Minggu, 26 Juni 2016

SANTRI MELAWAN.

“Adoh, gimane lah tok?”, tanya Eki.

Aku, Uni, Eri, diam tak bersuara. Pertanyaan Eki hanya dibalas oleh suara jangkrik yang berirama monoton. Kami sedang berfikir untuk mencari cara agar bisa keluar dari kewajiban gila ini.

***

Pesantren ini sudah lama berdiri. Sudah tua umurnya. Tapi, semakin tua bangunannya semakin megah dan besar. Tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Untuk merayakan hari ulang tahunnya, kami –santri putra- harus mengorbankan rambut yang hitam ini untuk dicukur habis alias dibotak. Santri sering menyebutnya dicatam. Sungguh hadiah yang spesial untuk pesantren, tapi menyedihkan bagi para santri. Memang, tak semua sedih dengan kewajiban ini. Ada juga santri yang menyambutnya dengan bahagia. Tanpa disuruh pun mereka sudah siap untuk mencukur habis rambutnya.



Rambut adalah mahkota, kata guru SD ku dulu bilang. Tapi di momen ulang tahun ini, mahkota itu harus dikorbankan. Banyak santri yang keberatan, tapi tak banyak yang mau protes dan bersuara. Karena bila protes atau tidak mentaati kewajiban ini, maka bersiap-siaplah untuk berhadapan dengan ustadz Mau, ustadz tergarang di pesantren ini.

Sekitar tiga hari sebelum hari ulang tahun pesantren, aku, Uni, Eki dan Eri berkumpul di kamar Uni. Kamar ini sederhana, perabotan di dalamnya pun tak banyak. Hanya ada empat lemari dan dua ranjang tingkat dua yang diwariskan dari masa ke masa. Kami selalu merapatkan hal-hal penting disini; seperti agenda keluar malam tanpa izin, rapat tentang “siapa pencuri di asrama?”, tentang “siapa yang melaporkan ke ustad Mau perihal santri yang merokok di belakang asrama?”, dan rapat-rapat lainnya. Termasuk hari ini, kami merapatkan mengenai kewajiban botak untuk memperingati hari ulang tahun pesantren.

“Jadi gimane tok Ni?” tanya Eki. 

Eki adalah salah satu santri yang keberatan dengan kewajiban ini. Botak bukan hal yang biasa dalam hidupnya. Bahkan mungkin merupakan sesuatu yang langka, sama langkanya dengan peristiwa komet Halley yang melintasi bumi. Aku rasa, jika ia harus berlari keliling lapangan volly seratus kali untuk menebus kewajiban botak ini, maka ia akan melakukannya.

“Kite usah botak”, jawab Uni tegas seolah ia sedang menjadi hakim di persidangan dan memutuskannya dengan ketukan palu tiga kali, tanda keputusan sudah berakhir dan tidak dapat diganggu gugat.

Uni adalah ketua perkumpulan ini. Siapa yang tak kenal dengan anak gang nelayan yang satu ini. Badannya yang gempal membuat dirinya menjadi santri yang disegani. Bentuk wajahnya yang persegi itu mirip dengan potongan wajah preman pasar yang hobi menantang orang berkelahi. Seorang orator ulung, seorang revolusioner, dan seorang pemikir handal. Ia sudah sering menentang hukuman dari ustadz Mau. Ia memang ada bakat jadi seorang lawyer atau pengacara. Dari kelebihan itulah, ia dipercaya sebagai seksi keamanan di asrama putra. Tapi aku rasa, ia yang paling sering diamankan karena sering melanggar aturan. Dan sayangnya lagi, skandal hubungannya dengan banyak santriwati juga sering memperburuk citranya. 

Eri menyela, “Kalau Ustad Mau nanyak kite cemane Ni?”

Eri juga salah satu orang yang takut dengan kewajiban botak ini. Aku rasa ia lebih takut daripada Eki. Potongan kepalanya yang seperti buah mangga itu tentu saja tak cocok untuk dibotak. Makanya ia perlu helaian rambut untuk menutup bentuk kepala yang unik itu. 

“Keatinye lah”, jawab Uni. Ia beranjak dari kasur dan bercermin pada kaca yang menyatu dengan lemari pakaiannya. Ia menyisiri rambutnya yang tipis dan pendek. Aku rasa penentangan kewajiban ini bukan karena ia tak cocok untuk dibotak, karena rambutnya saja sudah cepak seperti tentara. Tentulah membotaki rambutnya itu tidak akan mengubah penampilannya. Aku rasa, tindakan perlawanan ini murni sebagai perlawanan, bukan atas dasar motif cengeng seperti santri lainnya. Jiwa pelawan itulah yang tak banyak dimiliki oleh santri disini.

***

Sore itu, pemandangan di asrama terlihat berbeda. Bukan karena bangunan masjid yang berpindah tempat, bukan karena tempayan-tempayan berlumut yang menghilang,  juga bukan karena pasukan kucing liar yang tak hadir saat santri sedang menyantap makan sore mereka, melainkan karena ramainya santri yang sudah memenuhi kewajibannya; botak. Sekarang tempat ini tak seperti asrama santri lagi, akan tetapi lebih terlihat seperti kuil shaolin. Apalagi ketika mereka berkejaran satu sama lain untuk berebut botol air yang sedang dibawa oleh santri lainnya. Mereka sangat terlihat lincah, gesit, licin, liar dan tentu saja botak.

***

Sehabis isya, seluruh santri berkumpul di masjid. Malam ini akan ada pengecekan dari ustadz Mau mengenai kewajiban botak ini. Hal itu harus ia lakukan, mengingat besok lusa adalah hari ulang tahun pesantren. Seharusnya seluruh santri sudah botak malam ini. Kalau masih ada juga yang belum, maka mereka punya kesempatan untuk botak besok hari, sebelum besoknya lagi para santri sudah harus botak semua.

Santri duduk berkumpul membentuk setengah lingkaran. Ustadz Mau berdiri di depan memegang mikrophone. Ia mengenakan peci putih. Baju muslimnya rapi namun tekstur kainnya terlihat keras sekeras bentakannya saat sedang marah. Sorot matanya tajam seperti singa yang siap menerkam rusa liar di padang savana. “Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh”, ia mengucapkan salam dengan suara yang datar membuat santri bertambah segan.

Seluruh santri menjawab serempak namun pelan, “Wa’alaikum salam warahmatullaahi wabarakaatuh”.

Ustadz Mau kemudian memanjatkan syukur dan mengucapkan sholawat. Setelah itu ia memulai pembicaraannya dengan bertanya, “Masih ada yang belum catam?”.

Santri terdiam tak ada yang berani menyahut. Ada yang tertunduk bukan karena takut, tapi  karena mengantuk. Ada yang membelai-belai wajahnya sendiri sambil memencet jerawat yang baru saja masak. Ada juga yang menggaruk-garuk kepala, mungkin karena sudah sebulan tak pernah keramas pake shampo.

“Angkat tangan yang belum catam!”, perintah Ustadz Mau.

Hampir semua mata santri memandang Uni, Eri, Eki dan aku. Pandangan itu diselingi dengan bisik-bisik seperti lebah yang mendengung. Seketika itu, Uni memberanikan dirinya mengangkat tangan. Kemudian Eki, Eri dan aku ikut menyusul. Seolah tak ingin memperparah keadaan, tangan yang terangkat ini segera kami turunkan.

Tampak wajah ustadz Mau mulai memerah. Lubang hidungnya membesar. Keningnya berkerut dan rahangnya mengatup. Tangannya terlihat menggenggam erat tangkai mikrophone. Tapi kemarahan itu seperti ditahan, karena ia tau, yang dihadapinya adalah orang-orang yang sudah seringkali menentang dan melawan.

 “Ni, ape alasanmu nda’an maok catam?”, tanya Ustadz Mau.

Uni tak kalah garang. Perpaduan antara mata, hidung, mulut dan keningnya itu memunculkan mimik wajah yang tak bersahabat. Ia memang tak akan menjawab. Karena ia tahu, kalau semua santri dan mungkin ustadz Mau sadar bahwa kewajiban ini tak masuk akal, tak jelas filosofinya dan tak jelas apa faidahnya.

“Ini sudah kemauan pimpinan. Tidak bisa dibantah”, jelas Ustad Mau.

Suasana hening. Tidak ada santri yang berbicara. Kalaupun ada, mereka hanya berbisik-bisik pelan. 

“Kalian boleh tidak botak, tapi kalau kalian sakit, jangan minta tolong dengan pihak pesantren. Urus sendiri hidup kalian masing-masing kalau tidak mau lagi mematuhi aturan di pesantren”, tambah ustadz Mau lagi.

Inilah sistem politik santri di pesantren kami. Jauh dari prinsip demokrasi. Apalagi jika sudah berhadapan dengan ustadz Mau, semuanya serba otoriter. Jika sudah mendapat ancaman seperti itu, seorang Uni pun tak akan dapat berkutik. Siapa yang jamin kami akan sehat terus di pesantren. Seandainya jika suatu hari nanti kami sakit keras dan pesantren tidak peduli, maka tamatlah riwayat kami di tempat ini.

Malam itu aku belajar satu hal, yaitu tentang keberanian. Secara pribadi, aku memang tidak setuju dengan kewajiban botak untuk memperingati hari ulang tahun pesantren. Ketidaksetujuanku bukan hanya karena jelek saat dibotak, tapi lebih karena faidah yang tak jelas dari kewajiban ini. Apa hubungannya botak dengan ulang tahun pesantren. 

Saat itu, kewajiban botak seperti sebuah simbol kekuasaan mutlak yang belum padam dalam dunia pendidikan. Saat santri harus patuh dan tunduk seperti kerbau yang dicucuk hidungya, saat itulah santri bukan seorang yang merdeka. Malam itu, Uni membuktikan bahwa sudah saatnya santri juga harus berani melawan, terutama pada aturan-aturan absurd yang dibuat hanya sekedar pada emosi dan perasaan senang atas sifat ketundukan para santri.

***

Hari ulang tahun pun datang. Pagi itu kami berkumpul di depan kantor sekolah. Santri yang botak menjadi bahan tertawaan santriwati serta siswa-siswi luar yang tidak tinggal di asrama. Sebagian santri malu dan merasa sedih. Tapi bagi Uni dan aku, mungkin Eri dan Eki, kami bangga karena telah berani melawan, walau harus berakhir dengan nasib yang sama seperti santri lainnya.
Share:

3 komentar:

  1. Hampir mirip seperti perlawanan terhadap rezim soeharto.

    BalasHapus
  2. Hampir mirip seperti perlawanan terhadap rezim soeharto.

    BalasHapus