Senin, 17 Juli 2017

PENTINGNYA DIGITAL PARENTING


Belakangan ini kita sering mendengar tindakan kriminal yang begitu sadis, seperti pembegalan, pembacokan, sampai penembakan. Mendengar hal itu, mungkin kita masih bisa mengelus dada karena yang ada di pikiran kita, para pelakunya pastilah rata-rata orang dewasa yang barangkali hal itu dilakukan karena desakan ekonomi yang mencekik di samping peluang kerja yang sangat sempit.
Tapi bagaimana bila yang melakukan tindakan kriminal adalah anak-anak yang masih remaja?.
Selasa 30 Mei 2017, Detiknews.com menerbitkan berita dengan judul “Polisi Tangkap Kawanan Geng Motor Nyambi Begal Sadis di Bandung”. Polisi berhasil meringkus 14 pelaku, 4 orang diantaranya berusia dewasa dan  10 orang berusia belia mulai dari 15 sampai 17 tahun. Saat melakukan aksi begal, para pelaku ini tak segan berbuat sadis. Berbekal senjata tajam dari mulai arit hingga pisau daging, para pelaku nekat melukai korbannya.

Baru-baru ini juga, muncul berita mengenai kasus bullying terhadap siswi SMP di Thamrin City, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Video itu sempat viral di media sosial. Peristiwa tersebut  terjadi pada Jum'at (14/7/2017) sekitar pukul 13.30 WIB di lantai 3A Thamrin City. Video berdurasi 50 detik itu menunjukkan sejumlah siswa SMP sedang mengelilingi satu siswi menggunakan seragam putih. Siswi berseragam putih itu mendapat kekerasan dari sejumlah siswa-siswi lainnya (Kompas.com edisi Senin, 17 Juli 2017, "Ini Kronologi 'Bullying' Siswi SMP di Thamrin City").

Jika anda merasa hal itu adalah kenakalan yang wajar, anda bisa menyaksikan videonya di Youtube. Saksikan dan renungkan!, betapa mengerikan perilaku anak-anak zaman sekarang.
Hasil pantauan KPAI Tahun 2015 di 7 Provinsi dengan sampel 134 anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang berada di LAPAS ditemukan fakta sebagai pelaku pencurian 32%, pelaku kekerasan seksual 30%, pelaku pembunuhan 21%. Hal ini menandakan bahwa kerentanan anak menjadi pelaku tindak pidana tergolong tinggi (Detiknews.com edisi rabu 29 Juni 2016).
Jika kita bandingkan data di atas dengan keadaan anak-anak di sekitar kita, mungkin kita masih bersyukur karena tingkah dan kelakuan anak-anak di sekitar kita belum separah itu. Tapi bila kita geser sedikit skalanya, maka sering kita dapati anak-anak yang ada di sekitar kita entah itu adik, keponakan, murid, atau bahkan anak sendiri yang berlaku impulsif, agresif, sulit dinasehati, tidak sopan santun, serta berlaku dan berbicara kasar. Dan jika perilaku itu tidak diperbaiki, tidak menutup kemungkinan sifat-sifat tersebut akan terus berkembang dan mengarah pada tindakan kriminal yang telah kita sebutkan di atas.
Hal itulah yang dikeluhkan oleh Yee-Jin Shin, seorang spesialis anak terbaik di Korea. Ia menjumpai banyak anak-anak yang bermasalah di kliniknya selama lebih dari dua puluh tahun. Yee-Jin Shin (2014: 17) mengatakan, “Anak-anak remaja zaman sekarang membuat orang tua dan guru sangat kewalahan. Tingkat kenakalan mereka hampir menyamai tingkat kejahatan. Semakin lama, semakin muda saja usia anak yang menjadi pelaku kejahatan dan diganjar hukuman kriminal.
Anak-anak yang seperti itu digelari oleh Yee-Jin Shin sebagai anak “matang semu.”
Apa itu “matang semu”?.
Istilah “matang semu” merujuk pada anak yang fisiknya berkembang sangat baik, tetapi jiwanya tidak. Istilah ini digunakan karena anak-anak zaman sekarang cederung impulsif, tidak tahu sopan santun, dan tidak memiliki rasa bersalah (Yee-Jin Shin, 2014: 28).
Lalu apa penyebabnya sehingga hal tersebut bisa terjadi?.
Penyebab utamanya adalah karena anak tidak memiliki kecerdasan emosi yang baik. Dan di era sekarang ini, pengabaian terhadap kecerdasan emosi sering disebabkan oleh penggunaan perangkat digital yang berlebihan pada anak.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Yee-Jin Shin (2014: 10), “anak yang sudah kecanduan perangkat digital, mental mereka akan rusak. Memang, mereka lebih cepat tumbuh besar dibandingkan anak-anak zaman dulu, tetapi jiwa mereka lambat berkembang.”
Sumber gambar: https://bestcellphonespyapps.com

Sederhananya, di masa perkembangannya, seharusnya anak tidak hanya mengembangkan kecerdasan intelektual saja, tetapi juga harus mengembangkan kecerdasan emosional. Seharusnya anak tidak hanya cerdas dalam menalar, berbahasa, berhitung, dan menulis, tetapi yang tidak kalah penting adalah mereka harus cerdas dalam menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegoisasi dengan orang lain secara emosional, serta dapat menggunakan emosi sebagai alat memotivasi diri. (Howard Gardner dalam Wikipedia mengenai kecerdasan emosional).
Bagaimana perangkat digital bisa menghambat perkembangan kecerdasan emosi anak?.
Berikut adalah penjelasan Yee-Jin Shin.
***
Lobus Frontalis yang Tidak Mendapatkan Stimulus
Pemahaman emosi dan kemampuan berfikir di dalam otak diperintah oleh otak besar. Otak besar terdiri atas Lobus Frontalis, Lobus Parientalis, Lobus Oksipitalis, dan Lobus Temporalis. Dalam otak besar, Lobus Frontalis menjalankan fungsi pengambilan keputusan, pengendalian daya konsentrasi, pengendalian emosi, dan lain-lain. Jadi dengan semakin berkembangnya Lobus Frontalis secara baik, maka seseorang akan semakin bisa mengontrol perasaan dan emosinya dengan baik, memliki moralitas yang tinggi, dan peduli terhadap orang lain (Yee-Jin Shin, 2014: 131).
Namun, apabila anak sedari kecil sudah sering diberi perangkat digital, maka Lobus Frontalis yang berfungsi untuk mengontrol perasaan dan emosinya tadi jadi tidak berkembang.
Mengapa?.
Karena perangkat digital pada dasarnya hanya memberikan stimulus terhadap Lobus Oksipitalis dan Parientalis yang berperan dalam sudut pandang dan persepsi anak saja. Sementara Lobus Frontalis yang berguna untuk perkembangan emosi, daya konsentrasi, dan daya pikirnya berkurang. Mengingat prinsip otak anak hanya akan berkembang jika diberi stimulus, maka fungsi Lobus Frontalis yang tidak diberi stimulus akan terhapus (Yee-Jin Shin, 2014: 131). Hal inilah yang akan menyebabkan anak sulit untuk mengendalikan emosi mereka.
Perangkat digital tidak memberikan stimulus pada wilayah  Lobus Frontalis
Otak anak akan menjadi Otak Popcorn (Popcorn Brain)
Ada sebuah istilah unik yang disebutkan oleh Yee-Jin Shin ketika menjelaskan dampak buruk yang dialami oleh anak ketika menggunakan perangkat digital. Istilah itu adalah Popcorn Brain. Istilah tersebut diberikan karena pada saat anak menggunakan perangkat digital, pendengaran dan penglihatan mereka akan meletup-letup seperti jagung yang sedang diolah menjadi Popcorn.
Sumber Gambar: food.detik.com
Bagaimana penjelasannya sehingga anak terkena Popcorn Brain?.
Saat menggunakan perangkat digital, anak terpapar stimulus yang kuat pada indra penglihatan dan pendengarannya. Sinar dan warna yang mencolok tersaji terus menerus. Selagi stimulus itu terus berlanjut, situasinya berganti dengan cepat. Setiap kali ada tampilan baru, setiap kali pula anak tidak bisa mengalihkan perhatiannya. Karena sering terpapar dengan stimulus perangkat digital yang begitu kuat, anak tidak lagi merespons stimulus lain yang tidak lebih kuat dari perangkat digital. Tanpa sadar, otak anak telah terkena Popcorn Brain (Yee-Jin Shin, 2014: 124).
Otak yang dalam keadaan meletup-letup (Popcorn Brain) akan membuat anak selalu mencari hal-hal yang semakin brutal, impulsif, cepat dan menarik. Akibatnya, daya konsentrasi dan daya ingat anak akan menurun karena otaknya hanya akan mencari stimulus yang kuat. Jika kita amati karakteristik anak Popcorn Brain secara teliti, anak itu tidak bisa mengikuti pelajaran dengan sempurna karena dia tidak sanggup berkonsentrasi dalam membaca (Yee-Jin Shin, 2014: 125).
Multitasking pada perangkat digital dan internet membuat anak sulit berkonsentrasi
Sistem multitasking dalam perangkat digital juga menghambat konsentrasi anak. Hal ini disebakan oleh kemampuan internet dalam memberikan informasi yang begitu banyak serta kemampuan perangkat digital untuk berjalan dalam sistem multitasking. Akibatnya, anak cenderung membuka bagian yang ia senangi, bukan yang ia perlukan. Misalkan niat awal anak ingin mencari tugas sekolah, tapi yang dibuka oleh anak malah game, video, musik, dan hiburan lainnya (Yee-Jin Shin, 2014: 152-155).
Perangkat digital menggeser peran buku
Saat usia sembilan tahun, kemampuan berpikir abstrak menjadi standar kemampuan belajar dan kematangan anak. Dan buku sangat berperan penting untuk mengembangkan kemampuan berpikir abstrak anak karena ia harus menafsirkan sendiri makna dari isi yang ada dalam buku. Beda dengan perangkat digital, ia hanya memberikan informasi apa adanya. Di perangkat digital, anak tidak perlu membayangkannya dan menafsirkannya. Sehingga anak yang kecanduan perangkat digital akan mengalami kesulitan dalam perkembangan kemampaun berpikir abstraknya (Yee-Jin Shin, 2014: 155-156).
Perangkat digital tidak memunculkan trik memori anak
Selain itu, perangkat digital juga menghambat anak remaja untuk melakukan trik memori. Belajar menggunakan perangkat digital hanya menyisakan memori sesaat atau memori jangka pendek karena anak tidak membutuhkan improvisasi dalam menyerap informasi yang ada (Yee-Jin Shin, 2014: 160).
***
PENTINGNYA DIGITAL PARENTING
Kita dihadapakan pada keadaan yang dilematis; di satu sisi, lajunya perkembangan teknologi tidak terbendung lagi, semua aspek kehidupan sudah mendewakan perangkat digital sebagai alat untuk mempermudah pekerjaan, baik itu di kantor, sekolah bahkan di rumah. Tapi di sisi lain, ada anak yang harus kita lindungi dari dampak buruk perangkat digital yang bisa menyerang kecerdasan emosi bahkan kecerdasan intelektual mereka.
Untuk itu, diadakanlah sebuah pola asuh anak untuk meminimalisir dampak buruk tersebut yaitu dengan cara menerapkan digital parenting. Yee-Jin Shin menyebutkan ada tujuh prinsip dalam digital parenting:
PERTAMA, harus paham kapan memberika perangkat digital kepada anak. Yee-Jin Shin menyarankan agar oraang tua tidak memberikan perangkat digital kepada anak balita, walaupun hanya sebentar (2014:114). Anak dapat diberikan perangkat digital jika dia setuju menggunakannya di bawah pengawasan orang tua. Dalam hal ini, hubungan orang tua dengan anak harus baik terlebih dahulu sehingga pengawasan orang tua kepada anak tidak dianggap pengekangan terhadap kebebasan mereka. Dan juga perlu dipertimbangkan, orang tua baru bisa memberikan anak perangkat digital ketika anak sudah berhasil mengatasi emosinya. (Yee-Jin Shin, 2014: 205-207).
KEDUA, “kualitas lebih penting daripada kuantitas. Agar digital parenting menjadi efektif, hal paling awal yang bisa kita lakukan adalah menentukan peraturan yang jelas tentang kapan “waktu” yang tepat untuk anak bermain perangkat digital. Berdasarkan pengalaman saya (Yee-Jin Shin), lebih efektif menggabungkan waktunya sekaligus ke akhir pekan daripada menjadwalkan setiap hari. Gejala kecanduan bisa saja tercipta secara perlahan-lahan jika anak bermain perangkat digital setiap hari. Sementara jika kita menggabungkan waktu pemakaiannya sekaligus di akhir pekan, anak akan merasa lebih puas karena menganggap waktu bermainnya cukup lama. Dan yang terpenting bukan kuantitas melainkan kualitas”. Anak harus memanfaatkan waktu yang telah diberikan dengan kegiatan yang berkualitas, game yang ia mainkan, situs yang buka, video yang ia tonton dan sebagainya (Yee-Jin Shin, 2014: 207-208).
KETIGA, tentukan sanksi bila anak melanggar janjinya. Sebaiknya kita mendiskusikan isi dan ketentuan sanksi dengan anak terlebih dulu sebelum kita memberinya perangkat digital. Jika kita ingin agar anak kita benar-benar menjalankan peraturan tersebut, buatlah pernyataan tertulis dan pasang di tempat yang mudah dilihat.
KEEMPAT, jelaskan alasan diterapkannya peraturan. Kita harus menjelaskan alasan dibuatnya peraturan dan batasan penggunaan perangkat digital dengan benar. Dengan begitu, anak merasa perlu untuk menepatinya. Jika kita memberitahunya tanpa penjelasan yang konkret dan secara sepihak, anak bisa melawan (Yee-Jin Shin, 2014: 212).
KELIMA, berbagilah pengalaman tentang perangkat digital dengan anak. Misalnya, saat anak sedang main game di ponsel cerdasnya, kita bisa mengajaknya ngobrol dengan cara menunjukkan minat dan perhatian terhadap apa yang sedang anak lakukan (Yee-Jin Shin, 2014: 213).
KEENAM, libatkan seluruh anggota keluarga. Digital parenting akan berhasil jika semua anggota keluarga dilibatkan. Jika ada satu orang yang tidak berpartisipasi, semua upaya akan sia-sia. Oleh karena itu, semua pihak harus mengikuti peraturan tanpa terkecuali. Bahkan ketika kita harus menitipkan anak kepada orang lain karena kita harus bekerja, kita perlu meminta orang tersebut untuk mengikuti peraturan yang telah ditetapkan (Yee-Jin Shin, 2014: 215).
KETUJUH, mintalah bantuan psikiater jika orang tua tidak bisa mengatasinya atau ketika anak sudah berada pada tahap yang membahayakan akibat perangkat digital seperti kecanduan dan sebagainya (Yee-Jin Shin, 2014: 217).
TERKAHIR, di luar dari prinsip digital parenting di atas, Yee-Jin Shin juga berulangkali menyampaikan bahwa di masa balita, orang tua terutama Ibu harus megembangkan kecerdasan emosi anak agar anak tidak tumbuh menjadi matang semu. Seorang Ibu harus mengajarkan anak untuk bisa bereempati dengan cara memberikan perhatian kepada anaknya, seorang Ibu harus mengajarkan anak untuk dapat merespon keadaan (kapan harus tertawa bahagia dan kapan harus sedih), dan memberikan kasih sayang kepada anak, sehingga antara Ibu dan anak tercipta ikatan emosional yang kuat. Di masa inilah emosi anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Sebaliknya, jika di masa balita, anak sudah diberi perangkat digital dan sering diabaikan oleh Ibunya, maka kecerdasan emosi anak tidak berkembang, dan akhirnya anak menjadi matang semu.
Sumber Gambar: Zahrafirda.com

Share:

0 komentar:

Posting Komentar