Sabtu, 30 April 2016

SERIUS MAU WISUDA? (RENUNGAN BUAT CALON SARJANA PENDIDIKAN)




Membuat status di media sosial tentang kegundahan hati saya mengenai wisuda dan sarjana rasanya tidak cukup. Saya perlu ratusan kata untuk beropini tentang hal yang satu ini. Fokus kritikan saya kali ini bukan untuk sarjana ekonomi, hukum, pertanian, dsb. Tapi, tulisan yang bernada kritik ini meninting calon sarjana pendidikan; terutama sarjana pendidikan agama Islam. Saya sudah sangat lama memendam kegundahan ini, hanya saja saya perlu waktu yang tepat untuk meluapkannya. Dan saya rasa inilah saatnya. 

Ada dua hal yang menjadi kegundahan saya ketika memandang sarjana dan calon sarjana pendidikan agama Islam saat ini.

Pertama:
Saya adalah seorang mahasiswa jurusan pendidikan agama Islam tingkat akhir. Ketika saya berada dalam atmosfer akhir perkuliahan, saya melihat satu hal yang paradoks. Saya melihat semangat kawan-kawan yang menyelesaikan skripsinya sangat-sangat luar biasa. Semangat untuk meraih gelar sarjana dan wisuda juga menggebu-gebu. Mereka –calon sarjana pendidikan agama Islam- rela menunggu dosen selama berjam-jam hanya untuk mendapatkan bimbingan atau tanda tangan. Mereka jadi rajin ke perpustakaan untuk mencari literatur, kajian teori, dan penelitian sebelumnya. Luar biasa. Saya kagum......tapi tunggu dulu!.

Bila kita mundur ke belakang -saat semester 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7-, saya tak melihat semangat itu. Saya malah melihat kebalikannya. Banyak mereka –calon sarjana pendidikan agama Islam- yang tak bersemangat untuk kuliah. Sering tidak hadir dalam perkuliahan. Saya sering mendapati makalah mahasiswa dan mahasiwi dengan daftar pustaka yang minim -paling lima sumber- dan itu kebanyakan comot dari internet. Saya suka muak ketika melihat mereka mempresentasikan makalahnya di depan kelas, mereka terlihat sangat-sangat tak bersemangat, tak menguasai bahan, dan sering tak bisa menjawab pertanyaan audien. Saya sangat jarang melihat mereka membaca, berdiskusi, membahas masalah perkuliahan dan sebagainya. Saya masih sering mendapatkan mahasiswa-mahasiswi yang tidak bisa mengaji dan tidak menguasai materi-materi pembelajaran agama Islam. Tapi, sekarang mereka tiba-tiba ngebet banget pengen wisuda dan meraih gelar sarjana, are you serious?, sekarang mereka baru semangat, lalu ke mana aja kemaren?, 

Saya berkesimpulan bahwa mereka –para calon sarjana pendidikan agama Islam- adalah orang-orang yang terlalu terobsesi dengan hasil, dan tak menghargai proses. Karena bagi saya, kuliah adalah proses dan wisuda adalah hasil. Semester 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, para dosen mengisi pikiran kita dengan berbagai mata kuliah, wawasan, pemikiran, semangat, inspirasi, tapi saat itu saya tak melihat semangat mereka membara. Sekarang, saat mereka hanya mengerjakan satu fokus masalah –judul skripsi- mereka semangat luar biasa, bukankah itu hal yang aneh?. Mereka –para calon sarjan pendidikan agama Islam- seperti menelan satu buah dan menyingkirkan buah-buahan yang lain dari hadapan mereka. Bersemangat dengan skripsi dan wisuda, tapi tak bersemangat dengan mata kuliah yang sudah ada sebelumnya. Maka jadilah sarjana yang gila gelar (membanggakan hasil dan tidak menghargai proses).

Kedua :
Saya sering sekali mendengarkan cita-cita sumbang seperti ini: “Kalau udah sarjana aku pengen honor di sekolah ini itu sambil buka usaha, bisnis, dan wirausaha. Jadi guru hanya sampingan saja”. Saya sangat-sangat tidak suka dengan cita-cita seperti ini. Bagi saya, inilah pangkal kerusakan pendidikan di negeri ini: munculnya guru-guru yang tidak niat menjadi guru. Guru bukanlah profesi yang ecek-ecek atau olok-olok. Seorang guru harus rela berkorban, mengorbankan waktunya, mengorbankan tenaganya, mengorbankan pikirannya bahkan mengorbankan hartanya demi sebuah tujuan yang mulia: yaitu mencerdaskan anak bangsa. 

Bila ada sarjana yang ingin menjadi guru namun hanya sekedar sampingan dan tidak niat dengan sungguh-sungguh, maka sebenarnya dia mengorbankan pendidikan demi sebuah kesenangan pribadi. Jika jadi guru, jadilah guru dan fokus!. Jika ingin menjadi seorang wirausaha, bisnisman, dan entrepreneur, silahkan!, dan jangan coba-coba masuk ke dalam wilayah pendidikan, karena guru bukan untuk ajang coba-coba apalagi hanya selingan dan pekerjaan sampingan. Hal inilah yang sangat saya ragukan dari para sarjana pendidikan agama Islam: lahir guru-guru agama yang berotak materi yang hanya mengejar keuntungan pribadi.

Akhirnya, saya bukan benci atau iri kepada mereka yang telah wisuda. Tapi dalam hati yang terdalam, saya punya harapan yang luar biasa dengan para sarjana; terutama sarjana pendidikan agama Islam. Saya tidak ingin melihat pendidikan kita tercoreng dengan lulusan-lulusan yang selalu terobsesi dengan hasil dan tidak menghargai proses. Saya juga tidak ingin mendengar cita-cita keliru dari para sarjana pendidikan agama Islam; yang terobsesi jadi pengusaha dan menjadikan “guru” hanya sekedar pekerjaan sampingan, yang akhirnya pendidikan menjadi korban.

Sekarang, pendidikan kita sangat bobrok. Mereka –para generasi penerus bangsa- menginginkan guru yang penuh semangat, menginspirasi, dan berani mengajarkan mereka untuk bermimpi. Mereka –para generasi penerus bangsa- perlu guru-guru yang menghargai proses bukan guru yang terobsesi dengan hasil. Tugas para sarjana tidaklah mudah, jadi persiapkan dengan sungguh-sungguh!. Jika anda berpeluh-peluh dan semangat untuk meraih gelar sarjana dan wisuda, maka lakukanlah hal yang sama untuk meningkatkan kompetensi keguruan anda. Jadi guru atau tidak sama sekali!, karena tugas dan tanggung jawab seorang guru tidak ringan.

catatan: tidak semua calon sarjana pendidikan Islam seperti diatas, tapi hampir kebanyakan......

Share:

0 komentar:

Posting Komentar