Minggu, 03 Desember 2017

HUMANISME LENTUR ALA F. BUDI HARDIMAN



Buku yang ditulis oleh F. Budi Hardiman ini sangat membantu saya sebagai orang yang awam dengan istilah ‘humanisme’ dalam mengetahui “sedikit” sekaligus “banyak” mengenai istilah tersebut. “Sedikit” karena jumlah halaman dalam buku yang ia tulis ini hanya 84 halaman (sangat tipis untuk buku dengan tema filsafat). Dan “banyak” karena apa yang ia sampaikan begitu jelas dan menyeluruh mulai dari lahirnya humanisme di abad -14, perjalanannya di masa modern, hingga humanisme yang dicita-citakan untuk saat sekarang ini.
Sebenarnya kata humanisme ini sering terlintas di telinga saya, tapi adanya ambiguitas pemaknaan humanisme yang keluar dari banyak sumber membuat saya bingung seperti apa tepatnya makna dari kata tersebut. Sesekali saya mendengar orang yang meneriakkan kata “humanis” dan “humanisme” karena membelanya dan mengaguminya. Tapi tak jarang juga saya mendengar orang yang melakukan hal serupa –meneriakkannya- namun dengan tujuan menolaknya dengan alasan klise: humanisme adalah produk Barat.
Kebingungan saya –benar atau salah si humanisme- dijawab secara tersirat oleh F. Budi Hardiman dalam bukunya ini yang berjudul “Humanisme dan Sesudahnya; meninjau ulang gagasan besar tentang manusia”. Penulis juga menawarkan perbaikan pada gerakan humanisme ini karena diakui bahwa dari sisi histori, humanisme tidak sebaik yang kita bayangkan, meskipun istilah ini berdiri atas nama kemanusiaan.
Bagaimana sejarah lahirnya humanisme?.
Humanisme dimulai pada zaman Renaisans abad ke 14-16 M dan memuncak pada humanisme pencerahan Eropa abad ke -18 M. Gerakan humanis modern itu sebagai upaya untuk menghargai kembali manusia dan kemanusiaannya dengan memberikan penafsiran-penafsiran rasional yang mempersoalkan monopoli tafsir kebenaran yang dahulu kala dipegang oleh kombinasi ajaib agama dan negara (2012:9).

Mengapa humanisme ngotot menundukkan agama?.
Ada dua pendekatan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, dari sisi historis. Humanisme melihat agama mengebiri otonomi manusia dengan segala potensi yang dimilikinya, terutama akal dan pikiran. Kedua, alasan epistemologis. Humanisme memandang bahwasannya Tuhan hanyalah hasil dari konstruksi atau rekaan manusia.
Lalu, apa kontribusi gerakan humanisme di atas bagi peradaban?.
F. Budi Hardiman menyebutkan ada tiga kontribusi humanisme bagi peradaban.
Pertama, radikalisasi ‘moral rasional’ yaitu moral yang tidak diturunkan dari wahyu dan tradisi religius, melainkan dari akal belaka (2012: 27). Mereka meyakini bahwa untuk berbuat baik tidak perlu motivasi agama, dan dengan itu pula (berbuat baik tanpa motivasi agama), manusia terlihat lebih dewasa dalam menjalani hidup di dunia.
Kedua, kritik agama yang berguna untuk memurnikan iman religius (2012: 28). Perlu disadari, terkadang sebagian kelompok dari suatu agama membawa penafsiran yang bisa mengancam kemanusiaan. Oleh karena itu, diperlukan kritik terhadap penafsiran-penafsiran tersebut. Dan gerakan ini –humanisme- biasanya yang berdiri paling depan ketika hal itu terjadi.
Ketiga, berkembangnya ilmu-ilmu empiris yang meneliti agama, seperti psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, sejarah agama-agama, dsb. (2012: 31). Pendekatan-pendekatan ini berguna untuk melihat gejala-gejala religius dari sisi manusiawi agar manusia sendiri tidak memutlakkan pengalaman subyektifnya sebagai kebenaran Ilahi (2012: 32).
Kemanusiaan Tanpa Manusia
F. Budi Hardiman dalam bukunya ini membuat satu bab yang menggambarkan bahwa humanisme yang dibangun atas dasar kemanusiaan dalam sejarahnya sempat diselewengkan untuk menindas manusia itu sendiri. Dua gerakan yang disebutkan oleh penulis sebagai perusak humanisme adalah kolonialisme dan totalitarianisme.
Dalam sejarah kolonialisme, manusia ditemukan lewat penegasan diri manuasia Barat atas mereka yang terjajah (2012: 35). Hegemoni kultural Barat dalam sejarah kolonialisme menyajikan suatu ekslusifisme dalam humanisme (2012: 39). Sementara itu, totalitarianisme melanjutkan pekerjaan kolonialisme dengan lebih radikal. Mereka memperlakukan kelompok-kelompok minoritas dan oposisi politis di dalam negeri sebagai ‘bukan manusia’ (2012: 41), seperti yang dilakukan pasukan Nazi terhadap bangsa Yahudi.
Dua kelompok ini melahirkan humanisme ekslusivitas yaitu kemanusiaan tanpa manusia dalam arti bahwa konsep universal maupun eksklusif tentang kemanusiaan itu telah menyingkirkan manusia (2012: 45).
Humanisme Haruslah Lentur!.
Dilema humanisme itu mendesak kita untuk menimbang ulang makna manusia dan kemanusiaan dalam humanisme. Disinilah, seorang F. Budi Hardiman menawarkan ‘humanisme lentur’. Tentu saja tawaran ini tidak lahir murni dari penulis, melainkan sudah diramu oleh para pemikir sebelumnya seperti Jurgen Habermas, Heidegger, Derrida, Rorty, dan Luhmann.
Di sini penulis seolah membongkar gagasan humanisme ini dan mencari apa yang masih bisa dipertahankan dan apa yang mesti segera disingkirkan. Dalam merobek tubuh humanisme, penulis menemukan dua hal yang wujud dalam humanisme; pertama, kekuatan kritis normatifnya yang mampu melucut kekuatan-kekuatan yang menindas manusia. Kedua, kenyataan bahwa humanisme sebagaimana ideologi lainnya bisa berpotensi untuk menjadi kebenaran tunggal yang memaksa dan ekslusif.
Dari dua organ tubuh humanisme tersebut –daya kritis dan daya paksa-, tentu saja yang perlu diambil hanyalah fungsi yang pertama. Adapun yang kedua harus segera dibuang jauh-jauh dari dalam tubuh humanisme. Daya kritis normatifnya ini nanti kemudian menjadi daya utama dalam ‘humanisme lentur’. Selanjutnya, diperlukan interseksi berbagai fragmen kebenaran agama, filsafat dan sains dalam menjalankan gerakan ini.
Jelaslah, bahwa dalam ‘humanisme lentur’ yang ditawarkan F. Budi Hardiman tidak menolak total kebenaran agama sebagaimana pada masa modern. Dan yang pasti, ‘humanisme lentur’ juga tidak memberi peluang pada kekakuan dan keekslusifan sebuah ‘isme’ yang berpotensi menjadi bencana sebagaimana kolonialisme dan totalitarianisme.
BUKU YANG DITULIS F. BUDI HARDIMAN

Share:

0 komentar:

Posting Komentar