Afi Nihaya Faradisa hanyalah sebuah nama pena,
nama aslinya adalah Asa Firda Inayah.
“Jadi di blog ini saya mesti tulis Afi,
Nihaya atau Faradisa ni?, atau malah Asa, Firda... Inayah?,” tanya saya.
“Afi aja Mas,” jawab Afi.
“Oke, saya akan pakai nama Afi di tulisan
ini.”
Nb:
percakapan di atas adalah percakapan dalam mimpi.
***
Beberapa hari yang lalu, media televisi,
koran cetak dan online, serta blog dan netizen cukup ramai memberitakan kisah
Afi Nihaya Faradisa dengan statusnya yang ia tulis di media sosial.
Jika saya perhatikan, kisah Afi ini udah
mirip plot cerita dalam sebuah novel, dari mulai eksposisi (Afi membuat status
dan terkenal), insiden pemicu (Afi diisukan melakukan plagiat), klimaks (publik
ramai membully Afi karena mereka
yakin Afi melakukan plagiat), resolusi (ada pihak yang pro dan membela Afi),
akhir (berita Afi tenggelam, digeser oleh berita final liga Champion).
Sebagai pengamat indie dan amatir yang berada di bawah naungan swasta, saya merasa
harus ikut berpartisipasi dalam meramaikan kisah Afi ini. Kasian bila ketenaran
Afi hanya berhenti sampai disini seperti kisah para eks selebritis yang
mendadak terkenal tapi dengan sekejap pula hilang dari permukaan layar kaca;
Norman Kamaru dan Udin Sedunia. Becanda...
Sebenarnya perjalanan Afi ini awalnya mulus
tanpa hambatan, tetapi semakin kesini, ia semakin mendapatkan tekanan dan
serangan dari pihak yang tentu saja tidak setuju dengannya, baik tidak setuju
dengan konten statusnya maupun tidak setuju dengan tindakan yang dituduhkan
kepadanya, yaitu memplagiat status media sosial.
Dan semenjak lahirnya isu plagiat itulah, kisah
Afi mulai memasuki puncak klimaks dari sebuah cerita.
Yang akan coba kita ungkap adalah, “Apakah beberapa
tulisan Afi di media sosial adalah hasil plagiat?.”
Untuk menjawab itu, saya akan merujuk berita yang
sudah dipublikasi oleh Liputan6.com yang berjudul “Afi Nihaya dituduh Plagiat
dari Akun Mita Handayani, Ini Faktanya.”
Mengapa saya memilih berita di Liputan6.com?.
Karena berita di Liputan6.com sudah mengurutkan kejadiannya dari awal isu itu muncul,
hingga timbulnya bantahan, bahkan sampai munculnya bantahan lagi terhadap
bantahan isu tersebut.
Diceritakan disitu bahwa isu plagiat ini
pertama kali dilempar oleh seorang netizen bernama Pringadi Abdi Surya. Ia
membandingkan screenshoot status yang
ada di facebook Mita Handayani dengan status yang ada di facebook Afi. Status
tersebut bertemakan “agama kasih” dan “belas kasih agama” yang kurang lebih
sama. Pringadi juga menautkan satu link
yang bisa diklik sebagai bukti bahwa apa yang ia posting itu benar adanya.
Tapi ketika link itu dibuka oleh Marius Gunawan, ternyata link tersebut tidak bisa dibuka. Usut punya usut, ternyata Marius
kehabisan kuota. Setelah ia mengisi kembali kuotanya di konter samping rumah dan
ia kemudian mencoba membuka kembali link
yang dibagikan Pringadi, ternyata link
itu memang benar tidak bisa dibuka. Dengan segera Marius Gunawan membantah
tulisan Pringadi Abdi Surya dengan mengatakan bahwa link yang dibagikan itu adalah palsu. Tuduhan Pringadi
terbantahkan.
Bagian Marius kehabisan kuota di tolong di
sensor!.
Bagai menyiram api dengan air kencing, hehehe... akun Mita Handayani langsung
memberikan klarifikasi bahwa ia memang pernah menulis tautan yang sama dengan
yang dibuat oleh Afi. Jika benar, maka Afi terbukti telah melakukan plagiat.
Tapi timbul lagi pertanyaan, Mita Handayani benar nggak ni?. Jangan-jangan
klarifikasinya hanya ngaku-ngaku aja?.
Afi sendiri pada acara “SAPA INDONESIA” di
Kompas TV mengatakan “tidak” pada plagiat. Maksudnya... Afi tidak melakukan
plagiat.
Huft........pusing
pala’ Beruang.
Namun, saat saya menulis tulisan ini dan
mengecek facebooknya Afi sekitar siang hari tadi (3 Juni 2017), saya menemukan
status baru Afi yang intinya masih kurang bisa saya tangkap. Apakah status itu
adalah pengakuan Afi terhadap tindakan plagiat yang ia lakukan, ataukah itu
pembelaan bahwa dirinya melakukan suatu yang normal-normal saja?.
Aghhhh....makin
pusing pala’ Beruang.
Itulah sekilas kisah menegangkan dan
kontroversial dari seorang Afi. Jika kita mengikuti kisahnya dari awal hingga
sekarang, kita serasa sedang membaca kisah seorang detektif saat memecahkan
kasus pembunuhan. Penuh tanda tanya, misteri, dan hal yang tidak terduga.
Apakah Afi benar-benar melakukan plagiat, apakah
isu itu hanya ujaran kebencian semata, atau mungkinkah ada konspirasi Yahudi di
balik semuanya?.
Kita tidak tahu. Yang jelas, jangan lupa buka
puasa saat azan Magrib tiba. Bersambung.....
***
Terancamnya Kebebasan
Berkeyakinan dan Berpendapat.
Jujur, saya tidak sependapat dengan status
yang berjudul “warisan” di media sosialnya Afi. Tapi saya lebih tidak setuju
lagi dengan ujaran kebencian, kekerasan, bullyan,
bahkan sampai ancaman pembunuhan kepada Dek Afi hanya karena status yang ada di
media sosialnya.
Beberapa kali Afi mengatakan, misalkan pada
saat wawancara dengan Metro TV, juga saat acara Talkshow Rosi di Kompas TV, ia
mengatakan bahwa ada yang mengancam untuk membunuh dirinya karena status yang
ia tulis di media sosial.
Are
You Serious?.
Bagi saya, status Afi di media sosial itu
masih dalam taraf yang aman untuk memperlihatkan kebebasan berfikir. Tidak ada
orang yang dihina di status tersebut, tidak ada nada-nada provokasi ngajak
kelahi, juga tidak ada nama saya di tag
dalam statusmu Dek, hmmm...
Dan andaipun ada hal yang tidak anda sepakati
dalam status tersebut, tidak bisakah anda menanggapinya dengan cara yang sopan
dan elegan, bukan malah dengan cacian dan ujaran kebencian, apalagi ancaman
pembunuhan.
Saya tahu, konten dari statusnya Afi memang
agak sensitif jika dilempar ke ranah publik. Dan ketika saya perbesar dengan
mikroskop, sepertinya tulisan itu memang mengarah pada liberalisme, pluralisme,
dan fatalisme.
Ada kalimat-kalimat yang memperlihatkan
kebebasan berfikir tanpa muatan dalil agama, ada nada-nada ingin mengatakan
bahwa semua agama membawa kepada kebaikan dan kebenaran, dan pada tulisan berjudul
“warisan”, saya merasa ada kepasrahan dari seorang Afi dalam melihat agama yang
ia peluk. “Agama saya Islam, nasib saya tidak bisa diubah, kalau diubah susah,
itulah warisan”. “Anda bukan Islam ya nasib anda, susah mau diubah, itu adalah warisan”.
Begitulah kira-kira.
Dan sangat bisa dipastikan, statement seperti itu akan memancing
kelompok yang sedari awal memang anti terhadap liberalisme dan pluralisme agama.
Kelompok itu akan meluncur dari sarangnya untuk menyenggol Dek Afi, kemudian mengajaknya
bersepeda, setelah itu akan disusul dengan pasukan-pasukan lainnya.
Memang begitulah adanya kelompok-kelompok di
Indonesia ini, saling menyerang hanya karena beda pemikiran dan keyakinan. Jika
mengkritik dengan cara yang sopan dan elegan sih wajar, tapi apabila sudah
berkomentar buruk, membenci, bahkan sampai mengancam untuk membunuh... Nah,
pada titik ini saya sangat tidak setuju.
Tidak bisakah kita berdialog, berdiskusi,
saling menasehati, yang semuanya dilakukan sambil makan pecel ayam?. Ataupun
kalau memang tidak sependapat dengan sesuatu yang berseberangan dari keyakinan kita
ya katakan, atau jelaskan lewat tulisan, sampaikan secara sopan dan elegan. Bukan
dengan paksaan, pembubaran paksa, ujaran kebencian, kekerasan, apalagi sampai
ancaman pembunuhan.
Jikapun kita berbeda paham... ya sudahlah. Tidak
mungkin semuanya seragam, pasti ada perbedaan, tinggal bagaimana kita saling menghargai
dan hidup bersama secara toleran. Selesai.
***
Benarkah Agama adalah Warisan?.
Sudah saya sampaikan di awal, bila memang
tidak sepaham dengan sesuatu yang berseberangan dengan keyakinan kita, maka
sampaikan dengan sopan dan elegan bukan dengan kekerasan, makian, apalagi
sampai melemparkan ancaman pembunuhan. Pendapat dilawan dengan pendapat,
tulisan dilawan dengan tulisan.
Oke Dek Afi, izinkan saya untuk tidak sependapat
dengan Dek Afi.
Ya. Saya sendiri sebenarnya tidak sependapat
dengan tulisan di media sosial Afi, terutama pada bagian yang berjudul
“warisan”.
Mengapa?.
Karena menurut saya agama memang bukan
warisan. Warisan adalah sesuatu yang dibagikan sesuai dengan kadar yang harus
didapatkan seseorang. Seseorang yang diberi warisan tidak bisa menambah dan
tidak bisa mengurang. Agama atau keyakinan tidak seperti itu, dia bisa
bertambah dan berkurang, bahkan bisa berubah.
Okelah ada hadis yang mengatakan bahwa anak
lahir secara fitrah kemudian orang tuanya menjadikan dia Yahudi, Nasrani dan
Majusi. Tapi saat dewasa, orang tua tidak lagi menjadi sumber utama dalam
membentuk keyakinan seseorang manusia.
Saat dewasa, kita akan bersentuh dengan
lingkungan luar, bercengkerama dengan banyak orang, melihat dengan sudut
pandang yang luas tentang sebuah keyakinan, pengetahuan bertambah baik dari
guru maupun dari bacaan. Dan di saat dewasa pula, kegelisahan tentang “Darimana
saya” dan “Kemana tujuan hidup saya” akan tumpah dan bersarang di dalam pikiran
manusia.
Saat itulah kotak keyakinan sebagai warisan
meledak, ditumbuk oleh lingkungan dan pengetahuan yang kita dapatkan. Makanya
ada banyak orang yang berpindah agama dari satu agama ke agama lain, berpindah
ideologi dari satu ideologi ke ideologi lain, berpindah kelompok dari satu
kelompok ke kelompok lain, berpindah sekte dari satu sekte ke sekte lain, berpindah
paham dari satu paham ke paham lain, dan itu terus berproses hingga Tuhan yang
menghentikan sendiri pencarian kita.
Contoh yang mudah bagi umat Islam yaitu kisah
Nabi Ibrahim. Ayahnya pembuat dan penyembah berhala, Nabi Ibrahim lahir di
lingkungan penyembah berhala. Tapi apakah itu membuatnya menjadi penyembah
berhala ketika dewasa?. Tidak. Ia menyembah Allah SWT.
Salman Al-Farisi, ia berpindah dari agama Majusi
(penyembah Api) ke Nasrani dan kemudian memeluk Islam. Ia beragama bukan karena
warisan, tapi karena pencarian dan terutama karena hidayah dari Allah SWT.
Oke, contoh lain adalah Kareen Armstrong,
penulis terkenal yang membahas isu lintas agama. Awalnya ia adalah biarawati
Katolik Roma. Keluar dari biara, setelah itu meneliti agama monoteistik di
Timur Tengah dan agama Hindu, Budha. Pada saat ditanya “apa” keyakinannya?. Ia
mengatakan bahwa ia freelance monotheist
(meyakini Tuhan Esa tanpa agama). Pada tahun 2000, ia mengatakan tertarik
dengan ajaran spiritual Budha. Keyakinannya terus berubah dan tentu saja bukan
warisan.
Itu hanya contoh besar, contoh kecil ada
banyak di sekitar kita.
***
Afi Belum Siap Bertempur.
Oke kita sekarang lompat ke permasalahan
lain.
Lagi-lagi ini adalah pendapat saya, jika anda
tidak setuju, silahkan buat pendapat lain. Kritik saya secara elegan!. Jangan bully saya!, kasian... udah jomblo, dibully lagi.
Oke, kita mulai.
Pilkada DKI Jakarta tidak hanya sukses
memunculkan calon gubernur dan wakil gubernur baru, tapi juga sukses
mengkotakkan sebagian manusia Indonesia dalam kubu yang saling berlawanan. Sebut
saja kubu A dan kubu B. Kubu A berpaham “Muslim haram pilih pemimpin kafir”.
Kubu B berpaham “Tidak ada istilah pemimpin kafir dalam demokrasi, semua
pemimpin sama di mata demokrasi tanpa memandang suku, agama dan ras, jadi tidak
ada salahnya pilih pemimpin non-muslim”.
Ada pula kubu C, yang tidak ingin masuk ke dalam
gesekan antar dua kubu tersebut, tapi diam-diam nyoblos dan punya pilihan
terhadap gubernur DKI Jakarta. Di dalam kubu C ini ada yang memilih berdasarkan
kualitas pemimpin, ada pula yang memilih berdasarkan agama, ras dan suku tadi.
Tapi kubu C tidak bergerak selincah kubu A dan B, mereka memilih tenang dan
damai.
Ternyata gesekan ini tidak hanya terjadi di Jakarta,
akan tetapi meluas sampai ke wilayah lain di negara Indonesia. Perseteruan ini
tidak hanya terjadi di dunia nyata saja, tapi juga meluas sampai ke dunia maya.
Dan tidak hanya terjadi saat pilkada DKI Jakarta saja, tapi juga masih tersisa
hingga sekarang.
Dan Afi adalah salah satu rakyat Indonesia
yang merasakan perseteruan tersebut, hingga kegelisahan yang ia rasakan meledak
menjadi sebuah status yang berjudul “warisan”.
Oke, sebelum kita masuk pada wilayah yang
lebih sensitif, perlu saya jelaskan lagi bahwa kubu yang akan saya bahas adalah
kubu A dan kubu B yang masih bergerilya hingga sekarang di media sosial dan
saling menyerang satu sama lain. Jadi jika anda dulu pernah jadi kubu A atau B
namun saat pilkada DKI Jakarta selesai anda tidak lagi terikat dengan kubu A
atau B, maka anda bukan yang saya maksud, berarti anda sudah masuk kubu C, kubu
yang memilih untuk menyudahi perseteruan.
Nah, pada kasus Afi ini, saya melihat adanya
tindakan media yang terlalu berlebihan dalam meninggikan Afi. Media terlalu grasak-grusuk dan gegabah untuk
mengangkat Afi ke media massa dan layar kaca.
Padahal yang dilakukan Afi hanyalah menulis
status di media sosial. “Status di media sosial” itu masih sangat rentan men..., rentan plagiat dan sebagainya.
Afi juga belum menelurkan karya berupa buku yang derajatnya bisa
dipertanggungjawabkan.
Kecuali jika Afi sudah melakukan pergerakan
secara rill di lapangan seperti yang dilakukan
Malala Yousafzai yang berani meneriakkan hak pendidikan di bawah ancaman
Taliban (bahkan ditembak saat mencoba bersekolah), atau seperti Bunda Teresa
yang bergerak untuk mencukupi kebutuhan orang miskin dari yang termiskin di kota
Kalkuta India.
Oleh karena itu, media seharusnya jangan
terlalu gegabah untuk mengangkat Afi setinggi itu, menyandingkannya dengan
Malala, mengatakan Afi pembawa kedamaian dan pembela suara minoritas. Terlalu
dini untuk seorang Afi dipuja seperti itu. Bisa saja ia akan terbebani dengan
pujian dan gelar yang disematkan kepadanya.
Bahkan saya melihat Afi saat ini ditarik
untuk masuk ke salah satu kubu yang sudah saya jelaskan di atas sebelumnya.
Sehingga Afi menjadi ikon untuk kubu tersebut, yaitu kubu B. Dan dapat kita
ketahui, gesekan antara kubu B dan kubu A masih terjadi hingga sekarang.
Dan sangat bisa kita tebak, Afi kemudian diserang
habis-habisan oleh kubu A ketika diangkat setinggi-tingginya oleh kubu B.
Saya mengibaratkannya seperti ini. Kubu B, sekali lagi kubu B ya, bukan kubu C yang berusaha
tenang dan netral, kubu B ini melemparkan Afi ke sebuah arena pertarungan yang
disitu sudah didiami oleh para jenderal dan kesatria dari kubu A.
Di arena itu, Afi diserang dan dicabik
habis-habisan, sementara jenderal dan kesatria dari kubu B menyaksikan dari
jarak jauh sambil berteriak untuk menyemangati Afi agar mampu bertahan dalam
menjalani laga yang tidak seimbang itu.
Sudah dapat gambarannya?.
Ya, betul sekali. Afi hanyalah korban dari
kegaduhan antara kubu A dan kubu B. Seharusnya ia tidak berada di arena
pertarungan. Dia masih belum layak bertarung, seharusnya ia lebih banyak
berlatih dulu hingga saatnya ia layak menjadi kesatria.
SUMBER GAMBAR: HISTORYCOLLECTION.CO |
Bahanya adalah; jika Afi tidak kuat dengan
serangan yang diluncurkan oleh kubu A, maka dapat dipastikan, Afi akan stres
menghadapi bullyan, ujaran kebencian,
dan sebagainya.
Itulah pendapat saya.
***
Afi masih harus bertumbuh, harus banyak
berlatih dan belajar lagi, dan masa depannya masih panjang. Sangat berbahaya
bila di masa muda ini ia sudah dilempar ke arena pertarungan tadi. Niat kubu B
mungkin baik, mereka mengangkat Afi setinggi-tingginya untuk menyemangati Afi
agar tetap menyuarakan pendapatnya, tapi dampaknya juga beresiko; Afi bisa
terhenti pertumbuhannya karena bullyan,
ujaran kebencian dan bahkan ancaman pembunuhan.
Sekian.
"Lagi-lagi ini adalah pendapat saya, jika anda tidak setuju, silahkan buat pendapat lain. Kritik saya secara elegan!. Jangan bully saya!, kasian... udah jomblo, dibully lagi."
BalasHapusYazid Kembayan Belum Siap Bertempur