Senin, 09 Juli 2018

MENJADI MAHASISWA/I IDEAL ALA AHMAD WAHIB

Menurut saya, saat menjadi mahasiswa/i baru merupakan saat-saat yang cukup mendebarkan. Pada masa itu kebebasan baru mulai muncul, pengawasan orang tua mulai kendur karena antara orang tua dan anak terpisah dengan jarak yang cukup jauh (biasanya). Selain itu, keadaan urbanisasi (perpindahan dari desa ke kota) bagi mereka yang berasal dari desa saya pikir juga cukup berpengaruh, karena seseorang yang berasal dari desa akan menemukan banyak hal baru yang sebelumnya belum pernah ia temukan. Selain itu, secara psikologis, masa di awal-awal kuliah adalah masa-masa dimana seseorang berada di puncak usia remaja, yaitu menuju usia 20 tahun. Di masa ini seseorang akan tertarik untuk mencoba hal-hal baru dan berusaha menemukan identitasnya. Pada masa ini, seseorang akan bertanya pada dirinya sendiri, “gue siapa sih sebenarnya?”
Oleh karena itu, saya pikir sangat relevan untuk menghadirkan kembali sosok mahasiswa ideal ke hadapan adik-adik yang baru mau masuk kuliah, agar sedari awal, kalian mengetahui apa yang seharusnya dikejar atau yang dilakukan sebagai seorang mahasiswa/i. Ketika kesadaran itu sudah muncul, maka harapan selanjutnya adalah berkurangnya kebiasaan-kebiasaan unfaedah yang seringkali diidap oleh mahasiswa/i baru. Tidak hanya kepada adik-adik mahasiswa/i baru saja sebenarnya, tapi kepada saya pribadi pun tulisan ini akan sangat bermanfaat, karena saya juga masih berstatus mahasiswa.
Nah, pada tulisan ini, saya ingin menghadirkan buah pikiran salah satu sosok mahasiswa (ideal menurut saya) bernama Ahmad Wahib. Memang, tokoh ini agak kontroversial karena ada beberapa kelompok yang memandang bahwa Ahmad Wahib terlalu liberal dalam pemikirannya. Oleh karena itu, saya akan berusaha menarik serabut hasil pemikiran Ahmad Wahib yang saya anggap bisa kita praktikkan bersama, dan meminggirkan hal lainnya yang saya pikir belum bisa kita cerna.
Ahmad Wahib lahir pada tanggal 9 November 1942. Setelah tamat dari SMA pada tahun 1961, ia melanjutkan studinya di Fakultas Ilmu Pasti dan Alam Universitas Gajah Mada. Namun ia tidak menyelesaikan kuliahnya di kampus tersebut. Ia meninggal pada tahun 1973 setelah ditabrak oleh pengendara sepeda motor. Ia termasuk anggota organisasi HMI, aktif berdiskusi di “Lingkaran diskusi Limited Group” dan diskusi yang sering diadakan di rumah Dawam Rahardjo. Ia juga sering mengikuti kuliah-kuliah filsafat di STF Driyarkara. Pada akhir hayatnya, ia sempat bekerja di majalah Tempo sebagai calon reporter.
Ada satu fakta menarik mengenai jejak rekam pendidikan Ahmad Wahib, yaitu dia tidak merampungkan kuliahnya di Universitas Gajah Mada. Maka sebuah pertanyaan muncul, “lalu mengapa kita mengambil Ahmad Wahib sebagai contoh?” Menurut saya tidak ada kaitannya antara sikap yang ia miliki dengan tidak selesainya dia dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Lagipula beberapa sumber informasi tidak memberikan penjelasan mengenai penyebab tidak selesainya Ahmad Wahib dalam menempuh pendidikan di universitas bergengsi tersebut. Atau mungkin saja Ahmad Wahib sudah cerita di catatan hariannya, dan saya melewatkannya (ngantuk pada saat membaca). Namun tetap saja, fakta di atas tidak lantas menggagalkan keingininan kita untuk belajar banyak hal dari Ahmad Wahib mengenai mentalitas sebagai seorang mahasiswa/i.
Beberapa poin yang akan saya sampaikan mengenai idealitas mahasiswa/i di bawah ini adalah hasil pembacaan saya terhadap buku berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam”, sebuah kumpulan catatan harian yang ditulis oleh Ahmad Wahib. Perlu saya sampaikan di sini bahwa Ahmad Wahib tidak banyak menulis secara langsung bahwa mahasiswa/i harus begini-begini, namun saya lah yang mencoba menarik serat-serat berharga dalam tulisannya, kemudian menggarapnya menjadi beberapa poin penting yang bisa kita pelajari bersama mengenai bagaimana sebaiknya menjadi mahasiswa/i. Tentu saja poin-poin ini tidak dapat merangkum semua hal yang ia tuliskan, sehingga sangat bisa saya pastikan bahwa masih banyak hal-hal penting yang tercecer, yang tidak termuat dalam tulisan ini.

Lalu apa hal-hal (ideal) yang sebaiknya dimiliki oleh mahasiswa/i?
Pertama, keberanian untuk berpikir bebas.
Dari sekian banyak tulisan Ahmad Wahib dalam catatan hariannya, mungkin judul “Kebebasan Berpikir” adalah judul yang paling kontroversial. Anda bisa membaca sendiri dalam catatan hariannya, dan jika iman anda tidak kuat, atau sebaliknya: iman anda terlalu kuat, maka mungkin anda akan berhenti membaca catatan hariannya, kemudian menyimpan buku tersebut di dalam kaleng KHONG GUAN. Oleh sebab itu, penting sekali memisahkan terlebih dahulu kegelisahan Ahmad Wahib mengenai agamanya dalam judul “kebebasan berpikir” itu, kemudian memeras poin berharga mengenai kebebasan berpikir yang ia utarakan untuk digunakan pada hal yang lain. Kebebasan berpikir di sini bisa kita katakan sebagai usaha untuk melepas asumsi kita terhadap sesuatu, terkhusus pada asumsi-asumsi yang tidak memiliki fondasi yang kuat.
Perkuliahan adalah ajang untuk memperluas wawasan. Anda harus membuka pikiran, meninggalkan sejenak asumsi mengenai kepastian terhadap sesuatu. Ragukan segalanya dan bangun ulang keraguan itu menjadi sebuah keyakinan yang kokoh. Bahasa saya memang sudah kayak motivator MLM, tapi ... itulah poinnya.
Jika dosen anda masuk ke ruang kelas, dan anda berasumsi bahwa dosen itu punya pengetahuan yang lebih dari anda, selalu benar dan tidak pernah salah, maka habislah sudah. Perkuliahan anda tak ubahnya seperti kaum buruh yang teralienasi dari pekerjaannya. Mboh ... ngomong apa. Akibatnya: di sepanjang perkuliahan akan anda habiskan dengan membuka telinga anda selebar-lebarnya untuk mendengarkan ceramahnya, kemudian mengekang sekuat-kuatnya otak anda untuk berpikir. Jangan seperti itu! Bertanyalah! Kritisilah! Dengan itu perkuliahan akan menjadi lebih dinamis, bukan sekedar transfer pengetahuan belaka. MERDEKA!!! Takbir juga boleh.
Dalam catatan hariannya, Ahmad Wahib mengatakan, “pada hemat saya orang-orang yang berpikir itu, walaupun hasilnya salah, masih jauh lebih baik daripada orang-orang yang tidak pernah salah karena tak pernah berpikir” (2013: 23). Dalam catatan harian saya, saya mengatakan, “pada hemat saya, orang-orang yang jomblo itu, walau tidak punya pacar, masih jauh lebih baik daripada mereka yang punya pacar tapi nggak tau kapan mau nikah.” Ehm, nggak nyambung, sih. LANJUT ... LANJUT !!!
Kedua, membaca, merenung dan observasi langsung.
Ahmad Wahib mengatakan, “membaca buku-buku dari segala macam ilmu dan paham dan mendengarkan pendapat-pendapat dari segala macam ahli akan memperkaya kita dengan formulasi-formulasi (rumusan-rumusan) yang singkat dan kena” (2013: 103). Aneh rasanya jika ada seseorang mahasiswa/i yang tidak akrab dengan buku. Lalu dari mana pengetahuan, buah pemikiran, gagasan dan ide akan ia dapatkan? Dari pacar? Mustahil rasanya ada mahasiswa/i yang pacarnya tiap hari datang ke kos-kosan untuk memberikan kuliah singkat mengenai teori strukturasi sosial Anthony Giddens. Dari dosen? Hmmm .... Sayang juga jika semua pengetahuan harus berasal dari dosen. Jika semuanya hanya bersandarkan pada pengetahuan dosen, maka sedikit sekali hasil yang akan anda dapatkan dari perkuliahan.
Oleh karena itu, alternatif lain adalah dari buku. Ketika dosen membaca, mahasiswa/i membaca, maka di kelas akan terjadi benturan antara hasil bacaan dosen dan hasil bacaan mahasiswa. Dengan begitu, pengayaan materi akan sangat mungkin terjadi. Kelas akan banjir pengetahuan, pertanyaan, sanggahan, apalagi? Cercaan? Mungkin. Tetapi apabila mahasiswa pasif karena kurangnya pengetahuan dan ia hanya berharap dari pengetahuan dosen, maka jangan harap ada pengayaan, barangkali mencapai kompetensi dasar pun akan terseok-seok seperti divingnya Neymar saat melawan Mexico kemarin. Ough ... Noooo ....
Namun membaca saja tidak cukup, mahasiswa/i juga perlu banyak merenung. Merenung tidak sama dengan melamun. Merenung ialah berpikir secara sungguh-sungguh tentang sesuatu hal yang besar. Sedangkan melamun biasanya berpikir tidak tentu arah, dan kalaupun berpikir, maka yang dipikirkan biasanya seringkali merupakan hal yang remeh.
Sementara hal lainnya yang penting adalah mengamati atau observasi langsung. Anda boleh membayangkan bahwa observasi langsung di sini berupa pengamatan secara ilmiah, yang kemudian ditulis dalam bentuk laporan atau tugas akhir (skripsi/tesis). Namun sangat sedikit sekali observasi yang bisa anda lakukan jika maknanya hanya sekedar itu. Oleh karenanya, pengamatan secara sederhana terhadap fenomena sehari-hari dalam kehidupan anda juga bisa kita anggap observasi. Gunakan pengamatan itu dengan teori yang telah anda pelajari. Sesuaikah ia? Tidak sesuaikah ia? Renungkan dan coba cari solusinya dengan kembali membaca teori.
Salah satu tujuan membaca, merenung dan observasi langsung menurut Ahmad Wahib adalah untuk membentuk pendapat atau pemikiran kita sendiri. Ahmad Wahib mengatakan, “banyak membaca harus diimbangi dengan merenung dan observasi langsung. ... dengan demikianlah kita akan mampu membentuk pendapat sendiri dan tidak sekedar mengikut pendapat orang atau memilih salah satu di antara pendapat yang berbeda-beda” (2013: 80).
Ketiga, berorganisasi.
Jika anda membaca catatan harian Ahmad Wahib, maka anda bisa melihat cukup banyak pembahasan mengenai organisasi. Hal itu membuktikan bahwa dia aktif dalam organisasi dan punya perhatian yang besar terhadap organisasi. Namun tidak sekedar berorganisasi, ia juga menginginkan sebuah organisasi mampu bergerak secara independen aktif. Ia mengatakan bahwa, “independen artinya bebas, menempatkan diri sebagai insan dan himpunan yang merdeka, lepas dari tekanan-tekanan luar, dari person atau organisasi, langsung atau tidak langsung. ... dalam suasana bebaslah kemampuan-kemampuan kreatif kita akan berkembang menemukan bentuk yang seindah-indahnya” (2013: 275).
Ada banyak manfaat yang bisa diambil dari berorganisasi, seperti pengalaman manajerial, memperluas jaringan, serta memiliki wadah untuk mempraktikkan teori yang dipelajari di kampus dalam kehidupan nyata.
Keempat, jangan pacaran!
Ye malah ketawa? Ini serius. Meskipun pada beberapa catatan hariannya memperlihatkan bahwa Ahmad Wahib pernah merasakan kasmaran dan rindu pada pujaan hati, yang jika anda membaca catatannya mengenai itu mungkin akan terasa ngilu di kaki (kesemutan), namun ada satu catatan yang mengatakan bahwa dia “lebih baik” ketika tidak berhubungan dengan kegiatan “cinta-cintaan” itu. Ia mengatakan, “ilmuku terasa bertambah dengan cepat akhir-akhir ini sejak membebaskan diri dari ‘hubungan-hubungan’ nuisance dengan beberapa teman putri. Apakah kelembutan wajah itu mengganggu aktivitas mengejar ilmu?” (2013: 320). Bagaimana? Mari kita renungkan bersama!
SEKIAN.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar