Membuat
status di media sosial tentang kegundahan hati saya mengenai wisuda dan sarjana
rasanya tidak cukup. Saya perlu ratusan kata untuk beropini tentang hal yang
satu ini. Fokus kritikan saya kali ini bukan untuk sarjana ekonomi, hukum,
pertanian, dsb. Tapi, tulisan yang bernada kritik ini meninting calon sarjana
pendidikan; terutama sarjana pendidikan agama Islam. Saya sudah sangat lama
memendam kegundahan ini, hanya saja saya perlu waktu yang tepat untuk
meluapkannya. Dan saya rasa inilah saatnya.
Ada dua
hal yang menjadi kegundahan saya ketika memandang sarjana dan calon sarjana pendidikan
agama Islam saat ini.
Pertama:
Saya adalah
seorang mahasiswa jurusan pendidikan agama Islam tingkat akhir. Ketika saya
berada dalam atmosfer akhir perkuliahan, saya melihat satu hal yang
paradoks. Saya melihat semangat kawan-kawan yang menyelesaikan skripsinya
sangat-sangat luar biasa. Semangat untuk meraih gelar sarjana dan wisuda juga
menggebu-gebu. Mereka –calon sarjana pendidikan agama Islam- rela menunggu
dosen selama berjam-jam hanya untuk mendapatkan bimbingan atau tanda tangan.
Mereka jadi rajin ke perpustakaan untuk mencari literatur, kajian teori, dan
penelitian sebelumnya. Luar biasa. Saya kagum......tapi tunggu dulu!.
Bila kita
mundur ke belakang -saat semester 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7-, saya tak melihat
semangat itu. Saya malah melihat kebalikannya. Banyak mereka –calon sarjana
pendidikan agama Islam- yang tak bersemangat untuk kuliah. Sering tidak hadir dalam
perkuliahan. Saya sering mendapati makalah mahasiswa dan mahasiwi dengan daftar
pustaka yang minim -paling lima sumber- dan itu kebanyakan comot dari internet.
Saya suka muak ketika melihat mereka mempresentasikan makalahnya di depan
kelas, mereka terlihat sangat-sangat tak bersemangat, tak menguasai bahan, dan
sering tak bisa menjawab pertanyaan audien. Saya sangat jarang melihat mereka
membaca, berdiskusi, membahas masalah perkuliahan dan sebagainya. Saya masih
sering mendapatkan mahasiswa-mahasiswi yang tidak bisa mengaji dan tidak
menguasai materi-materi pembelajaran agama Islam. Tapi, sekarang mereka tiba-tiba
ngebet banget pengen wisuda dan meraih gelar sarjana, are you serious?, sekarang
mereka baru semangat, lalu ke mana aja kemaren?,
Saya berkesimpulan
bahwa mereka –para calon sarjana pendidikan agama Islam- adalah orang-orang
yang terlalu terobsesi dengan hasil, dan tak menghargai proses. Karena bagi
saya, kuliah adalah proses dan wisuda adalah hasil. Semester 1, 2, 3, 4, 5, 6,
7, para dosen mengisi pikiran kita dengan berbagai mata kuliah, wawasan,
pemikiran, semangat, inspirasi, tapi saat itu saya tak melihat semangat mereka
membara. Sekarang, saat mereka hanya mengerjakan satu fokus masalah –judul
skripsi- mereka semangat luar biasa, bukankah itu hal yang aneh?. Mereka –para calon
sarjan pendidikan agama Islam- seperti menelan satu buah dan menyingkirkan
buah-buahan yang lain dari hadapan mereka. Bersemangat dengan skripsi dan
wisuda, tapi tak bersemangat dengan mata kuliah yang sudah ada sebelumnya. Maka
jadilah sarjana yang gila gelar (membanggakan hasil dan tidak menghargai
proses).
Kedua :
Saya
sering sekali mendengarkan cita-cita sumbang seperti ini: “Kalau udah
sarjana aku pengen honor di sekolah ini itu sambil buka usaha, bisnis, dan
wirausaha. Jadi guru hanya sampingan saja”. Saya sangat-sangat tidak suka
dengan cita-cita seperti ini. Bagi saya, inilah pangkal kerusakan pendidikan di
negeri ini: munculnya guru-guru yang tidak niat menjadi guru. Guru bukanlah
profesi yang ecek-ecek atau olok-olok. Seorang guru harus rela berkorban,
mengorbankan waktunya, mengorbankan tenaganya, mengorbankan pikirannya bahkan
mengorbankan hartanya demi sebuah tujuan yang mulia: yaitu mencerdaskan anak
bangsa.
Bila ada
sarjana yang ingin menjadi guru namun hanya sekedar sampingan dan tidak niat
dengan sungguh-sungguh, maka sebenarnya dia mengorbankan pendidikan demi sebuah
kesenangan pribadi. Jika jadi guru, jadilah guru dan fokus!. Jika ingin menjadi
seorang wirausaha, bisnisman, dan entrepreneur, silahkan!, dan jangan coba-coba
masuk ke dalam wilayah pendidikan, karena guru bukan untuk ajang coba-coba
apalagi hanya selingan dan pekerjaan sampingan. Hal inilah yang sangat saya
ragukan dari para sarjana pendidikan agama Islam: lahir guru-guru agama yang
berotak materi yang hanya mengejar keuntungan pribadi.
Akhirnya,
saya bukan benci atau iri kepada mereka yang telah wisuda. Tapi dalam hati yang
terdalam, saya punya harapan yang luar biasa dengan para sarjana; terutama
sarjana pendidikan agama Islam. Saya tidak ingin melihat pendidikan kita
tercoreng dengan lulusan-lulusan yang selalu terobsesi dengan hasil dan tidak
menghargai proses. Saya juga tidak ingin mendengar cita-cita keliru dari para
sarjana pendidikan agama Islam; yang terobsesi jadi pengusaha dan menjadikan
“guru” hanya sekedar pekerjaan sampingan, yang akhirnya pendidikan menjadi
korban.
Sekarang,
pendidikan kita sangat bobrok. Mereka –para generasi penerus bangsa- menginginkan
guru yang penuh semangat, menginspirasi, dan berani mengajarkan mereka untuk
bermimpi. Mereka –para generasi penerus bangsa- perlu guru-guru yang menghargai
proses bukan guru yang terobsesi dengan hasil. Tugas para sarjana tidaklah
mudah, jadi persiapkan dengan sungguh-sungguh!. Jika anda berpeluh-peluh dan
semangat untuk meraih gelar sarjana dan wisuda, maka lakukanlah hal yang sama
untuk meningkatkan kompetensi keguruan anda. Jadi guru atau tidak sama sekali!,
karena tugas dan tanggung jawab seorang guru tidak ringan.
catatan: tidak semua calon sarjana pendidikan Islam seperti diatas, tapi hampir kebanyakan......
catatan: tidak semua calon sarjana pendidikan Islam seperti diatas, tapi hampir kebanyakan......
0 komentar:
Posting Komentar