#1
Saya adalah seorang mahasiswa yang selalu berusaha untuk mandiri. Walaupun biaya kuliah saya masih ditanggung oleh orang
tua, saya tetap berusaha untuk bekerja. Saya bekerja di sebuah lembaga sensor
media sosial milik pribadi. Tugas saya adalah mengawasi setiap status, foto dan
video yang diunggah ke media sosial. Meskipun tidak digaji, saya tetap ikhlas
melakukannya. *Lirak-lirik... Saya
juga nggak tau lagi ngomong apa.
Selama bekerja di lembaga sensor, saya jadi
tau berbagai jenis status... lengkap dengan keadaan orang yang ada di balik
status tersebut.
“DALAM
SETIAP DOAKU, AKU SELALU MENYELIPKAN PERMOHONAN AGAR KAMU BISA MENJADI
PENDAMPING HIDUPKU.” Nah, ini contoh status cowok/cewek yang lagi PDKT.
“OKE, KALAU KAMU MAUNYA PUTUS. AKU SIH FINE AJA. TAPI INGAT!, UANG YANG KAMU
PINJAM DARI AKU JANGAN LUPA DIBAYAR.” Yang ini contoh status saat berantem
menjelang putus. Kebetulan si pembuat status adalah seorang debt collector.
“DIA
SELALU TAU APA YANG AKU PERLUKAN. BAHKAN KETIKA AKU LAGI DATANG BULAN, PEMBALUT
PUN DIA YANG BELIKAN.” Kalau yang ini contoh status seorang cewek yang gaya
pacarannya udah tingkat ekstrem.
“MALAM
MINGGU YANG KE 1144 DALAM HIDUPKU, AKU MASIH KUAT KOK SENDIRI TANPA KEHADIRANMU.”
Dan yang ini contoh status saya sendiri, jones (jomblo maneis) *Ueekk,,, dililit tali pengecas.
Nah, di suatu malam, saat saya sedang fokus
dengan rutinitas pekerjaan saya, tiba-tiba ada pesan masuk di messenger.
“Hai Bang.”
Pas saya liat dengan seksama, ternyata pesan
itu dikirm oleh seorang cewek bernama Nita (Nita adalah nama samaran agar
terlihat keren kayak drama FTV). Karena messenger terhubung dengan facebook,
saya pun mengecek facebook dengan nama yang sama, rupanya cewek itu adalah adik
kelas saya waktu masih sekolah dulu. Saya dan Nita sempat bertemu waktu
awal-awal dia masuk kuliah. Dia mengambil jurusan pendidikan biologi di salah
satu universitas ternama di Pontianak.
“Hai juga,” saya membalas pesannya.
“Apa kabar Bang?”.
“Baik, Nita apa kabar?.”
“Baik.”
“Tumben ngechat. Ada apa ni?, apa Abang ada
hutang yang belum dibayar?.”
“Hahaha...emang nggak boleh?. Ya, Abang ada
hutang, hutang perasaan.”
“Hutang perasaan?.”
“Nggak bah Bang, gurau,” balas Nita. “Lagi
apa Bang?.”
“Lagi jalan-jalan di media sosial.”
Tiba-tiba chat terhenti, tidak ada balasan.
Biar nggak mati gentayangan karena penasaran
dengan chat Nita yang malam itu tiba-tiba muncul dan tiba-tiba berhenti, saya
pun mengunjungi media sosialnya dan memastikan bahwa akun Nita sedang tidak dikendalikan
oleh robot. Alasan sebenarnya; saya pengen liat fotonya Nita. Aaaakkkk,,, *ditabok robot.
Foto-foto Nita di media sosial tampak cantik
rupawan bak putri yang turun dari kahyangan. Saya kemudian memilih foto Nita yang
paling cantik, lalu mendownloadnya. Lumayan.
Jika ada yang bertanya kepada saya perihal ‘siapa calon istri saya?’, maka saya
akan menunjukkan fotonya Nita. *Lebay tingkat Avengers. *Di smackdown Hulk.
Keesokan harinya, saat matahari baru saja
bangun dari tidur panjangnya, dan setelah saya baru saja selesai melakukan
rutinitas pola hidup sehat (berak),
Nita membalas chat saya yang semalam. Sekedar informasi, menurut mantri yang
pernah meriksa tekanan darah saya, berak
adalah rutinitas pagi yang menyehatkan.
“Sori Bang, chatnya semalam nggak di balas.”
“O nggak apa-apa,” balas saya sambil tersenyum
lega sambil mengendus-ngendus curiga karena ada bau tak sedap yang muncul dari arah
selangkangan, keliatannya cebokan pagi ini masih kurang bersih. Oke, fix,
sepertinya saya harus cebok sekali lagi.
“Soalnya semalam ketiduran Bang.”
“Oh, GPP,” jawab saya singkat karena posisi
lagi nggak stabil (antara megang HP sama megang gayung buat cebok pantat).
“Udah sampai mana skripsinya?.”
Kok Nita tau?. Oh, mungkin karena dia baca
status mewek saya di media sosial. Saya bingung, mengapa setiap orang yang chat ke saya nanyanya selalu masalah skripsi.
Pertanyaan seperti itu sama sekali tidak mempercepat proses pengerjaan skripsi,
yang ada malah memperlambat karena skripsier (pengerja skripsi) malah jadi sibuk
menjawab pertanyaan daripada mengerjakan. Tidak adakah pertanyaan lain yang
dapat mempercepat proses pengerjaan skripsi seperti “Mau beli skripsi nggak?”.
*Lah?...
“Ya ini lagi proses. Emmm... masih proses pecah
BAB si Nit. Soalnya dosen pembimbing Abang sering nggak ada di kampus,” jawab
saya dengan mengambinghitamkan dosen pembimbing. *Wushhhh.... langsung disleding Buk Laili (dosen pembimbing).
“Oh gitu. Udah dulu ya Bang, Nita mau ke kampus.”
“O ya, hati-hati.”
***
#2
Selama menjomblo saya jadi lebih rajin
menulis di blog. Dari situ saya berkesimpulan bahwa kreatifitas seseorang dapat
meningkat bila ia menjomblo. Dan oleh sebab itulah, sampai saat ini saya lebih
memilih untuk sendiri. Tsah...
Pada suatu hari sesudah saya memposting sebuah tulisan di blog dan
membagikannya di media sosial, Nita merespon tulisan tersebut lewat messenger.
“Tulisannya bagus Bang.”
“Tulisan yang mana?.”
“Itu, tulisan yang barusan Abang posting. Tadi
Nita baca.”
“Oh tulisan itu. Masa’ sih bagus?. Perasaan
biasa aja,” jawab saya sok cool, padahal
aslinya udah kejang-kejang kayak abis kesetrum.
“Ya lumayan, ada pesan yang bisa didapatkan
dari tulisannya.”
Seusai membaca pesan Nita, saya langsung
terbang sampai ke bulan.
***
#3
Seperti jomblo kebanyakan, saya selalu
memiliki banyak waktu luang. Dan waktu luang itu selalu saya isi dengan
kegiatan yang produktif dan positif seperti membaca buku. Selain membaca buku,
saya juga melakukan kegiatan produktif yang lain; TIDUR. Mengapa saya suka
tidur?. Karena menurut beberapa artikel yang pernah saya baca; tidur sangat
penting bagi tubuh untuk menyimpan energi. Bahkan sebaiknya kita tidur 14
sampai 20 jam perhari. Namun akhir-akhir ini saya baru menyadari kalau artikel
yang menjelaskan hal tersebut adalah artikel yang membahas pola hidup Kelalawar
dan Armadillo, hewan dengan waktu tidur terpanjang. Hmmm... jadi selama ini saya menerapkan pola hidup seekor Kelalawar.
Citcitcitcit..... *Terbang ke gua.
Oke, cukup sudah membahas pola hidup
kelalawar yang saya terapkan. Kita balik ke rutinitas positif yang lain, yaitu
membaca buku. Kebiasaan saya kalau lagi membaca buku atau mungkin setelah habis
membaca sebuah buku adalah menguploadnya
ke media sosial. Tujuan utamanya sih baik, yaitu memotivasi orang lain agar
ikut membaca. Tujuan kedua yang mungkin kurang baik: PAMER. *Lah?....
Waktu saya ngupload foto beberapa buku yang sudah saya baca, Nita tiba-tiba
mengirim pesan.
“Banyak banget bukunya Bang.”
“Hehehe,,ya lumayan.”
“Keren Bang.”
“Pasti dong, Abang dari lahir emang udah
keren.” Hiyaaa... *Langsung Joget
kece ala Sarah Sechan.
“Hehehe...lebay Bang iuewww.” “Buku apa aja yang udah dibaca Bang?.”
“Lumayan banyak sih, nggak mungkin disebutin
satu persatu.” Padahal saya memang nggak terlalu tau dengan buku yang saya
baca. Sok-sok an doang.
“Mantap Bang., (terus ngasi emotikon jempol
yang jarinya diperban)”.
“Lagi apa?.” Saya mencoba mengalihkan perhatian
agar yang dibahas nggak sekedar tentang saya.
“Lagi baring-baring aja Bang, nunggu mata
ngantuk.”
Menunggu mata ngantuk?. Apakah Nita
menganggap saya seperti kumpulan kambing melompat pagar yang dijadikan
orang-orang sebagai pancingan agar mata kantuk?. Emang mirip kambing sih.
“Oh. Biasanya kalau dibawa chat malah nggak
bisa tidur,” kata saya sok-sok perhatian, padahal sebaliknya; saya berharap dia
nggak usah tidur duluan.
“Oh gitu ya Bang. Ya udah deh, Nita tidur
dulu ya.”
Lahhhh.....?
Akhirnya saya cuma bisa balas, “Selamat
tidur.” Ncuppp.... *Cium HP
***
#4
Seharusnya kita bersyukur hidup di era media
sosial yang sedang menjamur seperti saat ini.
Mengapa?.
Karena naluri kekepoan kita terhadap sesuatu bisa sedikit terobati.
Bagaimana tidak?. Orang-orang akan membagi
apa saja tentang dirinya di media sosial, mulai dari yang sifatnya umum sampai
yang pribadi. Semakin banyak hal yang ia bagikan di media sosial, semakin
banyak pula orang lain tau tentang dirinya.
Agar usaha para founding father media sosial ini tidak sia-sia, sayapun selalu
memanfaatkannya untuk stalking media
sosialnya Nita. Dari hasil pengamatan saya, Nita adalah tipe cewek yang jarang
berbagi di media sosial, terutama nulis status. Nggak seperti cewek kebanyakan yang
hyperstatus; lagi kerja update
status, lagi makan update status, lagi minum update status, bahkan pada saat
menghirup udara pun menyempatkan untuk
membuat status, “BERNAFAS DULU YA GAES.” *Oke,
lebay.
Karena Nita jarang update status, saya jadi kurang memahami Apa, Siapa, Kapan, Dimana,
Mengapa dan Bagaimana seseorang yang bernama Nita. Hmmm... Akhirnya rumus 5W+1H yang dipelajari waktu SD kepake juga,
makasih Bu’ Nur (guru bahasa Indonesia saya waktu SD). *Cium tangan Bu’ Nur.
Namun pada suatu hari Nita akhirnya buat
status juga.
“Pengen ke perpustakaan tapi nggak ada teman.”
Menurut saya, status Nita di atas nggak mungkin bermaksud bahwa Nita pengen makan cilok. Nggak mungkin. Status di atas pasti bermaksud bahwa Nita pengen minta temenin ke perpustakaan. Oke, saya memang jenius dalam memahami status. *Bertopang dagu ala Einstein.
“Pengen ke perpustakaan tapi nggak ada teman.”
Menurut saya, status Nita di atas nggak mungkin bermaksud bahwa Nita pengen makan cilok. Nggak mungkin. Status di atas pasti bermaksud bahwa Nita pengen minta temenin ke perpustakaan. Oke, saya memang jenius dalam memahami status. *Bertopang dagu ala Einstein.
Sebagai cowok yang peka terhadap rangsangan
(dalam arti yang positif), saya langsung merespon status tersebut lewat DM.
“Tenang, ntar Abang temenin.”
“Serius?.”
“Serius. Perpustakaan mana?.”
“Perpustakaan daerah. Beneran mau nemenin ni Bang?.”
“Beneran. Kapan mau pergi ke sana?.”
“Kalau ada teman sih sekarang juga bisa.”
“Oke, sekarang ya?.”
“Oke, tapi Nita mandi dulu ya.”
Mandi?, Saya melihat jam dinding yang sedang menunjukkan
pukul 10 pagi. Apa?, Nita baru mau mandi jam 10 pagi?. Huft... dari situ saya menerka bahwa Nita adalah cewek yang malas
mandi. *Dipeluk Nita, hmmm....
Saya pun menunggu sambil mandi. *Lah?...
Selesai mandi dan menunggu hampir setengah
jam, chat dari Nita masuk, “Nita udah siap Bang. Ini perginya mau barengan atau
gimana?.”
“Emang Nita tinggal dimana?”
“Di ***** (nama tempat disensor).”
Saya berpikir sejenak. Oke, tiba-tiba saya
mendapat ilham; karena saya nggak mau terkena fitnah (Uhukkk,,, *Batuk ala Ustadz), akhirnya saya bilang ke Nita lebih
baik pergi masing-masing aja, padahal alasan sebenarnya adalah bensin motor lagi
sekarat.
“Oke lah Bang, kita ketemu di perpustakaan
aja.”
“Sip”. Saya pun langsung melaju dengan
kecepatan maksimal: 30 km/jam.
Di tengah perjalanan saya mencoba mengingat
kapan terakhir kali saya masuk ke perpustakaan daerah. Sepertinya terakhir kali
saya ke perpusatakaan daerah pada saat semester dua, itu sekitar tiga tahun
yang lalu.
Sesampainya di parkiran perpustakaan,
tiba-tiba sebuah motor Scoopy hitam datang dan langsung parkir di sebelah motor
saya. Jika dilihat dari penampilan luar, saya sudah tau bahwa orang yang berada di atas motor
itu adalah cewek, kelihatan dari jilbab yang ia kenakan. (Ya iyalah, nggak
mungkin Satpam Perpus pake jilbab).
Dia langsung mematikan motor dan membuka kaca
helm. Dari parasnya saya yakin kalau dia adalah Nita. Hanya saja, sepertinya dia
tidak menyadari kalau cowok yang masih bertengger ganteng di atas motor di
samping dirinya adalah orang yang akan menemaninya mencari ilmu di
perpustakaan.
Nita menancapkan helmnya di kaca spion, turun
dari motor dan langsung meluncur menuju pintu masuk. Begitu berbedanyakah
tampang saya di media sosial dengan yang asli?. Apakah tampang saya yang asli lebih
ganteng, sampai-sampai Nita pun malu untuk melirik ke arah wajah saya?. Atau
mungkin karena terlalu hancur, sehingga dia nggak berani noleh. Sepertinya yang
kedua lebih masuk akal. *Nempelin muka di knalpot.
Saya harus segera menyadarkan Nita agar ia
tahu bahwa cowok yang barusan ada di sampingnya adalah saya (orang yang bakal
nemenin dia).
“Nita,” saya berusaha memanggil dengan suara
yang agak sumbang. “Nit...”
Nita langsung menoleh, mencari sumber suara.
“Hei,” saya melambaikan tangan.
Nita langsung memerhatikan saya,
mengernyitkan dahi seolah ragu dengan cowok yang sedang memanggilnya. Saya
berusaha mendekati Nita untuk memperjelas wujud, mungkin matanya udah minus.
“Bang Yazid?,” tanya Nita sambil mengangkat
dengan agak ragu jari telunjuknya ke arah saya.
“Ya, Nita kan,” saya berjalan tampan ke arah Nita... Srukkk...
kesandung gundukan aspal. *Kamprettt...
Nita ketawa sambil nutupin mulutnya. “Hati-hati
Bang!.”
“Nggak apa-apa, huft...” saya memegang lutut. Sepertinya bakal cedera.
Awalnya Nita ingin membantu saya berdiri,
tapi batal karena mungkin melihat tampang saya yang nggak karuan.
Saya akhirnya berdiri sendiri sambil meringis,
dan sesekali mengusap-ngusap lutut.
“Beda ya Bang?.”
“Haaa?, beda? Lutut saya beda?, wah
jangan-jangan beneran cedera,” saya mulai panik, kemudian mencari bagian lutut
mana yang posisinya jadi beda.
“Bukan lututnya,” Nita tersenyum. “Abangnya
yang beda, wajahnya.”
“...”
Oke sepertinya saya memang kelihatan lebih
rusak di dunia asli, ketahuan foto profil hasil permak di photoshop.
“Oh gitu ya. Kamu juga beda.” Kata saya mulai
merancang serangan balik (ngegombal).
“Beda kenapa?,” tanya Nita mulai salah
tingkah sambil ngeliatin penampilannya.
“Kamu makin cantik.” Skak mat.
Nita langsung keliatan malu, pipinya memerah,
pupil matanya membesar. Apakah ia jatuh cinta pada pandangan pertama, atau
malah jijik pada pandangan pertama?. Hmmm...
Namun apa yang saya katakan bukanlah sekedar
gombalan palsu. Nita benar-benar tampak modis dengan atasan kaos putih berbalut
jaket denim, serta bawahan dengan celana levis yang match ama sepatu converse di kakinya. Penampilannya memang maskulin,
tapi wajahnya feminin.
“Masuk yuk!,” ajak saya.
“Yuk.”
Ketika berada di depan pintu masuk, seorang
cewek tiba-tiba keluar dari perpustakaan, memperhatikan Nita sebentar dan
menyapa, “Hei Nita.” Cewek itu tampak histeris saat bertemu Nita. Saking
histerisnya, ia sampai melompat-lompat seolah sedang bermain lompat tali.
“Hei,” balas Nita tak kalah antusias.
Mereka kemudian cipika-cipiki. Sepertinya cewek yang baru saja keluar itu adalah
teman lamanya Nita, atau mungkin teman akrabnya.
Mereka begitu asik ngobrol berdua, sementara
saya hanya bisa terpaku bagaikan sekeping kacang kulit diantara dua wanita
cantik. Merasa dikacangin, saya langsung meminta izin kepada Nita untuk masuk
duluan.
“Abang masuk duluan ya Nit.”
“O iya Bang.”
Pas udah masuk ke dalam perpustakaan, saya
langsung menuju lemari locker untuk
menyimpan tas. Saya memandangi lemari locker
itu satu persatu untuk mencari tempat yang masih kosong. Tapi saya nggak nemuin
satupun kunci yang kecantol di pintu locker.
Seingat saya waktu terakhir kali saya kesini (3 tahun yang lalu), kuncinya
pasti dicantolin di pintu locker. Ah,
mungkin lockernya nggak dikunci atau
mungkin juga kuncinya ada di dalam locker,
atau barangkali kunci lockernya belum
dibuat oleh Abang-Abang tukang buat lemari locker. Apa sih.
Saya berusaha membuka locker mulai dari cara yang pelan sampai cara yang agak kasar. Dan hasilnya?,
tetap saja tidak bisa terbuka. Saya mencoba membuka locker lainnya dengan wajah panik.
Tiba-tiba Nita datang, melihat saya yang lagi
berusaha membuka paksa beberapa lemari locker.
“Ngapain bang?”
“Mau buka ini, kok susah ya?,” saya masih
belum menyerah.
Klek (suara
kunci Nita saat membuka locker yang
ada di depannya).
Saya kemudian berhenti berusaha, melirik bingung
ke arah Nita yang sedang menyimpan tasnya ke dalam lemari locker. Kok bisa?.
Ahhh... mungkin
Nita lagi beruntung aja sehingga ia mendapatkan lemari locker yang bisa kebuka. Saya tidak mau kalah, saya mencoba beralih
ke beberapa lemari locker yang belum
saya jajal.
“Abang ngapa sih?, kok semua lemari locker dibuka-buka kayak gitu?,” tanya
Nita heran.
Saya kaget, kemudian menggaruk-garuk kepala,
“Ini lockernya kok nggak bisa kebuka
ya?.”
“Abang udah minta kunci dengan petugas di
depan belum?.”
“Emang kuncinya di petugas?.”
Nita ketawa, “Ya iyalah Bang. Kunci lockernya kan ada di depan sama petugas.
Kita kasi kartu identitas ke petugas, setelah itu petugasnya ngasi kunci locker ke kita.”
Saya langsung bergegas menuju petugas. Tapi
sebelum itu saya ke WC dulu untuk merendam wajah saya yang udah keliatan norak
di depan Nita. *Uaaaaaaaa,,,,blub,,,blub,,,blub.
Setelah menukarkan kartu identitas untuk
mendapatkan kunci locker, saya pun
memasukkan tas ke dalam lemari locker
dan naik ke lantai dua menuju ruang koleksi dan referensi bersama Nita. Katanya
sih mau cari ensiklopedia dan buku fisiologi tumbuhan buat nyelesain tugas
kuliah.
Mungkin karena Nita udah sering nyari buku di
sini, jadi buku yang ia perlukan dengan cepat ia dapatkan, sementara saya harus
keliling dulu dari rak buku satu ke rak buku lainnya. Pokoknya udah mirip kera
sakti yang mengembara mencari kitab suci.
Setelah mendapatkan banyak buku, Nita
mendekati saya yang masih kebingungan memilih buku untuk dibaca.
“Nita ke sana dulu ya,” kata Nita menunjuk ke
arah meja panjang, tempat para pengunjung membaca dan mengerjakan tugas.
“O iya.”
Sewaktu Nita mengerjakan tugasnya di meja panjang
itu, saya diam-diam melirik ke arahnya. Dalam hati saya berkata, “sempurna”
(sambil mutar-mutar jari ke arah depan kayak Demian sehabis main sulap). Bedanya,
kalau Demian ganteng dan pandai main sulap, sementara saya cemen dan gagal jadi
pesulap.
Tiba-tiba Nita ngeliat saya, lalu dengan
cepat pula saya mengalihkan kembali pandangan ke arah tumpukan buku.
Sepertinya semua buku yang ada di ruangan ini
adalah buku induk dan buku referensi. Contohnya barisan buku yang ada di depan
saya, semuanya penuh dengan buku mengenai teori anatomi; anatomi kedokteran,
anatomi fisiologi, sampai anatomi sistem rerproduksi. Saya nggak mungkin
memilih buku anatomi reproduksi yang isinya bentuk luar dan bentuk dalam kelamin
manusia untuk dibaca di samping Nita. Ntar saya malah dikira penjahat kelamin.
Oke, saya pun beralih ke rak lain. Di rak selanjutnya
hanya ada kamus bahasa dunia yang tebalnya war
biasaahh. Sepertinya saya juga nggak mungkin duduk di samping Nita sambil
sok-sok’an kayak pembaca ulung dengan buku KBBI di tangan.
Karena nggak nemu, akhirnya saya ke ruangan
lain yang tidak jauh dari ruangan koleksi dan referensi untuk mencari bacaan
yang ringan. Dan dapatlah novelnya Lupus karya Hilman.
Saya kemudian kembali ke ruangan koleksi dan
duduk di samping Nita. Aroma parfumnya tercium dari tempat saya duduk. Eummmm... saya menarik nafas dalam-dalam
dan berkata dalam hati: “WANGIIIII”. Kemudian saya mencium bau badan saya untuk
membandingkan mana yang wangi antara saya dan Nita. Eummm... saya menarik nafas dalam-dalam dan berkata dalam hati, “Semoga
saja Nita sedang pilek, biar nggak bisa mencium bau busuk yang menguar dari
tubuh seorang bocah yang jarang mandi di samping dirinya.”
Saya sempat melihat Nita sebentar, kelihatannya
ia tampak fokus dengan tugasnya.
Sebagai cowok yang baik, saya melihat
sekeliling ruangan bak petugas PASPAMPRES untuk memastikan tidak ada satupun
ancaman yang dapat membahayakan Nita. Oke, aman.
Saya mulai membuka novel yang saya ambil dan
membaca halaman demi halaman, hingga akhirnya saya menguap kengantukan. Sepertinya
saya nggak kuat lagi untuk membaca. Saya kemudian melihat Nita yang masih segar
bugar menatap layar laptopnya, juga sesekali melihat buku di samping kanannya.
“Nit, lagi ngerjain apa?,” saya bertanya
dengan suara lirih untuk menghormati pengunjung yang lain agar tidak terganggu.
Sewaktu saya nanya lirih seperti itu, Nita mendekatkan tangannya ke hidung
dengan malu-malu. “O my God, kayaknya
tadi saya lupa sikat gigi,” batin saya.
“Ini Bang, lagi ngerjain tugas fisiologi
tumbuhan. Disuruh buat peta konsep dan dipresentasikan. Ini lagi ngumpulin
bahannya buat jaga-jaga, siapa tau ditanya atau disuruh menjelaskan lebih detail lagi di kelas,” jelas Nita dengan
suara yang lirih.
“Oh....emang fisiologi tumbuhan itu apa?”
tanya saya masih dengan suarah lirih. Saling ngobrol dengan suara lirih sukses
membuat kami berdua seperti maling ayam yang sedang beraksi.
“Fisiologi tumbuhan ini kayak belajar kehidupan
tumbuhan (sel, jaringan, organ, dan sistem organ) dan respon dia terhadap
keadaan sekitarnya.”
Keren ya anak biologi, belajarnya fisiolologi.
Kalau Abang di jurusan agama palingan belajar tata cara mandi haid sama mandi
junub.”
Nita mengernyitkan dahi, kemudian langsung melepaskan tawa sambil menghempaskan tangan ke buku. Para pengunjung memperhatikan kami
berdua. Kami terdiam dan kembali ke pekerjaan masing-masing.
Tapi tidak lama kemudian, kami berdua kembali
melanjutkan pembicaraan dengan suara yang tak kalah pelan dari sebelumnya. Saya
juga melemparkan beberapa candaan garing yang entah kenapa Nita selalu tertawa
saat mendengarnya.
Hari itu, di perpustakaan, kami saling
bercanda dan tertawa. Sok sweet....
***
Pertemuan adalah jembatan untuk mengetahui
sifat seseorang. Pertemuan akan memberikan kesan, bisa baik, bisa buruk. Saya
berharap pertemuan hari ini akan berlanjut pada pertemuan berikutnya. Semoga
saja Nita merasakan sesuatu yang sama dengan apa yang saya rasakan malam ini, RINDU.
Saya menyantap semangkuk mi instan sambil
duduk di atas sebuah kursi dan melihat suasana malam kota dari jendela.
Perkotaan tampak lelah namun tetap indah dengan titik lampu yang bertebaran di
mana-mana. Tiba-tiba ada pesan masuk dari Nita di messenger.
“Terima kasih ya Bang atas hari ini.”
“Sama-sama. Belum tidur Nit?.”
“Belum lah Bang, masih awal juga pun. Abang
lagi apa?.”
“Ini lagi makan mi sambil merhatiin
pemandangan malam dari jendela.”
“Jangan keseringan makan mi Bang!. Nggak baik
buat usus dan lambung.”
Sebenanrya saya juga nggak pengen makan mi,
tapi berhubung hari ini uang lagi menipis, jadi apa boleh buat?, “Nggak sering
kok, cuma lagi pengen aja.”
“Baguslah. Sekali lagi terima kasih ya Bang. Baru
kali ini Nita comfort ke perpustakaan
sama cowok,” puji Nita.
Membaca chat Nita membuat saya bahagia. Apakah
ini yang namanya jatuh cinta?. Slurppp...
saya menyedot buntalan mi instan dengan penuh nafsu. Karena cinta, mi instan
tiba-tiba rasa ayam KFC. Saking eskpresifnya, saya ngayun-ngayun kursi pakai
kaki dan... brakkkk, jatuh beneran. Meskipun
jatuh dari kursi, saya tidak merasa sakit sedikitpun. Hmmm... Benar kata orang kebanyakan; “Jatuh cinta bisa buat orang
jadi gila”. *Hulala... joget kayak
orang gila.
***
# 5
Beberapa hari setelah nemenin Nita ke
perpustakaan, Nita ngajak saya cari buku ke Gramedia.
“Bang malam ini ada kegiatan nggak?.”
“Nggak ada, emang ngapa?.”
“Ke Gramedia yuk.”
“Ngapain?.”
“Nyulik Mbak-Mbak Gramedia.”
Oke, sepertinya Nita lagi mabok lem Glukol
(lem kertas).
“Ha....?, beneran?.”
“Ya nggak lah Bang. Nita mau cari buku.
Lagian kutu buku kayak Abang mana mau diajak ke tempat lain kayak kafe dan
sebagainya.”
Nita sepertinya sudah memahami secuil dari
hidup saya. Memang akhir-akhir ini saya sangat rajin ke toko buku, lebih rajin
daripada ngurusin skrispi ke dosen pembimbing. Tapi perkataan Nita bahwa saya
nggak suka tempat hiburan lain selain toko buku itu sudah jelas keliru. Selain
toko buku, saya juga suka mendatangi tempat-tempat hiburan lain seperti pasar
malam. Oke, sip. Selera saya memang rendah.
Seperti biasa, kita berjanji ketemu langsung
di tempat. Jika di perpustakaan kita datang hampir berbarengan, maka malam ini
saya yang datang duluan. Saya langsung masuk menuju Gramedia.
Sesampainya di ruangan Gramedia, saya
mengabari Nita kalau saya udah sampai di tempat tujuan. Beberapa menit kemudian
saya melihat chat yang saya kirimkan. Masih belum ada balasan. Saya mulai gelisah,
jangan-jangan Nita benar-benar pengen menculik mbak-mbak Gramedia. Dan saya disuruh
datang duluan untuk mengecek situasi dan kondisi. Oke, sepertinya fantasi saya
sedikit berlebihan.
Sambil menunggu Nita, saya mendatangi satu
persatu rak buku, mulai dari sastra sampai agama. Mutar-mutar terus sampai Mbak-Mbak
Gramedianya memasang wajah curiga kepada saya, mungkin Mbaknya mengira saya
adalah anak remaja yang nggak niat belanja tapi doyan nyobekin plastik segel buku.
Tiba-tiba HP saya getar, chat Nita masuk.
“Dimana Bang?. Udah di Gramedia ya?. Sori
telat.”
“Ini udah di Gramedia.”
“Oke, Nita udah di Mal. Bentar lagi mau masuk
Gramedia. Abang dimananya?”
“Abang di sekitaran rak buku bagian novel,
dekat-dekat kasir.”
“Oke.”
Tak lama kemudian seorang cewek memanggil
saya dari belakang. “Bang... Bang.”
Dipanggil seperti itu, saya serasa jadi Abang-Abang
penjual somay yang lagi mangkal di Gramedia.
Saya membalik badan dan woww... saya melihat Nita dengan penampilan yang berbeda jauh dari
sebelumnya. Malam ini dia tampak anggun. Ia mengenakan baju tunik berwarna merah
yang memanjang hingga lutut, celana legging
hitam dan sepatu high heels.
“Udah lama ya, sori ya,” Nita meminta maaf.
Sebagai cowok yang baik, saya pun memaafkannya
dan menganggap itu bukanlah suatu masalah. Jangankan menunggu setengah jam,
menunggu sampai ubanan pun saya jabanin, asal itu menunggu dirimu. (Silahkan muntah)
“Nggak apa-apa Nit. Santai....,” jawab saya tampan,
padahal kaki udah kesemutan.
“Emm... sori ya. O ya, buku untuk anak-anak
dimana ya?.”
“Oh disana Nit,” saya menunjuk deretan rak
buku di pojokan. Saya kemudian mengarahkan Nita menuju rak buku anak dengan begitu enerjik dan bersemangat udak kayak Abang-Abang pegawai Gramedia.
Ya, saya memang berbakat jadi penjaga toko buku. Tapi sayang, hingga saat ini
pihak Gramedia belum mengetahui bakat terpendam tersebut. *Disepak menejer Gramedia.
Sesampainya di rak buku anak, Nita langsung
memilih buku yang tersedia. Tiba-tiba saya melihat ada sebuah buku anak dengan
gambar putri salju di kovernya. Siapa yang tak kenal putri salju?, dia adalah
tokoh dalam film animasi yang terkenal dengan kecantikannya
“Mirip kamu ya Nit,” kata saya kepada Nita
sambil menunjuk gambar putri salju yang ada di kover buku tersebut.
Nita tersenyum. Saat itu, wajahnya terlihat
semakin cantik.
Nita kemudian mengambil salah satu buku yang
kovernya ada gambar monyet, “Ini mirip Abang,” balas Nita sambil ketawa.
Saya ikut ketawa. Dari cara tertawanya yang
lepas, saya merasa ia sedang mengatakan sesuatu dengan penuh kejujuran; gambar
monyet itu memang mirip dengan saya. *Lompat dari lantai Mal.
“Buat apa beli buku anak, Nit?,” tanya saya.
“Nita mau cari buku buat keponakan.”
“Abang bantu cariin yang bagus ya,” kata saya
sambil ikutan milih-milih buku. Buku yang ada gambar monyetnya saya selipin ke
tempat yang paling bawah. “Mampus lo,
mampus!. Nggak laku, nggak laku deh lo,” maki saya dalam hati.
“Nita beli buku ini biar keponakan pada rajin
baca kayak Abang,” ujar Nita. Kalimat itu membuat saya melayang sampai ke
langit-langit toko Gramedia. “Minat baca harus ditumbuhkan sejak dini kan Bang?,”
tanya Nita. Dia belum sadar kalau saya masih nyangkut di langit-langit toko.
*Oke, lebay.
“Hu’uh Nit, benar banget tu,” kata saya.
Setelah cukup lama memilih, akhirnya ia fix dengan tiga buah buku dongeng yang
sudah dipilih, “Oke Bang, bukunya udah dapat,” ucap Nita. Dan entah mengapa, diantara
ketiga buku yang Nita pilih, terselip buku yang kovernya ada gambar monyet
sialan itu.
“Nit, ke rak novel yuk!,” pinta saya. “Abang
mau cari novel.”
“Yuk.”
Sesampainya di rak bagian novel, saya
mengambil novel karya Harper Lee berjudul To Kill a Mockingbird.
“Itu novel tentang apa?,” tanya Nita.
“Belum tau juga sih. Tapi beberapa review di internet bilang ini novel
tentang ketidakadilan di badan peradilan gitu. Juga tentang masalah rasis di
kota kecil Alabama sekitaran tahun 1930an.”
“Oh... nggak ada romancenya dong.”
Saya tersenyum, “Nggak tau juga sih, ntar lah
baca. Tapi kayaknya sih nggak ada.”
Saya melihat beberapa novel lain di samping
novelnya Harper Lee. Kemudian Nita juga ikut memilih novel yang ada di rak
tersebut. Ia mengambil novel metropop yang isinya cinta-cintaan.
“Kamu suka novel kayak gitu ya?,” saya
meledek selera baca Nita.
“Iya, Nita suka novel yang kayak gini,” jawab
Nita sambil serius memandangi sinopsis di bagian belakang novel.
Setelah baca sinopsis dan merasa tidak
tertarik, Nita memilih novel yang lain. “Abang suka novel romance?,” tanya Nita sambil memandangi novel cinta-cintaan
lainnya.
“Nggak terlalu suka.”
“Alasannya?.”
“Karena ceritanya nggak beneran, terlalu dramatis,
nggak sesuai kenyataan.”
Nita langsung memperhatikan saya, manggut-manggut
seolah sedang mencerna alasan yang barusan saya sampaikan. “Ya sih. Tapi walaupun
nggak beneran secara detailnya, secara garis besar itu pasti terinspirasi dari
kehidupan nyata,” Jelas Nita. Ia kemudian kembali mengacak-ngacak novel yang
ada di rak, “Seperti jatuh cinta, patah hati, dihianati, cinta yang bertepuk
sebelah tangan, friendzone, cemburu dan
lain-lain, semua itu ada di kehidupan kan?,” ungkap Nita.
Sekarang giliran saya yang manggut-manggut untuk
mencerna kalimat yang barusan di lemparkan Nita. Cerita tidak pernah sama
dengan kejadiaan yang sebenarnya, pasti ada tambahan agar terlihat dramatis,
bisa juga terdistorsi agar hal-hal kecil yang menggangu tidak membuat
pengonsumsi cerita menjadi bosan. Tapi setiap cerita punya makna, dan makna itulah
yang dicari oleh pembaca seperti Nita.
Malam itu kami membawa pulang beberapa buku.
Nita membeli tiga buku anak dan satu novel romance
dari Ika Natasha. Sementara saya membawa pulang novel Mockingbirdnya Harper
Lee. Setelah itu kita sempat jalan-jalan sebentar di Mal sambil bercerita
tentang berbagai hal: mulai dari kuliah, buku, keluarga hingga masa depan. Saat
berjalan dengan saya, Nita tampak begitu menikmati, begitupula dengan saya. Uhuk...
***
# 6
Sepulang dari Gramedia, saat saya bersiap
untuk tidur malam, chat Nita masuk.
“Lagi apa Bang?.”
“Lagi baring. Nita lagi apa?.”
“Sama.” “Eh Bang, boleh nggak Nita nanya
sesuatu?.”
“Kok samaan ya?. Boleh, jangankan nanya, buat
soal UN untuk Abang juga boleh.”
“Yeee Abang. Emm, Abang ada dekat sama cewek
lain selain Nita nggak?”
Saya memikirkan pertanyaan Nita dengan sangat
cermat. ‘Ada dekat sama cewek lain selain Nita?,’ maksudnya?. Kalau dijawab
banyak, ya emang banyak, maksudnya... ya cewek di keluarga saya kan banyak dan
tentunya saya dekat dengan mereka. Begitu juga teman cewek, banyak juga yang
dekat, makanya ada istilah teman dekat. Kecuali kalau pertanyaannya ‘cewek yang
BENAR-BENAR dekat selain keluarga’, nah jika demikian maksudnya barulah saya
akan menjawab nggak ada, dan mungkin maksud pertanyaan Nita adalah ‘cewek yang
benar-benar dekat selain keluarga’.
“Emm... nggak ada sih Nit,” jawab saya.
“Oh gitu ya. Tanya lagi boleh nggak?.”
“Yap, silahkan ibu dari majlis ta’lim Sakinah
Mawaddah.”
“Yei,,, emangnya pengajian. Kalau ada yang
suka sama Abang, gimana?.”
“Emang ada?.”
“Ya... kan misalkan Bang.”
Saya udah bisa menebak chat Nita selanjutnya.
Pasti Nita pengen bilang kalau dia suka sama saya. Tapi saya nggak mau
tergesa-gesa untuk mencapai klimaks, nikmatin aja dulu, uyeee. “Emang siapa yang suka?.”
“Nita.”
Seeeerrrr....
(klimaks) *muncrat kemana-mana. “Sebenarnya Abang juga suka kok sama Nita.” *Ngebohay.
“Kalau gitu, bagaimana kalau kita jadian?.”
“Jadian?, maksudnya?.”
“Ya, pacaran.”
Jeger...
angin topan melanda, kilat saling menyambar, guntur menggelegar, semua itu
terjadi saat kalimat itu terlempar dari seorang cewek bernama Nita. *Oke lebay.
“Sepertinya nggak bisa Nit.”
“Nggak bisa?, Kenapa?. Kita kan udah sama-sama
suka?.”
“Jujur, Abang memang suka. Tapi Abang belum
bisa menjalani suatu hubungan yang serius. Karena Abang belum punya bekal untuk
ke situ. Abang belum kerja, belum punya penghasilan, bahkan masa depan juga
masih suram.”
“Jalanin aja dulu.”
“Gini Nita, Abang boleh tanya sesuatu
nggak?.”
“Hmm.. apa?.”
“Kira-kira jahat nggak seseorang yang
menyukai seekor burung, kemudian membelinya dan memenjarakannya di dalam sebuah
sangkar tanpa memastikan di awal -saat membeli- ia akan memberi makan burung
tersebut?.”
“Dia suka, membeli, mengurung, tapi saat
membeli di awal nggak memastikan kalau ia mampu memberi burung tersebut
makan?.”
“Ya. Jahat nggak?.”
“Ya jahat lah. Ini kok jadi bahas burung Bang?.”
“Hehehe... ngapa Nita bilang dia jahat?.”
“Karena pada saat membeli, orang itu nggak
memastikan terlebih dahulu ‘mampu-tidaknya ia memberi burung itu makan’.”
“Berarti letak salahnya dimana?.”
“Nggak memastikan dari awal bahwa ia mampu
ngasi makan.”
“Begitu juga Abang. Abang akan menjadi jahat
jika menjalin hubungan tanpa sebuah jaminan akan kepastian. Jaminan kepastian
nggak hanya cinta Nit, materi, pekerjaan, penghasilan, tempat tinggal, dan
bekal untuk masa depan, itu semua jaminan, dan saat ini Abang nggak punya itu.
Abang nggak ingin memenjarakan Nita di dalam sebuah hubungan yang nggak punya
jaminan, meskipun Abang juga suka sama Nita. Lebih baik Nita bebas, karena
siapa tau Nita bakal hinggap di tempat orang yang siap.”
Malam itu saya menunggu balasan dari Nita.
Namun hingga keesokan paginya pesan itu masih tidak terbalas. Pesan panjang
terakhir itu hanya dibaca oleh Nita, sementara isyarat akan adanya balasan
tetap tidak ada.
Apakah Nita kecewa?. Saya nggak tau.
***
#7
Beberapa bulan kemudian...
Saya selalu mengibaratkan rindu itu seperti
gula, dan waktu seperti air. Rindu akan larut dalam waktu yang terus berjalan.
Seiring berlalunya waktu, rindu saya pada Nita kini menghilang, rasa yang
pernah ada juga sepertinya sudah terbuang.
Suatu hari...
Saat saya melakukan pekerjaan sehari-hari
saya -mengecek kabar di media sosial-, tiba-tiba di beranda media sosial saya
ada fotonya Nita bersama seorang cowok yang tentunya lebih ganteng dari saya. Hahhhhh....?, Ougrrrrhhhh....ougrhhh *kejang-kejang.
Saya membuka komenan yang ada di foto
tersebut. Di komenan itu, teman-temannya Nita bertanya terkait cowok yang
berfoto bersama dirinya. Nita menjawab bahwa itu adalah pacar barunya.
Saya mengambil sebuah kertas dan menulis
beberapa kalimat di atasnya:
“Seperti burung, biarkan cinta mencari sarangnya.
Jangan penjarakan ia dalam sangkar yang menyiksa.”
http://download-wallpaper.net |
SEKIAN.
0 komentar:
Posting Komentar