Minggu, 03 Januari 2016

RAKYAT ENGGAK JELAS (OPERASI BUKU)

Ketertarikan saya pada masalah Indonesia semakin hari semakin meningkat. Minat saya untuk mencari tau apa akar masalah Indonesia ini menjadi semakin kuat, melihat kondisi bangsa yang tidak banyak membawa perubahan setelah masa Reformasi. Untuk menghilangkan dahaga saya, maka saya sering berburu buku-buku yang bersifat krtitik terhadap bangsa. Perjuangan untuk membeli buku-buku bertemakan kritikan terhadap pemerintah ini cukup luar biasa. Saya harus rela kehilangan smartphone saya karena saya jual dan kemudian uangnya saya gunakan untuk membeli buku. Tidak hanya itu saja, orang tua saya kadang-kadang sampai mengeluh tentang saldo di ATM saya yang begitu cepat habis, padahal punya pacar saja enggak kok boros pikirnya, hahahahha.

Tapi ngomong-ngomong masalah pacaran, saya juga punya pengamalan pahit dan menjerakan. Dulu sebelum pacaran saya sudah hobi yang namanya beli buku. Masalah dibaca atau tidak itu urusan belakangan, yang penting punya dulu. Jadi mulai semester 3 kuliah, saya sudah sering beli buku di toko buku. Tapi pas sekitaran semester 5 ke atas saya masuk ke dunia pacaran. Hobi saya yang sebelumnya suka beli dan baca buku mendadak hilang. 3 bulan pacaran tidak ada satupun buku yang terbeli, karena adanya pengalihan uang dari beli buku ke konsumsi jalan bareng. Maka kadang saya memaklumi mereka yang pacaran kok tidak ada produktif-produktifnya sama sekali, karena saya rasa dengan pacaran dapat mengalihkan perhatian kita kepada satu hal ke lainnya yaitu ke pasangan. Beberapa waktu kita harus hubungi si do’i, entah itu smsan, telponan, chatting dsb. beberapa waktu kita harus jemput si do’i, beberapa waktu kita harus luangin waktu buat jalan bareng do’i, beberapa waktu lagi kita harus datang ke rumahnya dan ngobrol-ngobrol sampai berjam-jam. Hal-hal seperti begitu menurut saya memangkas kreativitas dan produktivitas kita sebagai pemuda yang akal, ide dan gagasannya sedang berapi-api.

Oke cukup curhat nya, kita balik ke gagasan awal tentang ketertarikan pada buku-buku yang bertemakan kritikan. Pada suatu hari di pertengahan tahun kemarin tepatnya setelah saya tidak punya pacar lagi (sori curhat lagi), saya mulai membangkitkan lagi semangat membaca saya. Jadi udah lama sekali tidak ke toko buku langganan saya. Mungkin ada banyak buku yang terlewatkan, karena sekitar 3 bulan saya mati suri dalam hal konsumsi buku. Baru masuk ke toko buku langganan saya, membuat saya kalap seperti musafir yang menemukan air di tengah gurun pasir, senangnya luar biasa.

Disinilah saya menemukan buku dengan judul Rakyat Enggak Jelas: Potret Manusia Indonesia Pasca-Reformasi tulisan Imam Ratrioso. Sampulnya keren, ada gambar otak dengan komposisi setengah otak dan setengahnya lagi kerupuk, bukti bahwa potret manusia Indonesia masih ada lempemnya di sebagian pemikiran mereka. “ini buku pas banget” dalam hati saya. Langsung saya bawa ke kasir dan bayar dengan embak-embak penunggu kasir dan klep masuk tas.


Buku inilah yang saya ingin ulas sedikit. Konsennya tetap pada satu buku ini. tapi tidak semua bab akan saya sampaikan, karena itu sama saja dengan penyebarluasan dan pembajakan, entar saya bisa masuk penjara. Tapi saya ingin ceritakan satu bab yang menurut saya begitu menarik dan real manusia Indonesia kebanyakan punya mental seperti itu. Bab itu saya ingin sampaikan karena ada karakter manusia Indonesia yang saya lihat pada kebanyakan orang Indonesia mungkin termasuk saya.. Bagian yang akan diulas sedikit ini ada pada Bagian 1, dengan judul Potret Manusia Indonesia Pasca-Reformasi. Jadi apa saja karakter manusia Indonesia Pasca Reformasi atau saat ini, dibahas pada bagian 1 ini. saya juga mengkontekstualisasikannya (waduh bahasanya agak ribet ya) di dunia mahasiswa dan pelajar, jadi kalau Imam Ratrioso menjelaskan dan mengambil contoh di seluruh lini, saya mencoba mengambil contoh karakter tersebut di kalangan mahasiswa dan pelajar. Apa saja karakter manusia indonesia yang ada bagian 1 itu:
1.         Semakin mementingkan diri sendiri
“Manusia Indonesia justru terbukti semakin mementingkan diri sendiri. Level berpikir sebagian besar kita justru semakin rendah, dalam arti, yang kita pikirkan dari efek perilaku hanyalah kepentingan kita atau kelompok kita semata. Manusia Indonesia semakin tidak biasa memikirkan apa dampak perilakunya bagi orang lain? kita semakin masa bodoh terhadap orang lain (Hal 30-31)”.
Imam Ratrioso mencontohkan perilaku ini seperti tindakan korupsi, tindakan parkir sembarangan, demonstrasi yang merusak dan anarki, antrian pembelian produk baru yang mengakibatkan ricuh, pedagang yang menjual dagangannya dengan bahan-bahan berbahaya, bahkan bom bunuh diri. Ini semua tindakan yang bertujuan untuk mementingkan kepetingan diri sendiri.

Nah gimana gambaran sikap mementingkan diri sendiri ini pada kalangan pelajar atau mahasiswa atau remaja?

Di lingkungan kampus ini sering terlihat sekali. Kawan-kawan saya punya target lulus kuliah tercepat kalau bisa 3 setengah tahun atau paling tidak 4 tahun, itu sudah paling lambat. Saya sempat bilang ke kawan saya, “eh bagaimana ya kabar si proposal si A?”, dia langsung jawab “gak usah pikirin orang,, nanti kita lambat, pikirkan saja diri sendiri”. Wah egois juga ni pikir saya, tapi inilah ajaran kampus cepat selesai dan masa bodoh dengan mahasiswa lain.

Lalu apakah mahasiswa yang suka tidak peduli dengan target lulus itu tidak egois?, saya kadang berpikir mereka juga egois. Saya pernah punya teman yang sering tidak masuk kelas. Kebiasaannya yaitu titip KHK (kartu kehadiran). Setelah itu dia malah pergi entah kemana, yang jelas kegiatan itu bukan kegiatan organisasi atau kegiatan kampus lainnya, tetapi lebih bersifat hal pribadi. Bagi saya ini juga keegoisan (mementingkan diri sendiri), di saat dia punya tanggung jawab untuk masuk kuliah bersama kawan yang lain, eeh... dia malah pergi ke suatu tempat untuk bersenang-senang tapi malah dapat tanda tangan. Luar biasa.

Beda mahasiswa beda pelajar, mereka juga punya tradisi mementingkan diri sendiri yang luar biasa.  Budaya mecontek menjadi pandagan saya bahwa ini adalah tindakan mementingkan diri sendiri. Saya pernah tugas lapangan di sebuah SMP Negeri di Kota Pontianak. Pada suatu hari, saya mendapat amanah untuk mengawas anak ulangan harian. Kesepakatannya sama seperti biasanya yaitu dilarang mencontek, lihat buku, nanya teman atau browsing di internet. Suatu ketika ada anak yang ketauan liat buku pelajaran, langsung kawan yang lain melapor dan protes agar tindakan salah satu anak ini diproses. Maka sesuai dengan amanah, nama yang menyontek tersebut saya tulis dan dilaporkan ke guru mata pelajaran yang bersangkutan.

Ada hal yang menarik, bahwa tindakan menyontek ternyata menganggu keresahan orang lain. Protes siswa lain terhadap tindakan salah satu siswa yang menyontek menunjukkan bahwa ada hal yang telah disepakati bersama namun dirusak oleh orang lain. Pengerusakan kesepakatan dengan tujuan agar dirinya atau suatu kelompok mendapat keuntungan inilah yang mencirikan sikap egois atau mementingkan diri sendiri.

Kalau tadi sikap egois yang ada di ingkungan akademis, lalu bagaimana di lingkungan sosial. Kita bisa lihat dengan jelas di media sosial. Lihat kawan-kawan medsos kalian, seberapa besar kepeduliannya terhadap satu hal di luar dari dirinya?. Jarang!!!!!!!. Lebih banyak yang buat status tapi nuansa pribadi, misalkan “hari ini makan apa ya?”, ngapa yang si Dia enggak ada kabar?”, “hari ini buka puasa dengan kacang hijau”. Ego pribadinya keluar, padahal ini media sosial, artinya apa yang anda bicarakan juga akan diketahui oleh orang lain, bukan bersifat privasi. Maka libatkanlah yang orang banyak supaya juga bisa ambil peduli dengan hal itu. Oleh karena itu, usahakan apa yang kita tampilkan adalah masalah bersama bukan hal pribadi.
2.         Kemauan belajar yang rendah
Dalam hal ini Imam Ratrioso menyontohkan banyak hal, seperti anggota DPR yang menghabiskan dana triliunan untuk belajar ke luar negeri namun belum berprestasi, masyarakat yang kecanduan gadget, TKI dengan skill yang rendah karena tidak adanya kemauan pemerintah untuk memperbaiki SDM kita, masyarakat yang terlena dengan televisi, dan rendahnya minat baca.

Ada beberapa pernyataan menarik yang ingin saya contohkan lebih luas yaitu mengenai pengaruh gadget di masyarakat kita. saya punya banyak teman yang hampir semuanya punya gadget dari yang mulai ukuran mini sampai ke yang besar. Kita kadang sering ngumpul bareng buat ngomongin suatu hal. Tapi apa yang mereka lakukan?, semuanya pada sibuk sendiri dengan gadgetnya masing-masing. Ada yang ngegame, ada yang update status, ada yang stalking mantan, ada yang nonton youtube, ada yang balas chat, dan macam-macam. Saya mulai mikir, kalau gini dampaknya bisa-bisa kita jadi antisosial dalam kehidupan nyata. Di dunia nyata kita jadi mayat berjalan yang tidak peduli lingkungan sekitarnya. Bahkan kalau di depannya ada bencana sekalipun mereka tetap fokus pada gadgetnya. Luar biasa.

Tidak hanya itu, saya sering liat kawan-kawan yang mainkan gadgetnya itu mampu bertahan sampai berjam-jam, padahal yang dilakukan hanya menscroll media sosialnya, geser-geser ke bawah di kolom kabar berita, sampai di satu tempat yang itu sudah dilihatnya maka kegiatan scrollnya pun berhenti.

Bayangkan, jika hal ini bisa dilakuinnya setengah jam per media sosial. Maka 6 media sosial yang dimiliki bisa menghabiskan waktu selama 3 jam. Perharinya mungkin bisa sampai setengah dari hari yang ia miliki untuk berkutat pada media sosial. Karena media sosial sudah begitu banyak. Satu remaja bisa punya banyak akun media sosial, facebook, twiter, instagram, whatsapp, BBM, Line, Kakao Talk, entah apa lagi media sosial yang terbaru ini saya kurang tau. Luar biasa 2.

Maka wajar saja, Imam Ratrioso mencontohkan kecanduan gadget pada sub judul “kemauan belajar yang rendah”. karena jika waktu sudah habis untuk hal yang sia-sia, otomatis tidak akan mendapatkan sesuatu yang bermanfaat. Setiap manusia punya waktu yang sama setiap harinya. Jika si A sibuk di dunia maya dalam satu hari selama 8 jam katakanlah, sedangkan si B tidak punya media sosial sehingga tidak ada kesibukan selama 8 jam, maka otomatis yang berpeluang lebih besar untuk punya waktu produktif adalah si B. Karena secara modal, si A hanya memiliki sisa waktu 24-8= 16 jam, sementara itu si B punya modal waktu tetap 24 jam. Kalau dua-duanya adalah orang yang suka belajar, maka si B lah yang akan lebih banyak memilik waktu untuk belajar.

Ada lagi hal yang menurut saya relevan dengan keadaan sekarang pada dunia remaja pada bukunya Imam Ratrioso ini adalah tentang minat baca dan menonton. Imam Ratrioso (2015:83), mengatakan “semakin rendahnya minat baca kita secara umum, yang sebanding dengan semakin meningkatnya budaya menonton, menunjukkan bahwa manusia Indonesia pasca-Reformasi lambat laun sedang menuju arah kehancuran budaya, sekaligus menjauh dari persyaratan mutlak terjadinya perubahan yang lebih baik”.

Saya pernah ditanya tentang koleksi buku saya, “Zid berapa uang kau habis buat beli buku ni?”. “Zid ngapa sih kau suka beli buku?”. Ini pertanyaan mahasiswa. kawan-kawan heran dengan buku yang saya beli. Saya agak merasa aneh, mengapa mahasiswa yang punya koleksi buku itu menjadi keunikan?. Justru ketika mahasiswa tidak punya koleksi buku pada saat dia jadi mahasiswa, ini yang menurut saya aneh. Sebagai seorang pelajar, senjatanya adalah buku. Bagaimana mungkin kita dikatakan pelajar, tapi tidak punya teori dan prinsip serta hukum yang dipegang. Hal-hal seperti teori, pemahaman, wawasan itu hanya ada di buku. Ceramahan dosen di kelas bisa hilang, tapi catatan atau buku yang kita punya tentang mata kuliah akan tetap ada selama tidak hilang, maksudnya akan lebih terjaga daripada sekedar diingat.

Saya pernah liat lulusan luar negeri, dia datang dari luar negeri setelah menyelesaikan S1 nya. Dia bawa koleksi buku-buku dengan bahasa asing sebanyak 2 buah mobil. Bukunya tebal-tebal dan buku-buku induk. Saya takjub, begini ternyata lulusan luar negeri. Kita lulusan Indonesia liat buku sekitar 100 buah punya teman sendiri saja sudah “wah”, apalagi liat koleksi buku para sarjana luar negeri yang diangkut 2 buah mobil?. Bahkan si lulusan luar negeri ini cerita kalau masih banyak buku-bukunya yang ia tinggalkan di luar negeri karena ribet bawanya. Amazing.

Coba liat kawan-kawan yang sesama kuliah!, berapa banyak koleksi bukunya?, lebih banyak koleksi buku atau koleksi film anime?, lebih banyak koleksi buku atau koleksi foto selfie?, lebih banyak koleksi buku atau koleksi kotak rokok?. Ironi dan menyedihkan.

3.         Semakin agresif
“Dinamika sosial manusia Indonesia pascra-reformasi mengalami perubahan sangat mencolok. Salah satu bukti konkretnya adalah meningkatnya agresivitas dan tindak kekerasan dalam masyarakat. Tidak jarang kita temukan perkelahian antar pengendara mobil yang tidak bisa mengontrol diri hanya karena bersenggolan. Tidak jarang terjadi anak muda menampar pacarnya di depan umum hanya karena pertengkaran kecil diantara mereka” (Hal 85).

Contoh yang ditunjukkan Imam Ratrioso bermacam-macam, seperti tawuran, perkelahian, peningkatan hubungan seks bebas dan sejenis, KDRT, aborsi dan pembuangan bayi, tindakan asusila, bahkan pertikaian antar berbeda agama dan sesama agama.

Dalam konteks kehidupan remaja, pelajar, dan mahasiswa semua contoh diatas hampir kena semua, dari tawuran, seks bebas dan sejenis, aborsi, tindakan asusila dan pertikaian dengan latar belakang perbedaan pemahaman dalam keyakinan. Kalau saya ceritakan satu persatu bisa panjang tulisan ini.  

4.         Melunturnya kesadaran keindonesiaan
“Dalam jangka panjang, hilangnya keindonesiaan akan mengundang berbagai ancaman yang sangat serius. Antara lain: krisi pangan, hilangnya aset budaya, merebaknya penguasaan asing di dalam negeri, kurangnya cinta pada produk anak negeri sendiri, dan lain-lain yang tentu lebih dashyat lagi. Apakah sekarang sudah terjadi? Marilah kita lihat realitas yang bergerak ke arah sana” (Hal 107).

Imam Ratrioso mencontohkan hal ini seperti menjamurnya sekolah asing, tidak pahamnya hal-hal kebangsaan seperti pancasila dan pembukaan UUD 1945, kurangnya mendalami tokoh-tokoh nasional seperti walisongo, gajahmada, atau sriwijaya. Hilangnya karakter bangsa seperti gotong royong, ramah tamah, peduli, sopan santun, dialog dsb. dan yang terakhir sikap yang bangga dengan budaya dan produk luar.

Dalam dunia remaja, pelajar serta mahasiswa, saya ingin menceritakan masalah mengenai bangga dengan produk dan budaya luar. Bagi seorang remaja, mengikuti arus zaman adalah menjadi sebuah kewajiban. Tidak ikut tren yang sedang berkembang maka akan disebut “tidak gaul”. Tapi sikap kita yang ikut tren zaman ini kadang-kadang kelewatan batas. Sampai-sampai produk luar tidak kita filter, tapi langsung pake saja tanpa pertimbangan baik buruknya dari segi norma dan agama, artinya hanya ikut-ikutan. Hal ini bisa kita lihat di media sosial kita masing-masing.

Pada hal lain saya juga ingin bercerita mengenai produk atau brand dari luar. Saya dulu adalah termasuk konsumen yang tidak peduli lagi bagus apa tidaknya produk luar negeri, yang penting beli, dan bangga brandnya luar negeri. Produk itu adalah pakaian. Tapi sekarang saya pikir lagi, kalaulah fungsinya sama, misalkan baju yaitu hanya untuk dipakai, melindungi dari cuaca seperti dingin dan panas, untuk menutup aurat, maka seharusnya cari harga yang lebih rendah, karena kualitas ya sama saja. Tapi karena sudah tersebar paham materialisme dimana semua diukur dari materinya, brandnya, merknya, produknya, kita lupa tentang tujuan barang itu sebenarnya.

Dalam hal produk luar negeri, saya juga sempat shock dan kaget tentang makanan-makanan milik luar negeri yang dijual di Mall atau pusat pembelanjaan. Saya tidak perlu sebutkan produk-produk makanannya, kalian semua sudah pada tau apa-apa saja makanan yang brandnya berasal dari luar negeri. Jujur saja saya bukan anak Mall, jadi kalau naik eskalator, atau lift, dan juga nonton bioskop itu agak bersikap ndeso. Pernah suatu ketika saya coba pesan minuman ringan di salah satu tempat di Mall. Untuk bayar minuman itu saya harus merogoh kocek cukup dalam karena satu gelas minuman kecilnya seharga 21.000 rupiah. Mending kalau enak, ini rasanya gak karuan, udah sikit, gak enak, mahal lagi, ini produk luar negeri. Tapi demi gengsi kita tahan rasa-rasa gak enak itu, yang penting udah keliatan kalau kita minum dan makannya di tempat-tempat yang produknya luar negeri. Ini adalah logika yang salah bagi saya.

Nah tindakan-tindakan seperti diatas lah yang saya harus dirubah dari sekarang. seringlah berbelanja pada pasar-pasar tradisional, karena yang jual disana rakyat pribumi semua, begitu juga produknya. Kalau nyantai sama kawan ya cari angkringan sajalah daripada harus ke Mall kemudian makan dan minum produk luar negeri. Kemudian kalau shopping, ya shopping saja di toko-toko baju biasa, gak usah harus berciri tren luar negeri, cari yang tren nusantara. Saya yakin lebih murah dibanding harus ke Mall dan belanja pakaian-pakaian luar negeri yang harganya buat kita elus dada. Inilah cara yang saya rasa dapat meningkatkan jiwa kendonesiaan kita, dan cara bagaimana kita membangun kemajuan ekonomi warga Indonesia. Stop Hamburgerisasi dan MCdonaldlisasi!.

5.         Semakin mengagungkan Materialisme
“Lunturnya kesadaran keindonesiaan akibat amnesia jiwa secara nasional telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Pancasila sebagai dasar negara yang dianggap sakti mungkin kini tengah sakit hati pada perilaku anak negeri yang bernama manusia Indonesia ini. manusia Indonesia pasca-Reformasi, dalam praktiknya, telah menggeser sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan menggantinya dengan Materialisme yang paling utama. Materi menjadi alasan dan tujuan yang paling diunggulkan manusia Indonesia. Materi  menjadi ukuran dan padanan” (Hal 117).

Imam Ratrioso mencontohkan tindakan ini seperti bisnis dalam sekolah, bersedekah dengan harapan untuk mendapat materi yang lebih banyak lagi, budaya sogok-menyogok, gaya hidup hedonis terutama pada generasi muda, iklan yang memprovokasi untuk berprilaku konsumtif, dan budaya money politic.

6.         Kepasrahan yang tetap tinggi
“Saya melihat manusia Indonesia dalam banyak hal telah berhasil menjadikan kepasrahan sebagai solusi. Bagaimana tidak, di tengah bencana alam yang bertubi-tubi melanda, dari letusan gunung api yang datang secara estafet, gempa bumi yang disertai tsunami, hingga kemiskinan yang terus mendera, kepasrahan telah menjadi satu-satunya obat penenang” (Hal 133).

Begitulah kira-kira quote yang disajikan Imam Ratrioso mengenai jiwa kepasrahan manusia Indonesia. Beliau mencontohkan kepasrahan yang tinggi seperti uang yang seharusnya menjadi milik rakyat tapi dikorupsi oleh pejabat, namun rakyat tak mau bersuara, tapi lebih memilih pasrah sebagai obat penenang. Ibu-ibu rela dan pasrah mengantri BLSM di tengah terik matahari. Pasar tradisional pasrah ketika dihadapkan pada persaingan pasar dengan retail mini market yang menjamur hingga pelosok desa. Serta banyak hal lainnya.

Dalam hal kepasrahan saya juga sering dengar dari kawan-kawan sesama mahasiswa. kita pernah berdiskusi masalah kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan rakyat kecil, kita punya solusi untuk meneriakkan ini di media-media yang kita punya. Tapi apa kata salah satu kawan saya yang ikut diksusi, “udah pasrah saja dengan pemerintah, toh suara kita juga tidak didengar”. Bayangkan....tidak ada sama sekali jiwa perubahannya.

Pernah juga suatu waktu ketika presiden menaikkan harga BBM, saya dan beberapa kawan protes, tapi ada kawan saya yang lain bilang “ini kan urusan pemerintah, mereka yang lebih tau bagaimana seharusnya suatu hal dilakukan”. Kalau seperti ini mental mahasiswa, saya juga mau jadi presiden, pinjam uang di bank 5 Milyar, bayar media, populerkan saya, kemudian ketika saya menjabat saya buat kebijakan dengan segala cara yang menghasilkan uang 6 Milyar, toh tidak ada yang mau protes. Maka dalam masa jabatan 5 tahun saya dapat laba bersih 1 milyar, berarti dalam satu tahun 200 juta, maka dalam satu bulan saya punya omset bersih 17 juta. Sebuah bisnis yang menggiurkan, maka orang berlomba-lomba jadi presiden, karena di Indonesia keuntungannya besar. Ini baru dana dari kebijakan saya, belum suap-suap dari perusahaan asing, wooh bisa lebih banyak untungnya. Plus gaji lagi, banyak sudah penghasilan presiden.

7.         Tetap mudah memaafkan
“Manusia Indonesia terkenal ramah dan pemaaf. Penjajah saja sudah lama dimaafkan dan bahkan tidak sedikit yang berterima kasih atas penjajahan itu, apalagi kesalahan anak bangsa sendiri. Korupsi bermiliar-miliar bukanlah apa-apa, toh paling lama kita mencaci mereka dalam bilangan bulan atau tahun” (Hal 140).

8.         Tahan menderita
“Meski telah mengalami serentetan penderitaan akibat penjajahan itu, tetapi manusia Indonesia tetap tahan banting, tetap bisa berpesta, tetap happy-happy saja. Mestinya mentalitas demikian perlu dikembangkan sebagai modal memperjuangkan kemajuan di berbagai bidang”        (Hal152).

Saya ingin menggabungkan dua karakter ini menjadi satu saja, yaitu mudah memaafkan dan tahan menderita. Dua hal ini lebih tepatnya adalah masuk ke ranah bagaimana Manusia Indonesia merespon hal-hal yang membatai dirinya secara sadar dan tidak sadar. Oleh karena itu, Imam Ratrioso mencontohkan sikap mudah memaafkan dan tahan menderita manusia Indonesia itu ketika pemerintahnya korupsi, mereka mudah melupakan kejadian itu, ketika kekayaan alam kita dirusak asing dan rakyatnya sendiri manjadi miskin di tempatnya sendiri, manusia Indonesia tahan sekali dengan derita itu dan survive. Ketika terjad hal-hal yang mengambil kemerdekaan mereka, Manusia Indonesia tidak mau melawan, tidak mau protes, tidak mau berteriak karena karakternya mudah memaafkan dan tahan menderita.

Selesai sudah cerita saya untuk mereview kembali bagian 1 dari buku Imam Ratrioso ini. Inilah karakter atau potret manusia Indonesia saat ini. Manusia Indonesia masih besar rasa mementingkan diri sendiri, kemauan belajar yang rendah, semakin agresif, melunturnya kesadaran keindonesiaan, semakin mengangungkan materialisme, kepasrahan yang tetap tinggi, tetap mudah memaafkan, dan tahan menderita.

Di bagian selanjutnya Imam Ratrioso menjelaskan apa sebenarnya yang membuat manusia Indonesia seperti di atas dan juga di bagian akhir Imam Ratrioso memberi solusi untuk merubah karakter-karakter tersebut. oleh karena itu, silahkan anda perdalami sendiri dengan mencari dan membaca buku tersebut.

Wassalam........


Share:

0 komentar:

Posting Komentar