Selasa, 02 Mei 2017

PENDIDIKAN YANG MEMBELENGGU.



Awal tahun ini Indonesia tersenyum bahagia karena melihat putra bangsa mereka yaitu Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Marcus Fernaldi Gideon berhasil memenangkan laga bergengsi All England 2017.

Kemenangan itu menarik perhatian berbagai media untuk meliput dan berbincang bersama Kevin dan Marcus. Dan yang cukup menggelitik ketika Kevin dan Marcus diundang oleh stasiun televisi swasta NET TV dalam acara Ini Talkshow.

Komedian Sule selaku pembawa acara melemparkan sebuah pertanyaan kepada Marcus. Dengan wajah serius ia bertanya, “Dari dulu memang bercita-cita menjadi pemain bulu tangkis atau pelawak?”.

Semua tertawa karena pertanyaan Sule yang lucu.

Setelah tawa penonton reda, Sule kembali bertanya, “Emang cita-cita atau disuruh orang tua?”, tanya Sule.

Marcus menjawab, “Soalnya malas sekolah, capek kan sekolah belajar terus. Disuruh ada pilihan nggak usah sekolah tapi main bulutangkis, ya udahlah nggak usah sekolah aja. Kalau sekolah dimarahin mulu ama guru.”

Semua penonton kembali tertawa mendengarkan jawaban polos dari Marcus.

“Nah kalau Kevin, cita-cita kamu yang pengen atau diarahkan sama orang tua?,” tanya Sule.

“Sama sih kurang lebih, dari kecil emang hobi, terus malas sekolah juga.” Jawab Kevin sambil tertawa sendiri, sementara yang lain terdiam. Kevin jadi tengsin (malu).

Percakapan ringan di atas memperlihatkan bagaimana sekolah di mata anak-anak Indonesia dan bagaimana sebuah hobi mampu membawa seseorang melesat melebihi apa yang dibayangkan sebelumnya.

Sekolah memang penting, tapi tidak semua sekolah mampu mengembangkan potensi dan bakat anak, sehingga anak yang merasa sekolah tidak memberi ia kebebasan untuk mengembangkan potensinya, maka dia akan keluar dari sekolah dan belajar di luar. 

Jika belajar adalah usaha untuk mengembangkan potensi, maka sekolah bukan satu-satunya pilihan. Kevin dan Marcus contohnya, ia lebih memilih belajar di luar sekolah, ia berangkat ke lapangan dan berlatih disana, disanalah bakat dan potensinya berkembang.

Dan belajar di luar sekolah itu ternyata berhasil, hal ini dibuktikan oleh Kevin dan Marcus. Mereka berdua berhasil menjuarai kejuaraan bergengsi dan tertua dunia yaitu All England pada tahun 2017 ini. 

Tidak cukup sampai disitu, pada Kamis tanggal 16 bulan maret 2017, The Badminton World Federation (Federasi Bulu Tangkis Dunia) merilis juara pasangan terbaru dunia yaitu Kevin dan Marcus. Mereka juga menjuarai kompetisi bergengsi lainnya seperti India Open 2016 dan 2017, China Open 2016, Australia Open 2017, Malaysia Open 2017 dan masih banyak lagi yang lainnya.

Berbicara tentang bakat dan potensi, saya pernah menemukan gambar satire di media sosial. Gambar itu memperlihatkan seorang manusia sebagai guru mengajar berbagai macam hewan seperti ikan, katak, burung dan sebagainya.

Gambar itu melampirkan sebuah perkataan Albert Einstein (ahli sains), ia mengatakan:
“Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree it will live its whole life believing that it is stupid.”

Sori, bakat saya bukan di bidang bahasa, jadi saya tidak akan menerjemahkannya untuk kalian. Tapi kurang lebih maksudnya seperti ini, semua orang itu jenius, termasuk hewan ya. Tapi kalau kita memerintahkan ikan untuk memanjat pohon, dan saat ikan tersebut tidak bisa melakukannya lalu kemudian kita menghukumnya, maka sepanjang hidupnya dia (si ikan itu) akan berpikiran bahwa dia bodoh. Padahal dia tidak bodoh kan?. Kitanya saja yang salah memanfaatkan potensinya. Potensi ikan bukan memanjat pohon melainkan berenang di air.

Jadi pendidikan seharusnya bisa melihat “apa” potensi anak dan setelah tahu “apa” potensinya, maka pendidikan bertugas untuk mengembangkan potensi tersebut. Bukannya mendikte anak untuk melakukan semua hal hingga anak itu pusing kepalanya. Tapi cari bakatnya dan kembangkan. Selesai. 

Dan inilah yang dilakukan di negara Finlandia, sebuah negara dengan sistem pendidikan terbaik dunia. Salah satu keunggulan pendidikan mereka adalah kurikulum yang lebih bersifat fleksibel dan kegiatan ekstrakurikuler (bahasa, olahraga dan kesenian) yang seimbang dengan kegiatan kurikuler. Bahkan murid bisa memlih pelajaran kesukaan mereka. Semangat pendidikan mereka adalah agar anak bisa bahagia bukan sekedar cerdas semata.

Sebenarnya tanpa harus berkacamata pada sistem pendidikan di negara lain, negara kita Indonesia pun sudah merumuskan pentingnya potensi anak. Hal itu tertuang pada definisi pendidikan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Potensi manusia inilah yang ingin dikembangkan. Potensi ada dua secara garis besar, yaitu potensi untuk dunia (keahlian) dan potensi religi (kebaikan) mereka. Sebenarnya pendidikan itu ingin membentuk manusia agar ahli di bidangnya dan bagus akhlaknya dengan landasan agama mereka masing-masing, udah itu aja. Simpel kan?.

Tapi dalam pelaksanaannya, bakat tidak diperhatikan dan akhlak dibiarkan, sementara nilai diagung-agungkan.

Sumber gambar ; realita.co


Oke sekarang kita lanjut pada masalah, “Mengapa bakat dan potensi itu tidak berkembang?”.

Pertama: orang tua yang menggiring anaknya tanpa melihat potensi anak

Orang tua berperan besar dalam menentukan arah masa depan anak. Saat masuk Sekolah Dasar, orang tua yang memasukkan kita ke Sekolah Dasar tertentu. Penggiringan ini berlangsung hingga kita masuk SMA. 

Jika hanya saat masuk SD, SMP dan SMA sih tidak terlalu bermasalah anak digiring seperti itu. Yang menjadi masalah adalah, pada saat masuk perguruan tinggi pun nilai voting orang tua lebih menentukan dibandingkan suara hati kita sebagai anak. 

Ya memang sih yang membiayai kita adalah orang tua, tapi kan yang tau potensi kita kan ya kita sendiri. Oke kalau anaknya ekstrovert, terbuka dengan orang tua, ia bisa berdiskusi dulu sebelum masuk perguruan tinggi. Tapi bagaimana dengan anak yang tertutup, kan susah. Belum lagi ada anak yang takut membantah orang tua, takut dikutuk jadi batu akik seperti ceritanya malin kundang.

Masalah lainnya, orang tua sekarang ini terlalu berpikiran pragmatis. Melakukan sesuatu jika ada gunanya saja, jika dipandang tidak menghasilkan maka ia akan menjauhinya. Ia memilihkan anak-anaknya perguran tinggi tertentu karena memandang peluang kerja di masa depan, bukan mengacu pada potensi anak sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

“Nak, kamu masuk jurusan perawat ya, banyak Rumah Sakit yang buka beberapa tahun ke depan, peluang kerjanya besar,” kata sang Ibu.

Nggeh buk,” jawab sang anak, padahal anak ini tidak sedikit pun menaruh minat dan berbakat dalam bidang kesehatan.

Contoh lain:

“Boy, kau masuk jurusan PGSD (pendidikan guru SD) ya boy!. Lima tahun ke depan nanti guru SD banyak yang pensiun. Jadi selesai kau kuliah kau bisa langsung honor, sip boy?,” bujuk sang Ayah.

“Ndak Yah, aku ndak pandai ngajar, aku mau masuk jurusan komputer aja, bakat aku di komputer Yah,” bantah sang anak.

“Eh, Eh, kau melawan Ayah ya, nanti Ayah kutuk kau jadi kura-kura sungai,” gertak sang Ayah.

“Ampun Yah. Oke lah Yah aku masuk PGSD aja.”

Alasan Kedua adalah Biaya.

Saat SMA dulu saya punya teman yang jenius sekali dalam pelajaran sains dan hitung-hitungan seperti Matematika, Kimia, dan Fisika. Jika ada waktu senggang saya selalu minta ia untuk mengajari saya tiga mata pelajaran tersebut. Sebenarnya sih minta contekan juga, heheh. Maklum lah ya saat SMA dulu imannya kurang kuat. 

Tapi sewaktu saya kuliah di Pontianak, saya kaget saat mengetahui dia tidak melanjutkan kuliah. Tamat SMA dia langsung kerja, semacam kerja kuli bangunan dan pengerjaan jalan. Dia punya bakat dan berpotensi, tapi karena kendala biaya, bakat yang istimewa itu tidak lagi berkembang. 

Memang sih ada yang namanya beasiswa dan semacamnya, tapi info seperti itu kan tidak terjangkau oleh dirinya yang tinggal jauh di sebuah kampung. Lagipula adiministrasi untuk beasiswa itu juga terkadang ribet dan mencekik. 

Alasan ketiga, sedikitnya pilihan.

Ini cerita juga. Ya cerita terus lah ya, soalnya permasalahan ini ada di sekitar kita.

Saya punya seorang teman yang jago main bola. Sering ikut pertandingan dan juara. Saat hendak masuk ke perguruan tinggi, awalnya ia memilih jurusan Penjaskes di UNTAN Pontianak karena sesuai dengan kemampuan motoriknya. Dan sekali lagi, itu satu-satunya yang agak nyambung dengan potensi dirinya. 

Tapi setelah tes dan sebagainya dia tidak lulus. Kegagalan itu dikarenakan dia lemah dalam hal akademis, hitung-hitungan dan sebagainya, tapi main bola jago.

Sebenarnya dia bisa masuk IKIP PGRI Pontianak dengan jurusan yang sama. Tapi karena mendengar biaya semesteran di IKIP PGRI Pontianak yang lumayan mahal, akhirnya dia mengambil jurusan Ekonomi Islam di IAIN Pontianak. 

Hal semacam itu kan pelarian namanya, dan yang namanya pelarian pasti tidak enak. Terbukti, setelah kuliah beberapa semester ada berita bahwa nilainya rendah, banyak nilai yang tidak keluar, sering bolos dan sebagainya. 

Mengapa hal ini terjadi?.

Pertama karena dia melakukan sesuatu yang bukan potensinya. Kedua, dia tidak punya banyak pilihan. Tidak ada sekolah bola di Kalimantan Barat. Kalaupun ada ya di Jawa sana. Dan kalaupun dia mau untuk masuk sekolah Bola, sudah dapat dipastikan orang tuanya tidak setuju, mengapa?. Kembali ke pasal 1, orang tua terlalu berlebihan dalam menggiring anak.

Di sekolah pun kurang lebih sama, potensi kita tidak banyak berkembang. Pemilihan jurusan baru akan dilakukan saat SMA. Itupun dengan jurusan yang sedikit, IPA dan IPS. Jika sekolahnya lebih favorit sedikit, maka akan ada jurusan Bahasa. Jika di Aliyah tertentu ada jurusan agama. 

Pertanyaannya adalah, “Bagaimana dengan anak yang potensinya di bidang olahraga dan kesenian?.”

Maka bisa kita jawab dengan penuh semangat, “Potensi mereka akan mati dengan sendirinya.”

Alasan Keempat, tidak fokus.

Cerita lagi, dulu waktu akhir-akhir kuliah saya sempat terkejut karena ada mata kuliah kewirausahaan masuk  ke dalam perkuliahan saya. Agak nggak nyambung karena saya mengambil jurusan pendidikan. Awalnya saya sempat berperasangka baik dulu, siapa tau materi ini memang berhubungan atau berguna dalam dunia pendidikan. 

Setelah perkuliahan berjalan ternyata tidak ada satupun kaitannya dengan dunia pendidikan terutama guru. Saya kira mata kuliah tersebut akan mengajarkan bagaimana mengelola biaya pendidikan, bagaimana mengolah pembelajaran yang kreatif namun dengan biaya yang murah, karena kewirausahaan biasanya terkait dengan biaya dan kreatifitas.Ternyata tidak ada.

Di mata kuliah tersebut kami belajar mengenal jenis-jenis usaha, tips membuka usaha, tips agar barang dagangan laris, tips memilih tempat usaha dan sebagainya. Sebenarnya kan kami dididik untuk menjadi guru bukan pengusaha. Ini kok jadi seperti ini?.

Setelah diselidiki ternyata mata kuliah ini berguna sebagai “jaga-jaga”, siapa tahu setelah sarjana nanti ada yang tidak berminat jadi guru terus bisa banting setir untuk menjadi pengusaha. Dari situ saya berpikir bahwa kampus saya sendiri pun tidak yakin kalau setelah ini kami akan menjadi guru semuanya. Pengembangan potensi kami tidak dilakukan secara fokus dan serius. Atau mungkin benar juga kata kampus, “Ada yang nggak bakat jadi guru, tapi masuk fakultas keguruan.”

Itu salah satu contoh di perkuliahan, belum lagi kalau di sekolah. Kita bisa merasakan hal itu. Mungkin hampir semua orang sepakat bahwa materi pelajaran di sekolah terlalu banyak dan tidak berfokus pada potensi anak. Terutama saat SMP dan SMA. 

Di SMP ada PPKN, Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Seni Budaya, IPA, IPS, PAI dan Penjas. Di SMA nambah lagi Biologi, Kimia, Fisika, Ekonomi, Sejarah, Geografi, TIK dan Sosilogi. Jika ada kesalahan tolong disampaikan karena saya jurusan PAI. 

Banyak kan?.

Dan karena mata pelajaran itu disuap aja langsung ke anak tanpa tahu sebenarnya dia suka atau tidak dengan mata pelajaran itu, maka yang terjadi adalah anak akan muntah dengan sengaja. Untung pada saat itu tidak puasa, kalau puasa dia udah batal karena muntah dengan sengaja.

Seharusnya, jika anak suka hitung-hitungan dan ilmu pengetahuan alam, maka tempatkan dia di bidang sains dan ilmu pengetahuan alam. Jika dia suka sejarah, sosial dan geografi, tempatkan di di ruangan yang mengajarkan hal tersebut. Jika dia suka olahraga, tempatkan ia di lapangan atau stadium untuk terus melatih potensinya. Jika ia senang berkesenian, maka tempatkanlah ia di ruang kesenian. Jika begitu kan anak-anak bisa fokus dan melakukan sesuatu yang memang ia minati. Setelah itu anak-anak pun akan mengakhiri kisah mereka dengan happy ending.

Teman saya ada yang protes. “Ah nggak bisa gitu Zid, mereka yang hobi olahraga juga harus belajar IPA, yang hobi IPA juga harus olahraga, pokoknya sekolah sekarang itu sudah sip dan maknyus.

Ya betul, kita harus belajar banyak hal. Tapi tidak harus sampai expert di semua hal tersebut. Belajar dasarnya aja, seperti matematika itu penting, tapi belajar dasar-dasarnya aja. Kecuali jika mereka memang ada potensi di Matematika, nah mereka harus expert di bidang itu. Tapi bagi yang tidak minat, mereka cukup belajar dasarnya aja, yang  berguna untuk kehidupan mereka.

Toh tidak semua pelajaran yang pernah kita pelajari kita ingat semua kan?. Enggak kan?. Hanya ada satu bidang pelajaran yang kita tekuni saat dewasa.

Kalau tidak percaya, coba anda jawab pertanyaan ini. Materi ini pernah anda pelajari di sekolah waktu SMP dulu.

“Sebutkan tingkatan klasifikasi pada tumbuhan!.” (dilarang buka internet).

“Bagaimana cara kalor berpindah dari benda bersuhu tinggi ke benda bersuhu rendah?.” (dilarang buka internet)

“Sebutkan lapisan atmosfer bumi secara berurutan!.” (boleh buka internet karena anda memang tidak akan hafal jawabannya di kepala).

“Nggak tau kan ya?.”

Bagi yang jurusan Biologi, Fisika, dan Geografi sih pasti bisa. Tapi yang bukan jurusan itu ya nggak bisa lah, bukan potensi kalian. Lalu buat apa kita menghafal materi tingkatan klasisikasi tumbuhan waktu SMP dulu jika tidak juga kita gunakan sekarang?.

Bukankah itu buang-buang waktu.

Sekolah kita mengajarkan semua hal hingga lupa potensi kita sebenarnya di mana. Akhirnya waktu sekolah dulu kita tahu banyak hal, tapi ketika dewasa kita lupa banyak hal tersebut, karena pada saat dewasa kita memilih salah satu hal saja dari sekian banyak hal.

Makanya Kevin dan Marcus malas sekolah, karena mereka berdua tau bahwa sekolah itu terlalu banyak membuang waktu mereka dan tidak pernah fokus untuk mengembangkan potensi mereka sebagai penyuka bulu tangkis.

SEKIAN

“Pendidikan yang memerdekakan adalah pendidikan yang mengakomodasi bakat dan keterampilan, bukan pendidikan yang hanya bisa memberi beban.”

-MATA NAJWA-
Share:

4 komentar:

  1. ohh gitu ya mengerti, awalnya lihat tayangan kevin marcus yg menyatakan mereka malas sekolah atau berarti mereka tidak sekolah selama menjadi atlit (kurang tahu)agak aneh bukanya pendidikan penting, saya berpikir berarti mereka kalau tidak sekolah tidak menerima pelajaran di sekolah dan tidak tahu menahu mengenai pelajaran di sekolah, yang mereka tahu hanya badminton, tapi bagaimana dengan orang2 yg sekolah? saya sekolah, sd smp smk sekarang pun kuliah, saya ingat2 lagi selama sd smp sma sedikit sekali materi yg hafal malah hampir lupa semua, kecuali satu pelajaran yg inti yg sekarang ditekuni kuliah, memang benar sih kevin marcus tak menyia2kan potensi dirinya dari sejak kecil mereka tak membuang2 waktunya untuk sesuatu yg bahkan mereka lupa saat ini, oke berati sekolah itu penting ijasahnya ilmunya juga terkait kita ingat atau tidak sama ilmunya tergantung masing2nya..untuk atlit yg ingin kuliah tapi tidak punya ijazah sd/smp/sma, mungkin harus bekerja keras untuk mengikuti ujian paket a,b,c di sela2 waktu mereka sebagai atlit.. atau ada juga kan sekolah khusus atlit yg waktu belajarnya lebih banyak latihan kaya SKO Ragunan, namun masuknya susah ya dan sesuai kuota,

    BalasHapus
  2. Kami dari homeschooling anak pintar di bali sdh mempraktekan kurikulum berdasarkan bakat dan potensi. Jadi dari usia SD sdh bisa memilih kelas sesuai dg bakatnya. Anak2 dari SD sampe sma berkumpul pd saat kegiatan keagamaan di pagi hari sblm memasuki kelas pilihan nya masing2. Kendala nya hanya pada masalah sarana dan instruktur / pelatih yg hrs disediakan utk masing2 bakat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. nama homeschooling nya anak pintar kah pak? ada website yg bisa saya cek ?

      Hapus