Senin, 01 Mei 2017

MARI ANGKAT SENJATA!



Pernah dengar Arab Spring?.
Nggak pernah dengar ya?.
Arab Spring adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab (comot dari Wikipedia). Revolusi dan pemberontakan ini awalnya bermula dari negara Tunisia, kemudian menjalar ke negara lain seperti Mesir, Libya, Bahrain, Yaman, Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, Oman, Kuwait, Lebanon, Mauritania, Sudan, bahkan sampai ke perbatasan Israel. Dan tentu saja dengan skala yang bermacam-macam pula, dari yang hanya protes kecil seperti di Kuwait hingga revolusi besar seperti di Tunisa, Mesir, Libya, Yaman atau yang tidak berkesudahan seperti di Suriah.
Arab spring ini luar biasa sekali dampaknya, sampai perang boy, ape ndaknye...?.
Tapi kalau kita lihat kembali kemunculan awal Arab Spring ini, maka kita akan geleng-geleng kepala. Kok bisa... gitu lo?. Hal yang kecil itu menjalar ke berbagai negara hingga menyebabkan konflik yang tak kunjung reda.
Arab Spring ini muncul pertama di negara Tunisia. Di suatu siang, saat debu-debu dengan riang gembira berterbangan, seorang pemuda bernama Mohammed Bouazizi sedang asik berjualan buah-buahan. Tiba-tiba datanglah seorang petugas Pemda yang nagih uang pelicin atau uang keamanan. Nah si Bouazizi ini merasa keberatan dong, jualan belum pada laris tapi udah ada yang ngemis-ngemis, dari pemerintah lagi. Karena siang itu emang jualannya belum pada laku, Bouazizi pun nggak ngasi uang keamanan. Petugas Pemda pun marah, akhirnya barang dagangan Bouazizi diobrak-abrik sama petugas dan Bouazizinya di pentung serta di tendang.
Karena kesal dengan tindakan para petugas, pada 17 Desember 2010 Bouazizi protes. Tidak tanggung-tanggung, Bouazizi melakukan protes yang antimainstream, yaitu dengan cara menyiram tubuhnya dengan bensin lalu menyalakan korek api dan membakar dirinya sendiri. Karena Bouazizi ini manusia biasa, bukan Nabi Ibrahim yang tidak mempan terbakar api, maka Bouazizi pun hangus terbakar. Dia kemudian dibawa ke rumah sakit, dan pada tanggal 5 Januari 2011 dia meninggal.
Sejak peristiwa inilah, warga sipil lainnya mulai bersuara atas ketidakadilan yang telah lama hinggap di kehidupan mereka. Mereka membentuk massa yang banyak lewat media sosial seperti facebook, twitter, dan youtube untuk melakukan aksi protes besar-besaran. Hal ini kemudian dicontoh oleh warga sipil di negara tetangganya karena mereka mengalami hal yang serupa, yaitu ketidakadilan dan tindakan kesewenang-wenangan dari pemerintah. Otoriter atau apalah gitu istilahnya...
Anda bisa lihat berita mana saja di dunia ini, pasti dijelaskan bahwa pengumpulan massa yang begitu besar dan cepat itu melalui sarana media sosial. Dimanapun beritanya. Saya tidak akan membahas apakah ada pihak di balik protes besar-besaran itu, tapi yang ingin saya sampaikan adalah; media sosial adalah sebuah senjata. 
sumber gambar: wallpaperpulse.com

Oke tahan dulu contoh di atas, jangan berkesimpulan negatif bahwa saya ingin mengompori anda untuk perang, jangan!. Peace, soalnya saya juga belum nikah. Untuk itu, agar lebih jelas kita lanjut pada cerita selanjutnya.
Pada tanggal 22 Maret 2017 seorang guru muda bernama Anggit Purwoto mengunggah beberapa foto dan video menyedihkan di akun Instagramnya. Kalau kalian mau lihat foto dan videonya, silahkan buka instagram dan tulis @anggitpurwoto pada kotak pencarian, kalau udah ketemu akunnya, lihat foto dan videonya!, terutama foto dan video yang diunggah pada tanggal 22 Maret 2017. Kalau udah lihat jangan lupa follow beliau dan jangan lupa juga minta follback ya!...Becanda.
Ya, foto dan video “Pak Jokowi minta tas” itu sempat viral di media sosial. Orang-orang yang melihat foto dan video tersebut dengan segera membagikannya ke teman-teman mereka, hal ini terus berlanjut hingga foto dan video “Pak Jokowi minta tas” itu sampai dengan sendirinya di gawainya Pak Jokowi.
Saya tidak tahu apakah Pak Jokowi sudah memfollow Anggit Purwoto, tapi yang jelas Pak Jokowi dengan segera mengirim bantuan kepada anak-anak yang minta tas tersebut. Tidak tanggung-tanggung -karena emang sudah ada anggarannya juga- Pak Jokowi tidak hanya mengirim tas, akan tetapi peralatan sekolah lainnya seperti buku dan alat tulis.
Hanya saja saya sempat tersenyum juga ketika melihat sandal yang digunakan anak-anak -yang katanya dari Pak Jokowi- itu tampak kebesaran di kaki mereka yang mungil. Tapi nggak apa-apa lah ya, yang penting sudah di bantu. Saya rasa tidak hanya Pak Jokowi saja yang terbuka mata hatinya untuk membantu, tapi ada banyak pihak lain yang ikut serta membantu, termasuk yang share foto dan video tersebut sehingga viral di media sosial.
Ini contoh kedua bagaimana hebatnya media sosial. Jika di Tunisia tadi media sosial digunakan untuk protes dan kemudian terjadi kekacauan. Di Indonesia, media sosial juga digunakan oleh Anggit untuk protes atas ketidakadilan yang masih melanda negeri kita, yaitu kemiskinan dan kesulitan warga perbatasan dalam memperoleh barang. Namun di Indonesia yang terjadi bukan kekacauan melainkan datangnya banyak sumbangan. Artinya rakyat Indonesia sudah lebih dewasa.
Saya berharap tidak hanya sekedar sumbangan, tapi fasilitas penting juga diadakan seperti listrik dan jalan. Karena menurut saya, akses jalan yang sulit itulah alasan mengapa barang seperti tas dan sepatu tidak bisa datang ke perbatasan.
Kesimpulannya apa?.
Media sosial adalah sebuah senjata. Dan senjata itu ada di tangan kita masing-masing.
Masih banyak contoh lain yang memperlihatkan bagaimana kekuatan media sosial. Supaya lebih sadar saya cerita satu contoh lagi deh ya. Mau?.
Selanjutnya adalah kampanye Earth Hour beberapa bulan lalu, dan itu diakui sendiri oleh WWF (World Wide Fund for Nature). Bagi yang belum tahu Earth Hour, Earth Hour adalah sebuah kegiatan global yang diadakan oleh WWF pada sabtu akhir bulan Maret setiap tahunnya. Kegiatan ini berupa pemadaman lampu selama satu jam yang tidak diperlukan baik di rumah maupun di perkantoran. Pemadaman lampu ini digunakan untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya tindakan serius menghadapi perubahan iklim.
Untuk di Indonesia -kalau tidak salah-, jadwal mematikan lampunya dari mulai pukul 20.30 WIB hingga pukul 21.30 WIB. Dan kebetulan waktu itu di rumah saya juga ikut mati lampu, bukan karena ikut merayakan Earth Hour, tapi karena memang di kampung saya sudah langganan mati lampu. Bahkan di kampung saya lebih lama mati lampunya dibandingkan perayaan Earth Hour di perkotaan.
Oke kembali lagi ke masalah kampanye Earth Hour. Di situs WWF tersebut ada sebuah tulisan yang mengatakan:
“Sosial media tidak mengenal batas, begitupun dengan perubahan iklim. Langkah sederhana pada sosial media adalah langkah yang kuat dalam berpendapat sehingga bisa mendapatkan perhatian teman-teman dan beberapa komunitas untuk menjadi bagian dari gerakan melawan perubahan iklim yang kita butuhkan untuk masalah global ini.”
Kutipan diatas iseng juga ya sama kita, tanda komanya cuma sebutir, bacanya jadi ngos-ngosan.
Jadi kampanye Earth Hour itu tidak akan berhasil dan sukses besar jika ia tidak menggunakan media sosial. Jangankan warga Jakarta, saya yang di pelosok Kalimantan Barat aja dapat info Earth Hour kemarin. Lewat apa?, lewat media sosial. Jutaan massa melakukan aksi tersebut karena bernilai positif.
Luar biasa nggak media sosial kalau gitu?, luar biasa kan.
Jadi sayang banget seandainya jika kalian punya gagasan, ide, inspirasi, motivasi, informasi atau nasi basi yang nggak dibagikan di media sosial. Jadikan media sosial itu sebagai senjata, manfaatkan ia, tembakkan peluru kebaikan dan musnahkan kejahatan. Kalian punya senjatanya sekarang, semua ada di genggaman kalian, jadi gunakan!.
Hanya saja begini, saya mau kasi sedikit komando buat kalian para serdadu media sosial sebelum kalian berlaga di medan juang. Dalam menggunakan senjata itu (media sosial) juga ada etika dan aturannya. Gunakan senjata kalian di wilayah yang benar-benar kalian kuasai. Jika kalian hanya ahli berburu di hutan tropis, ya berburu di situ saja, jangan sok-sokan berburu di hutan bersalju. Jika kalian hanya ahli berburu tupai, ya berburu tupai aja, jangan coba-coba untuk berburu beruang.
Maksud saya, berbicaralah di wilayah yang kalian kuasai. Jika kalian kuliah di jurusan kesehatan, ya bersuaralah mengenai permasalahan di ruang lingkup kesehatan. Jika kalian ambil studi di pendidikan, ya nyerocoslah di area pendidikan. Jika kalian expert dalam dunia olahraga, ya kasi tips kepada kami orang awam tentang keahlian kalian, supaya kami tahu dan bisa belajar dari kalian.
Jika kalian tidak menguasai suatu wilayah, politik misalkan, jangan berani-berani gunakan senjata kalian di wilayah tersebut. Mengapa?. Bisa jadi kalian akan tertembak, salah tembak, menembak teman sendiri, atau menembak orang yang tidak bersalah.
Kan begitu masalah kita saat ini, pertikaian yang tak selesai-selesai di negeri kita ini karena banyak pendatang-pendatang baru yang tidak ahli dalam urusannya ikut-ikutan menggunakan media sosialnya (senjatanya) pada masalah tersebut. Bukannya meredakan pertikaian, yang ada malah memunculkan peperangan. Mengapa?. Karena mereka masuk ke dalam wilayah yang tidak mereka kuasai. Mereka meramaikan pertikaian tanpa tahu cara untuk meredakan.
Makanya dalam bermedia sosial dan menulis, saya selalu stay di wilayah yang saya kuasai. Atau paling tidak berbicara dalam masalah yang kita sepakat itu salah. Saya tidak akan bersuara masalah penista agama, perbedaan keyakinan, bid’ah dan tidak bid’ah, dan semacamnya. Karena saya sadar betul, ketika saya masuk ke dalam wilayah itu, maka yang akan terjadi bukan perdamaian, melainkan pertikaian. Saya takut salah tembak karena saya tidak menguasai wilayah tersebut.
Tapi saya tidak ragu ketika membicarakan minat baca, mengkritik remaja yang narsis berlebihan di media sosial, perayaan wisuda yang tak kunjung selesai, kuliah yang digunakan untuk hura-hura bukan untuk menambah wawasan. Hal itu saya berani kritik karena saya berada di wilayah tersebut dan saya yakin itu adalah kesalahan yang harus kita perbaiki. Semua akan setuju itu. Tapi jika berburu di wilayah yang sifatnya masih perdebatan, maka saya urung untuk ikut-ikutan.
Terakhir, masuklah kita pada bagian kesimpulan.
Media sosial yang ada dalam genggaman kalian itu adalah senjata, jangan dianggurin, gunakan!. Tapi lihat juga wilayah mana yang benar-benar anda kuasai, wilayah pendidikan kah?, olahraga kah?, musik kah?, kesehatan kah?, politik kah?, ekonomi kah?, dan sebagainya. Jangan sampai salah masuk wilayah karena akibatnya bisa berbahaya.
Jangan jadikan media sosial hanya sekedar buat pamer sesuatu yang bersifat pribadi. Bukan apa?, sayang. Ibaratnya begini, anda punya senjata AK-47 buatan Rusia, dan di depan anda bertaburan musuh-musuh yang harus dilumpuhkan, bukannya menembak musuh, anda malah menggunakan senjata AK-47 itu untuk korek kuping, kan lucu.
Begitu juga dengan media sosial, bukannya anda manfaatkan untuk memperbaiki permasalahan di wilayah yang anda kuasai, yang anda lakukan malah berselfie ria tiada henti.
SEKIAN.

“Angkat senjata kalian, dan tembaklah musuh di wilayah yang kalian kuasai!”
-Ahmad Yazid (penulis blog yang belum bisa move on dari mantan)-


Share:

2 komentar:

  1. The Power of Social Media. Setuju sekali bg Yazid (Blogger yg belum bisa move on dari mantan, hihi).

    Revolusi Teknologi Informasi (Internet) memang bakalan banyak mewarnai manusia kedepan.

    BalasHapus