Kamis, 16 Juni 2016

Shofya: "Berubahlah karena Allah!" (CERPEN FIKSI)

Dya........Lidya.................

Deri dengan segera mengejar Lidya yang kebetulan ditemuinya di kampus. Jangankan menoleh, Lidya malah mempercepat langkahnya seperti setengah berlari. Namun secepat apapun Lidya berjalan, Deri dengan lebih sigap lagi menuju ke arahnya bahkan dengan berlari.
“Lidya, kamu kenapa?”, tanya Deri dari belakang sambil berlari kecil mengejar Lidya.

Lidya tak menjawab. Dia semakin mempercepat jalannya seolah ada orang yang berniat membunuhnya dari belakang. Khimar  berwarna dusty pink yang ia kenakan melambai-lambai tertiup angin. Lambaian khimarnya bukan pertanda agar Deri datang kepadanya, tapi lebih terlihat sebagai sinyal pengusiran agar Deri pergi menjauh.

Deri menangkap tangan Lidya, “Lidya”.

Namun dengan cepat Lidya melepaskannya, seperti setengah memberontak. “Lepas Der!”.

“Kamu kenapa Lidya?”, bujuk Deri. “Kalau ada yang salah dari aku, bilang!. Jangan diam-diam gak jelas kayak gini!”.

Lidya masih tak menjawab. Ia berjalan ke arah motornya yang ada di parkiran. Sampai di motor, ia langsung mengenakan helm dan bersiap untuk pergi. Tatapan matanya tajam seperti petir yang siap menyambar. Mulutnya tertutup rapat pertanda bahwa ia tak akan pernah bicara lagi. Tanpa konfirmasi, ia langsung menstarter motornya dan pergi begitu saja. Tak ada pertanda damai sedikitpun.

Deri semakin kesal dan tak mengerti apa yang telah terjadi pada Lidya. Dia kembali memikirkan hari-hari sebelumnya, kesalahan apa yang telah diperbuatnya. Tapi tak satupun terbesit dalam pikirannya -tentang kesalahan-kesalahan masa lalu- yang bisa membuat Lidya bertindak seperti itu.

 ***

Sejak tiga minggu yang lalu Lidya menampakkan sikap yang aneh kepada Deri. Telepon dan sms tak pernah diangkat dan dibalas, bahkan akun media sosial sudah diblokir. Deri juga semakin jarang -bahkan saat tiga minggu terakhir itu tak pernah lagi- menjumpai Lidya. Hari itulah -saat Lidya keluar dari salah satu ruangan kelas di kampus- pertama kali Deri melihat Lidya. Kesempatan itu tidak ia buang sia-sia, Deri bergegas mengejar Lidya untuk meminta penjelasan. Namun Lidya tak memberi sedikitpun pennjelasan. 

 ***

“Kak, kok Dya makin susah ya ngafal Qur’an nya?”, Lidya meraih tangan kakaknya dan merengek seperti bocah kecil.

“La, kok bisa?”, tanya kakaknya.

Kakaknya; Shofya. Shofya dan Lidya adalah alumni pesantren. Sejak pesantren, mereka berdua diajarkan ilmu agama termasuk menghafal Qur’an. Shofya hanya lebih empat tahun dari Lidya; adiknya. Sebagai kakak-adik yang sudah lama bersama, mereka tak pernah saling menyimpan rahasia. Apa yang dirasakan, dilakukan, didengarkan oleh Lidya selalu ia ceritakan kepada kakanya. Begitu pula sebaliknya. Tapi satu hal yang tak bisa Lidya ceritakan pada kakanya adalah mengenai hubungannya dengan Deri.

“Gak tau ni kak. Rasanya gak mampu lagi mau menghafal. Hafalan yang udah ada juga hampir lupa”.

“Udah, kalau emang lagi badmood gak usah ngafal dulu. Ilmu yang dipaksain masuk gak bakal bisa masuk. Gitu juga al-Qur’an. Kan udah sering dibilang sama ustadzah waktu dipondok dulu”.

Akhirnya Lidya membaringkan dirinya diatas kasur. Ia terlihat begitu cemberut. Kakaknya mendekati dan mengusap kepalanya. Jari-jemari Shofya yang lembut itu mulai membelai kepala adiknya, sehingga tak lama setelah itu, Lidya pun terlelap. 

Shofya sangat tau bahwa masalah adiknya tidak hanya badmood atau sedang tidak lagi konsentrasi menghafal. Sudah sekitar dua bulan ia melihat ada sesuatu yang berubah dari adiknya. Ia sering mendapati Lidya senyum-senyum sendiri saat memainkan smartphone. Lidya yang dulunya sering tahajud dan sering membangunkan kakaknya, sekarang jadi jarang. Bahkan beberapa malam –semenjak dua bulan lalu itu- Lidya sering meninggalkan kebiasaanya waktu di pesantren itu; sholat tahajud. Dan masalah yang terakhir ini –susah menghafal Quran dan hilangnya hafalan- cukup membuat Shofya harus mencari tau masalah yang dihadapi adiknya.

 ***

Pagi itu, di saat perkuliahan sedang berlangsung. Tiba-tiba beberapa anggota himpunan mahasiswa jurusan memasuki ruangan kelas. Salah satu dari beberapa orang itu adalah Deri; selaku ketua himpunan mahasiswa jurusan. Deri menyampaikan berita wafatnya salah seorang dosen senior di kampus tersebut, sekaligus meminta sumbangan secara sukarela kepada setiap mahasiswa-mahasiswi yang ada di kelas. 

Melihat sosok Deri, Lidya merasakan ada getaran jiwa yang tak biasa. Cara Deri menyampaikan belasungkawa, sikap Deri yang berwibawa dan sopan, tutur katanya yang lembut, serta senyumnya yang ramah membuat Lidya terbuai seperti sedang berada di bawah pohon yang teduh dan menikmati angin beraroma mint yang berhembus pelan. Tidak hanya itu, wajahnya yang rupawan berbentuk diamond, hidungnya yang mancung dan matanya yang teduh menambah kesempurnaan sosok yang diperhatikannya itu.

“Lidya”, tegur Azizah yang duduk di sampingnya. “Eh malah melamun”, Azizah langsung tertawa cekikikan. “Tu.....nyumbang gak?”, tanya Azizah sambil menunjuk dengan memajukan dagunya menghadap kotak sumbangan yang sudah ada di samping Lidya.

Lidya menoleh ke arah kotak sumbangan yang ternyata sudah ada disamping bahunya. Ia baru menyadari kalau lamunannya itu membuat seorang gadis yang telah berada di sampingnya –sambil membawa kotak sumbangan- menunggu agak lama. 

“Sori”, Lidya meminta maaf dan mengambil dompet di dalam tasnya seraya mengeluarkan uang kertas. Ia pun memasukkan beberapa lembaran uang kertas ke dalam kotak sumbangan tersebut.

“Terima kasih” ucap gadis yang membawa kotak sambil tersenyum manis

“Iya sama-sama”, Lidya agak sedikit malu dengan kejadian barusan.

“Ngelamunin apa sih Dya?”, tanya Azizah dengan sedikit tersenyum. Kedua alisnya ikut terangkat.

Lidya menoleh tapi tak menjawab. Ia hanya tersenyum malu sambil membuka tutup buku kuliahnya. Tapi matanya kemudian cepat beralih pada Deri yang masih menunggu kotak sumbangan yang sedang dijalankan.

Azizah melihat arah pandangan Lidya yang ternyata menuju Deri. “Oh aku tau” Azizah pun kembali memanggil Lidya dengan memukulkan pulpennya ke lengan Lidya. “Ngelamunin yang di depan ya?”. Tanya Azizah dengan senyum terbuka karena merasa ada yang lucu dari tingkah kawannya itu.

Lidya menoleh dan tersenyum dengan mulut tertutup. 

“Eh anak ini udah gila apa ya?”, Azizah keheranan.

 ***

“Lidya kawankan Zizah ke perpus yok”, pinta Azizah.
 
“Ngapain?”

“Aku pengen ngembalikan buku ni”, jawab Azizah sambil memperlihatkan dua buku yang ada di tangan kanannya; sebuah buku Fiqih Wanita dan buku Ekonomi Islam.

“Abis itu kita ke kantin. Zizah traktir deh. Yok, yok, yok!.”, Azizah menarik-narik tangan Lidya seperti bocah yang pengen minta dibelikan mainan.

“Hmmm, okelah”

Setelah mereka mengembalikan buku di perpustakaan, mereka pun pergi menuju kantin langganannya. Tak banyak yang ke kantin siang itu, mungkin karena masih banyak yang kuliah di kelas.

“Kamu pesan apa?” tanya Azizah

“Sari kacang aja Zah”

Azizah menghampiri pelayan kantin yang sedang menyiapkan pesanan pembeli, “Sari kacang satu, sama jus wortel satu ya kak”.

“Ok neng” sahut pelayan kantin.

“Makan gak Dya?” tanya Azizah

Lidya tak menoleh. Dia seperti sedang fokus menatap seseorang di depannya. Azizah yang merasa pertanyaannya dicuekin pun turut melihat ke arah pandangan Lidya. Ternyata pandangan Lidya mengarah ke kantin sebelah. Terlihat sosok Deri dengan kawan-kawannya yang baru duduk dan memesan minum di kantin itu.
 
Azizah langsung duduk di depan Lidya dan menutup pandangannya. “Eh melamun lagi”, sergap Azizah dan tersenyum meringis.

Lidya tersenyum malu, “Gak kok”.

“Eleh-eleh, gak apanya” Azizah beranjak dari bangku dan mengambil posisi di samping Lidya. “Kamu pasti mandangin Deri kan?” Azizah berbicara seperti berbisik, begitu pelan.

Pelayan kantin datang dan mengantar pesanan minuman mereka. “Ni neng pesanannya”.

“Makasih kak”, ucap Azizah yang kemudian diikuti oleh Lidya.

Azizah pun membalikkan pembicaraan ke semula. “kalau naksir bilang naksir. Jangan dipendam, nanti sakit tau”.

“Ngomongnya nanti aja Zah, jangan disini”, Lidya mencubit tangan Azizah karena saking geramnya.

“Oke-oke. Nanti curhat ya!. Kalau kamu emang pengen dekat sama Deri, aku ada teman kok yang akrab sama dia. Nanti aku minta kontak Deri sama dia. Mau gak?”, bisik Azizah pelan sambil menyikut bahu Lidya.

Lidya pura-pura tidak menanggapi tawaran Azizah, tapi telinganya begitu awas dengan tawaran itu. Ia merasa ada kesempatan untuk bisa berkenalan lebih jauh dengan Deri. Ia menyimpan betul informasi yang diberikan Azizah.

 ***
 
Siapa yang mampu menahan derasnya rasa cinta dan rasa suka terhadap seseorang. Hampir kebanyakan orang tidak akan mampu. Rasa cinta dan rasa suka itu seperti anak panah yang pasti melesat menuju targetnya. Rasa cinta dan rasa suka -antara pria dan wanita- itu juga seperti magnet yang memiliki kutub utara dan kutub selatan, keduanya memang berbeda, tapi akan saling tarik menarik bila didekatkan. Maka hanya dengan mendekatkannya, maka mereka akan bersatu. Hanya dengan melepaskan anak panah itu, maka dia akan melesat.

Lidya yang sedari awal tertarik dengan Deri tak mampu lagi menahan busur dan anak panah yang digenggamnya. Kesempatan terbuka yang diberikan oleh Azizah langsung disambarnya. Lidya pun mendapati alamat (username) facebook, twitter, instagram, BBM, dan Line bahkan nomor handphone Deri. Tapi ia masih ragu untuk melanjutkan sambaran itu hingga sampai ke papan target. Sebagai wanita, apalagi yang seperti dirinya, tentu tak elok untuk terlebih dahulu mengungkapkan rasa suka.

 ***

Setelah rapat anggota yang diadakan himpunan mahasiswa jurusan, Deri dan Arif mulai mengemaskan ruangan. Mereka berdua memungut gelas air mineral dan plastik bekas gorengan serta menyapu ruangan yang tidak terlalu besar itu. 

“Berarti besok kita udah harus siap-siap Der untuk kegiatan itu. Kegiatan ini kan lumayan besar”, kata Arif memecah keheningan saat membersihkan ruangan.

“Ya, besok kita udah boleh mulai bersiap-siap”

Hening sejenak.

“Oh ya Der, kemaren adak adek tingkat yang minta kontak kau tu. Gak tau buat apa. Selain nomor handphone, dia juga minta alamat media sosial kau Der”.

“Trus kamu kasi?”

“Iyalah, soalnya dia teman aku juga. Tapi dia bilang sih untuk temannya”.

Deri hanya tersenyum lepas namun tak menampakkan gigi dan matanya mengecil. “Mungkin naksir kali Rif”

“Bisa jadi Der”, Arif tertawa kecil. “Kau kan dari dulu emang banyak yang naksir. Kau nya aja yang gak pernah ngerespon”

“Udah lah, cepat selesaikan!. Cepat pulang. Udah malam. Aku ngantuk”.

 ***

Lidya tak bisa menahan terlalu lama rasa yang menggelora di dalam hatinya. Anak panah sudah siap berada pada busurnya. Hanya tinggal ditarik dan kemudian dilepaskan. Semua akun media sosial Deri sudah diikutinya, dari mulai facebook, twitter, instagram bahkan google plus. Undangan Blackberry messenger sudah diterima oleh Deri. Lidya hanya tinggal memulai untuk berkenalan.

Sikap Deri memang selalu acuh, terutama kepada orang yang baru dikenalnya. Ratusan like dari Lidya di media sosial tidak berpengaruh sama sekali untuk Deri agar mau melihat siapa yang melakukan hal tersebut. Beberapa komentar di instagram juga tak dibalas oleh Deri, karena mungkin komentarnya hanya sekedar pujian seperti ‘bagus’, ‘keren’, ‘mantap’, ‘semangat’ dan sebagainya. Jalan terakhir tentunya adalah ngobrol secara personal di ruang obrolan di media sosial.

“Assalamu’alaikum”, Lidya memulai

Agak lama Deri membalas, “Wa’alaikum salam. Ini siapa?”

Lidya jadi kewalahan untuk menyebutkan siapa dirinya. Tentu saja ini akan berlanjut kepada pertanyaan-pertanyaan lain, seperti : ‘Lidya yang  mana ya?’, ‘jurusan apa?’, ‘semester berapa?’, ‘tinggal dimana?’ dan sebagainya. Namun, seperti magnet, tentu tidak akan puas bila hanya sekedar berhenti di situ saja.

“Ini Lidya. Satu jurusan sama abang; jurusan ekonomi Islam. Tapi beda semester”.

“Oh......emang semester berapa?”

“Semester empat”.

Akhirnya perkenalan itu berlanjut dan berlangsung begitu hangatnya. Hari demi hari dua kutub berlawanan itu semakin kuat menarik. Orang seperti Deri pun; yang sering mengabaikan gadis yang menyukainya, kini terpincut untuk lebih serius dengan sosok gadis seperti Lidya.

  ***

Lidya adalah gadis yang spesial dimata Deri. Berbeda dengan gadis kebanyakan. Lidya selalu mengenakan busana yang syar’i. Ia terlihat cantik dengan balutan khimar dan jilbab yang dikenakannya. Kulit wajahnya yang putih gading selalu serasi dengan jenis warna khimar yang ia kenakan. Pastinya wanita paham dengan warna, berbeda dengan pria. Bentuk wajahnya oval dengan hidung yang mencuat sempurna. Matanya indah seperti kacang almond dengan jarak antar kedua mata yang agak sempit. Bibir tipisnya begitu indah ketika tersenyum, ditambah dengan lesung pipi di sebelah kanan pipinya. Dengan paduan sempurna diatas, ia terlihat seperti sosok gadis yang begitu anggun. Deri tak mungkin dan tak pernah terifikirkan akan melepas sosok indah tersebut.

 ***

“Dya, kamu akhir-akhir ini kelihatan beda”, Shofya memulai pembicaraan. Saat itu Lidya sedang mengemaskan buku-buku yang ada di meja belajarnya.

“Gak kok kak. Dya biasa-biasa aja”.

“Kamu udah jarang tahajud. Kamu sering-sering senyum sendiri, kadang tampak kesel malahan kalau udah liat smartphone. Abis itu kamu juga sering ngeluh kan tentang hafalanmu”.

Lidya merasa apa yang diucapkan kakaknya tidak ada yang salah sedikitpun. Baginya mungkin sikap dan perilakunya tidak ada yang berubah, karena ia sendiri yang melakukan hal tersebut. Tapi bagi kakaknya, kepeduliannya pasti dapat membawanya membaca perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya. Lidya mengalami dilema; di satu sisi ia memang mengeluhkan ibadahnya yang merosot, namun di sisi lain, dia tidak mungkin menceritakan sosok Deri kepada kakaknya.

“Dya, semangat ibadah yang turun itu sering disebabkan satu hal, yaitu maksiat. Kan sering ustadzah ngomong kayak gitu waktu di pesantren. Jangan sampai turunnya semangat ibadah adek karena satu hal itu; maksiat”.

Lidya hanya tertunduk diam di kursi belajarnya. Ia memikirkan bahwa bisa jadi hilangnya hafalan dan susahnya ia menghafal Qur’an karena maksiat; pacaran. Ia tidak bisa memendam rahasia ini terus kepada kakaknya. Ia harus segera menceritakannya. Karena wanita tak bisa kuat dengan perasaan yang dipendam, apalagi jika disampingnya ada seseorang kakak seperti Shofya.

“Kak, Dya boleh cerita gak?”, tanya Lidya yang berjalan menghampiri kakaknya dan duduk di sebelah kakaknya. Lidya kemudian membaringkan kepalanya ke pundak Shofya.

“Ya boleh lah Dya”, jawab Shofya sambil mengusap bahu adiknya.

“Aku.....”, Lidya agak ragu untuk melanjutkan. Bukan perasaan takut, tapi lebih kepada perasaan tak enak dan setengah malu.

“Kamu ngapa Dya?”

“Aku udah punya pacar kak”, Lidya mengangkat kepalanya. Air mulai menggenang di kedua bola matanya. 

Shofya tak begitu terkejut. Ia sudah menduga dari awal, bahwa adiknya pasti berubah karena ada seorang lelaki yang masuk dalam kehidupannya. Shofya harus berpikir untuk memilih kalimat yang pas agar tidak terlihat seperti memarahi sikap adiknya itu.

“Kamu tau kan Dya, pacaran gak boleh. Dilarang dalam agama kita”. ucap Shofya pelan seperti ibu yang sedang menasehati anaknya dengan lembut.

Lidya hanya mengangguk. Shofya membelai wajah Lidya dan menghalau air yang mengalir perlahan dari kedua bola mata Lidya dengan jarinya.

“Dya. Rasa cinta itu pasti ada pada setiap orang. Jangankan manusia, makhluk hidup lain seperti hewan saja punya. Cinta itu anugrah. Tapi bagi manusia, terutama kita yang beragama Islam, tidak bisa sembarangan untuk mengungkapkan rasa itu. Dalam islam sudah ada aturan dan caranya”. Shofya mengusap rambut adiknya. “Hanya ada dua pilihan sekarang, kamu menikah dengannya -itu artinya kita akan ngobrol sama ayah dan ibu- atau kamu meninggalkannya?”

“Aku masih belum ingin menikah kak, aku masih pengen kuliah”, jawab Lidya lirih

“Berarti kamu harus putusin dia”, ucap Shofya lembut.

“Tapi dia baik kak”.

“Dya, terkadang banyak gadis seperti kamu yang baru sadar bahwa pacaran itu gak baik setelah disakiti. Mereka akan berubah setelah mereka tau pacarnya buruk dan berandalan. Kadang mereka berubahnya juga gak bakal lama. Setelah itu mereka pacaran lagi. Kamu tau kenapa?”, tanya Shofya pelan

Lidya menggeleng.

“Karena mereka berubah bukan karena Allah. Mereka berhenti pacaran hanya karena mereka belum menemukan sosok yang baik. Padahal aktivitas mereka itu saja sudah buruk. Bagaimana mungkin muncul kebaikan dalam sesuatu yang buruk?”

Lidya memeluk kakaknya.

“Berubahlah karena Allah. Itu artinya, kamu harus berhenti walau kamu belum pernah disakiti oleh pacarmu”.

Lidya semakin memeluk erat kakaknya.

“Kalau dia memang jodohmu, ada saatnya nanti. Saat dia dan kamu sudah siap.”

 ***
 
Semenjak itu, Lidya tak pernah lagi menghubungi Deri. Kakaknya; Shofya, yang mengajarinya untuk meninggalkan Deri. Semua hal berkaitan dengan Deri disingkarkan; nomor handphone, media sosial, dan sebagainya. Shofya menyarankan Lidya untuk meninggalkan Deri, bahkan tanpa pesan dan penjelasan. Shofya tak mau adiknya luluh lagi oleh sikap Deri, sehingga memperpanjang urusan. Tentu saja jika Lidya menyampaikan kata “putus” kepada Deri, maka Deri minta penjelasan. Jika Deri sudah minta penjelasan, maka Lidya harus memberi alasan. Hal seperti inilah yang diarasa Shofya bisa memperpanjang urusan. Bahkan bisa berujung pada kata “maaf” dan “balikan”.

Deri yang tak mengetahui alasan apapun dari Lidya yang meninggalkannya begitu saja, tentu merasa benar-benar kehilangan. Sosok gadis yang ia rasa begitu sempurna kini hilang begitu saja, tanpa ada seberkas tanda dan kata “putus”. 

Lidya pun merasakan hal yang sama. Sulit untuknya menghapus rasa itu.

Namun, semakin lama, rasa itu semakin memudar. Dalam hal ini, rasa itu seperti larutan gula. Semakin banyak air yang dicampur dalam larutan gula, maka akan semakin hilang rasa manisnya. Semakin Lidya menambahkan larutan ibadah dan qur’an dalam hidupnya, maka semakin ia melupakan rasa sukanya kepada Deri.


***
 
Di tengah perjalanan dengan motornya itu -setelah ia bisa lepas dari kejaran Deri-, Lidya tanpa terasa meneteskan air mata. Ia menangis dan terharu bukan karena Deri masih mencintainya, tapi karena Allah telah memberinya kekuatan untuk bisa lepas dari sebuah maksiat yang dilarangNya. Sesuatu yang tak mudah bagi gadis seusianya.


Share:

0 komentar:

Posting Komentar