“Adoh,
gimane lah tok?”, tanya Eki.
Aku, Uni,
Eri, diam tak bersuara. Pertanyaan Eki hanya dibalas oleh suara jangkrik yang
berirama monoton. Kami sedang berfikir untuk mencari cara agar bisa keluar dari
kewajiban gila ini.
***
Pesantren
ini sudah lama berdiri. Sudah tua umurnya. Tapi, semakin tua bangunannya
semakin megah dan besar. Tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Untuk merayakan
hari ulang tahunnya, kami –santri putra- harus mengorbankan rambut yang hitam ini
untuk dicukur habis alias dibotak. Santri sering menyebutnya dicatam. Sungguh
hadiah yang spesial untuk pesantren, tapi menyedihkan bagi para santri. Memang,
tak semua sedih dengan kewajiban ini. Ada juga santri yang menyambutnya dengan
bahagia. Tanpa disuruh pun mereka sudah siap untuk mencukur habis rambutnya.
Rambut
adalah mahkota, kata guru SD ku dulu bilang. Tapi di momen ulang tahun ini, mahkota
itu harus dikorbankan. Banyak santri yang keberatan, tapi tak banyak yang mau
protes dan bersuara. Karena bila protes atau tidak mentaati kewajiban ini, maka
bersiap-siaplah untuk berhadapan dengan ustadz Mau, ustadz tergarang di
pesantren ini.
Sekitar
tiga hari sebelum hari ulang tahun pesantren, aku, Uni, Eki dan Eri berkumpul
di kamar Uni. Kamar ini sederhana, perabotan di dalamnya pun tak banyak. Hanya
ada empat lemari dan dua ranjang tingkat dua yang diwariskan dari masa ke masa.
Kami selalu merapatkan hal-hal penting disini; seperti agenda keluar malam
tanpa izin, rapat tentang “siapa pencuri di asrama?”, tentang “siapa yang
melaporkan ke ustad Mau perihal santri yang merokok di belakang asrama?”, dan
rapat-rapat lainnya. Termasuk hari ini, kami merapatkan mengenai kewajiban
botak untuk memperingati hari ulang tahun pesantren.
“Jadi
gimane tok Ni?” tanya Eki.
Eki
adalah salah satu santri yang keberatan dengan kewajiban ini. Botak bukan hal
yang biasa dalam hidupnya. Bahkan mungkin merupakan sesuatu yang langka, sama
langkanya dengan peristiwa komet Halley yang melintasi bumi. Aku rasa, jika ia
harus berlari keliling lapangan volly seratus kali untuk menebus kewajiban
botak ini, maka ia akan melakukannya.
“Kite
usah botak”, jawab Uni tegas seolah ia sedang menjadi hakim di persidangan dan
memutuskannya dengan ketukan palu tiga kali, tanda keputusan sudah berakhir dan
tidak dapat diganggu gugat.
Uni
adalah ketua perkumpulan ini. Siapa yang tak kenal dengan anak gang nelayan
yang satu ini. Badannya yang gempal membuat dirinya menjadi santri yang
disegani. Bentuk wajahnya yang persegi itu mirip dengan potongan wajah preman
pasar yang hobi menantang orang berkelahi. Seorang orator ulung, seorang revolusioner,
dan seorang pemikir handal. Ia sudah sering menentang hukuman dari ustadz Mau.
Ia memang ada bakat jadi seorang lawyer atau pengacara. Dari kelebihan
itulah, ia dipercaya sebagai seksi keamanan di asrama putra. Tapi aku rasa, ia
yang paling sering diamankan karena sering melanggar aturan. Dan sayangnya lagi,
skandal hubungannya dengan banyak santriwati juga sering memperburuk citranya.
Eri
menyela, “Kalau Ustad Mau nanyak kite cemane Ni?”
Eri juga
salah satu orang yang takut dengan kewajiban botak ini. Aku rasa ia lebih takut
daripada Eki. Potongan kepalanya yang seperti buah mangga itu tentu saja tak
cocok untuk dibotak. Makanya ia perlu helaian rambut untuk menutup bentuk
kepala yang unik itu.
“Keatinye
lah”, jawab Uni. Ia beranjak dari kasur dan bercermin pada kaca yang menyatu
dengan lemari pakaiannya. Ia menyisiri rambutnya yang tipis dan pendek. Aku
rasa penentangan kewajiban ini bukan karena ia tak cocok untuk dibotak, karena
rambutnya saja sudah cepak seperti tentara. Tentulah membotaki rambutnya itu
tidak akan mengubah penampilannya. Aku rasa, tindakan perlawanan ini murni
sebagai perlawanan, bukan atas dasar motif cengeng seperti santri lainnya. Jiwa
pelawan itulah yang tak banyak dimiliki oleh santri disini.
***
Sore itu,
pemandangan di asrama terlihat berbeda. Bukan karena bangunan masjid yang
berpindah tempat, bukan karena tempayan-tempayan berlumut yang menghilang, juga bukan karena pasukan kucing liar yang tak
hadir saat santri sedang menyantap makan sore mereka, melainkan karena ramainya
santri yang sudah memenuhi kewajibannya; botak. Sekarang tempat ini tak seperti
asrama santri lagi, akan tetapi lebih terlihat seperti kuil shaolin. Apalagi
ketika mereka berkejaran satu sama lain untuk berebut botol air yang sedang dibawa
oleh santri lainnya. Mereka sangat terlihat lincah, gesit, licin, liar dan tentu
saja botak.
***
Sehabis
isya, seluruh santri berkumpul di masjid. Malam ini akan ada pengecekan dari
ustadz Mau mengenai kewajiban botak ini. Hal itu harus ia lakukan, mengingat
besok lusa adalah hari ulang tahun pesantren. Seharusnya seluruh santri sudah botak
malam ini. Kalau masih ada juga yang belum, maka mereka punya kesempatan untuk
botak besok hari, sebelum besoknya lagi para santri sudah harus botak semua.
Santri
duduk berkumpul membentuk setengah lingkaran. Ustadz Mau berdiri di depan
memegang mikrophone. Ia mengenakan peci putih. Baju muslimnya rapi namun
tekstur kainnya terlihat keras sekeras bentakannya saat sedang marah. Sorot matanya tajam seperti singa yang siap menerkam
rusa liar di padang savana. “Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh”, ia
mengucapkan salam dengan suara yang datar membuat santri bertambah segan.
Seluruh
santri menjawab serempak namun pelan, “Wa’alaikum salam warahmatullaahi
wabarakaatuh”.
Ustadz
Mau kemudian memanjatkan syukur dan mengucapkan sholawat. Setelah itu ia
memulai pembicaraannya dengan bertanya, “Masih ada yang belum catam?”.
Santri
terdiam tak ada yang berani menyahut. Ada yang tertunduk bukan karena takut,
tapi karena mengantuk. Ada yang
membelai-belai wajahnya sendiri sambil memencet jerawat yang baru saja masak.
Ada juga yang menggaruk-garuk kepala, mungkin karena sudah sebulan tak pernah
keramas pake shampo.
“Angkat
tangan yang belum catam!”, perintah Ustadz Mau.
Hampir
semua mata santri memandang Uni, Eri, Eki dan aku. Pandangan itu diselingi
dengan bisik-bisik seperti lebah yang mendengung. Seketika itu, Uni
memberanikan dirinya mengangkat tangan. Kemudian Eki, Eri dan aku ikut
menyusul. Seolah tak ingin memperparah keadaan, tangan yang terangkat ini
segera kami turunkan.
Tampak wajah
ustadz Mau mulai memerah. Lubang hidungnya membesar. Keningnya berkerut dan
rahangnya mengatup. Tangannya terlihat menggenggam erat tangkai mikrophone.
Tapi kemarahan itu seperti ditahan, karena ia tau, yang dihadapinya adalah
orang-orang yang sudah seringkali menentang dan melawan.
“Ni, ape alasanmu nda’an maok catam?”, tanya
Ustadz Mau.
Uni tak
kalah garang. Perpaduan antara mata, hidung, mulut dan keningnya itu
memunculkan mimik wajah yang tak bersahabat. Ia memang tak akan menjawab.
Karena ia tahu, kalau semua santri dan mungkin ustadz Mau sadar bahwa kewajiban
ini tak masuk akal, tak jelas filosofinya dan tak jelas apa faidahnya.
“Ini
sudah kemauan pimpinan. Tidak bisa dibantah”, jelas Ustad Mau.
Suasana
hening. Tidak ada santri yang berbicara. Kalaupun ada, mereka hanya
berbisik-bisik pelan.
“Kalian
boleh tidak botak, tapi kalau kalian sakit, jangan minta tolong dengan pihak
pesantren. Urus sendiri hidup kalian masing-masing kalau tidak mau lagi
mematuhi aturan di pesantren”, tambah ustadz Mau lagi.
Inilah
sistem politik santri di pesantren kami. Jauh dari prinsip demokrasi. Apalagi
jika sudah berhadapan dengan ustadz Mau, semuanya serba otoriter. Jika sudah
mendapat ancaman seperti itu, seorang Uni pun tak akan dapat berkutik. Siapa
yang jamin kami akan sehat terus di pesantren. Seandainya jika suatu hari nanti
kami sakit keras dan pesantren tidak peduli, maka tamatlah riwayat kami di
tempat ini.
Malam itu
aku belajar satu hal, yaitu tentang keberanian. Secara pribadi, aku memang tidak setuju
dengan kewajiban botak untuk memperingati hari ulang tahun pesantren.
Ketidaksetujuanku bukan hanya karena jelek saat dibotak, tapi lebih karena
faidah yang tak jelas dari kewajiban ini. Apa hubungannya botak dengan ulang
tahun pesantren.
Saat itu,
kewajiban botak seperti sebuah simbol kekuasaan mutlak yang belum padam dalam
dunia pendidikan. Saat santri harus patuh dan tunduk seperti kerbau yang
dicucuk hidungya, saat itulah santri bukan seorang yang merdeka. Malam itu, Uni
membuktikan bahwa sudah saatnya santri juga harus berani melawan, terutama pada
aturan-aturan absurd yang dibuat hanya sekedar pada emosi dan perasaan senang
atas sifat ketundukan para santri.
***
Hari
ulang tahun pun datang. Pagi itu kami berkumpul di depan kantor sekolah. Santri
yang botak menjadi bahan tertawaan santriwati serta siswa-siswi luar yang tidak
tinggal di asrama. Sebagian santri malu dan merasa sedih. Tapi bagi Uni dan
aku, mungkin Eri dan Eki, kami bangga karena telah berani melawan, walau harus
berakhir dengan nasib yang sama seperti santri lainnya.
Hampir mirip seperti perlawanan terhadap rezim soeharto.
BalasHapusHampir mirip seperti perlawanan terhadap rezim soeharto.
BalasHapusaok, perlawan buah mangga
BalasHapus