Kamis, 01 Juni 2017

MENDULANG JUTAAN RUPIAH DARI IKAN LELE



Ketika saya melihat tulisan di blog saya, aduhai... terutama sepanjang satu tahun terakhir ini, hampir kebanyakan tulisannya berangkat dari keresahan, dan bisa ketebak ujungnya, yaitu penuh dengan kepesimisan.
Saya pikir tidak baik bila pikiran kita (saya selaku penulis maupun anda selaku pembaca) selalu dijejali dengan sikap pesimis. Oleh karena itu, hari ini saya mencoba untuk berbagi hal yang positif, sesuatu yang semoga saja bisa menginspirasi, memotivasi dan membangkitkan rasa optimis kita.
Ketika saya menentukan kata kunci “inspirasi”, “motivasi” dan “optimis”, maka salah seorang yang ada di benak saya adalah teman saya yang bernama Kurniaji Ramadhan atau yang biasa saya panggil Aji. Ia adalah seorang pengusaha lele yang sekarang sudah punya omzet 25 juta sekali panen (4 bulan) atau 6 juta perbulan. 
sumber gambar : baabun.com
Aji dan kolam berenangnya, eh salah... kolam lelenya.

Penghasilan itu ditargetkan akan terus bertambah mengingat Aji sudah mulai menekan biaya produksi dengan cara membuat pakan (makanan) sendiri untuk lele peliharaannya. Bahkan ia berencana akan menjual pakan buatannya itu kepada pengusaha lele lainnya serta membuka pengolahan lele sendiri, sehingga ketika ia panen, ia tak perlu lagi menjualnya kepada pengepul di pasar.
***
Bertemu Aji.
Saya bertemu dengan Aji pada pertengahan tahun 2015, saat ada kegiatan KKL (kuliah kerja lapangan) yang diadakan oleh pihak kampus dan berlokasi di kecamatan Paloh Kabupaten Sambas.
Dalam kegiatan KKL, setiap jurusan harus punya kegiatan khas jurusannya masing-masing. Ternyata waktu itu jurusan Ekonomi Islam adalah jurusan yang paling sulit untuk mengadakan kegiatan khas jurusan mereka, yaitu kegiatan yang di dalamnya terkait dengan dunia ekonomi.
Namun Aji yang kebetulan berkedudukan sebagai ketua kelompok sekaligus mahasiswa jurusan ekonomi mencetuskan sebuah ide untuk mengatasi permasalahan tersebut. Ia mengusulkan untuk mengadakan seminar kewirausahaan.
Awalnya kawan-kawan masih ragu. Bagaimana tidak?, seminar kewirausahaan men, di sebuah dusun di pinggiran kota Sambas lagi. Tentu banyak hal yang harus dipertimbangkan, seperti tempat, konsumsi, fasilitas, peserta, dan tentu saja materi dan pematerinya.
-
“Ji, kalau kau mau ngadakan seminar wirausaha, pematerinya siapa?,” tanya kawan-kawan.
“Eeeee...santai jak, aku pematerinya,” jawab Aji sambil garuk-garuk badan karena gatal.
Kawan-kawan tampak ragu, apalagi saat melihat tingkah Aji yang saat itu sedang tengkurap menghadap laptop tanpa mengenakan baju dan masih belum mandi pagi.
“Materinya apa Ji?.”
“Budidaya lele.”
“Emang kau bisa?.”
“Bisa.”
Saat mendengar kata “bisa” dari mulut sang ketua, keraguan yang hinggap di permukaan wajah kawan-kawan sedikit memudar. Lagipula mereka sudah tidak lagi berpikir acara ini sukses atau tidak, yang penting jurusan Ekonomi Islam sudah mengadakan kegiatan khas jurusannya.
***
Pada saat hari H, ternyata kegiatan yang sudah direncanakan berjalan lumayan lancar dan sukses. Masyarakat cukup antusias untuk datang, walaupun saat mendengarkan seminar ada yang menguap karena ngantuk.
Bagi saya, raut letih yang terpancar dari para peserta begitu wajar, mengingat warga di desa tersebut bekerja berat di kebun atau persawahan pada siang harinya, sehingga malam hari seperti saat itu adalah waktunya mereka untuk beristirahat, bukan untuk menonton seminar. Tapi dengan datangnya warga ke acara seminar saja kami sudah sangat bersyukur.
Di seminar itu Aji menyampaikan materi tentang budidaya lele, mulai dari cara pembuatan kolam, pemeliharaan bibit, sampai cara panen dan penjualan. Melihat ia menyusun materi dan menyampaikannya di hadapan warga membuat saya yakin bahwa ia memang sudah berpengalaman dalam mengembangkan usaha lele.
Dari situ saya mulai tertarik untuk mengulik kisah dan perjuangan Aji dalam mengembangkan usaha lelenya. Bahkan saya juga beberapa kali memantau perkembangan usahanya. Kisahnya mulai dari awal hingga sekarang sudah saya susun, dan akan saya ceritakan sedikit di bawah ini.
Bolehlah kiranya saya beri judul kisah Aji ini dengan judul yang sedikit lucu, yaitu:
Aji Sang Pencinta Lele.
Peristiwa yang membawa Aji berani bergerak untuk menjadi pengusaha lele berawal dari seminar wirausaha yang ia ikuti bersama teman-temanya yang berada satu jurusan dengannya. Setelah seminar, pemateri seminar meminta peserta seminar untuk membuat kelompok yang masing-masing kelompok beranggotakan sepuluh orang untuk membuat usaha sendiri.
Tak perlu waktu lama, Aji dan kawan-kawan pun langsung membuat kelompok. Mereka sepakat untuk membuka usaha jamur tiram.
Tapi entah mengapa, dalam pelaksanaannya, Aji tak pernah diajak oleh kawan-kawannya dalam menjalankan usaha yang telah disepakati itu. Teganya kawan kau ye Ji. Gara-gara itu ia kecewa dan membuat usaha sendiri, yaitu usaha lele.
Awalnya ia bingung, kolam belum punya, mau usaha lele dimana?. Mau pelihara di bak mandi, takut menganggu orang mandi. Mau pelihara di lobang kloset, takut lelenya mati keracunan.
Akhirnya ia berpetualang di belakang rumah sambil membawa bekal nasi yang sudah ia masukkan ke dalam kotak makanan. Setelah menjelajah sekitar beberapa langkah, ia berhasil menemukan tempat yang pas untuk memelihara lele, tempat itu adalah sumur tua yang sudah tidak lagi terpakai.
Ia pun menciduk air di dalam sumur tersebut dan mencicipi rasanya dengan lidah. “Emmmm...rasanya tidak asin, berarti ini pas untuk kolam lele sementara.”
Di sumur itulah ia menebar 300 bayi lele yang tidak berdosa. Dan dari usaha pertama itu ia berhasil panen 30 kilogram lele. Hasil penjualan 30 kilogram itu ia putar lagi menjadi modal untuk membuat kolam terpal pengganti sumur tua.
***
Untuk pembuatan kolam terpal, ia melakukannya sendiri dengan menyisihkan waktu satu jam sebelum kuliah (6-7 pagi) dan satu jam setelah kuliah (4-5 sore). Ia mampu membuat tiga kolam lele dalam waktu satu bulan.
Tiga kolam itu ia isi dengan dua ribu bayi lele. Merasa yakin bayi-bayi lele itu bakal tumbuh sehat dan kuat, ia membuat kolam lagi dengan ukuran 2 x 4 meter dan menambah lima ribu bayi lele. Sehingga total ada tujuh ribu bayi lele untuk kolam terpal pertama.
Keesokan harinya, lima ribu bayi lele tambahan menampakkan gejala aneh (ada semacam serabut di sekujur tubuhnya). Apakah serabut itu menandakan bahwa si bayi sudah balig (dewasa)?, saya tidak tau. Yang jelas, melihat kejadian itu Aji mulai panik.
Keesokannya lagi, lima ribu bayi lele yang bergejala aneh itu mati serempak. Aji merasa bersalah akibat kematian itu. Ia merasa seperti Adolf Hitler sang pemimpin Nazi yang membunuh enam juta orang Yahudi pada peristiwa Holocaust. Gara-gara kejadian itu ia rugi satu juta rupiah.
Sementara itu, dua ribu bayi lele yang masih tersisa juga mengalami nasib yang hampir sama. Perharinya ada sekitar sepuluh lele yang mati. Akhirnya, dari dua ribu bayi lele itu Aji hanya mampu panen lele dewasa sebanyak 50 kilogram. Dari hasil itu ia hanya mampu membalikkan modal awal dua ribu bayi lele, tidak ada keuntungan.
Kejadian itu begitu menyedihkan bagi dirinya. Galaunya mungkin hampir sama dengan galau akibat ditinggal pacar saat lagi sayang-sayangnya.
Untungnya Aji punya orang dekat yang selalu memberinya semangat, yaitu Bapaknya sendiri. Ia selalu curhat dengan Bapaknya, dan Bapaknya selalu memberinya motivasi untuk segera move on.
***
Ia kemudian bangkit dan belajar untuk memperbaiki kesalahan. Ia mendatangi pamannya yang sudah berpengalaman puluhan tahun memelihara lele. Selain itu ia juga memanfaatkan sumber-sumber referensi dari internet untuk menanggulangi kematian lele.
Setelah belajar itulah, usahanya sedikit demi sedikit membaik. Tidak ada lagi lele yang mati serentak seperti sebelumnya. Kalaupun ada lele yang mati, itu lebih dikarenakan ia tidak bisa beradaptasi dengan perubahan zaman serta tidak pandai bergaul dengan lele lainnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Charles Darwin, “Yang paling bisa bertahan hidup adalah yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan.”
Setelah lelenya sehat, ia pun membangun kolam terpal tambahan. Dari kolam tambahan itu ia  berhasil panen 700 kilogram dengan untung bersih tujuh juta rupiah dalam satu kali panen (empat bulan). Jadi dalam satu bulan ia bisa mendapatkan untung sekitar satu juta lebih.
***
Keuntungan yang ia dapatkan ia putar lagi untuk modal pembuatan kolam semen. Perjalanan usaha masih belum mulus, ternyata dari kolam semen itu menimbulkan masalah lanjutan yaitu bencana kematian lagi pada lele. Namun kali ini mental Aji sudah lebih baik. Ia segera mencari penyebabnya dan memperbaiki kesalahan yang ada.
Di tengah perjalanan pula, ibunya sempat tidak sepaham dengan kuputusan Aji yang lebih memilih untuk mengurusi usaha lelenya daripada mencari pekerjaan yang layak bagi seorang sarjana.
Menurut ibunya, sangat tidak wajar seorang sarjana bekerja mengurusi kolam lele. Ibunya menyarankan Aji untuk mencari kerja yang layak seperti bekerja di instansi pemerintah atau perusahaan, dan urusan lele sebaiknya diserahkan saja kepada orang lain.
Namun Aji tetap teguh pada pendiriannya, yaitu mengurusi usaha lele. Meskupun ibunya masih belum ridho, tapi Aji terus berjalan. Ternyata mental Aji adalah mental malin kundang.
***
Sekarang, usahanya terus berkembang. Aji sudah punya 18 kolam semen dengan keuntungan 25 juta setiap kali panen (4 bulan) atau enam juta perbulan. Saat ini ia sudah membuat pakan sendiri untuk menekan biaya produksi.
Untuk rencana ke depan, ia akan menjual pakan yang ia buat dengan target keuntungan sebesar tiga juta per bulan (untuk penjualan pakan). Selain itu, ia juga berencana untuk mengolah sendiri lele yang ia pelihara, yaitu dengan cara memproduksi kripik, nugget, dan abon yang semuanya berasal dari lele.
Bahkan ia juga hendak memanfaatkan semua bagian dari lele, mulai dari bagian kepala sampai pada tulang lele, seperti yang terjadi di Youtube-Youtube. Semua perencanaan itu bisa mencapai keuntungan hingga lima juta rupiah per bulan. Jadi, selain keuntungan pemeliharaan lele yang berkisar enam juta per bulan, juga akan ditambah dengan keuntungan lain sebanyak delapan juta per bulan.

Aji sedang memanen ikan lelenya. Jika anda tidak melihat Aji, itu berarti mata anda masih normal.
 
Proses ganti air. Anda bisa melihat seekor kucing di atas kolam yang sedang menunggu salah seekor ikan lele melompat untuk disantap.
***
Pada saat saya bertanya kepada Aji, “Hal apa yang kau dapatkan dari pengalaman kau ini, yang dari pengalaman ini bisa kau bagikan kepada kawan-kawan lainnya?.”
Ia menjawab, “Masa muda ini adalah masanya untuk membangun masa depan. Cari pengalaman sebanyak-banyaknya yang itu berguna untuk masa depan. Tak apa sakit-sakit dulu, tak apa bersusah-susah dulu, nanti kita akan merasakan nyamannya.”
Saat menjawab hal tersebut, saya kira ia akan berdendang seperti Rhoma Irama, “Masa muda...masa yang berapi-api. Yang maunya menang sendiri... walau salah tak peduli... Darah muda...”

***
Saya selalu mengibaratkan kesuksesan itu seperti bangunan rumah besar lengkap dengan pagar, halaman dan pernak-perniknya yang semuanya terbuat dari lego. Anda tau lego?. Lego adalah alat permainan pasang-susun yang terbuat dari plastik dan bisa disusun menjadi bentuk apa saja, entah itu mobil, kereta api, kapal, rumah dan banyak lainnya.
sumber gambar: ibudanbalita.com

Bila sukses itu adalah sebuah rumah jadi yang dibuat dari lego, maka kepingan-kepingan lego itu adalah modal untuk membangun kesuksesan kita (entah itu materi, inovasi, kreativitas, motivasi, ilmu, orang terdekat, dsb). Sementara proses adalah kegiatan kita menyusun satu demi satu kepingan lego sehingga menjadi rumah (kesuksesan).
Kepingan Lego. sumber gambar: mypecunia.com

Lego (modal kepingan kesuksesan) itu kita susun satu per satu. Pasti di tengah proses penyusunan kita akan menemukan kesulitan, “Ini mau disusun gimana?,” “Mau diletakkan dimana?,” “Setelah ini gimana?,” dan sebagainya. Sehingga tidak jarang pula kita akan membongkar kembali bangunan kesuksesan kita dan memulainya dari awal.
Namun dari kesalahan dan kegagalan itu kita akan mendapatkan pengalaman baru, belajar sesuatu yang baru. Ketika kita bertemu masalah yang pernah kita hadapi, kita akan melewatinya dengan tersenyum, karena lobang itu sudah pernah kita alami dan kita sudah belajar dari hal itu untuk kemudian melompatinya dengan santai. Begitu terus hingga lego yang kita susun menjadi sebuah rumah (kesuksesan).
Semua proses itu terus berulang, salah – bongkar - dapat pelajaran baru - pasang kembali, salah – bongkar - dapat pelajaran baru - pasang kembali, begitu terus sehingga bangunan rumah (kesuksesan) itu pun berdiri dengan megahnya.
Dari perumpamaan rumah lego itu saya selalu belajar dua hal:
Pertama, sukses itu perlu proses. Tidak ada kesuksesan yang instan.
Kedua, setiap kegagalan akan memberikan kita pelajaran. Orang yang bermental sukses akan mengambil pelajaran itu, dan bangkit kembali untuk memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya, dengan itu ia akan lanjut pada tangga berikutnya. Sekian.
***

Semoga tulisan kali ini lebih bermanfaat dari tulisan sebelumnya dan salam Ramadan.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar