Rabu, 06 April 2016

SATU NUSA SATU BANGSA? (KRTIS TERHADAP FREEPORT)

Aku masih ingat ketika SD saat pelajaran ilmu pengetahuan sosial. Guru mengajarkanku untuk bangga dengan Indonesia. Sejak SD aku diajarkan bahwa kekayaan alam Indonesia luar biasa. Dari Sabang sampai Marauke berjejer pulau-pulau yang memiliki kekayaan alamya tersendiri. Lautannya tak terhitung lagi luasnya, hasil laut luar biasa banyaknya. Hutannya beragam jenis, spesies binatang mungkin sudah ribuan jumlahnya. Tak terhitung lagi nyanyian-nyanyian daerah yang memuji negeri ini. Saat itu, aku berkesimpulan bahwa negeri ini memang kaya dan rakyatnya mendapatkan keuntungan besar menjadi penduduk di negeri ini.

Ketika kuliah tepatnya, kesimpulanku masih sama, bahwa negeri ini masih kaya dengan hasil alamnya. Pulau indonesia terdiri lebih dari 17.000 pulau dengan laut yang luasnya 2.915.000 km2. Indonesia memiliki 785.058 jenis keanekaragaman hayati dari 5.131.100 total keanekaragaman hayati dunia. Cadangan minyak Indonesia sebesar 8,1 miliar barel. Cadangan gas alam Indonesia sebesar 152,9 TSCF (Trilion Square Cubic Feet). Cadangan batu bara Indonesia adalah 103,187 miliar ton. Potensi kelautan Indonesia dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi sebesar 240 Gwe. Secara global negeri kita merupakan rumah bagi 12 persen mamalia, 16 persen reptil dan amfibi, 17 persen burung, 10 persen tanaman berbunga, serta 25 persen spesies ikan. Sebanyak 16 persen terumbu karang dunia berada di Indonesia dan masih banyak lainnya (Ahmad Taufik Dkk. 2015: 128-131).

Tapi waktu SD aku berkesimpulan akan dua hal, yaitu negeri ini kaya dan rakyatnya beruntung. Jika dijadikan hipotesis maka bunyinya seperti ini, “pengaruh kekayaan alam terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia”. Ho “kekayaan alam tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat”. HA “Kekayaan alam berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat”. Dari hipotesis tersebut aku sangat ingin sekali mengujinya.

Ketika di kampung, aku sangat jarang sekali menemukan ketimpangan dalam masyarakat. Kalaupun ada yaitu mengenai pendidikannya saja. Pendidikan di kampung masih belum merata, masih banyak anak-anak kampung yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Tapi satu hal juga yang sangat aku sayangkan adalah ketika ada anak kampung yang mendapatkan pendidikan tinggi, mereka tidak memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Inilah yang masih aku kesalkan sampai sekarang.

Ketika masuk kuliah, aku mulai melihat begitu banyak ketimpangan di perkotaan. Pengemis dan pengamen yang berseliweran di keramaian. Pekerja serabut yang mengais rezeki di jalanan. Penipuan, pencurian, perampokan bahkan pembunuhan sudah menjadi warna dalam ruang kota yang berdebu. Kawanku sering bilang, “hidup ini keras boy”. Gambaran suram perkotaan ini menyadarkanku bahwa rakyat Indonesia masih jauh dari kata sejahtera. Buktinya tindakan kriminal masih menjadi jualan laris untuk diisi di awal surat kabar harian. Tindakan kriminal tentu saja berawal dari kehidupan yang begitu mencekik sehingga tidak ada jalan lain selain melakukan tindakan keras seperti mencuri, menipu, merampok  bahkan membunuh. Dari riset sederhanaku ini bahwa Ho diterima, “kekayaan alam tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat”.

Walaupun sebagai mahasiswa pendidikan, aku merasa terpanggil untuk peduli dengan masalah ini. Membaca adalah pintu pertamaku untuk mengetahui permasalahn pelik di negeri ini. ribuan pertanyaan yang bergenre penasaran selalu menghantui benak dan pikiranku yang intinya “mengapa negeri kaya ini tidak bisa memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya?”, “mengapa kekayaan kita tidak bisa kita nikmati?”, “mengapa harus negeri asing yang melahap semua kekayaan kita?”.

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang terus memacu semangatku untuk terus menggali informasi tentang keadaan yang menyedihkan ini. Salah satu masalah yang menghantui pikiranku adalah masalah Freeport. Ada dua buku mengenai Freeport yang saat ini menjadi koleksi perpustakaan pribadiku. Satu buku yang ditulis oleh Markus Haluk berjudul “Menggugat Freeport”, dan satu lagi buku yang ditulis oleh Fahrizal dan Ismantoro Dwi Yuwono yang berjudul “Freeport fakta fakta yang disembunyikan”.

Dua buku tentang Freeport ini sedikit membakar amarahku tentang ketidakbecusan kalangan elit mengurusi negara. Ketika mengikuti alur tulisan, aku diajak untuk membongkar tipuan-tipuan asing untuk menguasai dua gunung kaya di tanah papua itu. Tulisan dari dua buku ini bahkan sampai menggores hati nuraniku, ketika mengetahui suku asli dari gunung itu diusir dari tanah kelahirannya. Ketika suku asli itu turun ke bawah gunung, mereka harus berhadapan dengan suku lainnya sehingga tidak jarang terjadi pertikaian. 




Limbah hasil produksi barang tambang itu membanjiri hutan-hutan dan sungai yang telah lama menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat. Mercury, Chromium, Cadmium, Tembaga, Timah hitam, Nikel, Pestisida, Arsenik, Nitrogen adalah zat yang mencemari alam sekitar dari pertambangan Freeport. Tidak cukup sampai situ, wilayah mereka pun sedikit demi sedikit dicaplok untuk perluasaan tambang. Sehingga mereka terusir dari kampung halamannya sendiri.


Masyarakat Papua memang mendapatkan keuntungan, mereka mendapatkan pekerjaan dari perusahaan tersebut. tapi keuntungan itu menjadi mimpi buruk ketika upah mereka tidak sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan, mereka sering mendapatkan perlakuan rasis dari pekerja luar, bahkan keselamatan kerja yang minim pun tidak jarang menelan korban nyawa para pekerja malang itu.

Dengan keadaan yang seperti itu, pemerintah tidak mampu bertindak. Peraturan demi peraturan dikeluarkan, namun pelaksanaannya jauh panggang daripada api. Hukum yang tajam kebawah dan tumpul keatas seperti pisau itu sudah menjadi satu hal yang wajar dalam dunia hukum di negeri malang ini. kerugian demi kerugian yang dialami oleh masyrakat Papua sekitar tambang tidak sedikitpun menggrosekan hati nurani pemerintah kita.

Freeport sebenarnya sudah mengalami hampir gulung tikar sebelumnya. Di Kuba mereka diusir, karena revolusi di Kuba yang dipimpin oleh Fidel Castro dan Che Guevera. Perlawanan seperti inilah yang sebenarnya dapat mengusir kerakusan Freeport yang sangat merugikan itu.

sebagai seorang mahasiswa pendidikan tidak dapat berbuat banyak. Sekedar opini dan ajakan untuk peduli dan kritis selalu saya gaungkan di hampir kebanyakan tulisan saya. Mengajak para pemuda, mahasiswa, mahasiswi, untuk mengerti betul apa arti dari cinta tanah air. Saya selalu ingin mengajak para mahasiswa dan mahasiswi untuk kuliah bukan sekedar cari kerja, tapi tujuan tertinggi dari menjadi orang yang berpendidikan adalah bisa peduli terhadap sesama.

Masyarakat Papua khususnya di area sekitar pertambangan saat ini sedang sekarat. Mereka bahkan ingin merdeka dan lepas dari Indonesia. Ingin perginya mereka dari negara kesaturan kita ini saya rasa karena satu hal, kita yang mengaku satu nusa satu bangsa, yang mengaku saudara, yang mengaku walau berbeda tapi tetap satu jua, sudah tidak lagi memiliki kepedulian terhadap mereka.

Sekarang masyarakat sudah jadi egois, ingin bahagia sendiri, tidak peduli dengan nasib sesama warga bangsa. Orang wilayah barat sudah tidak lagi mau peduli, orang timur mau seperti apa. Orang perkotaan sudah tidak mau peduli, orang pedesaan mau nasibnya seperti apa. Dan saya tidak ingin orang berpendidikan tidak peduli pada nasib orang bodoh mau jadi seperti apa.

Dan pada akhirnya saya berharap banyak pada generasi penerus bangsa, mahasiswa, mahasiwi, pemuda, pemudi, sadarlah masa depan bangsa ada di tangan kita semua. Kembalikan sikap kritismu, sikap pedulimu, karena dengan itulah kita yakin masa depan akan kembali cerah.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar