Rabu, 05 Juli 2017

CINTA DALAM SANGKAR



#1
Saya adalah seorang mahasiswa yang selalu berusaha untuk mandiri. Walaupun biaya kuliah saya masih ditanggung oleh orang tua, saya tetap berusaha untuk bekerja. Saya bekerja di sebuah lembaga sensor media sosial milik pribadi. Tugas saya adalah mengawasi setiap status, foto dan video yang diunggah ke media sosial. Meskipun tidak digaji, saya tetap ikhlas melakukannya. *Lirak-lirik... Saya juga nggak tau lagi ngomong apa.
Selama bekerja di lembaga sensor, saya jadi tau berbagai jenis status... lengkap dengan keadaan orang yang ada di balik status tersebut.
“DALAM SETIAP DOAKU, AKU SELALU MENYELIPKAN PERMOHONAN AGAR KAMU BISA MENJADI PENDAMPING HIDUPKU.” Nah, ini contoh status cowok/cewek yang lagi PDKT.
 “OKE, KALAU KAMU MAUNYA PUTUS. AKU SIH FINE AJA. TAPI INGAT!, UANG YANG KAMU PINJAM DARI AKU JANGAN LUPA DIBAYAR.” Yang ini contoh status saat berantem menjelang putus. Kebetulan si pembuat status adalah seorang debt collector.
“DIA SELALU TAU APA YANG AKU PERLUKAN. BAHKAN KETIKA AKU LAGI DATANG BULAN, PEMBALUT PUN DIA YANG BELIKAN.” Kalau yang ini contoh status seorang cewek yang gaya pacarannya udah tingkat ekstrem.
“MALAM MINGGU YANG KE 1144 DALAM HIDUPKU, AKU MASIH KUAT KOK SENDIRI TANPA KEHADIRANMU.” Dan yang ini contoh status saya sendiri, jones (jomblo maneis) *Ueekk,,, dililit tali pengecas.
Nah, di suatu malam, saat saya sedang fokus dengan rutinitas pekerjaan saya, tiba-tiba ada pesan masuk di messenger.
“Hai Bang.”
Pas saya liat dengan seksama, ternyata pesan itu dikirm oleh seorang cewek bernama Nita (Nita adalah nama samaran agar terlihat keren kayak drama FTV). Karena messenger terhubung dengan facebook, saya pun mengecek facebook dengan nama yang sama, rupanya cewek itu adalah adik kelas saya waktu masih sekolah dulu. Saya dan Nita sempat bertemu waktu awal-awal dia masuk kuliah. Dia mengambil jurusan pendidikan biologi di salah satu universitas ternama di Pontianak.
“Hai juga,” saya membalas pesannya.
“Apa kabar Bang?”.
“Baik, Nita apa kabar?.”
“Baik.”
“Tumben ngechat. Ada apa ni?, apa Abang ada hutang yang belum dibayar?.”
“Hahaha...emang nggak boleh?. Ya, Abang ada hutang, hutang perasaan.”
“Hutang perasaan?.”
“Nggak bah Bang, gurau,” balas Nita. “Lagi apa Bang?.”
“Lagi jalan-jalan di media sosial.”
Tiba-tiba chat terhenti, tidak ada balasan.
Biar nggak mati gentayangan karena penasaran dengan chat Nita yang malam itu tiba-tiba muncul dan tiba-tiba berhenti, saya pun mengunjungi media sosialnya dan memastikan bahwa akun Nita sedang tidak dikendalikan oleh robot. Alasan sebenarnya; saya pengen liat fotonya Nita. Aaaakkkk,,, *ditabok robot.
Foto-foto Nita di media sosial tampak cantik rupawan bak putri yang turun dari kahyangan. Saya kemudian memilih foto Nita yang paling cantik, lalu mendownloadnya. Lumayan. Jika ada yang bertanya kepada saya perihal ‘siapa calon istri saya?’, maka saya akan menunjukkan fotonya Nita. *Lebay tingkat Avengers. *Di smackdown Hulk.
Keesokan harinya, saat matahari baru saja bangun dari tidur panjangnya, dan setelah saya baru saja selesai melakukan rutinitas pola hidup sehat (berak), Nita membalas chat saya yang semalam. Sekedar informasi, menurut mantri yang pernah meriksa tekanan darah saya, berak adalah rutinitas pagi yang menyehatkan.
“Sori Bang, chatnya semalam nggak di balas.”
“O nggak apa-apa,” balas saya sambil tersenyum lega sambil mengendus-ngendus curiga karena ada bau tak sedap yang muncul dari arah selangkangan, keliatannya cebokan pagi ini masih kurang bersih. Oke,  fix, sepertinya saya harus cebok sekali lagi.
“Soalnya semalam ketiduran Bang.”
“Oh, GPP,” jawab saya singkat karena posisi lagi nggak stabil (antara megang HP sama megang gayung buat cebok pantat).
“Udah sampai mana skripsinya?.”
Kok Nita tau?. Oh, mungkin karena dia baca status mewek saya di media sosial. Saya bingung, mengapa setiap orang yang chat ke saya nanyanya selalu masalah skripsi. Pertanyaan seperti itu sama sekali tidak mempercepat proses pengerjaan skripsi, yang ada malah memperlambat karena skripsier (pengerja skripsi) malah jadi sibuk menjawab pertanyaan daripada mengerjakan. Tidak adakah pertanyaan lain yang dapat mempercepat proses pengerjaan skripsi seperti “Mau beli skripsi nggak?”. *Lah?...
“Ya ini lagi proses. Emmm... masih proses pecah BAB si Nit. Soalnya dosen pembimbing Abang sering nggak ada di kampus,” jawab saya dengan mengambinghitamkan dosen pembimbing. *Wushhhh.... langsung disleding Buk Laili (dosen pembimbing).
“Oh gitu. Udah dulu ya Bang, Nita mau ke kampus.”
“O ya, hati-hati.”
***
#2
Selama menjomblo saya jadi lebih rajin menulis di blog. Dari situ saya berkesimpulan bahwa kreatifitas seseorang dapat meningkat bila ia menjomblo. Dan oleh sebab itulah, sampai saat ini saya lebih memilih untuk sendiri. Tsah...
Pada suatu hari sesudah saya memposting sebuah tulisan di blog dan membagikannya di media sosial, Nita merespon tulisan tersebut lewat messenger.
“Tulisannya bagus Bang.”
“Tulisan yang mana?.”
“Itu, tulisan yang barusan Abang posting. Tadi Nita baca.”
“Oh tulisan itu. Masa’ sih bagus?. Perasaan biasa aja,” jawab saya sok cool, padahal aslinya udah kejang-kejang kayak abis kesetrum.
“Ya lumayan, ada pesan yang bisa didapatkan dari tulisannya.”
Seusai membaca pesan Nita, saya langsung terbang sampai ke bulan.
***
#3
Seperti jomblo kebanyakan, saya selalu memiliki banyak waktu luang. Dan waktu luang itu selalu saya isi dengan kegiatan yang produktif dan positif seperti membaca buku. Selain membaca buku, saya juga melakukan kegiatan produktif yang lain; TIDUR. Mengapa saya suka tidur?. Karena menurut beberapa artikel yang pernah saya baca; tidur sangat penting bagi tubuh untuk menyimpan energi. Bahkan sebaiknya kita tidur 14 sampai 20 jam perhari. Namun akhir-akhir ini saya baru menyadari kalau artikel yang menjelaskan hal tersebut adalah artikel yang membahas pola hidup Kelalawar dan Armadillo, hewan dengan waktu tidur terpanjang. Hmmm... jadi selama ini saya menerapkan pola hidup seekor Kelalawar. Citcitcitcit..... *Terbang ke gua.
Oke, cukup sudah membahas pola hidup kelalawar yang saya terapkan. Kita balik ke rutinitas positif yang lain, yaitu membaca buku. Kebiasaan saya kalau lagi membaca buku atau mungkin setelah habis membaca sebuah buku adalah menguploadnya ke media sosial. Tujuan utamanya sih baik, yaitu memotivasi orang lain agar ikut membaca. Tujuan kedua yang mungkin kurang baik: PAMER. *Lah?....
Waktu saya ngupload foto beberapa buku yang sudah saya baca, Nita tiba-tiba mengirim pesan.
“Banyak banget bukunya Bang.”
“Hehehe,,ya lumayan.”
“Keren Bang.”
“Pasti dong, Abang dari lahir emang udah keren.” Hiyaaa... *Langsung Joget kece ala Sarah Sechan.
“Hehehe...lebay Bang iuewww.” “Buku apa aja yang udah dibaca Bang?.”
“Lumayan banyak sih, nggak mungkin disebutin satu persatu.” Padahal saya memang nggak terlalu tau dengan buku yang saya baca. Sok-sok an doang.
“Mantap Bang., (terus ngasi emotikon jempol yang jarinya diperban)”.
“Lagi apa?.” Saya mencoba mengalihkan perhatian agar yang dibahas nggak sekedar tentang saya.
“Lagi baring-baring aja Bang, nunggu mata ngantuk.”
Menunggu mata ngantuk?. Apakah Nita menganggap saya seperti kumpulan kambing melompat pagar yang dijadikan orang-orang sebagai pancingan agar mata kantuk?. Emang mirip kambing sih.
“Oh. Biasanya kalau dibawa chat malah nggak bisa tidur,” kata saya sok-sok perhatian, padahal sebaliknya; saya berharap dia nggak usah tidur duluan.
“Oh gitu ya Bang. Ya udah deh, Nita tidur dulu ya.”
Lahhhh.....?
Akhirnya saya cuma bisa balas, “Selamat tidur.” Ncuppp.... *Cium HP
***
#4
Seharusnya kita bersyukur hidup di era media sosial yang sedang menjamur seperti saat ini.
Mengapa?.
Karena naluri kekepoan kita terhadap sesuatu bisa sedikit terobati.
Bagaimana tidak?. Orang-orang akan membagi apa saja tentang dirinya di media sosial, mulai dari yang sifatnya umum sampai yang pribadi. Semakin banyak hal yang ia bagikan di media sosial, semakin banyak pula orang lain tau tentang dirinya.
Agar usaha para founding father media sosial ini tidak sia-sia, sayapun selalu memanfaatkannya untuk stalking media sosialnya Nita. Dari hasil pengamatan saya, Nita adalah tipe cewek yang jarang berbagi di media sosial, terutama nulis status. Nggak seperti cewek kebanyakan yang hyperstatus; lagi kerja update status, lagi makan update status, lagi minum update status, bahkan pada saat menghirup udara  pun menyempatkan untuk membuat status, “BERNAFAS DULU YA GAES.” *Oke,  lebay.
Karena Nita jarang update status, saya jadi kurang memahami Apa, Siapa, Kapan, Dimana, Mengapa dan Bagaimana seseorang yang bernama Nita. Hmmm... Akhirnya rumus 5W+1H yang dipelajari waktu SD kepake juga, makasih Bu’ Nur (guru bahasa Indonesia saya waktu SD). *Cium tangan Bu’ Nur.
Namun pada suatu hari Nita akhirnya buat status juga. 

“Pengen ke perpustakaan tapi nggak ada teman.” 

 Menurut saya, status Nita di atas nggak mungkin bermaksud bahwa Nita pengen makan cilok. Nggak mungkin. Status di atas pasti bermaksud bahwa Nita pengen minta temenin ke perpustakaan. Oke, saya memang jenius dalam memahami status. *Bertopang dagu ala Einstein.
Sebagai cowok yang peka terhadap rangsangan (dalam arti yang positif), saya langsung merespon status tersebut lewat DM.
“Tenang, ntar Abang temenin.”
“Serius?.”
“Serius. Perpustakaan mana?.”
“Perpustakaan daerah. Beneran mau nemenin ni Bang?.”
“Beneran. Kapan mau pergi ke sana?.”
“Kalau ada teman sih sekarang juga bisa.”
“Oke, sekarang ya?.”
“Oke, tapi Nita mandi dulu ya.”
Mandi?, Saya melihat jam dinding yang sedang menunjukkan pukul 10 pagi. Apa?, Nita baru mau mandi jam 10 pagi?. Huft... dari situ saya menerka bahwa Nita adalah cewek yang malas mandi. *Dipeluk Nita, hmmm....
Saya pun menunggu sambil mandi. *Lah?...
Selesai mandi dan menunggu hampir setengah jam, chat dari Nita masuk, “Nita udah siap Bang. Ini perginya mau barengan atau gimana?.”
“Emang Nita tinggal dimana?”
“Di ***** (nama tempat disensor).”
Saya berpikir sejenak. Oke, tiba-tiba saya mendapat ilham; karena saya nggak mau terkena fitnah (Uhukkk,,, *Batuk ala Ustadz), akhirnya saya bilang ke Nita lebih baik pergi masing-masing aja, padahal alasan sebenarnya adalah bensin motor lagi sekarat.
“Oke lah Bang, kita ketemu di perpustakaan aja.”
“Sip”. Saya pun langsung melaju dengan kecepatan maksimal: 30 km/jam.
Di tengah perjalanan saya mencoba mengingat kapan terakhir kali saya masuk ke perpustakaan daerah. Sepertinya terakhir kali saya ke perpusatakaan daerah pada saat semester dua, itu sekitar tiga tahun yang lalu.
Sesampainya di parkiran perpustakaan, tiba-tiba sebuah motor Scoopy hitam datang dan langsung parkir di sebelah motor saya. Jika dilihat dari penampilan luar, saya sudah tau bahwa orang yang berada di atas motor itu adalah cewek, kelihatan dari jilbab yang ia kenakan. (Ya iyalah, nggak mungkin Satpam Perpus pake jilbab).
Dia langsung mematikan motor dan membuka kaca helm. Dari parasnya saya yakin kalau dia adalah Nita. Hanya saja, sepertinya dia tidak menyadari kalau cowok yang masih bertengger ganteng di atas motor di samping dirinya adalah orang yang akan menemaninya mencari ilmu di perpustakaan.
Nita menancapkan helmnya di kaca spion, turun dari motor dan langsung meluncur menuju pintu masuk. Begitu berbedanyakah tampang saya di media sosial dengan yang asli?. Apakah tampang saya yang asli lebih ganteng, sampai-sampai Nita pun malu untuk melirik ke arah wajah saya?. Atau mungkin karena terlalu hancur, sehingga dia nggak berani noleh. Sepertinya yang kedua lebih masuk akal. *Nempelin muka di knalpot.
Saya harus segera menyadarkan Nita agar ia tahu bahwa cowok yang barusan ada di sampingnya adalah saya (orang yang bakal nemenin dia).
“Nita,” saya berusaha memanggil dengan suara yang agak sumbang. “Nit...”
Nita langsung menoleh, mencari sumber suara.
“Hei,” saya melambaikan tangan.
Nita langsung memerhatikan saya, mengernyitkan dahi seolah ragu dengan cowok yang sedang memanggilnya. Saya berusaha mendekati Nita untuk memperjelas wujud, mungkin matanya udah minus.
“Bang Yazid?,” tanya Nita sambil mengangkat dengan agak ragu jari telunjuknya ke arah saya.
“Ya, Nita kan,” saya berjalan tampan ke arah Nita... Srukkk... kesandung gundukan aspal. *Kamprettt...
Nita ketawa sambil nutupin mulutnya. “Hati-hati Bang!.”
“Nggak apa-apa, huft...” saya memegang lutut. Sepertinya bakal cedera.
Awalnya Nita ingin membantu saya berdiri, tapi batal karena mungkin melihat tampang saya yang nggak karuan.
Saya akhirnya berdiri sendiri sambil meringis, dan sesekali mengusap-ngusap lutut.
“Beda ya Bang?.”
“Haaa?, beda? Lutut saya beda?, wah jangan-jangan beneran cedera,” saya mulai panik, kemudian mencari bagian lutut mana yang posisinya jadi beda.
“Bukan lututnya,” Nita tersenyum. “Abangnya yang beda, wajahnya.”
“...”
Oke sepertinya saya memang kelihatan lebih rusak di dunia asli, ketahuan foto profil hasil permak di photoshop.
“Oh gitu ya. Kamu juga beda.” Kata saya mulai merancang serangan balik (ngegombal).
“Beda kenapa?,” tanya Nita mulai salah tingkah sambil ngeliatin penampilannya.
“Kamu makin cantik.” Skak mat.
Nita langsung keliatan malu, pipinya memerah, pupil matanya membesar. Apakah ia jatuh cinta pada pandangan pertama, atau malah jijik pada pandangan pertama?. Hmmm...
Namun apa yang saya katakan bukanlah sekedar gombalan palsu. Nita benar-benar tampak modis dengan atasan kaos putih berbalut jaket denim, serta bawahan dengan celana levis yang match ama sepatu converse di kakinya. Penampilannya memang maskulin, tapi wajahnya feminin.
“Masuk yuk!,” ajak saya.
“Yuk.”
Ketika berada di depan pintu masuk, seorang cewek tiba-tiba keluar dari perpustakaan, memperhatikan Nita sebentar dan menyapa, “Hei Nita.” Cewek itu tampak histeris saat bertemu Nita. Saking histerisnya, ia sampai melompat-lompat seolah sedang bermain lompat tali.
“Hei,” balas Nita tak kalah antusias.
Mereka kemudian cipika-cipiki. Sepertinya cewek yang baru saja keluar itu adalah teman lamanya Nita, atau mungkin teman akrabnya.
Mereka begitu asik ngobrol berdua, sementara saya hanya bisa terpaku bagaikan sekeping kacang kulit diantara dua wanita cantik. Merasa dikacangin, saya langsung meminta izin kepada Nita untuk masuk duluan.
“Abang masuk duluan ya Nit.”
“O iya Bang.”
Pas udah masuk ke dalam perpustakaan, saya langsung menuju lemari locker untuk menyimpan tas. Saya memandangi lemari locker itu satu persatu untuk mencari tempat yang masih kosong. Tapi saya nggak nemuin satupun kunci yang kecantol di pintu locker. Seingat saya waktu terakhir kali saya kesini (3 tahun yang lalu), kuncinya pasti dicantolin di pintu locker. Ah, mungkin lockernya nggak dikunci atau mungkin juga kuncinya ada di dalam locker, atau barangkali kunci lockernya belum dibuat oleh Abang-Abang tukang buat lemari locker. Apa sih.
Saya berusaha membuka locker mulai dari cara yang pelan sampai cara yang agak kasar. Dan hasilnya?, tetap saja tidak bisa terbuka. Saya mencoba membuka locker lainnya dengan wajah panik.
Tiba-tiba Nita datang, melihat saya yang lagi berusaha membuka paksa beberapa lemari locker.
“Ngapain bang?”
“Mau buka ini, kok susah ya?,” saya masih belum menyerah.
Klek (suara kunci Nita saat membuka locker yang ada di depannya).
Saya kemudian berhenti berusaha, melirik bingung ke arah Nita yang sedang menyimpan tasnya ke dalam lemari locker. Kok bisa?.
Ahhh... mungkin Nita lagi beruntung aja sehingga ia mendapatkan lemari locker yang bisa kebuka. Saya tidak mau kalah, saya mencoba beralih ke beberapa lemari locker yang belum saya jajal.
“Abang ngapa sih?, kok semua lemari locker dibuka-buka kayak gitu?,” tanya Nita heran.
Saya kaget, kemudian menggaruk-garuk kepala, “Ini lockernya kok nggak bisa kebuka ya?.”
“Abang udah minta kunci dengan petugas di depan belum?.”
“Emang kuncinya di petugas?.”
Nita ketawa, “Ya iyalah Bang. Kunci lockernya kan ada di depan sama petugas. Kita kasi kartu identitas ke petugas, setelah itu petugasnya ngasi kunci locker ke kita.”
Saya langsung bergegas menuju petugas. Tapi sebelum itu saya ke WC dulu untuk merendam wajah saya yang udah keliatan norak di depan Nita. *Uaaaaaaaa,,,,blub,,,blub,,,blub.
Setelah menukarkan kartu identitas untuk mendapatkan kunci locker, saya pun memasukkan tas ke dalam lemari locker dan naik ke lantai dua menuju ruang koleksi dan referensi bersama Nita. Katanya sih mau cari ensiklopedia dan buku fisiologi tumbuhan buat nyelesain tugas kuliah.
Mungkin karena Nita udah sering nyari buku di sini, jadi buku yang ia perlukan dengan cepat ia dapatkan, sementara saya harus keliling dulu dari rak buku satu ke rak buku lainnya. Pokoknya udah mirip kera sakti yang mengembara mencari kitab suci.
Setelah mendapatkan banyak buku, Nita mendekati saya yang masih kebingungan memilih buku untuk dibaca.
“Nita ke sana dulu ya,” kata Nita menunjuk ke arah meja panjang, tempat para pengunjung membaca dan mengerjakan tugas.
“O iya.”
Sewaktu Nita mengerjakan tugasnya di meja panjang itu, saya diam-diam melirik ke arahnya. Dalam hati saya berkata, “sempurna” (sambil mutar-mutar jari ke arah depan kayak Demian sehabis main sulap). Bedanya, kalau Demian ganteng dan pandai main sulap, sementara saya cemen dan gagal jadi pesulap.
Tiba-tiba Nita ngeliat saya, lalu dengan cepat pula saya mengalihkan kembali pandangan ke arah tumpukan buku.
Sepertinya semua buku yang ada di ruangan ini adalah buku induk dan buku referensi. Contohnya barisan buku yang ada di depan saya, semuanya penuh dengan buku mengenai teori anatomi; anatomi kedokteran, anatomi fisiologi, sampai anatomi sistem rerproduksi. Saya nggak mungkin memilih buku anatomi reproduksi yang isinya bentuk luar dan bentuk dalam kelamin manusia untuk dibaca di samping Nita. Ntar saya malah dikira penjahat kelamin.
Oke, saya pun beralih ke rak lain. Di rak selanjutnya hanya ada kamus bahasa dunia yang tebalnya war biasaahh. Sepertinya saya juga nggak mungkin duduk di samping Nita sambil sok-sok’an kayak pembaca ulung dengan buku KBBI di tangan.
Karena nggak nemu, akhirnya saya ke ruangan lain yang tidak jauh dari ruangan koleksi dan referensi untuk mencari bacaan yang ringan. Dan dapatlah novelnya Lupus karya Hilman.
Saya kemudian kembali ke ruangan koleksi dan duduk di samping Nita. Aroma parfumnya tercium dari tempat saya duduk. Eummmm... saya menarik nafas dalam-dalam dan berkata dalam hati: “WANGIIIII”. Kemudian saya mencium bau badan saya untuk membandingkan mana yang wangi antara saya dan Nita. Eummm... saya menarik nafas dalam-dalam dan berkata dalam hati, “Semoga saja Nita sedang pilek, biar nggak bisa mencium bau busuk yang menguar dari tubuh seorang bocah yang jarang mandi di samping dirinya.”
Saya sempat melihat Nita sebentar, kelihatannya ia tampak fokus dengan tugasnya.
Sebagai cowok yang baik, saya melihat sekeliling ruangan bak petugas PASPAMPRES untuk memastikan tidak ada satupun ancaman yang dapat membahayakan Nita. Oke, aman.
Saya mulai membuka novel yang saya ambil dan membaca halaman demi halaman, hingga akhirnya saya menguap kengantukan. Sepertinya saya nggak kuat lagi untuk membaca. Saya kemudian melihat Nita yang masih segar bugar menatap layar laptopnya, juga sesekali melihat buku di samping kanannya.
“Nit, lagi ngerjain apa?,” saya bertanya dengan suara lirih untuk menghormati pengunjung yang lain agar tidak terganggu. Sewaktu saya nanya lirih seperti itu, Nita mendekatkan tangannya ke hidung dengan malu-malu. “O my God, kayaknya tadi saya lupa sikat gigi,” batin saya.
“Ini Bang, lagi ngerjain tugas fisiologi tumbuhan. Disuruh buat peta konsep dan dipresentasikan. Ini lagi ngumpulin bahannya buat jaga-jaga, siapa tau ditanya atau disuruh menjelaskan  lebih detail lagi di kelas,” jelas Nita dengan suara yang lirih.
“Oh....emang fisiologi tumbuhan itu apa?” tanya saya masih dengan suarah lirih. Saling ngobrol dengan suara lirih sukses membuat kami berdua seperti maling ayam yang sedang beraksi.
“Fisiologi tumbuhan ini kayak belajar kehidupan tumbuhan (sel, jaringan, organ, dan sistem organ) dan respon dia terhadap keadaan sekitarnya.”
Keren ya anak biologi, belajarnya fisiolologi. Kalau Abang di jurusan agama palingan belajar tata cara mandi haid sama mandi junub.”
Nita mengernyitkan dahi, kemudian langsung melepaskan tawa sambil menghempaskan tangan ke buku. Para pengunjung memperhatikan kami berdua. Kami terdiam dan kembali ke pekerjaan masing-masing.
Tapi tidak lama kemudian, kami berdua kembali melanjutkan pembicaraan dengan suara yang tak kalah pelan dari sebelumnya. Saya juga melemparkan beberapa candaan garing yang entah kenapa Nita selalu tertawa saat mendengarnya.
Hari itu, di perpustakaan, kami saling bercanda dan tertawa. Sok sweet....
***
Pertemuan adalah jembatan untuk mengetahui sifat seseorang. Pertemuan akan memberikan kesan, bisa baik, bisa buruk. Saya berharap pertemuan hari ini akan berlanjut pada pertemuan berikutnya. Semoga saja Nita merasakan sesuatu yang sama dengan apa yang saya rasakan malam ini, RINDU.
Saya menyantap semangkuk mi instan sambil duduk di atas sebuah kursi dan melihat suasana malam kota dari jendela. Perkotaan tampak lelah namun tetap indah dengan titik lampu yang bertebaran di mana-mana. Tiba-tiba ada pesan masuk dari Nita di messenger.
“Terima kasih ya Bang atas hari ini.”
“Sama-sama. Belum tidur Nit?.”
“Belum lah Bang, masih awal juga pun. Abang lagi apa?.”
“Ini lagi makan mi sambil merhatiin pemandangan malam dari jendela.”
“Jangan keseringan makan mi Bang!. Nggak baik buat usus dan lambung.”
Sebenanrya saya juga nggak pengen makan mi, tapi berhubung hari ini uang lagi menipis, jadi apa boleh buat?, “Nggak sering kok, cuma lagi pengen aja.”
“Baguslah. Sekali lagi terima kasih ya Bang. Baru kali ini Nita comfort ke perpustakaan sama cowok,” puji Nita.
Membaca chat Nita membuat saya bahagia. Apakah ini yang namanya jatuh cinta?. Slurppp... saya menyedot buntalan mi instan dengan penuh nafsu. Karena cinta, mi instan tiba-tiba rasa ayam KFC. Saking eskpresifnya, saya ngayun-ngayun kursi pakai kaki dan... brakkkk, jatuh beneran. Meskipun jatuh dari kursi, saya tidak merasa sakit sedikitpun. Hmmm... Benar kata orang kebanyakan; “Jatuh cinta bisa buat orang jadi gila”. *Hulala... joget kayak orang gila.
***
# 5
Beberapa hari setelah nemenin Nita ke perpustakaan, Nita ngajak saya cari buku ke Gramedia.
“Bang malam ini ada kegiatan nggak?.”
“Nggak ada, emang ngapa?.”
“Ke Gramedia yuk.”
“Ngapain?.”
“Nyulik Mbak-Mbak Gramedia.”
Oke, sepertinya Nita lagi mabok lem Glukol (lem kertas).
“Ha....?, beneran?.”
“Ya nggak lah Bang. Nita mau cari buku. Lagian kutu buku kayak Abang mana mau diajak ke tempat lain kayak kafe dan sebagainya.”
Nita sepertinya sudah memahami secuil dari hidup saya. Memang akhir-akhir ini saya sangat rajin ke toko buku, lebih rajin daripada ngurusin skrispi ke dosen pembimbing. Tapi perkataan Nita bahwa saya nggak suka tempat hiburan lain selain toko buku itu sudah jelas keliru. Selain toko buku, saya juga suka mendatangi tempat-tempat hiburan lain seperti pasar malam. Oke, sip. Selera saya memang rendah.
Seperti biasa, kita berjanji ketemu langsung di tempat. Jika di perpustakaan kita datang hampir berbarengan, maka malam ini saya yang datang duluan. Saya langsung masuk menuju Gramedia.
Sesampainya di ruangan Gramedia, saya mengabari Nita kalau saya udah sampai di tempat tujuan. Beberapa menit kemudian saya melihat chat yang saya kirimkan. Masih belum ada balasan. Saya mulai gelisah, jangan-jangan Nita benar-benar pengen menculik mbak-mbak Gramedia. Dan saya disuruh datang duluan untuk mengecek situasi dan kondisi. Oke, sepertinya fantasi saya sedikit berlebihan.
Sambil menunggu Nita, saya mendatangi satu persatu rak buku, mulai dari sastra sampai agama. Mutar-mutar terus sampai Mbak-Mbak Gramedianya memasang wajah curiga kepada saya, mungkin Mbaknya mengira saya adalah anak remaja yang nggak niat belanja tapi doyan nyobekin plastik segel buku.
Tiba-tiba HP saya getar, chat Nita masuk.
“Dimana Bang?. Udah di Gramedia ya?. Sori telat.”
“Ini udah di Gramedia.”
“Oke, Nita udah di Mal. Bentar lagi mau masuk Gramedia. Abang dimananya?”
“Abang di sekitaran rak buku bagian novel, dekat-dekat kasir.”
“Oke.”
Tak lama kemudian seorang cewek memanggil saya dari belakang. “Bang... Bang.”
Dipanggil seperti itu, saya serasa jadi Abang-Abang penjual somay yang lagi mangkal di Gramedia.
Saya membalik badan dan woww... saya melihat Nita dengan penampilan yang berbeda jauh dari sebelumnya. Malam ini dia tampak anggun. Ia mengenakan baju tunik berwarna merah yang memanjang hingga lutut, celana legging hitam dan sepatu high heels.
“Udah lama ya, sori ya,” Nita meminta maaf.
Sebagai cowok yang baik, saya pun memaafkannya dan menganggap itu bukanlah suatu masalah. Jangankan menunggu setengah jam, menunggu sampai ubanan pun saya jabanin, asal itu menunggu dirimu. (Silahkan muntah)
“Nggak apa-apa Nit. Santai....,” jawab saya tampan, padahal kaki udah kesemutan.
“Emm... sori ya. O ya, buku untuk anak-anak dimana ya?.”
“Oh disana Nit,” saya menunjuk deretan rak buku di pojokan. Saya kemudian mengarahkan Nita menuju rak buku anak dengan begitu enerjik dan bersemangat udak kayak Abang-Abang pegawai Gramedia. Ya, saya memang berbakat jadi penjaga toko buku. Tapi sayang, hingga saat ini pihak Gramedia belum mengetahui bakat terpendam tersebut. *Disepak menejer Gramedia.
Sesampainya di rak buku anak, Nita langsung memilih buku yang tersedia. Tiba-tiba saya melihat ada sebuah buku anak dengan gambar putri salju di kovernya. Siapa yang tak kenal putri salju?, dia adalah tokoh dalam film animasi yang terkenal dengan kecantikannya
“Mirip kamu ya Nit,” kata saya kepada Nita sambil menunjuk gambar putri salju yang ada di kover buku tersebut.
Nita tersenyum. Saat itu, wajahnya terlihat semakin cantik.
Nita kemudian mengambil salah satu buku yang kovernya ada gambar monyet, “Ini mirip Abang,” balas Nita sambil ketawa.
Saya ikut ketawa. Dari cara tertawanya yang lepas, saya merasa ia sedang mengatakan sesuatu dengan penuh kejujuran; gambar monyet itu memang mirip dengan saya. *Lompat dari lantai Mal.
“Buat apa beli buku anak, Nit?,” tanya saya.
“Nita mau cari buku buat keponakan.”
“Abang bantu cariin yang bagus ya,” kata saya sambil ikutan milih-milih buku. Buku yang ada gambar monyetnya saya selipin ke tempat yang paling bawah. “Mampus lo, mampus!. Nggak laku, nggak laku deh lo,” maki saya dalam hati.
“Nita beli buku ini biar keponakan pada rajin baca kayak Abang,” ujar Nita. Kalimat itu membuat saya melayang sampai ke langit-langit toko Gramedia. “Minat baca harus ditumbuhkan sejak dini kan Bang?,” tanya Nita. Dia belum sadar kalau saya masih nyangkut di langit-langit toko. *Oke, lebay.
“Hu’uh Nit, benar banget tu,” kata saya.
Setelah cukup lama memilih, akhirnya ia fix dengan tiga buah buku dongeng yang sudah dipilih, “Oke Bang, bukunya udah dapat,” ucap Nita. Dan entah mengapa, diantara ketiga buku yang Nita pilih, terselip buku yang kovernya ada gambar monyet sialan itu.
“Nit, ke rak novel yuk!,” pinta saya. “Abang mau cari novel.”
“Yuk.”
Sesampainya di rak bagian novel, saya mengambil novel karya Harper Lee berjudul To Kill a Mockingbird.
“Itu novel tentang apa?,” tanya Nita.
“Belum tau juga sih. Tapi beberapa review di internet bilang ini novel tentang ketidakadilan di badan peradilan gitu. Juga tentang masalah rasis di kota kecil Alabama sekitaran tahun 1930an.”
“Oh... nggak ada romancenya dong.”
Saya tersenyum, “Nggak tau juga sih, ntar lah baca. Tapi kayaknya sih nggak ada.”
Saya melihat beberapa novel lain di samping novelnya Harper Lee. Kemudian Nita juga ikut memilih novel yang ada di rak tersebut. Ia mengambil novel metropop yang isinya cinta-cintaan.
“Kamu suka novel kayak gitu ya?,” saya meledek selera baca Nita.
“Iya, Nita suka novel yang kayak gini,” jawab Nita sambil serius memandangi sinopsis di bagian belakang novel.
Setelah baca sinopsis dan merasa tidak tertarik, Nita memilih novel yang lain. “Abang suka novel romance?,” tanya Nita sambil memandangi novel cinta-cintaan lainnya.
“Nggak terlalu suka.”
“Alasannya?.”
“Karena ceritanya nggak beneran, terlalu dramatis, nggak sesuai kenyataan.”
Nita langsung memperhatikan saya, manggut-manggut seolah sedang mencerna alasan yang barusan saya sampaikan. “Ya sih. Tapi walaupun nggak beneran secara detailnya, secara garis besar itu pasti terinspirasi dari kehidupan nyata,” Jelas Nita. Ia kemudian kembali mengacak-ngacak novel yang ada di rak, “Seperti jatuh cinta, patah hati, dihianati, cinta yang bertepuk sebelah tangan, friendzone, cemburu dan lain-lain, semua itu ada di kehidupan kan?,” ungkap Nita.
Sekarang giliran saya yang manggut-manggut untuk mencerna kalimat yang barusan di lemparkan Nita. Cerita tidak pernah sama dengan kejadiaan yang sebenarnya, pasti ada tambahan agar terlihat dramatis, bisa juga terdistorsi agar hal-hal kecil yang menggangu tidak membuat pengonsumsi cerita menjadi bosan. Tapi setiap cerita punya makna, dan makna itulah yang dicari oleh pembaca seperti Nita.
Malam itu kami membawa pulang beberapa buku. Nita membeli tiga buku anak dan satu novel romance dari Ika Natasha. Sementara saya membawa pulang novel Mockingbirdnya Harper Lee. Setelah itu kita sempat jalan-jalan sebentar di Mal sambil bercerita tentang berbagai hal: mulai dari kuliah, buku, keluarga hingga masa depan. Saat berjalan dengan saya, Nita tampak begitu menikmati, begitupula dengan saya. Uhuk...
***
 # 6
Sepulang dari Gramedia, saat saya bersiap untuk tidur malam, chat Nita masuk.
“Lagi apa Bang?.”
“Lagi baring. Nita lagi apa?.”
“Sama.” “Eh Bang, boleh nggak Nita nanya sesuatu?.”
“Kok samaan ya?. Boleh, jangankan nanya, buat soal UN untuk Abang juga boleh.”
“Yeee Abang. Emm, Abang ada dekat sama cewek lain selain Nita nggak?”
Saya memikirkan pertanyaan Nita dengan sangat cermat. ‘Ada dekat sama cewek lain selain Nita?,’ maksudnya?. Kalau dijawab banyak, ya emang banyak, maksudnya... ya cewek di keluarga saya kan banyak dan tentunya saya dekat dengan mereka. Begitu juga teman cewek, banyak juga yang dekat, makanya ada istilah teman dekat. Kecuali kalau pertanyaannya ‘cewek yang BENAR-BENAR dekat selain keluarga’, nah jika demikian maksudnya barulah saya akan menjawab nggak ada, dan mungkin maksud pertanyaan Nita adalah ‘cewek yang benar-benar dekat selain keluarga’.
“Emm... nggak ada sih Nit,” jawab saya.
“Oh gitu ya. Tanya lagi boleh nggak?.”
“Yap, silahkan ibu dari majlis ta’lim Sakinah Mawaddah.”
“Yei,,, emangnya pengajian. Kalau ada yang suka sama Abang, gimana?.”
“Emang ada?.”
“Ya... kan misalkan Bang.”
Saya udah bisa menebak chat Nita selanjutnya. Pasti Nita pengen bilang kalau dia suka sama saya. Tapi saya nggak mau tergesa-gesa untuk mencapai klimaks, nikmatin aja dulu, uyeee. “Emang siapa yang suka?.”
“Nita.”
Seeeerrrr.... (klimaks) *muncrat kemana-mana. “Sebenarnya Abang juga suka kok sama Nita.” *Ngebohay.
“Kalau gitu, bagaimana kalau kita jadian?.”
“Jadian?, maksudnya?.”
“Ya, pacaran.”
Jeger... angin topan melanda, kilat saling menyambar, guntur menggelegar, semua itu terjadi saat kalimat itu terlempar dari seorang cewek bernama Nita. *Oke lebay.
“Sepertinya nggak bisa Nit.”
“Nggak bisa?, Kenapa?. Kita kan udah sama-sama suka?.”
“Jujur, Abang memang suka. Tapi Abang belum bisa menjalani suatu hubungan yang serius. Karena Abang belum punya bekal untuk ke situ. Abang belum kerja, belum punya penghasilan, bahkan masa depan juga masih suram.”
“Jalanin aja dulu.”
“Gini Nita, Abang boleh tanya sesuatu nggak?.”
“Hmm.. apa?.”
“Kira-kira jahat nggak seseorang yang menyukai seekor burung, kemudian membelinya dan memenjarakannya di dalam sebuah sangkar tanpa memastikan di awal -saat membeli- ia akan memberi makan burung tersebut?.”
“Dia suka, membeli, mengurung, tapi saat membeli di awal nggak memastikan kalau ia mampu memberi burung tersebut makan?.”
“Ya. Jahat nggak?.”
“Ya jahat lah. Ini kok jadi bahas burung Bang?.”
“Hehehe... ngapa Nita bilang dia jahat?.”
“Karena pada saat membeli, orang itu nggak memastikan terlebih dahulu ‘mampu-tidaknya ia memberi burung itu makan’.”
“Berarti letak salahnya dimana?.”
“Nggak memastikan dari awal bahwa ia mampu ngasi makan.”
“Begitu juga Abang. Abang akan menjadi jahat jika menjalin hubungan tanpa sebuah jaminan akan kepastian. Jaminan kepastian nggak hanya cinta Nit, materi, pekerjaan, penghasilan, tempat tinggal, dan bekal untuk masa depan, itu semua jaminan, dan saat ini Abang nggak punya itu. Abang nggak ingin memenjarakan Nita di dalam sebuah hubungan yang nggak punya jaminan, meskipun Abang juga suka sama Nita. Lebih baik Nita bebas, karena siapa tau Nita bakal hinggap di tempat orang yang siap.”
Malam itu saya menunggu balasan dari Nita. Namun hingga keesokan paginya pesan itu masih tidak terbalas. Pesan panjang terakhir itu hanya dibaca oleh Nita, sementara isyarat akan adanya balasan tetap tidak ada.
Apakah Nita kecewa?. Saya nggak tau.
***
#7
Beberapa bulan kemudian...
Saya selalu mengibaratkan rindu itu seperti gula, dan waktu seperti air. Rindu akan larut dalam waktu yang terus berjalan. Seiring berlalunya waktu, rindu saya pada Nita kini menghilang, rasa yang pernah ada juga sepertinya sudah terbuang.
Suatu hari...
Saat saya melakukan pekerjaan sehari-hari saya -mengecek kabar di media sosial-, tiba-tiba di beranda media sosial saya ada fotonya Nita bersama seorang cowok yang tentunya lebih ganteng dari saya. Hahhhhh....?, Ougrrrrhhhh....ougrhhh *kejang-kejang.
Saya membuka komenan yang ada di foto tersebut. Di komenan itu, teman-temannya Nita bertanya terkait cowok yang berfoto bersama dirinya. Nita menjawab bahwa itu adalah pacar barunya.
Saya mengambil sebuah kertas dan menulis beberapa kalimat di atasnya:
“Seperti burung, biarkan cinta mencari sarangnya. Jangan penjarakan ia dalam sangkar yang menyiksa.”
http://download-wallpaper.net
SEKIAN.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar