Semenjak Orde Baru tumbang pada tahun
1998, Indonesia mengganti wajah baru dengan nama Reformasi. Pergantian wajah Republik
ini membuat banyak orang berharap akan datangnya suasana baru yang mengganti
suasana ketegangan pada masa Pak Harto. Indonesia dengan wajah barunya sudah
berjalan sekitar 17 tahun lebih. Perubahan yang begitu terasa adalah lebih
leluasanya masyarakat untuk berpendapat dan melakukan pergerakan. Maka tak
heran muncul banyak golongan-golongan yang dulu sempat stagnan pada masa Soeharto.
Selain munculnya banyak paham dan aliran serta wacana, Era Reformasi
dimanfaatkan juga oleh media untuk menyebarkan informasi sebebas-bebasnya,
karena sebelumnya yaitu di masa Soeharto, media serta para wartawan tidak dapat
bergerak dengan leluasa untuk memberi informasi kepada masyarakat luas.
Pertanyaan pertama muncul adalah, “Bagaimana
idealnya sebuah media dalam kehidupan demokrasi?”.
Untuk menjawab hal tersebut, maka kita
bisa melihat peran dari media pada masa imperialisme dan orde baru.
Pada masa penjajahan, media sudah mulai
ada. Media-media yang ada ini bertujuan untuk memberi kabar atau berita
mengenai kegiatan-kegiatan Imperialis di tanah jajahan. Selain itu, fungsi
media massa adalah sebagai alat pencatatan dan pendokumentasian segala
peristiwa yang terjadi di daerah jajahan termasuk Indonesia. Maka jangan heran
apabila kita bisa melihat foto-foto sejarah kolonial masa lalu, karena pada
masa itu sudah ada media massa. Media pada saat itu masih didominasi oleh pengusaha-pengusaha
Belanda. Media yang muncul pada saat itu seperti Indie, Nederlandsch
Indie Oud en Nieuw, Kromo Belanda, Djawa dsb yang menggunakan
bahasa Belanda, sehingga pembacanya orang-orang tertentu saja.
Sebagai bangsa yang terus dijajah, Rakyat
Indonesia kemudian bangkit. Berbagai macam cara dilakukan untuk memanasi rakyat
agar mau merebut kemerdekaan yang salah satunya adalah lewat media. Bangsa
Indonesia pertama kali masuk ke dunia pers ketika terbitnya Medan Prijaji
pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi yang
dipimpin oleh Mas Tirto Adhi Soerjo. Dari surat kabar inilah bangsa pribumi
kemudian sadar bahwa mereka sedang dijajah. Setelah itu, banyak muncul hal
serupa dari berbagai pergerakan di Indonesia, seperti harian Oetoesan
Hindia, Api, Halilintar, dan Nyala, Guntur Bergerak, Benih Merdeka,
Sinar Merdeka, Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka.
Selain media berbentuk harian atau koran,
pada tanggal 13 Desember 1937 kita bangsa Indonesia sudah memiliki kantor berita
Antara. Pendirinya adalah orang-orang muda di bawah usia 30 tahun seperti
Soemanang (29Th), A.M. Sipahoentar (23 Th), Adam Malik (20 Th) dan Pandu
Kartawiguna. Inilah yang saya maksud pada tulisan sebelumnya, bahwa kemerdekaan
kita tak lepas dari peran dan semangat para pemuda. Pada usia 21 Tahun, Adam
Malik diminta untuk mengambil alih sebagai pimpinan Antara dan pada masa
kemerdekaan, dialah yang menyebarkan berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Dari sejarah diatas kita dapat melihat
bahwa munculnya media di Indonesia pada awalnya adalah untuk memerangi
imperialisme di bumi pertiwi ini. peran media dimulai dari mulai menyadarkan
masyarakat tentang kondisi mereka yang terjajah, sampai kepada penyebaran
berita kemerdekaan. Andaikan saja pada saat itu bangsa Indonesia tidak punya
koran, harian, dan kantor berita, tentu akan sangat sulit membangkitkan
semangat warga Indonesia secara universal untuk merebut kemerdekaan secara
serempak, mengingat wilayah Indonesia terdiri dari banyak pulau dan terpisah oleh
lautan yang luas.
Pada masa orde baru, gerak media ataupun
dunia pers agak sempit, karena pemerintah Soeharto membatasi informasi yang
muncul di permukaan. Informasi yang muncul di permukaan haruslah sesuai dengan
keinginan penguasa. Di masa inilah media dan pers hanya dapat membuat
berita-berita yang terbatas dan tidak bergerak seacara demokratis.
Saperti pada masa penjajahan, kita bisa
melihat bahwa media mampu menghantam kekuasaan yang mengekang masyarakat pada
waktu itu, sehingga Belanda maupun Jepang terusir dari Indonesia. Maka di Era
Soeharto, lagi-lagi media dan pers membuat gerakan perlawanan. Apakah
berhasil?, tentu saja, karena saya ingin sampaikan bahwa kekuatan media dalam
mempengaruhi massa sangatlah kuat.
Joseph Goebbels ahli propaganda Hitler
mengatakan “if you repeat a lie often enough, people will believe it, and
you will even come to believe it yourself”.
Malcolm X juga mengatakan “Media
adalah entitas paling ampuh di jagad ini. Media memiliki kekuatan menjadikan
orang yang bersalah sebagai yang tak berdosa, dan seblaiknya. Disitulah letak
kekuatannya, karena media mengedalikan pikiran massa”.
Era soeharto adalah era yang begitu
membatasi pergerakan, baik pemikiran, organisasi, kegiatan-kegiatan diskusi,
termasuk media massa, karena khawatir dapat menggoyangkan kursi kekuasaan.
Namun lama kelamaan, masyarakat tidak bisa tinggal diam termasuklah para
wartawan yang terbatas pergerakannya. Pada Tanggal 7 Agustus 1994, wartawan
muda tidak puas dengan sikap PWI (persatuan wartawan Indonesia) sebagai
satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. Di sini saya ingin menegaskan lagi
bahwa yang protes adalah wartawan muda, jadi lagi-lagi anak muda punya peran
dalam perubahan. Selain karena PWI merupakan satu-satunya organisasi wartawan,
PWI juga terlalu pro terhadap pemerintah orde baru yang membatasi gerak para
wartawan lain untuk bebas menyampaikan berita.
Sikap tidak puas itu dibuktikan oleh
wartawan muda dengan mendirikan AJI (Alinasi Jurnalis Independen). Usia AJI
tidak panjang karena bertentangan dengan paham kekuasaan orde baru. Namun gerak
AJI tidak terbatas sehingga mereka secara diam-diam tetap melakukan pergerakan,
seperti pengkaderan dan penerbitan berita anti mainstream secara independen.
Masa soeharto masuk pada masa suram
ketika krisis moneter menimpa. Soeharto menuduh media tidak proporsional dalam
memberitakan krisis tersebut sehingga masyarakat termasuk mahasiswa menuntut Reformasi.
Dari pernyataan Soeharto jelas menunjukkan bahwa media punya peran dalam
penggulingan rezim otoriternya, karena berita krisis yang terus menerus
diberitakan sehingga masyarakat menjadi panik dan meminta pergantian
pemerintahan.
(Ahmad Taufik Dkk, 2015: 300-316 (Mengurai
Persoalan Bangsa 70 Tahun Indonesia Merdeka Sebuah Agenda Penyelamatan)).
Itulah peran media dari masa imperialisme
sampai orde baru, dimana media selalu pro rakyat karena media sendiri lahir
dari rakyat. Ketika rakyat menyadari ada sesuatu yang tidak berkenan di hati
mereka, maka lewat media mereka menumpahkan protes dan semacamnya, seperti
peran media di era penjajahan. Dan begitu pula apabila gerak mereka terbatas,
mereka juga dapat membawa seluruh opini masyarakat menjadi satu dan kemudian
menimbulkan sebuah perubahan seperti bergantinya Rezim Orde Baru ke Reformasi
yang tak luput dari peran media. Disini kita dapat menyimpulkan bahwa media
massa, seperti harian, koran, buletin, berita itu punya pengaruh yang besar
dalam mempengaruhi pikiran masyarakat umum.
Jika media pro rakyat, berdiri di atas
kepentingan rakyat, dan menyuarakan keresahan rakyat maka kita bisa mengelus
dada. Tapi apabila media ditimpa oleh berbagai kepentingan baik itu penguasa (zaman
soeharto) dan pemodal (era kapitalis) maka kita bisa tertunduk lesu karena
media yang perannya begitu kuat itu akan membuat nyaman satu pihak namun
membuat sengsara pihak yang lain (masyarakat).
Nah untuk menjawab pertanyaan di atas
yaitu “Bagaiman idealnya media? Atau bagaimana seharusnya media bertindak?”
Maka jawaban singkatnya yang bisa kita
ambil dari sejarah diatas ialah media seharusnya mementingkan keperluan dan kepentingan
rakyat, karena media adalah corongnya rakyat ke penguasa. Bukan sebaliknya,
media malah memanipulasi sedemikian rupa berita tentang kebijakan pemerintah
yang sebenarnya telah membohongi rakyat banyak. Apalagi media mementingkan
pemilik modal dan kemudian apa-apa yang tersaji di layar kaca atau kertas
harian, malah sesuatu hal yang merugikan rakyat banyak dan di pihak lain
menguntungkan para pemilik modal.
Bersambung................
0 komentar:
Posting Komentar