Selasa, 25 April 2017

DESA UPRICA



Saya akan bercerita tentang sebuah desa yang begitu subur, yang letaknya berada di dekat pegunungan. Saking suburnya, setiap potongan batang tanaman yang dilempar ke tanah pasti tumbuh, batang Singkong misalkan. Pernah suatu hari warga desa melempar potongan batang Kelapa setinggi satu meter ke tanah, dan ternyata tumbuh; tumbuh jamur. 

Tentu saja tumbuhnya berbagai macam tanaman akan memancing datangnya berbagai jenis hewan. Sehingga ada banyak hewan yang melakukan eksodus dari tempat asal menuju desa yang subur itu, seperti Gallus gallus, Artamus leucorynchus, Anax imperator, Bos taurus, Macaca dan masih banyak lagi yang lain. Sayangnya Unta tidak begitu tertarik untuk melakukan migrasi ke desa yang subur itu.

Tak jauh dari pegunungan dan desa itu terdapat sungai yang airnya luar biasa jernih. Saking jernihnya, kita bisa melihat ikan dan dasar sungai dari permukaan sungai. Namun kejernihan air sangat merugikan para pemancing. Apa sebab?, karena ikan dapat mengetahui makanan yang turun ke dalam sungai, apakah itu dari pemancing atau bukan. Mereka bisa melihat pemancing sebagaimana pemancing bisa melihat mereka.

Ternyata kejernihan air sangat berpengaruh terhadap kecerdasan dan kejernihan berpikir sang ikan. Hal ini pernah diteliti oleh teman saya yang berada di fakultas ilmu sosial dan politik. Ia sudah meneliti sebelum mengajukan judul tersebut ke ketua jurusan. Akhirnya, ketika judul itu hendak dijadikan tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana, judul itu ditolak, tentu saja dengan alasan klasik, yaitu sudah banyak yang meneliti hal tersebut.

Untuk itu, warga desa tidak pernah menangkap ikan dengan cara memancing, melainkan dengan menggunakan racun. Tentu saja itu berdampak buruk bagi ekosistem sungai, tapi siapa yang peduli?. Hanya ikan yang peduli. Untuk mewujudkan rasa kepedulian itu, saat ini para ikan sedang berencana untuk membuat hari bebas ikan sedunia. Rencananya, untuk memperingati hari itu, para ikan akan mengenakan kostum manusia seperti jas, baju kaos, dan sarung.

Karena dua hal itulah, yaitu tanah yang subur dan sungai yang jernih, maka desa itu diberi nama Uprica.

http://photo-blogaktiv.blogspot.co.id

Namun satu hal yang harus kita ketahui, daya tarik desa itu bukan hanya kesuburan tanahnya, bukan hanya sungainya yang jernih, bukan pula batang kelapa yang dilempar kemudian berjamur, tapi yang menjadi kemewahan di desa tersebut adalah adanya pertandingan luar biasa yang hanya diadakan sekali dalam empat setengah tahun. Kemeriahan pertandingan itu mengalahkan kemeriahan konser Coldplay di kota London, mengalahkan keseruan pertandingan Barcelona melawan Real Madrid, bahkan tak ada bandingnya dengan kedatangan Raja Salman ke Indonesia, lebih dari itu. Mengapa?, karena penduduk desa tidak tau itu semua, mereka tak punya televisi dan tak ada sambungan internet. Sehingga pertandingan itu adalah satu-satuya hiburan untuk mereka.

Pertandingan apa itu?.

Pertandingan itu adalah pertandingan mengeluarkan isi keong dari cangkangnya dengan menggunakan tangan kosong. Yang dimaksud tangan kosong disini bukan berarti tangan itu tidak ada penumpangnya, bukan!. Perumpamaan kosong dengan tidak ada penumpang itu hanya diperuntukkan bagi angkutan umum seperti bis. Maksud tangan kosong disini ialah dengan tanpa menggunakan alat bantu, seperti peniti, palu dan arit.

Sebenarnya yang membuat pertandingan ini sangat meriah, seru dan ditungu-tungu adalah karena sejarah atau latar belakang pertandingannya. Bahkan untuk sejarah dan latar belakang pertandingan itu sendiri terdapat tiga versi. 

Versi pertama, sekitar enam puluh tahun yang lalu, desa Uprica ini dijajah oleh bangsa Globe. Bangsa Globe ini punya ciri khas yang unik, kepala mereka berbentuk bulat, jari kaki dan tangan ada lima, rupa-rupa warnanya; hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru. Tubuh mereka besar dan kekar. Wajah mereka tampak garang, gigi mereka kuning dan agak tajam. Mereka adalah bangsa penjelajah. Mereka adalah bangsa yang selalu menuruti perintah sang Raja. Apapun yang diperintahkan oleh sang Raja, akan mereka laksanakan. Dan kabar buruknya, mereka adalah bangsa yang sombong dan tidak mau menghargai keberadaan bangsa lain, siapapun yang berada di luar dari bangsa mereka akan mereka habisi.

Suatu hari, sampailah bangsa Globe ini ke desa Uprica. Tanpa mengucapkan salam dan izin terlebih dahulu, mereka langsung menyerang warga desa Uprica dengan sangat brutal. Tentu saja warga desa Uprica melawan, segala kemampuan dikerahkan termasuk jurus melarikan diri. Karena semangat patriotisme dan anti imperialisme, warga desa Uprica bersatu untuk mengalahkan bangsa Globe, meskipun mereka akhirnya tersudut juga oleh kekuatan bangsa Globe.

Di tengah kezoliman itu, muncullah seorang ahli Ibadah dari desa Uprica yang bernama Ghazi. Ia turut melawan bangsa Globe hanya dengan bersenjatakan do’a. Namun siapa yang mengira, ternyata do’a yang terlantun dari mp3 milik sang ahli ibadah mampu mematikan bangsa Globe. Bangsa Globe mati tanpa merasa sakit, seolah nyawa mereka dicabut oleh angin dingin nan lembut yang berasal dari Syam yang akan mematikan orang mu’min sebelum hari kiamat.

Versi kedua, sebenarnya sama saja dengan versi pertama, bangsa Globe menyerang warga desa Uprica. Hanya saja penyelamat yang berhasil mengalahkan bangsa Globe di versi kedua ini bukanlah ahli Ibadah, melainkan orang pintar yang hampir setiap harinya menjilat cairan yang biasa digunakan orang untuk mengobati masuk angin. Orang pintar ini mengalahkan bangsa Globe bukan dengan senjata tajam seperti lidi runcing, petasan cabe atau meriam karbit, akan tetapi mereka –orang pintar- ini mengalahkan bangsa Globe dalam lomba cerdas cermat. 

Atas kesepakatan antara kepala desa Uprica dan Raja bangsa Globe, maka yang kalah dalam lomba cerdas cermat harus mati dengan cara membunuh diri mereka sendiri. Raja bangsa Globe setuju, pertandingan pun dimulai. Tak disangka, pertanyaan yang ditanyakan oleh dewan juri sangat sulit, seperti; soal trigonometri, dimensi 3, dan integral. Tak seperti yang mereka kira. Awalnya mereka kira soal yang keluar adalah soal cerdas cermat tahun lalu, ternyata bukan. Dan tentu saja bangsa Globe tidak bisa menjawab. Sementara orang pintar dari desa Uprica dengan mudah menjawab soal-soal tersebut, bukan karena mereka pintar matematika, melainkan karena mereka sudah diberi bocoran jawaban oleh dewan juri. “Sekali lagi, kecurangan ini demi keselamatan desa kita,” kata dewan juri. 

Karena kalah, bangsa Globe akhirnya bunuh diri atas perintah Raja mereka sendiri. Sementara sang Raja sendiri dibunuh oleh dewan juri, karena ia tak berani membunuh dirinya sendiri, “Phobia,” kata sang Raja.

Versi ketiga, sama dengan dua versi sebelumnya, yaitu diawali dengan serangan yang dilakukan oleh bangsa Globe. Dan untuk versi terakhir ini, yang mengalahkan bangsa Globe adalah seluruh warga desa, bukan ahli Ibadah dan bukan pula orang pintar. Dan menurut ahli sejarah desa Uprica, versi ketiga ini telah disepakati oleh keluarga si ahli sejarah saja. Sementara sebagian besar warga desa Uprica tidak sepakat dengan versi ketiga, mereka lebih memilih versi pertama atau versi kedua, dengan alasan versi pertama dan kedua itu lucu, sebagian besar warga desa Uprica suka yang lucu-lucu.

Dari ketiga versi itu, yang sangat urgen, yang menjadikan lahirnya pertandingan mengeluarkan isi keong dari cangkangnya adalah karena setelah bangsa Globe kalah, banyak keong yang bermigrasi ke desa Uprica dan mengganggu tanaman warga. Bagi mereka, keong-keong ini mengingatkan mereka kepada bangsa Globe yang pernah menyerang mereka dulunya. Untuk itulah, pertandingan mengeluarkan isi keong dari cangkangnya ini dijadikan simbol untuk mengingat perlawanan mereka terhadap bangsa Globe.

Karena sejarah dan latar belakang itulah, warga desa Uprica sangat antusias untuk menyelenggarakan dan memeriahkan pertandingan mengeluarkan keong dari cangkangnya.

Tahun ini, peserta pertandingan hanya ada dua orang. Satu warga desa asli Uprica dan satunya lagi warga pendatang yang berasal dari desa Wajingtown. Warga asli desa Uprica bernama Seina dan warga desa Wajingtown bernama Wajik. Seina dan Wajik sama-sama berusia empat puluh tahun, namun mereka memilik sifat dan kepribadian yang berbeda. Siena lebih murah senyum, cerdas dan jika berbicara, seluruh keong akan mengeluarkan busa dari cangkangnya. Sementara Wajik punya kepribadian yang keras, emosional, kasar dan mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi, namun ia lincah, gesit dan irit saat berkendara.

Atas dasar rapat desa secara terbuka, disepakatilah pertandingan megah ini akan dilaksanakan hari Kamis siang di lapangan sepak takraw. 

Di saat hari H, beberapa warga mendirikan warung-warung untuk berjualan makanan dan minuman ringan. Umbul-umbul dengan berbagai macam warna dipasang di sekitar area pertandingan. Wasit sudah bersiap di tepi lapangan, menggunakan seragam hijau dan tak lupa membawa kartu merah dan kuning untuk pelanggaran. Kartu kuning akan dikeluarkan apabila peserta tidak sarapan sebelum pertandingan, dan kartu merah baru akan dikeluarkan bila peserta dua kali terkena kartu kuning. Panita perlombaan tampak sibuk menyiapkan ember yang berisi sekitar seratusan keong. Beberapa panitia yang tidak kebagian tugas, terpaksa bersantai ria di warung sambil menggoda gadis-gadis yang sengaja menonton dengan tujuan ingin diperhatikan para lelaki. Untuk menambah kemeriahan, panitia -yang tidak tertarik menggoda gadis di warung- menghidupkan musik dangdut remix dengan menggunakan sound system yang mereka sewa dari desa SouthCore, desa yang letaknya seratus kilometer dari desa Uprica.

Siang harinya, tepat pukul 12.00 Wib pertandingan akan dimulai, wasit sudah berdiri di area pertandingan dengan peluit di mulut. Namun pertandingan itu gagal dimulai karena ada seorang ustadz kondang yang lewat di lapangan dan meminjam mikropon panitia, ia berceramah tentang keutamaan sholat berjama’ah dan menyeru warga untuk pergi ke Masjid. Para warga yang ada di lapangan pun bubar dan datang ke Masjid untuk sholat Dzuhur berjama’ah, terkhusus kepada warga yang muslim. Setelah Sholat berjama’ah barulah warga bertebaran di muka bumi untuk kembali ke lapangan, memulai pertandingan. Ustadz kondang pun ikut menyakiskan pertandingan. Ia duduk di atas kursi plastik berwarna hijau, tak jauh dari Wajik.

Tepat pukul 13.00 wib pertandingan dimulai. Siena tampak tenang ketika mengeluarkan isi keong dari cangkangnya. Siena selalu melakukan izin terlebih dahulu kepada keong sebelum mengeluarkan ia dari cangkangnya, bila tidak diizinkan untuk dicungkil, maka Siena tidak akan mencungkilnya. Sementara Wajik, ia tidak pernah izin sebelum mencungkil. “Ini adalah pertandingan, bukan penggusuran lahan,” seru Wajik, “hingga harus pake izin segala.”

Setengah jam berlalu, Siena sudah mengumpulkan dua puluh isi keong, sementara Wajik hanya sepuluh isi keong. Waktu pertandingan masih tersisa satu setengah jam lagi, pas sampai azan Ashar berkumandang. Sebenarnya pertandingan baru akan selesai Maghrib, karena berhubung ada Ustadz kondang yang meyaksikan, dengan cukup terpaksa pertandingan harus sesuai dengan etika syariat.

Di tengah-tengah pertandingan, lagu dangdut remix makin terdengar nyaring, sehingga mengganggu konsentrasi Wajik yang tergolong ke dalam jenis manusia auditori. Karena itu pula, beberapa kali tangannya terluka akibat cangkang keong.

Hal itu tentu saja menguntungkan Siena, ia suka lagu dangdut, dan itu membuat ia mampu mengeluarkan enam puluh isi keong dalam waktu satu jam, sementara Wajik hanya tiga puluh isi keong. 

Karena faktor lagu yang menganggu konsentrasi dan selisih poin yang jauh dari Siena, Wajik pun tak mampu mengendalikan emosi. Ia membanting ember dan melemparkan keong ke arah penonton. Ustadz kondang yang duduk anteng di atas kursi plastik turut menjadi korban amukan Wajik. Beberapa serpihan cangkang keong menancap ke wajah sang ustadz. Akibat kekacauan itu, Wajik langsung dikenakan kartu merah oleh wasit, karena emosi saat pertandingan sama dengan tidak sarapan pagi selama dua kali. Wajik pun keluar lapangan sambil marah-marah, namun ia tak lupa untuk meminta maaf terlebih dahulu kepada sang Ustadz.

Atas kejadian itu, Siena dinyatakan keluar sebagai pemenang. Pemberian hadiah diserahkan oleh kepala desa langsung di tempat pertandingan. Acara selesai tepat pada saat azan Ashar, dan warga yang muslim pun bersegara untuk sholat berjama’ah, meskipun tidak dipimpin oleh ustadz kondang, dikarenakan uzur syar’i yaitu sakit akibat tusukan cangkang keong.

Wajik yang keluar dari desa Uprica mencari pertandingan lain. Pucuk dicita ulam pun tiba, ia berhasil mendaftarkan diri sebagai peserta pertandingan meniup lobang undur-undur dengan menggunakan pipet di desa SouthCore.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar