Awal
tahun ini Indonesia tersenyum bahagia karena melihat putra bangsa mereka yaitu
Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Marcus Fernaldi Gideon berhasil memenangkan laga
bergengsi All England 2017.
Kemenangan
itu menarik perhatian berbagai media untuk meliput dan berbincang bersama Kevin
dan Marcus. Dan yang cukup menggelitik ketika Kevin dan Marcus diundang oleh
stasiun televisi swasta NET TV dalam acara Ini Talkshow.
Komedian
Sule selaku pembawa acara melemparkan sebuah pertanyaan kepada Marcus. Dengan wajah
serius ia bertanya, “Dari dulu memang bercita-cita menjadi pemain bulu tangkis
atau pelawak?”.
Semua
tertawa karena pertanyaan Sule yang lucu.
Setelah
tawa penonton reda, Sule kembali bertanya, “Emang cita-cita atau disuruh orang
tua?”, tanya Sule.
Marcus
menjawab, “Soalnya malas sekolah, capek kan sekolah belajar terus. Disuruh ada
pilihan nggak usah sekolah tapi main bulutangkis, ya udahlah nggak usah sekolah
aja. Kalau sekolah dimarahin mulu ama guru.”
Semua
penonton kembali tertawa mendengarkan jawaban polos dari Marcus.
“Nah
kalau Kevin, cita-cita kamu yang pengen atau diarahkan sama orang tua?,” tanya
Sule.
“Sama
sih kurang lebih, dari kecil emang hobi, terus malas sekolah juga.” Jawab Kevin
sambil tertawa sendiri, sementara yang lain terdiam. Kevin jadi tengsin (malu).
Percakapan
ringan di atas memperlihatkan bagaimana sekolah di mata anak-anak Indonesia dan
bagaimana sebuah hobi mampu membawa seseorang melesat melebihi apa yang
dibayangkan sebelumnya.
Sekolah
memang penting, tapi tidak semua sekolah mampu mengembangkan potensi dan bakat anak,
sehingga anak yang merasa sekolah tidak memberi ia kebebasan untuk
mengembangkan potensinya, maka dia akan keluar dari sekolah dan belajar di
luar.
Jika
belajar adalah usaha untuk mengembangkan potensi, maka sekolah bukan
satu-satunya pilihan. Kevin dan Marcus contohnya, ia lebih memilih belajar di
luar sekolah, ia berangkat ke lapangan dan berlatih disana, disanalah bakat dan
potensinya berkembang.
Dan
belajar di luar sekolah itu ternyata berhasil, hal ini dibuktikan oleh Kevin
dan Marcus. Mereka berdua berhasil menjuarai kejuaraan bergengsi dan tertua dunia
yaitu All England pada tahun 2017 ini.
Tidak
cukup sampai disitu, pada Kamis tanggal 16 bulan maret 2017, The Badminton World Federation (Federasi
Bulu Tangkis Dunia) merilis juara pasangan terbaru dunia yaitu Kevin dan Marcus.
Mereka juga menjuarai kompetisi bergengsi lainnya seperti India Open 2016 dan
2017, China Open 2016, Australia Open 2017, Malaysia Open 2017 dan masih banyak
lagi yang lainnya.
Berbicara
tentang bakat dan potensi, saya pernah menemukan gambar satire di media sosial. Gambar itu memperlihatkan seorang manusia
sebagai guru mengajar berbagai macam hewan seperti ikan, katak, burung dan
sebagainya.
Gambar
itu melampirkan sebuah perkataan Albert Einstein (ahli sains), ia mengatakan:
“Everybody is a genius. But if you judge
a fish by its ability to climb a tree it will live its whole life believing
that it is stupid.”
Sori,
bakat saya bukan di bidang bahasa, jadi saya tidak akan menerjemahkannya untuk
kalian. Tapi kurang lebih maksudnya seperti ini, semua orang itu jenius,
termasuk hewan ya. Tapi kalau kita memerintahkan ikan untuk memanjat pohon, dan
saat ikan tersebut tidak bisa melakukannya lalu kemudian kita menghukumnya,
maka sepanjang hidupnya dia (si ikan itu) akan berpikiran bahwa dia bodoh.
Padahal dia tidak bodoh kan?. Kitanya saja yang salah memanfaatkan potensinya. Potensi
ikan bukan memanjat pohon melainkan berenang di air.
Jadi
pendidikan seharusnya bisa melihat “apa” potensi anak dan setelah tahu “apa”
potensinya, maka pendidikan bertugas untuk mengembangkan potensi tersebut. Bukannya
mendikte anak untuk melakukan semua hal hingga anak itu pusing kepalanya. Tapi cari
bakatnya dan kembangkan. Selesai.
Dan
inilah yang dilakukan di negara Finlandia, sebuah negara dengan sistem
pendidikan terbaik dunia. Salah satu keunggulan pendidikan mereka adalah kurikulum
yang lebih bersifat fleksibel dan kegiatan ekstrakurikuler (bahasa, olahraga
dan kesenian) yang seimbang dengan kegiatan kurikuler. Bahkan murid bisa memlih
pelajaran kesukaan mereka. Semangat pendidikan mereka adalah agar anak bisa
bahagia bukan sekedar cerdas semata.
Sebenarnya
tanpa harus berkacamata pada sistem pendidikan di negara lain, negara kita
Indonesia pun sudah merumuskan pentingnya potensi anak. Hal itu tertuang pada definisi
pendidikan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
“Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Potensi
manusia inilah yang ingin dikembangkan. Potensi ada dua secara garis besar,
yaitu potensi untuk dunia (keahlian) dan potensi religi (kebaikan) mereka. Sebenarnya
pendidikan itu ingin membentuk manusia agar ahli di bidangnya dan bagus
akhlaknya dengan landasan agama mereka masing-masing, udah itu aja. Simpel
kan?.
Tapi
dalam pelaksanaannya, bakat tidak diperhatikan dan akhlak dibiarkan, sementara
nilai diagung-agungkan.
Sumber gambar ; realita.co |
Oke
sekarang kita lanjut pada masalah, “Mengapa bakat dan potensi itu tidak
berkembang?”.
Pertama:
orang tua yang menggiring anaknya tanpa melihat potensi anak.
Orang
tua berperan besar dalam menentukan arah masa depan anak. Saat masuk Sekolah Dasar,
orang tua yang memasukkan kita ke Sekolah Dasar tertentu. Penggiringan ini berlangsung
hingga kita masuk SMA.
Jika
hanya saat masuk SD, SMP dan SMA sih tidak terlalu bermasalah anak digiring
seperti itu. Yang menjadi masalah adalah, pada saat masuk perguruan tinggi pun nilai
voting orang tua lebih menentukan
dibandingkan suara hati kita sebagai anak.
Ya
memang sih yang membiayai kita adalah orang tua, tapi kan yang tau potensi kita
kan ya kita sendiri. Oke kalau anaknya ekstrovert,
terbuka dengan orang tua, ia bisa berdiskusi dulu sebelum masuk perguruan
tinggi. Tapi bagaimana dengan anak yang tertutup, kan susah. Belum lagi ada
anak yang takut membantah orang tua, takut dikutuk jadi batu akik seperti
ceritanya malin kundang.
Masalah
lainnya, orang tua sekarang ini terlalu berpikiran pragmatis. Melakukan sesuatu
jika ada gunanya saja, jika dipandang tidak menghasilkan maka ia akan menjauhinya.
Ia memilihkan anak-anaknya perguran tinggi tertentu karena memandang peluang
kerja di masa depan, bukan mengacu pada potensi anak sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
“Nak,
kamu masuk jurusan perawat ya, banyak Rumah Sakit yang buka beberapa tahun ke
depan, peluang kerjanya besar,” kata sang Ibu.
“Nggeh buk,” jawab sang anak, padahal
anak ini tidak sedikit pun menaruh minat dan berbakat dalam bidang kesehatan.
Contoh
lain:
“Boy,
kau masuk jurusan PGSD (pendidikan guru SD) ya boy!. Lima tahun ke depan nanti
guru SD banyak yang pensiun. Jadi selesai kau kuliah kau bisa langsung honor,
sip boy?,” bujuk sang Ayah.
“Ndak
Yah, aku ndak pandai ngajar, aku mau masuk jurusan komputer aja, bakat aku di
komputer Yah,” bantah sang anak.
“Eh,
Eh, kau melawan Ayah ya, nanti Ayah kutuk kau jadi kura-kura sungai,” gertak
sang Ayah.
“Ampun
Yah. Oke lah Yah aku masuk PGSD aja.”
Alasan
Kedua adalah Biaya.
Saat
SMA dulu saya punya teman yang jenius sekali dalam pelajaran sains dan hitung-hitungan
seperti Matematika, Kimia, dan Fisika. Jika ada waktu senggang saya selalu
minta ia untuk mengajari saya tiga mata pelajaran tersebut. Sebenarnya sih
minta contekan juga, heheh. Maklum
lah ya saat SMA dulu imannya kurang kuat.
Tapi
sewaktu saya kuliah di Pontianak, saya kaget saat mengetahui dia tidak
melanjutkan kuliah. Tamat SMA dia langsung kerja, semacam kerja kuli bangunan
dan pengerjaan jalan. Dia punya bakat dan berpotensi, tapi karena kendala
biaya, bakat yang istimewa itu tidak lagi berkembang.
Memang
sih ada yang namanya beasiswa dan semacamnya, tapi info seperti itu kan tidak
terjangkau oleh dirinya yang tinggal jauh di sebuah kampung. Lagipula
adiministrasi untuk beasiswa itu juga terkadang ribet dan mencekik.
Alasan
ketiga, sedikitnya pilihan.
Ini
cerita juga. Ya cerita terus lah ya, soalnya permasalahan ini ada di sekitar
kita.
Saya
punya seorang teman yang jago main bola. Sering ikut pertandingan dan juara. Saat
hendak masuk ke perguruan tinggi, awalnya ia memilih jurusan Penjaskes di UNTAN
Pontianak karena sesuai dengan kemampuan motoriknya. Dan sekali lagi, itu
satu-satunya yang agak nyambung dengan potensi dirinya.
Tapi
setelah tes dan sebagainya dia tidak lulus. Kegagalan itu dikarenakan dia lemah
dalam hal akademis, hitung-hitungan dan sebagainya, tapi main bola jago.
Sebenarnya
dia bisa masuk IKIP PGRI Pontianak dengan jurusan yang sama. Tapi karena
mendengar biaya semesteran di IKIP PGRI Pontianak yang lumayan mahal, akhirnya
dia mengambil jurusan Ekonomi Islam di IAIN Pontianak.
Hal
semacam itu kan pelarian namanya, dan yang namanya pelarian pasti tidak enak.
Terbukti, setelah kuliah beberapa semester ada berita bahwa nilainya rendah,
banyak nilai yang tidak keluar, sering bolos dan sebagainya.
Mengapa
hal ini terjadi?.
Pertama
karena dia melakukan sesuatu yang bukan potensinya. Kedua, dia tidak punya
banyak pilihan. Tidak ada sekolah bola di Kalimantan Barat. Kalaupun ada ya di
Jawa sana. Dan kalaupun dia mau untuk masuk sekolah Bola, sudah dapat
dipastikan orang tuanya tidak setuju, mengapa?. Kembali ke pasal 1, orang tua
terlalu berlebihan dalam menggiring anak.
Di sekolah
pun kurang lebih sama, potensi kita tidak banyak berkembang. Pemilihan jurusan
baru akan dilakukan saat SMA. Itupun dengan jurusan yang sedikit, IPA dan IPS. Jika
sekolahnya lebih favorit sedikit, maka akan ada jurusan Bahasa. Jika di Aliyah
tertentu ada jurusan agama.
Pertanyaannya
adalah, “Bagaimana dengan anak yang potensinya di bidang olahraga dan
kesenian?.”
Maka
bisa kita jawab dengan penuh semangat, “Potensi mereka akan mati dengan
sendirinya.”
Alasan
Keempat, tidak fokus.
Cerita
lagi, dulu waktu akhir-akhir kuliah saya sempat terkejut karena ada mata kuliah
kewirausahaan masuk ke dalam perkuliahan
saya. Agak nggak nyambung karena saya mengambil jurusan pendidikan. Awalnya
saya sempat berperasangka baik dulu, siapa tau materi ini memang berhubungan
atau berguna dalam dunia pendidikan.
Setelah
perkuliahan berjalan ternyata tidak ada satupun kaitannya dengan dunia
pendidikan terutama guru. Saya kira mata kuliah tersebut akan mengajarkan
bagaimana mengelola biaya pendidikan, bagaimana mengolah pembelajaran yang
kreatif namun dengan biaya yang murah, karena kewirausahaan biasanya terkait dengan
biaya dan kreatifitas.Ternyata tidak ada.
Di
mata kuliah tersebut kami belajar mengenal jenis-jenis usaha, tips membuka
usaha, tips agar barang dagangan laris, tips memilih tempat usaha dan
sebagainya. Sebenarnya kan kami dididik untuk menjadi guru bukan pengusaha. Ini
kok jadi seperti ini?.
Setelah
diselidiki ternyata mata kuliah ini berguna sebagai “jaga-jaga”, siapa tahu setelah
sarjana nanti ada yang tidak berminat jadi guru terus bisa banting setir untuk
menjadi pengusaha. Dari situ saya berpikir bahwa kampus saya sendiri pun tidak
yakin kalau setelah ini kami akan menjadi guru semuanya. Pengembangan potensi
kami tidak dilakukan secara fokus dan serius. Atau mungkin benar juga kata
kampus, “Ada yang nggak bakat jadi guru, tapi masuk fakultas keguruan.”
Itu
salah satu contoh di perkuliahan, belum lagi kalau di sekolah. Kita bisa
merasakan hal itu. Mungkin hampir semua orang sepakat bahwa materi pelajaran di
sekolah terlalu banyak dan tidak berfokus pada potensi anak. Terutama saat SMP
dan SMA.
Di
SMP ada PPKN, Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Seni Budaya, IPA,
IPS, PAI dan Penjas. Di SMA nambah lagi Biologi, Kimia, Fisika, Ekonomi,
Sejarah, Geografi, TIK dan Sosilogi. Jika ada kesalahan tolong disampaikan
karena saya jurusan PAI.
Banyak
kan?.
Dan
karena mata pelajaran itu disuap aja langsung ke anak tanpa tahu sebenarnya dia
suka atau tidak dengan mata pelajaran itu, maka yang terjadi adalah anak akan muntah
dengan sengaja. Untung pada saat itu tidak puasa, kalau puasa dia udah batal
karena muntah dengan sengaja.
Seharusnya,
jika anak suka hitung-hitungan dan ilmu pengetahuan alam, maka tempatkan dia di
bidang sains dan ilmu pengetahuan alam. Jika dia suka sejarah, sosial dan
geografi, tempatkan di di ruangan yang mengajarkan hal tersebut. Jika dia suka
olahraga, tempatkan ia di lapangan atau stadium untuk terus melatih potensinya.
Jika ia senang berkesenian, maka tempatkanlah ia di ruang kesenian. Jika begitu
kan anak-anak bisa fokus dan melakukan sesuatu yang memang ia minati. Setelah
itu anak-anak pun akan mengakhiri kisah mereka dengan happy ending.
Teman
saya ada yang protes. “Ah nggak bisa gitu Zid, mereka yang hobi olahraga juga
harus belajar IPA, yang hobi IPA juga harus olahraga, pokoknya sekolah sekarang
itu sudah sip dan maknyus.
Ya
betul, kita harus belajar banyak hal. Tapi tidak harus sampai expert di semua hal tersebut. Belajar dasarnya
aja, seperti matematika itu penting, tapi belajar dasar-dasarnya aja. Kecuali
jika mereka memang ada potensi di Matematika, nah mereka harus expert di bidang itu. Tapi bagi yang
tidak minat, mereka cukup belajar dasarnya aja, yang berguna untuk kehidupan mereka.
Toh
tidak semua pelajaran yang pernah kita pelajari kita ingat semua kan?. Enggak
kan?. Hanya ada satu bidang pelajaran yang kita tekuni saat dewasa.
Kalau
tidak percaya, coba anda jawab pertanyaan ini. Materi ini pernah anda pelajari
di sekolah waktu SMP dulu.
“Sebutkan
tingkatan klasifikasi pada tumbuhan!.” (dilarang buka internet).
“Bagaimana
cara kalor berpindah dari benda bersuhu tinggi ke benda bersuhu rendah?.”
(dilarang buka internet)
“Sebutkan
lapisan atmosfer bumi secara berurutan!.” (boleh buka internet karena anda
memang tidak akan hafal jawabannya di kepala).
“Nggak
tau kan ya?.”
Bagi
yang jurusan Biologi, Fisika, dan Geografi sih pasti bisa. Tapi yang bukan
jurusan itu ya nggak bisa lah, bukan potensi kalian. Lalu buat apa kita
menghafal materi tingkatan klasisikasi tumbuhan waktu SMP dulu jika tidak juga
kita gunakan sekarang?.
Bukankah
itu buang-buang waktu.
Sekolah
kita mengajarkan semua hal hingga lupa potensi kita sebenarnya di mana.
Akhirnya waktu sekolah dulu kita tahu banyak hal, tapi ketika dewasa kita lupa
banyak hal tersebut, karena pada saat dewasa kita memilih salah satu hal saja
dari sekian banyak hal.
Makanya
Kevin dan Marcus malas sekolah, karena mereka berdua tau bahwa sekolah itu terlalu
banyak membuang waktu mereka dan tidak pernah fokus untuk mengembangkan potensi
mereka sebagai penyuka bulu tangkis.
SEKIAN
“Pendidikan yang
memerdekakan adalah pendidikan yang mengakomodasi bakat dan keterampilan, bukan
pendidikan yang hanya bisa memberi beban.”
-MATA
NAJWA-
Keren. ..Sepakat!!!
BalasHapusohh gitu ya mengerti, awalnya lihat tayangan kevin marcus yg menyatakan mereka malas sekolah atau berarti mereka tidak sekolah selama menjadi atlit (kurang tahu)agak aneh bukanya pendidikan penting, saya berpikir berarti mereka kalau tidak sekolah tidak menerima pelajaran di sekolah dan tidak tahu menahu mengenai pelajaran di sekolah, yang mereka tahu hanya badminton, tapi bagaimana dengan orang2 yg sekolah? saya sekolah, sd smp smk sekarang pun kuliah, saya ingat2 lagi selama sd smp sma sedikit sekali materi yg hafal malah hampir lupa semua, kecuali satu pelajaran yg inti yg sekarang ditekuni kuliah, memang benar sih kevin marcus tak menyia2kan potensi dirinya dari sejak kecil mereka tak membuang2 waktunya untuk sesuatu yg bahkan mereka lupa saat ini, oke berati sekolah itu penting ijasahnya ilmunya juga terkait kita ingat atau tidak sama ilmunya tergantung masing2nya..untuk atlit yg ingin kuliah tapi tidak punya ijazah sd/smp/sma, mungkin harus bekerja keras untuk mengikuti ujian paket a,b,c di sela2 waktu mereka sebagai atlit.. atau ada juga kan sekolah khusus atlit yg waktu belajarnya lebih banyak latihan kaya SKO Ragunan, namun masuknya susah ya dan sesuai kuota,
BalasHapusKami dari homeschooling anak pintar di bali sdh mempraktekan kurikulum berdasarkan bakat dan potensi. Jadi dari usia SD sdh bisa memilih kelas sesuai dg bakatnya. Anak2 dari SD sampe sma berkumpul pd saat kegiatan keagamaan di pagi hari sblm memasuki kelas pilihan nya masing2. Kendala nya hanya pada masalah sarana dan instruktur / pelatih yg hrs disediakan utk masing2 bakat.
BalasHapusnama homeschooling nya anak pintar kah pak? ada website yg bisa saya cek ?
Hapus