Hembusan
angin malam masuk melewati celah jendela yang sedikit terbuka. Dinginnya
menusuk hingga ke tulang. Hujan gerimis membasahi dedaunan rindang di alam. Tempiasnya
membasahi kaca jendela. Tiap tetes air yang turun membuat garis sambil membersihkan
debu yang lengket. Aku duduk tersandar di sebuah kursi kayu, menatap langit
gelap tanpa bintang. Pikiranku melayang, membuka memori lama yang terpendam. Setiap
kilasan memutar balik, seperti film yang sedang diprevious. Dan akhirnya
terhenti pada dirinya.
Aku masih
belum bisa melupakannya. Saat pertama ia bertanya kepadaku tentang masa laluku.
Senyumnya masih teriang-iang di kepalaku. Hari itu, momen itu, dan kala itu,
adalah pertemuanku dengan seorang yang aku rasa akan menjadi bagian coretan
masa depanku. Ketika aku melihatnya, aku melihat sesuatu yang berbeda,
tingkahnya, cara bicaranya, bahkan caranya menyampaikan rasa.
Kawanku
sering bilang, bahwa aku orang yang misterius. Tapi dia lebih misterius dari
diriku. Geraknya tak pernah terbaca, perasaannya tak pernah kutau, emosinya tak
pernah terlihat jujur, bahkan kepergiannya tak pernah kusadari sebelumnya. Tak
banyak orang sepertinya. Mungkin inilah yang membuatku mengingat sejenak memori
lama malam ini.
Dia
pernah bilang bahwa aku orang pertama yang singgah dihatinya. Tapi dia tidak
pernah tau bahwa dia adalah orang pertama yang bisa membuatku untuk menulis
terus tentangnya. Dia pernah bilang bahwa aku adalah orang yang terlama yang
pernah memiliki hatinya. Tapi dia tidak pernah tau bahwa dialah orang yang
terlama untuk bisa kulupakan dan kuhilangkan dari ingatan ini.
Aku
selalu percaya, percaya dengan waktu yang akan terus mengubah hidup manusia.
Aku juga percaya, bahwa waktu terkadang selalu mengubah sebuah harapan. malam
ini, semua masa lalu itu hanya menjadi kenangan. Waktu, waktulah yang
membuatnya seperti itu. Aku tak pernah lagi ingin mengusik kehidupannya. Biarlah
dia dewasa dengan kehidupannya. Walau dia tidak seperti dulu lagi, tapi aku masih
menggenggam harapan itu. Akan terus kusimpan di dalam hatiku yang terdalam.
Aku
sadar, garis takdir bukan diukir oleh manusia. Dia seperti sebuah layangan yang
dikendalikan, dan aku juga sebuah layangan yang arahku juga ditentukan. Selama
pengendali tak menyadingkanku di atas awan yang diterpa hembusan angin yang
kuat, maka aku tak bisa bersanding. Aku tak pernah tau lagi apa kabarnya saat
ini. bahkan aku tak ingin lagi mendengar tentangnya. Aku hanya ingin menyimpan
romantis sejarah masa lalunya. Ya.....dia cukup menjadi masa laluku. Bagiku itu
lebih dari sebuah pelajaran yang berarti, bahwa “tak selamanya yang kita
mimpikan menjadi kenyataan, tapi untuk mewujudkan suatu kenyataan kita perlu
bermimpi”.
0 komentar:
Posting Komentar