Dya........Lidya.................
Deri
dengan segera mengejar Lidya yang kebetulan ditemuinya di kampus. Jangankan menoleh,
Lidya malah mempercepat langkahnya seperti setengah berlari. Namun secepat
apapun Lidya berjalan, Deri dengan lebih sigap lagi menuju ke arahnya bahkan
dengan berlari.
“Lidya,
kamu kenapa?”, tanya Deri dari belakang sambil berlari kecil mengejar Lidya.
Lidya tak
menjawab. Dia semakin mempercepat jalannya seolah ada orang yang berniat
membunuhnya dari belakang. Khimar berwarna dusty pink yang ia kenakan
melambai-lambai tertiup angin. Lambaian khimarnya bukan pertanda agar Deri datang
kepadanya, tapi lebih terlihat sebagai sinyal pengusiran agar Deri pergi
menjauh.
Deri menangkap
tangan Lidya, “Lidya”.
Namun
dengan cepat Lidya melepaskannya, seperti setengah memberontak. “Lepas Der!”.
“Kamu
kenapa Lidya?”, bujuk Deri. “Kalau ada yang salah dari aku, bilang!. Jangan
diam-diam gak jelas kayak gini!”.
Lidya
masih tak menjawab. Ia berjalan ke arah motornya yang ada di parkiran. Sampai
di motor, ia langsung mengenakan helm dan bersiap untuk pergi. Tatapan matanya
tajam seperti petir yang siap menyambar. Mulutnya tertutup rapat pertanda bahwa
ia tak akan pernah bicara lagi. Tanpa konfirmasi, ia langsung menstarter
motornya dan pergi begitu saja. Tak ada pertanda damai sedikitpun.
Deri
semakin kesal dan tak mengerti apa yang telah terjadi pada Lidya. Dia kembali
memikirkan hari-hari sebelumnya, kesalahan apa yang telah diperbuatnya. Tapi tak
satupun terbesit dalam pikirannya -tentang kesalahan-kesalahan masa lalu- yang
bisa membuat Lidya bertindak seperti itu.
***
Sejak
tiga minggu yang lalu Lidya menampakkan sikap yang aneh kepada Deri. Telepon dan
sms tak pernah diangkat dan dibalas, bahkan akun media sosial sudah diblokir.
Deri juga semakin jarang -bahkan saat tiga minggu terakhir itu tak pernah lagi-
menjumpai Lidya. Hari itulah -saat Lidya keluar dari salah satu ruangan kelas
di kampus- pertama kali Deri melihat Lidya. Kesempatan itu tidak ia buang
sia-sia, Deri bergegas mengejar Lidya untuk meminta penjelasan. Namun Lidya tak
memberi sedikitpun pennjelasan.
***
“Kak, kok
Dya makin susah ya ngafal Qur’an nya?”, Lidya meraih tangan kakaknya dan
merengek seperti bocah kecil.
“La, kok
bisa?”, tanya kakaknya.
Kakaknya;
Shofya. Shofya dan Lidya adalah alumni pesantren. Sejak pesantren, mereka
berdua diajarkan ilmu agama termasuk menghafal Qur’an. Shofya hanya lebih empat
tahun dari Lidya; adiknya. Sebagai kakak-adik yang sudah lama bersama, mereka
tak pernah saling menyimpan rahasia. Apa yang dirasakan, dilakukan, didengarkan
oleh Lidya selalu ia ceritakan kepada kakanya. Begitu pula sebaliknya. Tapi satu
hal yang tak bisa Lidya ceritakan pada kakanya adalah mengenai hubungannya
dengan Deri.
“Gak tau
ni kak. Rasanya gak mampu lagi mau menghafal. Hafalan yang udah ada juga hampir
lupa”.
“Udah,
kalau emang lagi badmood gak usah ngafal dulu. Ilmu yang dipaksain masuk
gak bakal bisa masuk. Gitu juga al-Qur’an. Kan udah sering dibilang sama
ustadzah waktu dipondok dulu”.
Akhirnya Lidya
membaringkan dirinya diatas kasur. Ia terlihat begitu cemberut. Kakaknya
mendekati dan mengusap kepalanya. Jari-jemari Shofya yang lembut itu mulai membelai
kepala adiknya, sehingga tak lama setelah itu, Lidya pun terlelap.
Shofya
sangat tau bahwa masalah adiknya tidak hanya badmood atau sedang tidak
lagi konsentrasi menghafal. Sudah sekitar dua bulan ia melihat ada sesuatu yang
berubah dari adiknya. Ia sering mendapati Lidya senyum-senyum sendiri saat
memainkan smartphone. Lidya yang dulunya sering tahajud dan sering membangunkan
kakaknya, sekarang jadi jarang. Bahkan beberapa malam –semenjak dua bulan lalu
itu- Lidya sering meninggalkan kebiasaanya waktu di pesantren itu; sholat
tahajud. Dan masalah yang terakhir ini –susah menghafal Quran dan hilangnya
hafalan- cukup membuat Shofya harus mencari tau masalah yang dihadapi adiknya.
***
Pagi itu,
di saat perkuliahan sedang berlangsung. Tiba-tiba beberapa anggota himpunan
mahasiswa jurusan memasuki ruangan kelas. Salah satu dari beberapa orang itu
adalah Deri; selaku ketua himpunan mahasiswa jurusan. Deri menyampaikan berita
wafatnya salah seorang dosen senior di kampus tersebut, sekaligus meminta
sumbangan secara sukarela kepada setiap mahasiswa-mahasiswi yang ada di kelas.
Melihat
sosok Deri, Lidya merasakan ada getaran jiwa yang tak biasa. Cara Deri menyampaikan
belasungkawa, sikap Deri yang berwibawa dan sopan, tutur katanya yang lembut,
serta senyumnya yang ramah membuat Lidya terbuai seperti sedang berada di bawah
pohon yang teduh dan menikmati angin beraroma mint yang berhembus pelan.
Tidak hanya itu, wajahnya yang rupawan berbentuk diamond, hidungnya yang
mancung dan matanya yang teduh menambah kesempurnaan sosok yang diperhatikannya itu.
“Lidya”,
tegur Azizah yang duduk di sampingnya. “Eh malah melamun”, Azizah langsung
tertawa cekikikan. “Tu.....nyumbang gak?”, tanya Azizah sambil menunjuk dengan
memajukan dagunya menghadap kotak sumbangan yang sudah ada di samping Lidya.
Lidya
menoleh ke arah kotak sumbangan yang ternyata sudah ada disamping bahunya. Ia
baru menyadari kalau lamunannya itu membuat seorang gadis yang telah berada di
sampingnya –sambil membawa kotak sumbangan- menunggu agak lama.
“Sori”,
Lidya meminta maaf dan mengambil dompet di dalam tasnya seraya mengeluarkan
uang kertas. Ia pun memasukkan beberapa lembaran uang kertas ke dalam kotak
sumbangan tersebut.
“Terima
kasih” ucap gadis yang membawa kotak sambil tersenyum manis
“Iya
sama-sama”, Lidya agak sedikit malu dengan kejadian barusan.
“Ngelamunin
apa sih Dya?”, tanya Azizah dengan sedikit tersenyum. Kedua alisnya ikut
terangkat.
Lidya
menoleh tapi tak menjawab. Ia hanya tersenyum malu sambil membuka tutup buku
kuliahnya. Tapi matanya kemudian cepat beralih pada Deri yang masih menunggu
kotak sumbangan yang sedang dijalankan.
Azizah
melihat arah pandangan Lidya yang ternyata menuju Deri. “Oh aku tau” Azizah pun
kembali memanggil Lidya dengan memukulkan pulpennya ke lengan Lidya. “Ngelamunin
yang di depan ya?”. Tanya Azizah dengan senyum terbuka karena merasa ada yang
lucu dari tingkah kawannya itu.
Lidya
menoleh dan tersenyum dengan mulut tertutup.
“Eh anak
ini udah gila apa ya?”, Azizah keheranan.
***
“Lidya kawankan
Zizah ke perpus yok”, pinta Azizah.
“Ngapain?”
“Aku
pengen ngembalikan buku ni”, jawab Azizah sambil memperlihatkan dua buku yang
ada di tangan kanannya; sebuah buku Fiqih Wanita dan buku Ekonomi Islam.
“Abis itu
kita ke kantin. Zizah traktir deh. Yok, yok, yok!.”, Azizah menarik-narik
tangan Lidya seperti bocah yang pengen minta dibelikan mainan.
“Hmmm,
okelah”
Setelah
mereka mengembalikan buku di perpustakaan, mereka pun pergi menuju kantin
langganannya. Tak banyak yang ke kantin siang itu, mungkin karena masih banyak
yang kuliah di kelas.
“Kamu
pesan apa?” tanya Azizah
“Sari
kacang aja Zah”
Azizah
menghampiri pelayan kantin yang sedang menyiapkan pesanan pembeli, “Sari kacang
satu, sama jus wortel satu ya kak”.
“Ok neng”
sahut pelayan kantin.
“Makan
gak Dya?” tanya Azizah
Lidya tak
menoleh. Dia seperti sedang fokus menatap seseorang di depannya. Azizah yang
merasa pertanyaannya dicuekin pun turut melihat ke arah pandangan Lidya.
Ternyata pandangan Lidya mengarah ke kantin sebelah. Terlihat sosok Deri dengan
kawan-kawannya yang baru duduk dan memesan minum di kantin itu.
Azizah
langsung duduk di depan Lidya dan menutup pandangannya. “Eh melamun lagi”,
sergap Azizah dan tersenyum meringis.
Lidya
tersenyum malu, “Gak kok”.
“Eleh-eleh,
gak apanya” Azizah beranjak dari bangku dan mengambil posisi di samping Lidya.
“Kamu pasti mandangin Deri kan?” Azizah berbicara seperti berbisik, begitu
pelan.
Pelayan
kantin datang dan mengantar pesanan minuman mereka. “Ni neng pesanannya”.
“Makasih
kak”, ucap Azizah yang kemudian diikuti oleh Lidya.
Azizah
pun membalikkan pembicaraan ke semula. “kalau naksir bilang naksir. Jangan
dipendam, nanti sakit tau”.
“Ngomongnya
nanti aja Zah, jangan disini”, Lidya mencubit tangan Azizah karena saking
geramnya.
“Oke-oke.
Nanti curhat ya!. Kalau kamu emang pengen dekat sama Deri, aku ada teman kok
yang akrab sama dia. Nanti aku minta kontak Deri sama dia. Mau gak?”, bisik
Azizah pelan sambil menyikut bahu Lidya.
Lidya
pura-pura tidak menanggapi tawaran Azizah, tapi telinganya begitu awas dengan
tawaran itu. Ia merasa ada kesempatan untuk bisa berkenalan lebih jauh dengan
Deri. Ia menyimpan betul informasi yang diberikan Azizah.
Siapa
yang mampu menahan derasnya rasa cinta dan rasa suka terhadap seseorang. Hampir
kebanyakan orang tidak akan mampu. Rasa cinta dan rasa suka itu seperti anak
panah yang pasti melesat menuju targetnya. Rasa cinta dan rasa suka -antara
pria dan wanita- itu juga seperti magnet yang memiliki kutub utara dan kutub
selatan, keduanya memang berbeda, tapi akan saling tarik menarik bila
didekatkan. Maka hanya dengan mendekatkannya, maka mereka akan bersatu. Hanya dengan
melepaskan anak panah itu, maka dia akan melesat.
Lidya
yang sedari awal tertarik dengan Deri tak mampu lagi menahan busur dan anak
panah yang digenggamnya. Kesempatan terbuka yang diberikan oleh Azizah langsung
disambarnya. Lidya pun mendapati alamat (username) facebook, twitter,
instagram, BBM, dan Line bahkan nomor handphone Deri. Tapi ia masih ragu untuk
melanjutkan sambaran itu hingga sampai ke papan target. Sebagai wanita, apalagi
yang seperti dirinya, tentu tak elok untuk terlebih dahulu mengungkapkan rasa
suka.
***
Setelah
rapat anggota yang diadakan himpunan mahasiswa jurusan, Deri dan Arif mulai mengemaskan
ruangan. Mereka berdua memungut gelas air mineral dan plastik bekas gorengan
serta menyapu ruangan yang tidak terlalu besar itu.
“Berarti
besok kita udah harus siap-siap Der untuk kegiatan itu. Kegiatan ini kan
lumayan besar”, kata Arif memecah keheningan saat membersihkan ruangan.
“Ya,
besok kita udah boleh mulai bersiap-siap”
Hening sejenak.
“Oh ya
Der, kemaren adak adek tingkat yang minta kontak kau tu. Gak tau buat apa. Selain
nomor handphone, dia juga minta alamat media sosial kau Der”.
“Trus
kamu kasi?”
“Iyalah,
soalnya dia teman aku juga. Tapi dia bilang sih untuk temannya”.
Deri
hanya tersenyum lepas namun tak menampakkan gigi dan matanya mengecil. “Mungkin
naksir kali Rif”
“Bisa jadi
Der”, Arif tertawa kecil. “Kau kan dari dulu emang banyak yang naksir. Kau nya
aja yang gak pernah ngerespon”
“Udah
lah, cepat selesaikan!. Cepat pulang. Udah malam. Aku ngantuk”.
***
Lidya tak
bisa menahan terlalu lama rasa yang menggelora di dalam hatinya. Anak panah
sudah siap berada pada busurnya. Hanya tinggal ditarik dan kemudian dilepaskan.
Semua akun media sosial Deri sudah diikutinya, dari mulai facebook, twitter,
instagram bahkan google plus. Undangan Blackberry messenger sudah
diterima oleh Deri. Lidya hanya tinggal memulai untuk berkenalan.
Sikap
Deri memang selalu acuh, terutama kepada orang yang baru dikenalnya. Ratusan like
dari Lidya di media sosial tidak berpengaruh sama sekali untuk Deri agar mau
melihat siapa yang melakukan hal tersebut. Beberapa komentar di instagram juga
tak dibalas oleh Deri, karena mungkin komentarnya hanya sekedar pujian seperti
‘bagus’, ‘keren’, ‘mantap’, ‘semangat’ dan sebagainya. Jalan terakhir tentunya
adalah ngobrol secara personal di ruang obrolan di media sosial.
“Assalamu’alaikum”,
Lidya memulai
Agak lama
Deri membalas, “Wa’alaikum salam. Ini siapa?”
Lidya
jadi kewalahan untuk menyebutkan siapa dirinya. Tentu saja ini akan berlanjut
kepada pertanyaan-pertanyaan lain, seperti : ‘Lidya yang mana ya?’, ‘jurusan apa?’, ‘semester
berapa?’, ‘tinggal dimana?’ dan sebagainya. Namun, seperti magnet, tentu tidak
akan puas bila hanya sekedar berhenti di situ saja.
“Ini
Lidya. Satu jurusan sama abang; jurusan ekonomi Islam. Tapi beda semester”.
“Oh......emang
semester berapa?”
“Semester
empat”.
Akhirnya
perkenalan itu berlanjut dan berlangsung begitu hangatnya. Hari demi hari dua
kutub berlawanan itu semakin kuat menarik. Orang seperti Deri pun; yang sering
mengabaikan gadis yang menyukainya, kini terpincut untuk lebih serius dengan
sosok gadis seperti Lidya.
***
Lidya
adalah gadis yang spesial dimata Deri. Berbeda dengan gadis kebanyakan. Lidya
selalu mengenakan busana yang syar’i. Ia terlihat cantik dengan balutan khimar
dan jilbab yang dikenakannya. Kulit wajahnya yang putih gading selalu serasi
dengan jenis warna khimar yang ia kenakan. Pastinya wanita paham dengan warna,
berbeda dengan pria. Bentuk wajahnya oval dengan hidung yang mencuat sempurna.
Matanya indah seperti kacang almond dengan jarak antar kedua mata yang agak
sempit. Bibir tipisnya begitu indah ketika tersenyum, ditambah dengan lesung
pipi di sebelah kanan pipinya. Dengan paduan sempurna diatas, ia terlihat
seperti sosok gadis yang begitu anggun. Deri tak mungkin dan tak pernah terifikirkan
akan melepas sosok indah tersebut.
***
“Dya,
kamu akhir-akhir ini kelihatan beda”, Shofya memulai pembicaraan. Saat itu
Lidya sedang mengemaskan buku-buku yang ada di meja belajarnya.
“Gak kok
kak. Dya biasa-biasa aja”.
“Kamu
udah jarang tahajud. Kamu sering-sering senyum sendiri, kadang tampak kesel
malahan kalau udah liat smartphone. Abis itu kamu juga sering ngeluh kan
tentang hafalanmu”.
Lidya
merasa apa yang diucapkan kakaknya tidak ada yang salah sedikitpun. Baginya
mungkin sikap dan perilakunya tidak ada yang berubah, karena ia sendiri yang
melakukan hal tersebut. Tapi bagi kakaknya, kepeduliannya pasti dapat
membawanya membaca perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya. Lidya
mengalami dilema; di satu sisi ia memang mengeluhkan ibadahnya yang merosot,
namun di sisi lain, dia tidak mungkin menceritakan sosok Deri kepada kakaknya.
“Dya,
semangat ibadah yang turun itu sering disebabkan satu hal, yaitu maksiat. Kan
sering ustadzah ngomong kayak gitu waktu di pesantren. Jangan sampai turunnya
semangat ibadah adek karena satu hal itu; maksiat”.
Lidya
hanya tertunduk diam di kursi belajarnya. Ia memikirkan bahwa bisa jadi
hilangnya hafalan dan susahnya ia menghafal Qur’an karena maksiat; pacaran. Ia
tidak bisa memendam rahasia ini terus kepada kakaknya. Ia harus segera
menceritakannya. Karena wanita tak bisa kuat dengan perasaan yang dipendam,
apalagi jika disampingnya ada seseorang kakak seperti Shofya.
“Kak, Dya
boleh cerita gak?”, tanya Lidya yang berjalan menghampiri kakaknya dan duduk di
sebelah kakaknya. Lidya kemudian membaringkan kepalanya ke pundak Shofya.
“Ya boleh
lah Dya”, jawab Shofya sambil mengusap bahu adiknya.
“Aku.....”,
Lidya agak ragu untuk melanjutkan. Bukan perasaan takut, tapi lebih kepada
perasaan tak enak dan setengah malu.
“Kamu
ngapa Dya?”
“Aku udah
punya pacar kak”, Lidya mengangkat kepalanya. Air mulai menggenang di kedua
bola matanya.
Shofya
tak begitu terkejut. Ia sudah menduga dari awal, bahwa adiknya pasti berubah
karena ada seorang lelaki yang masuk dalam kehidupannya. Shofya harus berpikir
untuk memilih kalimat yang pas agar tidak terlihat seperti memarahi sikap
adiknya itu.
“Kamu tau
kan Dya, pacaran gak boleh. Dilarang dalam agama kita”. ucap Shofya pelan
seperti ibu yang sedang menasehati anaknya dengan lembut.
Lidya
hanya mengangguk. Shofya membelai wajah Lidya dan menghalau air yang mengalir
perlahan dari kedua bola mata Lidya dengan jarinya.
“Dya.
Rasa cinta itu pasti ada pada setiap orang. Jangankan manusia, makhluk hidup
lain seperti hewan saja punya. Cinta itu anugrah. Tapi bagi manusia, terutama
kita yang beragama Islam, tidak bisa sembarangan untuk mengungkapkan rasa itu.
Dalam islam sudah ada aturan dan caranya”. Shofya mengusap rambut adiknya. “Hanya
ada dua pilihan sekarang, kamu menikah dengannya -itu artinya kita akan ngobrol
sama ayah dan ibu- atau kamu meninggalkannya?”
“Aku
masih belum ingin menikah kak, aku masih pengen kuliah”, jawab Lidya lirih
“Berarti
kamu harus putusin dia”, ucap Shofya lembut.
“Tapi dia
baik kak”.
“Dya,
terkadang banyak gadis seperti kamu yang baru sadar bahwa pacaran itu gak baik
setelah disakiti. Mereka akan berubah setelah mereka tau pacarnya buruk dan
berandalan. Kadang mereka berubahnya juga gak bakal lama. Setelah itu mereka
pacaran lagi. Kamu tau kenapa?”, tanya Shofya pelan
Lidya
menggeleng.
“Karena
mereka berubah bukan karena Allah. Mereka berhenti pacaran hanya karena mereka
belum menemukan sosok yang baik. Padahal aktivitas mereka itu saja sudah buruk.
Bagaimana mungkin muncul kebaikan dalam sesuatu yang buruk?”
Lidya
memeluk kakaknya.
“Berubahlah
karena Allah. Itu artinya, kamu harus berhenti walau kamu belum pernah disakiti
oleh pacarmu”.
Lidya
semakin memeluk erat kakaknya.
“Kalau
dia memang jodohmu, ada saatnya nanti. Saat dia dan kamu sudah siap.”
Semenjak itu,
Lidya tak pernah lagi menghubungi Deri. Kakaknya; Shofya, yang mengajarinya
untuk meninggalkan Deri. Semua hal berkaitan dengan Deri disingkarkan; nomor
handphone, media sosial, dan sebagainya. Shofya menyarankan Lidya untuk
meninggalkan Deri, bahkan tanpa pesan dan penjelasan. Shofya tak mau adiknya
luluh lagi oleh sikap Deri, sehingga memperpanjang urusan. Tentu saja jika
Lidya menyampaikan kata “putus” kepada Deri, maka Deri minta penjelasan. Jika Deri
sudah minta penjelasan, maka Lidya harus memberi alasan. Hal seperti inilah
yang diarasa Shofya bisa memperpanjang urusan. Bahkan bisa berujung pada kata “maaf”
dan “balikan”.
Deri yang
tak mengetahui alasan apapun dari Lidya yang meninggalkannya begitu saja, tentu
merasa benar-benar kehilangan. Sosok gadis yang ia rasa begitu sempurna kini
hilang begitu saja, tanpa ada seberkas tanda dan kata “putus”.
Lidya pun merasakan hal yang sama. Sulit untuknya menghapus rasa itu.
Lidya pun merasakan hal yang sama. Sulit untuknya menghapus rasa itu.
Namun,
semakin lama, rasa itu semakin memudar. Dalam hal ini, rasa itu seperti larutan
gula. Semakin banyak air yang dicampur dalam larutan gula, maka akan semakin
hilang rasa manisnya. Semakin Lidya menambahkan larutan ibadah dan qur’an dalam
hidupnya, maka semakin ia melupakan rasa sukanya kepada Deri.
***
Di tengah
perjalanan dengan motornya itu -setelah ia bisa lepas dari kejaran Deri-, Lidya
tanpa terasa meneteskan air mata. Ia menangis dan terharu bukan karena Deri
masih mencintainya, tapi karena Allah telah memberinya kekuatan untuk bisa
lepas dari sebuah maksiat yang dilarangNya. Sesuatu yang tak mudah bagi gadis seusianya.
0 komentar:
Posting Komentar