Ketika saya melihat tulisan di blog saya, aduhai...
terutama sepanjang satu tahun terakhir ini, hampir kebanyakan tulisannya
berangkat dari keresahan, dan bisa ketebak ujungnya, yaitu penuh dengan
kepesimisan.
Saya pikir tidak baik bila pikiran kita (saya
selaku penulis maupun anda selaku pembaca) selalu dijejali dengan sikap
pesimis. Oleh karena itu, hari ini saya mencoba untuk berbagi hal yang positif,
sesuatu yang semoga saja bisa menginspirasi, memotivasi dan membangkitkan rasa
optimis kita.
Ketika saya menentukan kata kunci “inspirasi”,
“motivasi” dan “optimis”, maka salah seorang yang ada di benak saya adalah
teman saya yang bernama Kurniaji Ramadhan atau yang biasa saya panggil Aji. Ia
adalah seorang pengusaha lele yang sekarang sudah punya omzet 25 juta sekali
panen (4 bulan) atau 6 juta perbulan.
sumber gambar : baabun.com |
Penghasilan itu ditargetkan akan terus
bertambah mengingat Aji sudah mulai menekan biaya produksi dengan cara membuat
pakan (makanan) sendiri untuk lele peliharaannya. Bahkan ia berencana akan menjual
pakan buatannya itu kepada pengusaha lele lainnya serta membuka pengolahan lele
sendiri, sehingga ketika ia panen, ia tak perlu lagi menjualnya kepada pengepul
di pasar.
***
Bertemu Aji.
Saya bertemu dengan Aji pada pertengahan
tahun 2015, saat ada kegiatan KKL (kuliah kerja lapangan) yang diadakan oleh pihak
kampus dan berlokasi di kecamatan Paloh Kabupaten Sambas.
Dalam kegiatan KKL, setiap jurusan harus
punya kegiatan khas jurusannya masing-masing. Ternyata waktu itu jurusan
Ekonomi Islam adalah jurusan yang paling sulit untuk mengadakan kegiatan khas
jurusan mereka, yaitu kegiatan yang di dalamnya terkait dengan dunia ekonomi.
Namun Aji yang kebetulan berkedudukan sebagai
ketua kelompok sekaligus mahasiswa jurusan ekonomi mencetuskan sebuah ide untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Ia mengusulkan untuk mengadakan seminar
kewirausahaan.
Awalnya kawan-kawan masih ragu. Bagaimana
tidak?, seminar kewirausahaan men, di
sebuah dusun di pinggiran kota Sambas lagi. Tentu banyak hal yang harus dipertimbangkan,
seperti tempat, konsumsi, fasilitas, peserta, dan tentu saja materi dan
pematerinya.
-
“Ji, kalau kau mau ngadakan seminar
wirausaha, pematerinya siapa?,” tanya kawan-kawan.
“Eeeee...santai jak, aku pematerinya,” jawab
Aji sambil garuk-garuk badan karena gatal.
Kawan-kawan tampak ragu, apalagi saat melihat
tingkah Aji yang saat itu sedang tengkurap menghadap laptop tanpa mengenakan
baju dan masih belum mandi pagi.
“Materinya apa Ji?.”
“Budidaya lele.”
“Emang kau bisa?.”
“Bisa.”
Saat mendengar kata “bisa” dari mulut sang
ketua, keraguan yang hinggap di permukaan wajah kawan-kawan sedikit memudar. Lagipula
mereka sudah tidak lagi berpikir acara ini sukses atau tidak, yang penting
jurusan Ekonomi Islam sudah mengadakan kegiatan khas jurusannya.
***
Pada saat hari H, ternyata kegiatan yang
sudah direncanakan berjalan lumayan lancar dan sukses. Masyarakat cukup
antusias untuk datang, walaupun saat mendengarkan seminar ada yang menguap
karena ngantuk.
Bagi saya, raut letih yang terpancar dari
para peserta begitu wajar, mengingat warga di desa tersebut bekerja berat di
kebun atau persawahan pada siang harinya, sehingga malam hari seperti saat itu adalah
waktunya mereka untuk beristirahat, bukan untuk menonton seminar. Tapi dengan
datangnya warga ke acara seminar saja kami sudah sangat bersyukur.
Di seminar itu Aji menyampaikan materi
tentang budidaya lele, mulai dari cara pembuatan kolam, pemeliharaan bibit,
sampai cara panen dan penjualan. Melihat ia menyusun materi dan menyampaikannya
di hadapan warga membuat saya yakin bahwa ia memang sudah berpengalaman dalam
mengembangkan usaha lele.
Dari situ saya mulai tertarik untuk mengulik
kisah dan perjuangan Aji dalam mengembangkan usaha lelenya. Bahkan saya juga
beberapa kali memantau perkembangan usahanya. Kisahnya mulai dari awal hingga
sekarang sudah saya susun, dan akan saya ceritakan sedikit di bawah ini.
Bolehlah kiranya saya beri judul kisah Aji
ini dengan judul yang sedikit lucu, yaitu:
Aji Sang Pencinta Lele.
Peristiwa yang membawa Aji berani bergerak
untuk menjadi pengusaha lele berawal dari seminar wirausaha yang ia ikuti
bersama teman-temanya yang berada satu jurusan dengannya. Setelah seminar, pemateri seminar meminta
peserta seminar untuk membuat kelompok yang masing-masing kelompok
beranggotakan sepuluh orang untuk membuat usaha sendiri.
Tak perlu waktu lama, Aji dan kawan-kawan pun
langsung membuat kelompok. Mereka sepakat untuk membuka usaha jamur tiram.
Tapi entah mengapa, dalam pelaksanaannya, Aji
tak pernah diajak oleh kawan-kawannya dalam menjalankan usaha yang telah
disepakati itu. Teganya kawan kau ye Ji.
Gara-gara itu ia kecewa dan membuat usaha sendiri, yaitu usaha lele.
Awalnya ia bingung, kolam belum punya, mau
usaha lele dimana?. Mau pelihara di bak mandi, takut menganggu orang mandi. Mau
pelihara di lobang kloset, takut lelenya mati keracunan.
Akhirnya ia berpetualang di belakang rumah
sambil membawa bekal nasi yang sudah ia masukkan ke dalam kotak makanan.
Setelah menjelajah sekitar beberapa langkah, ia berhasil menemukan tempat
yang pas untuk memelihara lele, tempat itu adalah sumur tua yang sudah tidak lagi
terpakai.
Ia pun menciduk air di dalam sumur tersebut
dan mencicipi rasanya dengan lidah. “Emmmm...rasanya tidak asin, berarti ini
pas untuk kolam lele sementara.”
Di sumur itulah ia menebar 300 bayi lele yang
tidak berdosa. Dan dari usaha pertama itu ia berhasil panen 30 kilogram lele.
Hasil penjualan 30 kilogram itu ia putar lagi menjadi modal untuk membuat kolam
terpal pengganti sumur tua.
***
Untuk pembuatan kolam terpal, ia melakukannya
sendiri dengan menyisihkan waktu satu jam sebelum kuliah (6-7 pagi) dan satu
jam setelah kuliah (4-5 sore). Ia mampu membuat tiga kolam lele dalam waktu
satu bulan.
Tiga kolam itu ia isi dengan dua ribu bayi
lele. Merasa yakin bayi-bayi lele itu bakal tumbuh sehat dan kuat, ia membuat
kolam lagi dengan ukuran 2 x 4 meter dan menambah lima ribu bayi lele. Sehingga
total ada tujuh ribu bayi lele untuk kolam terpal pertama.
Keesokan harinya, lima ribu bayi lele
tambahan menampakkan gejala aneh (ada semacam serabut di sekujur tubuhnya). Apakah
serabut itu menandakan bahwa si bayi sudah balig (dewasa)?, saya tidak tau. Yang
jelas, melihat kejadian itu Aji mulai panik.
Keesokannya lagi, lima ribu bayi lele yang
bergejala aneh itu mati serempak. Aji merasa bersalah akibat kematian itu. Ia
merasa seperti Adolf Hitler sang pemimpin Nazi yang membunuh enam juta orang
Yahudi pada peristiwa Holocaust. Gara-gara kejadian itu ia rugi satu juta
rupiah.
Sementara itu, dua ribu bayi lele yang masih
tersisa juga mengalami nasib yang hampir sama. Perharinya ada sekitar sepuluh
lele yang mati. Akhirnya, dari dua ribu bayi lele itu Aji hanya mampu panen lele
dewasa sebanyak 50 kilogram. Dari hasil itu ia hanya mampu membalikkan modal
awal dua ribu bayi lele, tidak ada keuntungan.
Kejadian itu begitu menyedihkan bagi dirinya.
Galaunya mungkin hampir sama dengan galau akibat ditinggal pacar saat lagi
sayang-sayangnya.
Untungnya Aji punya orang dekat yang selalu
memberinya semangat, yaitu Bapaknya sendiri. Ia selalu curhat dengan Bapaknya, dan
Bapaknya selalu memberinya motivasi untuk segera move on.
***
Ia kemudian bangkit dan belajar untuk
memperbaiki kesalahan. Ia mendatangi pamannya yang sudah berpengalaman puluhan
tahun memelihara lele. Selain itu ia juga memanfaatkan sumber-sumber referensi
dari internet untuk menanggulangi kematian lele.
Setelah belajar itulah, usahanya sedikit demi
sedikit membaik. Tidak ada lagi lele yang mati serentak seperti sebelumnya.
Kalaupun ada lele yang mati, itu lebih dikarenakan ia tidak bisa beradaptasi dengan
perubahan zaman serta tidak pandai bergaul dengan lele lainnya. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Charles Darwin, “Yang paling bisa bertahan hidup adalah
yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan.”
Setelah lelenya sehat, ia pun membangun kolam
terpal tambahan. Dari kolam tambahan itu ia
berhasil panen 700 kilogram dengan untung bersih tujuh juta rupiah dalam
satu kali panen (empat bulan). Jadi dalam satu bulan ia bisa mendapatkan untung
sekitar satu juta lebih.
***
Keuntungan yang
ia dapatkan ia putar lagi untuk modal pembuatan kolam semen. Perjalanan usaha
masih belum mulus, ternyata dari kolam semen itu menimbulkan masalah lanjutan
yaitu bencana kematian lagi pada lele. Namun kali ini mental Aji
sudah lebih baik. Ia segera mencari penyebabnya dan memperbaiki kesalahan yang
ada.
Di tengah perjalanan pula, ibunya sempat tidak
sepaham dengan kuputusan Aji yang lebih memilih untuk mengurusi usaha lelenya
daripada mencari pekerjaan yang layak bagi seorang sarjana.
Menurut ibunya, sangat tidak wajar seorang
sarjana bekerja mengurusi kolam lele. Ibunya menyarankan Aji untuk mencari
kerja yang layak seperti bekerja di instansi pemerintah atau perusahaan, dan
urusan lele sebaiknya diserahkan saja kepada orang lain.
Namun Aji tetap teguh pada pendiriannya,
yaitu mengurusi usaha lele. Meskupun ibunya masih belum ridho, tapi Aji terus
berjalan. Ternyata mental Aji adalah mental malin kundang.
***
Sekarang, usahanya terus berkembang. Aji
sudah punya 18 kolam semen dengan keuntungan 25 juta setiap kali panen (4
bulan) atau enam juta perbulan. Saat ini ia sudah membuat pakan sendiri untuk
menekan biaya produksi.
Untuk rencana ke depan, ia akan menjual
pakan yang ia buat dengan target keuntungan sebesar tiga juta per bulan (untuk
penjualan pakan). Selain itu, ia juga berencana untuk mengolah sendiri lele
yang ia pelihara, yaitu dengan cara memproduksi kripik, nugget, dan abon yang semuanya berasal dari lele.
Bahkan ia juga hendak memanfaatkan semua
bagian dari lele, mulai dari bagian kepala sampai pada tulang lele, seperti
yang terjadi di Youtube-Youtube. Semua
perencanaan itu bisa mencapai keuntungan hingga lima juta rupiah per bulan. Jadi, selain
keuntungan pemeliharaan lele yang berkisar enam juta per bulan, juga akan
ditambah dengan keuntungan lain sebanyak delapan juta per bulan.
Aji sedang memanen ikan lelenya. Jika anda tidak melihat Aji, itu berarti mata anda masih normal. |
Proses ganti air. Anda bisa melihat seekor kucing di atas kolam yang sedang menunggu salah seekor ikan lele melompat untuk disantap. |
***
Pada saat saya bertanya kepada Aji, “Hal apa
yang kau dapatkan dari pengalaman kau ini, yang dari pengalaman ini bisa kau bagikan
kepada kawan-kawan lainnya?.”
Ia menjawab, “Masa muda ini adalah masanya
untuk membangun masa depan. Cari pengalaman sebanyak-banyaknya yang itu berguna
untuk masa depan. Tak apa sakit-sakit dulu, tak apa bersusah-susah dulu, nanti
kita akan merasakan nyamannya.”
Saat menjawab hal tersebut, saya kira ia akan
berdendang seperti Rhoma Irama, “Masa muda...masa yang berapi-api. Yang maunya
menang sendiri... walau salah tak peduli... Darah muda...”
***
Saya selalu mengibaratkan kesuksesan itu
seperti bangunan rumah besar lengkap dengan pagar, halaman dan pernak-perniknya
yang semuanya terbuat dari lego. Anda tau lego?. Lego adalah alat permainan
pasang-susun yang terbuat dari plastik dan bisa disusun menjadi bentuk apa
saja, entah itu mobil, kereta api, kapal, rumah dan banyak lainnya.
sumber gambar: ibudanbalita.com |
Bila sukses itu adalah sebuah rumah jadi yang
dibuat dari lego, maka kepingan-kepingan lego itu adalah modal untuk membangun kesuksesan
kita (entah itu materi, inovasi, kreativitas, motivasi, ilmu, orang terdekat,
dsb). Sementara proses adalah kegiatan kita menyusun satu demi satu kepingan lego
sehingga menjadi rumah (kesuksesan).
Kepingan Lego. sumber gambar: mypecunia.com |
Lego (modal kepingan kesuksesan) itu kita
susun satu per satu. Pasti di tengah proses penyusunan kita akan menemukan
kesulitan, “Ini mau disusun gimana?,” “Mau diletakkan dimana?,” “Setelah ini
gimana?,” dan sebagainya. Sehingga tidak jarang pula kita akan membongkar kembali
bangunan kesuksesan kita dan memulainya dari awal.
Namun dari kesalahan dan kegagalan itu kita
akan mendapatkan pengalaman baru, belajar sesuatu yang baru. Ketika kita
bertemu masalah yang pernah kita hadapi, kita akan melewatinya dengan
tersenyum, karena lobang itu sudah pernah kita alami dan kita sudah belajar
dari hal itu untuk kemudian melompatinya dengan santai. Begitu terus hingga
lego yang kita susun menjadi sebuah rumah (kesuksesan).
Semua proses itu terus berulang, salah – bongkar
- dapat pelajaran baru - pasang kembali, salah – bongkar - dapat pelajaran baru
- pasang kembali, begitu terus sehingga bangunan rumah (kesuksesan) itu pun
berdiri dengan megahnya.
Dari perumpamaan rumah lego itu saya selalu
belajar dua hal:
Pertama, sukses itu perlu proses. Tidak ada
kesuksesan yang instan.
Kedua, setiap kegagalan akan memberikan kita
pelajaran. Orang yang bermental sukses akan mengambil pelajaran itu, dan
bangkit kembali untuk memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya, dengan itu ia
akan lanjut pada tangga berikutnya. Sekian.
***
Semoga
tulisan kali ini lebih bermanfaat dari tulisan sebelumnya dan salam Ramadan.
0 komentar:
Posting Komentar