Minggu, 03 Januari 2016

MEDIA, PEMUDA, DAN REVOLUSI (1)

Semenjak Orde Baru tumbang pada tahun 1998, Indonesia mengganti wajah baru dengan nama Reformasi. Pergantian wajah Republik ini membuat banyak orang berharap akan datangnya suasana baru yang mengganti suasana ketegangan pada masa Pak Harto. Indonesia dengan wajah barunya sudah berjalan sekitar 17 tahun lebih. Perubahan yang begitu terasa adalah lebih leluasanya masyarakat untuk berpendapat dan melakukan pergerakan. Maka tak heran muncul banyak golongan-golongan yang dulu sempat stagnan pada masa Soeharto. Selain munculnya banyak paham dan aliran serta wacana, Era Reformasi dimanfaatkan juga oleh media untuk menyebarkan informasi sebebas-bebasnya, karena sebelumnya yaitu di masa Soeharto, media serta para wartawan tidak dapat bergerak dengan leluasa untuk memberi informasi kepada masyarakat luas.

Pertanyaan pertama muncul adalah, “Bagaimana idealnya sebuah media dalam kehidupan demokrasi?”.

Untuk menjawab hal tersebut, maka kita bisa melihat peran dari media pada masa imperialisme dan orde baru.

Pada masa penjajahan, media sudah mulai ada. Media-media yang ada ini bertujuan untuk memberi kabar atau berita mengenai kegiatan-kegiatan Imperialis di tanah jajahan. Selain itu, fungsi media massa adalah sebagai alat pencatatan dan pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di daerah jajahan termasuk Indonesia. Maka jangan heran apabila kita bisa melihat foto-foto sejarah kolonial masa lalu, karena pada masa itu sudah ada media massa. Media pada saat itu masih didominasi oleh pengusaha-pengusaha Belanda. Media yang muncul pada saat itu seperti Indie, Nederlandsch Indie Oud en Nieuw, Kromo Belanda, Djawa dsb yang menggunakan bahasa Belanda, sehingga pembacanya orang-orang tertentu saja.

Sebagai bangsa yang terus dijajah, Rakyat Indonesia kemudian bangkit. Berbagai macam cara dilakukan untuk memanasi rakyat agar mau merebut kemerdekaan yang salah satunya adalah lewat media. Bangsa Indonesia pertama kali masuk ke dunia pers ketika terbitnya Medan Prijaji pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi yang dipimpin oleh Mas Tirto Adhi Soerjo. Dari surat kabar inilah bangsa pribumi kemudian sadar bahwa mereka sedang dijajah. Setelah itu, banyak muncul hal serupa dari berbagai pergerakan di Indonesia, seperti harian Oetoesan Hindia, Api, Halilintar, dan Nyala, Guntur Bergerak, Benih Merdeka, Sinar Merdeka, Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka.

Selain media berbentuk harian atau koran, pada tanggal 13 Desember 1937 kita bangsa Indonesia sudah memiliki kantor berita Antara. Pendirinya adalah orang-orang muda di bawah usia 30 tahun seperti Soemanang (29Th), A.M. Sipahoentar (23 Th), Adam Malik (20 Th) dan Pandu Kartawiguna. Inilah yang saya maksud pada tulisan sebelumnya, bahwa kemerdekaan kita tak lepas dari peran dan semangat para pemuda. Pada usia 21 Tahun, Adam Malik diminta untuk mengambil alih sebagai pimpinan Antara dan pada masa kemerdekaan, dialah yang menyebarkan berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Dari sejarah diatas kita dapat melihat bahwa munculnya media di Indonesia pada awalnya adalah untuk memerangi imperialisme di bumi pertiwi ini. peran media dimulai dari mulai menyadarkan masyarakat tentang kondisi mereka yang terjajah, sampai kepada penyebaran berita kemerdekaan. Andaikan saja pada saat itu bangsa Indonesia tidak punya koran, harian, dan kantor berita, tentu akan sangat sulit membangkitkan semangat warga Indonesia secara universal untuk merebut kemerdekaan secara serempak, mengingat wilayah Indonesia terdiri dari banyak pulau dan terpisah oleh lautan yang luas.

Pada masa orde baru, gerak media ataupun dunia pers agak sempit, karena pemerintah Soeharto membatasi informasi yang muncul di permukaan. Informasi yang muncul di permukaan haruslah sesuai dengan keinginan penguasa. Di masa inilah media dan pers hanya dapat membuat berita-berita yang terbatas dan tidak bergerak seacara demokratis.
Saperti pada masa penjajahan, kita bisa melihat bahwa media mampu menghantam kekuasaan yang mengekang masyarakat pada waktu itu, sehingga Belanda maupun Jepang terusir dari Indonesia. Maka di Era Soeharto, lagi-lagi media dan pers membuat gerakan perlawanan. Apakah berhasil?, tentu saja, karena saya ingin sampaikan bahwa kekuatan media dalam mempengaruhi massa sangatlah kuat.

Joseph Goebbels ahli propaganda Hitler mengatakan “if you repeat a lie often enough, people will believe it, and you will even come to believe it yourself”.

Malcolm X juga mengatakan “Media adalah entitas paling ampuh di jagad ini. Media memiliki kekuatan menjadikan orang yang bersalah sebagai yang tak berdosa, dan seblaiknya. Disitulah letak kekuatannya, karena media mengedalikan pikiran massa”.

Era soeharto adalah era yang begitu membatasi pergerakan, baik pemikiran, organisasi, kegiatan-kegiatan diskusi, termasuk media massa, karena khawatir dapat menggoyangkan kursi kekuasaan. Namun lama kelamaan, masyarakat tidak bisa tinggal diam termasuklah para wartawan yang terbatas pergerakannya. Pada Tanggal 7 Agustus 1994, wartawan muda tidak puas dengan sikap PWI (persatuan wartawan Indonesia) sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. Di sini saya ingin menegaskan lagi bahwa yang protes adalah wartawan muda, jadi lagi-lagi anak muda punya peran dalam perubahan. Selain karena PWI merupakan satu-satunya organisasi wartawan, PWI juga terlalu pro terhadap pemerintah orde baru yang membatasi gerak para wartawan lain untuk bebas menyampaikan berita.

Sikap tidak puas itu dibuktikan oleh wartawan muda dengan mendirikan AJI (Alinasi Jurnalis Independen). Usia AJI tidak panjang karena bertentangan dengan paham kekuasaan orde baru. Namun gerak AJI tidak terbatas sehingga mereka secara diam-diam tetap melakukan pergerakan, seperti pengkaderan dan penerbitan berita anti mainstream secara independen.
Masa soeharto masuk pada masa suram ketika krisis moneter menimpa. Soeharto menuduh media tidak proporsional dalam memberitakan krisis tersebut sehingga masyarakat termasuk mahasiswa menuntut Reformasi. Dari pernyataan Soeharto jelas menunjukkan bahwa media punya peran dalam penggulingan rezim otoriternya, karena berita krisis yang terus menerus diberitakan sehingga masyarakat menjadi panik dan meminta pergantian pemerintahan.
(Ahmad Taufik Dkk, 2015: 300-316 (Mengurai Persoalan Bangsa 70 Tahun Indonesia Merdeka Sebuah Agenda Penyelamatan)).

Itulah peran media dari masa imperialisme sampai orde baru, dimana media selalu pro rakyat karena media sendiri lahir dari rakyat. Ketika rakyat menyadari ada sesuatu yang tidak berkenan di hati mereka, maka lewat media mereka menumpahkan protes dan semacamnya, seperti peran media di era penjajahan. Dan begitu pula apabila gerak mereka terbatas, mereka juga dapat membawa seluruh opini masyarakat menjadi satu dan kemudian menimbulkan sebuah perubahan seperti bergantinya Rezim Orde Baru ke Reformasi yang tak luput dari peran media. Disini kita dapat menyimpulkan bahwa media massa, seperti harian, koran, buletin, berita itu punya pengaruh yang besar dalam mempengaruhi pikiran masyarakat umum.

Jika media pro rakyat, berdiri di atas kepentingan rakyat, dan menyuarakan keresahan rakyat maka kita bisa mengelus dada. Tapi apabila media ditimpa oleh berbagai kepentingan baik itu penguasa (zaman soeharto) dan pemodal (era kapitalis) maka kita bisa tertunduk lesu karena media yang perannya begitu kuat itu akan membuat nyaman satu pihak namun membuat sengsara pihak yang lain (masyarakat).

Nah untuk menjawab pertanyaan di atas yaitu “Bagaiman idealnya media? Atau bagaimana seharusnya media bertindak?”

Maka jawaban singkatnya yang bisa kita ambil dari sejarah diatas ialah media seharusnya mementingkan keperluan dan kepentingan rakyat, karena media adalah corongnya rakyat ke penguasa. Bukan sebaliknya, media malah memanipulasi sedemikian rupa berita tentang kebijakan pemerintah yang sebenarnya telah membohongi rakyat banyak. Apalagi media mementingkan pemilik modal dan kemudian apa-apa yang tersaji di layar kaca atau kertas harian, malah sesuatu hal yang merugikan rakyat banyak dan di pihak lain menguntungkan para pemilik modal.
Bersambung................
Share:

0 komentar:

Posting Komentar