Aku masih
ingat ketika SD saat pelajaran ilmu pengetahuan sosial. Guru mengajarkanku
untuk bangga dengan Indonesia. Sejak SD aku diajarkan bahwa kekayaan alam
Indonesia luar biasa. Dari Sabang sampai Marauke berjejer pulau-pulau yang
memiliki kekayaan alamya tersendiri. Lautannya tak terhitung lagi luasnya,
hasil laut luar biasa banyaknya. Hutannya beragam jenis, spesies binatang
mungkin sudah ribuan jumlahnya. Tak terhitung lagi nyanyian-nyanyian daerah
yang memuji negeri ini. Saat itu, aku berkesimpulan bahwa negeri ini memang
kaya dan rakyatnya mendapatkan keuntungan besar menjadi penduduk di negeri ini.
Ketika
kuliah tepatnya, kesimpulanku masih sama, bahwa negeri ini masih kaya dengan
hasil alamnya. Pulau indonesia terdiri lebih dari 17.000 pulau dengan laut yang
luasnya 2.915.000 km2. Indonesia memiliki 785.058 jenis
keanekaragaman hayati dari 5.131.100 total keanekaragaman hayati dunia. Cadangan
minyak Indonesia sebesar 8,1 miliar barel. Cadangan gas alam Indonesia sebesar
152,9 TSCF (Trilion Square Cubic Feet). Cadangan batu bara Indonesia
adalah 103,187 miliar ton. Potensi kelautan Indonesia dapat dimanfaatkan untuk
menghasilkan energi sebesar 240 Gwe. Secara global negeri kita merupakan rumah
bagi 12 persen mamalia, 16 persen reptil dan amfibi, 17 persen burung, 10
persen tanaman berbunga, serta 25 persen spesies ikan. Sebanyak 16 persen
terumbu karang dunia berada di Indonesia dan masih banyak lainnya (Ahmad Taufik
Dkk. 2015: 128-131).
Tapi waktu
SD aku berkesimpulan akan dua hal, yaitu negeri ini kaya dan rakyatnya beruntung.
Jika dijadikan hipotesis maka bunyinya seperti ini, “pengaruh kekayaan alam
terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia”. Ho “kekayaan alam tidak
berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat”. HA “Kekayaan alam
berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat”. Dari hipotesis tersebut aku sangat
ingin sekali mengujinya.
Ketika di
kampung, aku sangat jarang sekali menemukan ketimpangan dalam masyarakat. Kalaupun
ada yaitu mengenai pendidikannya saja. Pendidikan di kampung masih belum
merata, masih banyak anak-anak kampung yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Tapi
satu hal juga yang sangat aku sayangkan adalah ketika ada anak kampung yang
mendapatkan pendidikan tinggi, mereka tidak memanfaatkannya dengan sebaik
mungkin. Inilah yang masih aku kesalkan sampai sekarang.
Ketika masuk
kuliah, aku mulai melihat begitu banyak ketimpangan di perkotaan. Pengemis dan
pengamen yang berseliweran di keramaian. Pekerja serabut yang mengais rezeki di
jalanan. Penipuan, pencurian, perampokan bahkan pembunuhan sudah menjadi warna
dalam ruang kota yang berdebu. Kawanku sering bilang, “hidup ini keras boy”. Gambaran
suram perkotaan ini menyadarkanku bahwa rakyat Indonesia masih jauh dari kata
sejahtera. Buktinya tindakan kriminal masih menjadi jualan laris untuk diisi di
awal surat kabar harian. Tindakan kriminal tentu saja berawal dari kehidupan
yang begitu mencekik sehingga tidak ada jalan lain selain melakukan tindakan
keras seperti mencuri, menipu, merampok
bahkan membunuh. Dari riset sederhanaku ini bahwa Ho diterima, “kekayaan
alam tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat”.
Walaupun sebagai
mahasiswa pendidikan, aku merasa terpanggil untuk peduli dengan masalah ini. Membaca
adalah pintu pertamaku untuk mengetahui permasalahn pelik di negeri ini. ribuan
pertanyaan yang bergenre penasaran selalu menghantui benak dan pikiranku yang
intinya “mengapa negeri kaya ini tidak bisa memberikan kesejahteraan kepada
rakyatnya?”, “mengapa kekayaan kita tidak bisa kita nikmati?”, “mengapa harus
negeri asing yang melahap semua kekayaan kita?”.
Pertanyaan-pertanyaan
itulah yang terus memacu semangatku untuk terus menggali informasi tentang keadaan
yang menyedihkan ini. Salah satu masalah yang menghantui pikiranku adalah
masalah Freeport. Ada dua buku mengenai Freeport yang saat ini menjadi koleksi
perpustakaan pribadiku. Satu buku yang ditulis oleh Markus Haluk berjudul “Menggugat
Freeport”, dan satu lagi buku yang ditulis oleh Fahrizal dan Ismantoro Dwi
Yuwono yang berjudul “Freeport fakta fakta yang disembunyikan”.
Dua buku
tentang Freeport ini sedikit membakar amarahku tentang ketidakbecusan kalangan
elit mengurusi negara. Ketika mengikuti alur tulisan, aku diajak untuk
membongkar tipuan-tipuan asing untuk menguasai dua gunung kaya di tanah papua
itu. Tulisan dari dua buku ini bahkan sampai menggores hati nuraniku, ketika
mengetahui suku asli dari gunung itu diusir dari tanah kelahirannya. Ketika suku
asli itu turun ke bawah gunung, mereka harus berhadapan dengan suku lainnya
sehingga tidak jarang terjadi pertikaian.
Limbah
hasil produksi barang tambang itu membanjiri hutan-hutan dan sungai yang telah
lama menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat. Mercury, Chromium,
Cadmium, Tembaga, Timah hitam, Nikel, Pestisida, Arsenik, Nitrogen adalah zat
yang mencemari alam sekitar dari pertambangan Freeport. Tidak cukup sampai
situ, wilayah mereka pun sedikit demi sedikit dicaplok untuk perluasaan
tambang. Sehingga mereka terusir dari kampung halamannya sendiri.
Masyarakat
Papua memang mendapatkan keuntungan, mereka mendapatkan pekerjaan dari perusahaan
tersebut. tapi keuntungan itu menjadi mimpi buruk ketika upah mereka tidak
sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan, mereka sering mendapatkan
perlakuan rasis dari pekerja luar, bahkan keselamatan kerja yang minim pun
tidak jarang menelan korban nyawa para pekerja malang itu.
Dengan keadaan
yang seperti itu, pemerintah tidak mampu bertindak. Peraturan demi peraturan
dikeluarkan, namun pelaksanaannya jauh panggang daripada api. Hukum yang tajam
kebawah dan tumpul keatas seperti pisau itu sudah menjadi satu hal yang wajar
dalam dunia hukum di negeri malang ini. kerugian demi kerugian yang dialami
oleh masyrakat Papua sekitar tambang tidak sedikitpun menggrosekan hati nurani
pemerintah kita.
Freeport
sebenarnya sudah mengalami hampir gulung tikar sebelumnya. Di Kuba mereka
diusir, karena revolusi di Kuba yang dipimpin oleh Fidel Castro dan Che
Guevera. Perlawanan seperti inilah yang sebenarnya dapat mengusir kerakusan
Freeport yang sangat merugikan itu.
sebagai seorang mahasiswa pendidikan tidak dapat berbuat banyak. Sekedar opini dan
ajakan untuk peduli dan kritis selalu saya gaungkan di hampir kebanyakan
tulisan saya. Mengajak para pemuda, mahasiswa, mahasiswi, untuk mengerti betul
apa arti dari cinta tanah air. Saya selalu ingin mengajak para mahasiswa dan
mahasiswi untuk kuliah bukan sekedar cari kerja, tapi tujuan tertinggi dari
menjadi orang yang berpendidikan adalah bisa peduli terhadap sesama.
Masyarakat
Papua khususnya di area sekitar pertambangan saat ini sedang sekarat. Mereka bahkan
ingin merdeka dan lepas dari Indonesia. Ingin perginya mereka dari negara
kesaturan kita ini saya rasa karena satu hal, kita yang mengaku satu nusa satu
bangsa, yang mengaku saudara, yang mengaku walau berbeda tapi tetap satu jua,
sudah tidak lagi memiliki kepedulian terhadap mereka.
Sekarang
masyarakat sudah jadi egois, ingin bahagia sendiri, tidak peduli dengan nasib
sesama warga bangsa. Orang wilayah barat sudah tidak lagi mau peduli, orang
timur mau seperti apa. Orang perkotaan sudah tidak mau peduli, orang pedesaan
mau nasibnya seperti apa. Dan saya tidak ingin orang berpendidikan tidak peduli
pada nasib orang bodoh mau jadi seperti apa.
Dan pada akhirnya
saya berharap banyak pada generasi penerus bangsa, mahasiswa, mahasiwi, pemuda,
pemudi, sadarlah masa depan bangsa ada di tangan kita semua. Kembalikan sikap
kritismu, sikap pedulimu, karena dengan itulah kita yakin masa depan akan
kembali cerah.
0 komentar:
Posting Komentar