jendela kemudian masuk ke asrama. Uda yang berjarak agak jauh menyusul namun lupa dengan parit yang ada di dekat jendela asrama. Sebenarnya ia tau bahwa di dekat jendela ada parit, namun karena takut dan gelap maka ia melompat terlebih dulu dan malah mendarat di parit dan “buurrrr”, Uda menceburkan kakinya diparit yang banjir akibat hujan lebat tadi sore. Uda tak berhenti sampai situ saja, ia langsung berusaha naik dan meraih telinga jendela dan masuk ke asrama. 

Nus entah lari kemana. Mungkin ia balik ke kamarnya di asrama lain. tapi Uda langsung  masuk ke kamar dengan celana yang basah sampai lutut. Ia ngos-ngosan dan duduk jongkok di dekat pintu. Mendengar itu, aku, Eri dan Oga bangun dan melihat Uda yang duduk jongkok dengan wajah yang agak pucat dan sedikit berkeringat.

“Ngape Da?”, tanya Eri

Uda tak bisa menjawab. Dia langsung mengganti celananya dan membersihkan kakinya yang sedikit kotor dengan handuk. Setelah itu ia pun menceritakan kejadian seperti apa yang telah terjadi diatas. kami pun merasakan suasana menyeramkan itu dari cerita Uda. Kami merasa hantu itu masih mengikuti Uda dan mendengarkan pembicaraan kami dari balik jendela. Saking takutnya, kami berempat tidak bisa tidur kecuali hanya berbaring dengan jarak yang agak berdekatan dan pura-pura memejamkan mata sampai azan shubuh dikumandangkan.

----------***--------------
Share:

4 komentar:

  1. Hahaha lanjutkan kawan, karakter uda dg eri luar biase hahaha

    BalasHapus
  2. haha aneh klakuan anak asrma, apalagi uda dan nus.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus