Pada tulisan sebelumnya kita sudah
melihat bagaimana media massa seharusnya bekerja, yaitu mementingkan
kepentingan rakyat banyak. Misalkan ketika ada informasi mengenai bobroknya
kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, maka media secepat mungkin untuk
memberitakannya kepada rakyat agar rakyat membentuk opini yang sama dan protes
terhadap pemerintah sehingga kesalahan itu bisa diperbaiki, ini idealnya.
Selain itu, jika ada di satu pinggiran negeri yang masih belum terjangkau dana
dari pemerintah, maka secepatnya media memberitakan keadaan ini, agar
pemerintah tau dan memperbaiki keadaan di suatu tempat tersebut. jika kemudian
pemerintah tidak tanggap terhadap hal tersebut maka secepatnya juga media
melaporkannya, sehingga rakyat yang di daerah lain tau dan siap untuk protes
kepada pemerintah. Disinilah peran media yang terus-menerus membuat opini
publik namun dalam hal yang positif dan membangun kemajuan bangsa, bukan
sebaliknya.
Pertanyaan kedua, adalah “Bagaimana
keadaan media setelah masa orde baru atau lebih tepatnya bagaimana keadaan
media sekarang. masihkah mementingkan kepentingan rakyat atau tidak?.
Selepas rezim orde baru, masyarakat
semakin menikmati kebebasan, baik berpendapat dan berkespresi. (Ahmad Taufik
Dkk, 2015: 318) menyebutkan bahwa penebitan pers yang semula dibatasi perizinan
kemudian leluasa menerbitkan media. Disinilah mulainya para pimilik modal masuk
untuk mengelola media menjadi lahan bisnis.
Untuk menjawab ini saya akan kutip
beberap hal dari buku yang berjudul Orde Media. Di buku tersebut diawali dengan
pengantar oleh Roy Thaniago selaku Direktur Remotivi (seperti sebuah
organisasi).
Roy Thaniago (2015: 7) mengatakan bahwa
di era kebebasan ini, kaum oligarki melalui industri media berkuasa dengan
merumuskan percakapan ratusan juta warga Indonesia. Media mengatur apa yang
seharusnya dibicarakan dan apa yang dihindari untuk dibicarakan. Agenda publik
menjadi pengejawantahan agenda pemilik modal. Ruang publik disesaki oleh
kepentngan elite untuk melayani nafsu ekonomi-politiknya. Kerja media
dioperasikan dengan bersandar semata-mata pada pasar. Padahal, pasar adalah
rimba penaklukan antarspesies. Akhirnya media hanya memproduksi informasi
berdasarkan apa yang diinginkan pasar, bukan apa yang diinginkan publik.
Apakah pernyataan Ray tersebut benar?,
apakah pemilik modal raksasa memang masuk juga ke dalam industri media?. Untuk
menjawab itu saya mengutip tulisan Mohammad Fadhilah Zein dengan bukunya yang
berjudul Kezaliman Media Massa Terhadap Umat Islam. Beliau adalah mantan
wartawan di berbagai media harian, mengisi radio, dan juga pernah masuk ke
stasiun global TV serta TV One sebagai produser di beberapa acara di stasiun TV
tersebut.
Mohammad Fadhilah Zein (2013: 7),
mengatakan bahwa seiring berjalannya waktu, independensi media massa menjadi
luntur, karena kebanyakan media-media yang besar dan bertahan adalah milik atau
bagian dari grup perusahaan raksasa. Katakanlah RCTI, Global TV, MNC TV, Harian
Sindo serta sejumlah tabloid dan media online dikuasai oleh MNC Group milik
Harry Tanoesoedibjo. Detik. Com, TRANS TV, dan Trans 7 dikuasai Transcorp milik
Chairul Tanjung. Harian Kompas, Kompas.com dan Kompas TV yang dikuasai oleh
Gramedia Group milik Jacoeb Oetama. Antv, Tv one, dan Viva.co.id yang dikuasai
oleh viva group milik Aburizal bakrie. Metro TV dan Media Indonesia yang
dikuasai oleh Media Group milik surya paloh. Grup Jawa Pos yang dikuasai Dahlan
Iskan juga menunjukkan kekuatan media massa yang dikuasai oleh perusahaan
swasta yang tidak lepas dari kepentingan politik dan ekonomi.
Dari pernyataan tersebut kita melihat ada
pergeseran fungsi media saat ini. di saat media tumbuh dari rakyat, maka media
dengan tegas dan lantang untuk menyuarakan pro rakyat, jadi informasi-informasi
yang dihadirkan adalah informasi yang memang benar-benar diperlukan rakyat. Tapi
ketika media dipegang oleh para pemilik modal yang mementingkan politik dan
ekonomi pribadi, maka tayangan di media dihadirkankan, tetapi lebih kepada
bagaimana supaya rakyat sepaham dengan yang empunya media. Contoh: saya menjadi
pemimpin di media A, saya benci sekali dengan gerakan Islam Fundamental
(politik), kemudian saya juga punya produk yaitu Susu cap kaleng (ekonomi),
maka dua produk ini saya gencarkan terus menerus sehingga publik juga benci
dengan Islam Fundamental dan sekaligus terpesona dengan iklan produk susu cap
kaleng, biarpun benci terhadap Islam Fundamental adalah kesalahan karena ada
sikap benci dan susu cap kaleng saya berbahan dari zat kimia yang berbahaya,
saya tidak peduli. Tapi karena peran media begitu kuat dan bisa menghipnotis,
maka rakyat pun terpukau dan terpana sehingga produk saya juga dikonsumsi tanpa
filter dan cek and ricek. Bahaya kan media...maka hati-hati dan jangan mudah
tertipu.
Hal diatas hanya contoh sederhana. Apa
bukti konkretnya di lapangan?, lagi-lagi saya harus mengambil contoh dari buku
orde media. Roy Thaniago (2015: 8), mencontohkan: kita pernah ramai-ramai
mendengarkan pemberitaan tato menteri Susi Pudjiastuti ketimbang kebijakan yang
dikeluarkannya, misalnya, adalah salah satu bentuk pergeseran fokus. Warga
dijauhkan dari hal-hal substansial, dan didekatkan pada hal-hal bombastis,
karena audiens dipandang sebagai konsumen, bukan warga negara yang punya hak
dan akses atas setiap informasi yang benar dan bermutu, yang bisa dipakai
sebagai pertimbangan membuat tindakan.
Ray Thaniago (2015: 9), melanjutkan,
dalam konteks politik, pemilu 2014 telah memperlihatkan kepada kita bagaimana
media telah berkuasa dalam memilihkan pemimpin negara, melancarkan agenda elite
politik, megadonnya menjadi komoditas, dan meraup untung dari pertikaian
horizontal yang terjadi antara para pendukung politik.
Tentang pemilihan presiden ini kawan saya
sempat cerita bahwa sekarang dia tidak tertarik lagi dengan media, berita
khususnya. Karena dia melihat secara jelas antara satu stasiun TV dan stasiun
TV yang lain saling memojokkan dalam siapa yang pantas menjadi presiden. Tidak
hanya itu saja, pada quickcount atau hitungan cepat perolehan suara,
masing-masing stasiun TV memberikan berita yang berbeda yang mana jelas sekali
jika stasiun TV a mendukung tokoh x, maka quickcountnya memihak ke x.
Tapi stasiun TV b yang mendukung tokoh y, maka quickcountnya memihak ke
tokoh y. Jelas sekali konspirasinya.
Jadi jawaban atas pertanyaan diatas
tentang bagaimana kondisi media sekarang?, jawabannya ialah menyedihkan. Karena
media sudah dipegang oleh orang-orag tertentu dengan kepentingannya
masing-masing. Rakyat sudah tidak lagi mengkonsumsi berita yang real dan
murni apa adanya, tapi rakyat sekarang mengkonsumsi berita yang sudah
dimanipulasi untuk sebuah kepentingan pemilik modal. Siapa yang berduit
silahkan datang kepada pemilik modal tersebut dan pesan apa yang diinginkan.
Jika saya punya uang 5 triliun, saya bayar pihak stasiun TV atau surat kabar
untuk kepentingan agenda saya, misalkan untuk menyudutkan satu pihak, maka degan
cepat salah satu stasiun TV itu memenuhi permintaan saya. Karena media dikuasai
pemilik modal, bukan punya rakyat atau negara. Begitu juga jika saya ingin
produk saya bisa laris di pasaran, maka saya teken kontrak buat iklan semenarik
mungkin dan ditayangkan di stasiun TV, kemudian rakyat pada beli, padahal belum
tentu produk saya bermanfaat, bisa jadi produk saya meracuni hidup rakyat. Tapi
karena ini adalah urusan yang punya duit dengan yang punya media, maka tidak
ada yang bisa protes, toh ini bisnis. Yang punya uang yang mengatur, yang punya
uang yang menggiring opini publik, yang punya uang yang bisa mendikte mau
dibawa kemana Rakyat Indonesia yang tak berdaya dan tidak kritis ini.
Bersambung......
0 komentar:
Posting Komentar