Minggu, 03 Januari 2016

MEDIA, PEMUDA, DAN REVOLUSI (2)

Pada tulisan sebelumnya kita sudah melihat bagaimana media massa seharusnya bekerja, yaitu mementingkan kepentingan rakyat banyak. Misalkan ketika ada informasi mengenai bobroknya kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, maka media secepat mungkin untuk memberitakannya kepada rakyat agar rakyat membentuk opini yang sama dan protes terhadap pemerintah sehingga kesalahan itu bisa diperbaiki, ini idealnya. Selain itu, jika ada di satu pinggiran negeri yang masih belum terjangkau dana dari pemerintah, maka secepatnya media memberitakan keadaan ini, agar pemerintah tau dan memperbaiki keadaan di suatu tempat tersebut. jika kemudian pemerintah tidak tanggap terhadap hal tersebut maka secepatnya juga media melaporkannya, sehingga rakyat yang di daerah lain tau dan siap untuk protes kepada pemerintah. Disinilah peran media yang terus-menerus membuat opini publik namun dalam hal yang positif dan membangun kemajuan bangsa, bukan sebaliknya.

Pertanyaan kedua, adalah “Bagaimana keadaan media setelah masa orde baru atau lebih tepatnya bagaimana keadaan media sekarang. masihkah mementingkan kepentingan rakyat atau tidak?.

Selepas rezim orde baru, masyarakat semakin menikmati kebebasan, baik berpendapat dan berkespresi. (Ahmad Taufik Dkk, 2015: 318) menyebutkan bahwa penebitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Disinilah mulainya para pimilik modal masuk untuk mengelola media menjadi lahan bisnis.

Untuk menjawab ini saya akan kutip beberap hal dari buku yang berjudul Orde Media. Di buku tersebut diawali dengan pengantar oleh Roy Thaniago selaku Direktur Remotivi (seperti sebuah organisasi).

Roy Thaniago (2015: 7) mengatakan bahwa di era kebebasan ini, kaum oligarki melalui industri media berkuasa dengan merumuskan percakapan ratusan juta warga Indonesia. Media mengatur apa yang seharusnya dibicarakan dan apa yang dihindari untuk dibicarakan. Agenda publik menjadi pengejawantahan agenda pemilik modal. Ruang publik disesaki oleh kepentngan elite untuk melayani nafsu ekonomi-politiknya. Kerja media dioperasikan dengan bersandar semata-mata pada pasar. Padahal, pasar adalah rimba penaklukan antarspesies. Akhirnya media hanya memproduksi informasi berdasarkan apa yang diinginkan pasar, bukan apa yang diinginkan publik.

Apakah pernyataan Ray tersebut benar?, apakah pemilik modal raksasa memang masuk juga ke dalam industri media?. Untuk menjawab itu saya mengutip tulisan Mohammad Fadhilah Zein dengan bukunya yang berjudul Kezaliman Media Massa Terhadap Umat Islam. Beliau adalah mantan wartawan di berbagai media harian, mengisi radio, dan juga pernah masuk ke stasiun global TV serta TV One sebagai produser di beberapa acara di stasiun TV tersebut.

Mohammad Fadhilah Zein (2013: 7), mengatakan bahwa seiring berjalannya waktu, independensi media massa menjadi luntur, karena kebanyakan media-media yang besar dan bertahan adalah milik atau bagian dari grup perusahaan raksasa. Katakanlah RCTI, Global TV, MNC TV, Harian Sindo serta sejumlah tabloid dan media online dikuasai oleh MNC Group milik Harry Tanoesoedibjo. Detik. Com, TRANS TV, dan Trans 7 dikuasai Transcorp milik Chairul Tanjung. Harian Kompas, Kompas.com dan Kompas TV yang dikuasai oleh Gramedia Group milik Jacoeb Oetama. Antv, Tv one, dan Viva.co.id yang dikuasai oleh viva group milik Aburizal bakrie. Metro TV dan Media Indonesia yang dikuasai oleh Media Group milik surya paloh. Grup Jawa Pos yang dikuasai Dahlan Iskan juga menunjukkan kekuatan media massa yang dikuasai oleh perusahaan swasta yang tidak lepas dari kepentingan politik dan ekonomi.

Dari pernyataan tersebut kita melihat ada pergeseran fungsi media saat ini. di saat media tumbuh dari rakyat, maka media dengan tegas dan lantang untuk menyuarakan pro rakyat, jadi informasi-informasi yang dihadirkan adalah informasi yang memang benar-benar diperlukan rakyat. Tapi ketika media dipegang oleh para pemilik modal yang mementingkan politik dan ekonomi pribadi, maka tayangan di media dihadirkankan, tetapi lebih kepada bagaimana supaya rakyat sepaham dengan yang empunya media. Contoh: saya menjadi pemimpin di media A, saya benci sekali dengan gerakan Islam Fundamental (politik), kemudian saya juga punya produk yaitu Susu cap kaleng (ekonomi), maka dua produk ini saya gencarkan terus menerus sehingga publik juga benci dengan Islam Fundamental dan sekaligus terpesona dengan iklan produk susu cap kaleng, biarpun benci terhadap Islam Fundamental adalah kesalahan karena ada sikap benci dan susu cap kaleng saya berbahan dari zat kimia yang berbahaya, saya tidak peduli. Tapi karena peran media begitu kuat dan bisa menghipnotis, maka rakyat pun terpukau dan terpana sehingga produk saya juga dikonsumsi tanpa filter dan cek and ricek. Bahaya kan media...maka hati-hati dan jangan mudah tertipu.

Hal diatas hanya contoh sederhana. Apa bukti konkretnya di lapangan?, lagi-lagi saya harus mengambil contoh dari buku orde media. Roy Thaniago (2015: 8), mencontohkan: kita pernah ramai-ramai mendengarkan pemberitaan tato menteri Susi Pudjiastuti ketimbang kebijakan yang dikeluarkannya, misalnya, adalah salah satu bentuk pergeseran fokus. Warga dijauhkan dari hal-hal substansial, dan didekatkan pada hal-hal bombastis, karena audiens dipandang sebagai konsumen, bukan warga negara yang punya hak dan akses atas setiap informasi yang benar dan bermutu, yang bisa dipakai sebagai pertimbangan membuat tindakan.
Ray Thaniago (2015: 9), melanjutkan, dalam konteks politik, pemilu 2014 telah memperlihatkan kepada kita bagaimana media telah berkuasa dalam memilihkan pemimpin negara, melancarkan agenda elite politik, megadonnya menjadi komoditas, dan meraup untung dari pertikaian horizontal yang terjadi antara para pendukung politik.

Tentang pemilihan presiden ini kawan saya sempat cerita bahwa sekarang dia tidak tertarik lagi dengan media, berita khususnya. Karena dia melihat secara jelas antara satu stasiun TV dan stasiun TV yang lain saling memojokkan dalam siapa yang pantas menjadi presiden. Tidak hanya itu saja, pada quickcount atau hitungan cepat perolehan suara, masing-masing stasiun TV memberikan berita yang berbeda yang mana jelas sekali jika stasiun TV a mendukung tokoh x, maka quickcountnya memihak ke x. Tapi stasiun TV b yang mendukung tokoh y, maka quickcountnya memihak ke tokoh y. Jelas sekali konspirasinya.

Jadi jawaban atas pertanyaan diatas tentang bagaimana kondisi media sekarang?, jawabannya ialah menyedihkan. Karena media sudah dipegang oleh orang-orag tertentu dengan kepentingannya masing-masing. Rakyat sudah tidak lagi mengkonsumsi berita yang real dan murni apa adanya, tapi rakyat sekarang mengkonsumsi berita yang sudah dimanipulasi untuk sebuah kepentingan pemilik modal. Siapa yang berduit silahkan datang kepada pemilik modal tersebut dan pesan apa yang diinginkan. Jika saya punya uang 5 triliun, saya bayar pihak stasiun TV atau surat kabar untuk kepentingan agenda saya, misalkan untuk menyudutkan satu pihak, maka degan cepat salah satu stasiun TV itu memenuhi permintaan saya. Karena media dikuasai pemilik modal, bukan punya rakyat atau negara. Begitu juga jika saya ingin produk saya bisa laris di pasaran, maka saya teken kontrak buat iklan semenarik mungkin dan ditayangkan di stasiun TV, kemudian rakyat pada beli, padahal belum tentu produk saya bermanfaat, bisa jadi produk saya meracuni hidup rakyat. Tapi karena ini adalah urusan yang punya duit dengan yang punya media, maka tidak ada yang bisa protes, toh ini bisnis. Yang punya uang yang mengatur, yang punya uang yang menggiring opini publik, yang punya uang yang bisa mendikte mau dibawa kemana Rakyat Indonesia yang tak berdaya dan tidak kritis ini.
Bersambung......
Share:

0 komentar:

Posting Komentar