Ketertarikan saya pada masalah Indonesia
semakin hari semakin meningkat. Minat saya untuk mencari tau apa akar masalah
Indonesia ini menjadi semakin kuat, melihat kondisi bangsa yang tidak banyak membawa
perubahan setelah masa Reformasi. Untuk menghilangkan dahaga saya, maka saya
sering berburu buku-buku yang bersifat krtitik terhadap bangsa. Perjuangan
untuk membeli buku-buku bertemakan kritikan terhadap pemerintah ini cukup luar
biasa. Saya harus rela kehilangan smartphone saya karena saya jual dan kemudian
uangnya saya gunakan untuk membeli buku. Tidak hanya itu saja, orang tua saya
kadang-kadang sampai mengeluh tentang saldo di ATM saya yang begitu cepat habis,
padahal punya pacar saja enggak kok boros pikirnya, hahahahha.
Tapi ngomong-ngomong masalah pacaran,
saya juga punya pengamalan pahit dan menjerakan. Dulu sebelum pacaran saya
sudah hobi yang namanya beli buku. Masalah dibaca atau tidak itu urusan
belakangan, yang penting punya dulu. Jadi mulai semester 3 kuliah, saya sudah
sering beli buku di toko buku. Tapi pas sekitaran semester 5 ke atas saya masuk
ke dunia pacaran. Hobi saya yang sebelumnya suka beli dan baca buku mendadak
hilang. 3 bulan pacaran tidak ada satupun buku yang terbeli, karena adanya
pengalihan uang dari beli buku ke konsumsi jalan bareng. Maka kadang saya
memaklumi mereka yang pacaran kok tidak ada produktif-produktifnya sama sekali,
karena saya rasa dengan pacaran dapat mengalihkan perhatian kita kepada satu
hal ke lainnya yaitu ke pasangan. Beberapa waktu kita harus hubungi si do’i,
entah itu smsan, telponan, chatting dsb. beberapa waktu kita harus jemput si
do’i, beberapa waktu kita harus luangin waktu buat jalan bareng do’i, beberapa
waktu lagi kita harus datang ke rumahnya dan ngobrol-ngobrol sampai berjam-jam.
Hal-hal seperti begitu menurut saya memangkas kreativitas dan produktivitas
kita sebagai pemuda yang akal, ide dan gagasannya sedang berapi-api.
Oke cukup curhat nya, kita balik ke
gagasan awal tentang ketertarikan pada buku-buku yang bertemakan kritikan. Pada
suatu hari di pertengahan tahun kemarin tepatnya setelah saya tidak punya pacar
lagi (sori curhat lagi), saya mulai membangkitkan lagi semangat membaca saya.
Jadi udah lama sekali tidak ke toko buku langganan saya. Mungkin ada banyak
buku yang terlewatkan, karena sekitar 3 bulan saya mati suri dalam hal konsumsi
buku. Baru masuk ke toko buku langganan saya, membuat saya kalap seperti
musafir yang menemukan air di tengah gurun pasir, senangnya luar biasa.
Disinilah saya menemukan buku dengan
judul Rakyat Enggak Jelas: Potret Manusia Indonesia Pasca-Reformasi
tulisan Imam Ratrioso. Sampulnya keren, ada gambar otak dengan komposisi
setengah otak dan setengahnya lagi kerupuk, bukti bahwa potret manusia
Indonesia masih ada lempemnya di sebagian pemikiran mereka. “ini buku pas
banget” dalam hati saya. Langsung saya bawa ke kasir dan bayar dengan
embak-embak penunggu kasir dan klep masuk tas.
Buku inilah yang saya ingin ulas sedikit.
Konsennya tetap pada satu buku ini. tapi tidak semua bab akan saya sampaikan,
karena itu sama saja dengan penyebarluasan dan pembajakan, entar saya bisa
masuk penjara. Tapi saya ingin ceritakan satu bab yang menurut saya begitu
menarik dan real manusia Indonesia kebanyakan punya mental seperti itu.
Bab itu saya ingin sampaikan karena ada karakter manusia Indonesia yang saya
lihat pada kebanyakan orang Indonesia mungkin termasuk saya.. Bagian yang akan
diulas sedikit ini ada pada Bagian 1, dengan judul Potret Manusia Indonesia
Pasca-Reformasi. Jadi apa saja karakter manusia Indonesia Pasca Reformasi atau
saat ini, dibahas pada bagian 1 ini. saya juga mengkontekstualisasikannya (waduh
bahasanya agak ribet ya) di dunia mahasiswa dan pelajar, jadi kalau Imam Ratrioso
menjelaskan dan mengambil contoh di seluruh lini, saya mencoba mengambil contoh
karakter tersebut di kalangan mahasiswa dan pelajar. Apa saja karakter manusia
indonesia yang ada bagian 1 itu:
1.
Semakin mementingkan diri sendiri
“Manusia
Indonesia justru terbukti semakin mementingkan diri sendiri. Level berpikir
sebagian besar kita justru semakin rendah, dalam arti, yang kita pikirkan dari
efek perilaku hanyalah kepentingan kita atau kelompok kita semata. Manusia Indonesia
semakin tidak biasa memikirkan apa dampak perilakunya bagi orang lain? kita
semakin masa bodoh terhadap orang lain (Hal 30-31)”.
Imam Ratrioso mencontohkan perilaku ini
seperti tindakan korupsi, tindakan parkir sembarangan, demonstrasi yang merusak
dan anarki, antrian pembelian produk baru yang mengakibatkan ricuh, pedagang
yang menjual dagangannya dengan bahan-bahan berbahaya, bahkan bom bunuh diri.
Ini semua tindakan yang bertujuan untuk mementingkan kepetingan diri sendiri.
Nah gimana gambaran sikap mementingkan
diri sendiri ini pada kalangan pelajar atau mahasiswa atau remaja?
Di lingkungan kampus ini sering terlihat
sekali. Kawan-kawan saya punya target lulus kuliah tercepat kalau bisa 3
setengah tahun atau paling tidak 4 tahun, itu sudah paling lambat. Saya sempat
bilang ke kawan saya, “eh bagaimana ya kabar si proposal si A?”, dia
langsung jawab “gak usah pikirin orang,, nanti kita lambat, pikirkan saja
diri sendiri”. Wah egois juga ni pikir saya, tapi inilah ajaran kampus
cepat selesai dan masa bodoh dengan mahasiswa lain.
Lalu apakah mahasiswa yang suka tidak
peduli dengan target lulus itu tidak egois?, saya kadang berpikir mereka juga
egois. Saya pernah punya teman yang sering tidak masuk kelas. Kebiasaannya
yaitu titip KHK (kartu kehadiran). Setelah itu dia malah pergi entah kemana,
yang jelas kegiatan itu bukan kegiatan organisasi atau kegiatan kampus lainnya,
tetapi lebih bersifat hal pribadi. Bagi saya ini juga keegoisan (mementingkan
diri sendiri), di saat dia punya tanggung jawab untuk masuk kuliah bersama
kawan yang lain, eeh... dia malah pergi ke suatu tempat untuk bersenang-senang
tapi malah dapat tanda tangan. Luar biasa.
Beda mahasiswa beda pelajar, mereka juga
punya tradisi mementingkan diri sendiri yang luar biasa. Budaya mecontek menjadi pandagan saya bahwa
ini adalah tindakan mementingkan diri sendiri. Saya pernah tugas lapangan di
sebuah SMP Negeri di Kota Pontianak. Pada suatu hari, saya mendapat amanah untuk
mengawas anak ulangan harian. Kesepakatannya sama seperti biasanya yaitu
dilarang mencontek, lihat buku, nanya teman atau browsing di internet. Suatu
ketika ada anak yang ketauan liat buku pelajaran, langsung kawan yang lain
melapor dan protes agar tindakan salah satu anak ini diproses. Maka sesuai
dengan amanah, nama yang menyontek tersebut saya tulis dan dilaporkan ke guru
mata pelajaran yang bersangkutan.
Ada hal yang menarik, bahwa tindakan
menyontek ternyata menganggu keresahan orang lain. Protes siswa lain terhadap
tindakan salah satu siswa yang menyontek menunjukkan bahwa ada hal yang telah
disepakati bersama namun dirusak oleh orang lain. Pengerusakan kesepakatan
dengan tujuan agar dirinya atau suatu kelompok mendapat keuntungan inilah yang
mencirikan sikap egois atau mementingkan diri sendiri.
Kalau tadi sikap egois yang ada di
ingkungan akademis, lalu bagaimana di lingkungan sosial. Kita bisa lihat dengan
jelas di media sosial. Lihat kawan-kawan medsos kalian, seberapa besar
kepeduliannya terhadap satu hal di luar dari dirinya?. Jarang!!!!!!!. Lebih
banyak yang buat status tapi nuansa pribadi, misalkan “hari ini makan apa ya?”,
ngapa yang si Dia enggak ada kabar?”, “hari ini buka puasa dengan
kacang hijau”. Ego pribadinya keluar, padahal ini media sosial, artinya apa
yang anda bicarakan juga akan diketahui oleh orang lain, bukan bersifat
privasi. Maka libatkanlah yang orang banyak supaya juga bisa ambil peduli
dengan hal itu. Oleh karena itu, usahakan apa yang kita tampilkan adalah
masalah bersama bukan hal pribadi.
2.
Kemauan belajar yang rendah
Dalam hal
ini Imam Ratrioso menyontohkan banyak hal, seperti anggota DPR yang
menghabiskan dana triliunan untuk belajar ke luar negeri namun belum
berprestasi, masyarakat yang kecanduan gadget, TKI dengan skill yang
rendah karena tidak adanya kemauan pemerintah untuk memperbaiki SDM kita,
masyarakat yang terlena dengan televisi, dan rendahnya minat baca.
Ada
beberapa pernyataan menarik yang ingin saya contohkan lebih luas yaitu mengenai
pengaruh gadget di masyarakat kita. saya punya banyak teman yang hampir
semuanya punya gadget dari yang mulai ukuran mini sampai ke yang besar. Kita
kadang sering ngumpul bareng buat ngomongin suatu hal. Tapi apa yang mereka
lakukan?, semuanya pada sibuk sendiri dengan gadgetnya masing-masing. Ada yang
ngegame, ada yang update status, ada yang stalking mantan, ada yang nonton
youtube, ada yang balas chat, dan macam-macam. Saya mulai mikir, kalau gini
dampaknya bisa-bisa kita jadi antisosial dalam kehidupan nyata. Di dunia nyata
kita jadi mayat berjalan yang tidak peduli lingkungan sekitarnya. Bahkan kalau
di depannya ada bencana sekalipun mereka tetap fokus pada gadgetnya. Luar
biasa.
Tidak
hanya itu, saya sering liat kawan-kawan yang mainkan gadgetnya itu mampu
bertahan sampai berjam-jam, padahal yang dilakukan hanya menscroll media
sosialnya, geser-geser ke bawah di kolom kabar berita, sampai di satu tempat
yang itu sudah dilihatnya maka kegiatan scrollnya pun berhenti.
Bayangkan,
jika hal ini bisa dilakuinnya setengah jam per media sosial. Maka 6 media
sosial yang dimiliki bisa menghabiskan waktu selama 3 jam. Perharinya mungkin
bisa sampai setengah dari hari yang ia miliki untuk berkutat pada media sosial.
Karena media sosial sudah begitu banyak. Satu remaja bisa punya banyak akun
media sosial, facebook, twiter, instagram, whatsapp, BBM, Line, Kakao Talk,
entah apa lagi media sosial yang terbaru ini saya kurang tau. Luar biasa 2.
Maka
wajar saja, Imam Ratrioso mencontohkan kecanduan gadget pada sub judul “kemauan
belajar yang rendah”. karena jika waktu sudah habis untuk hal yang sia-sia,
otomatis tidak akan mendapatkan sesuatu yang bermanfaat. Setiap manusia punya
waktu yang sama setiap harinya. Jika si A sibuk di dunia maya dalam satu hari
selama 8 jam katakanlah, sedangkan si B tidak punya media sosial sehingga tidak
ada kesibukan selama 8 jam, maka otomatis yang berpeluang lebih besar untuk
punya waktu produktif adalah si B. Karena secara modal, si A hanya memiliki
sisa waktu 24-8= 16 jam, sementara itu si B punya modal waktu tetap 24 jam.
Kalau dua-duanya adalah orang yang suka belajar, maka si B lah yang akan lebih
banyak memilik waktu untuk belajar.
Ada lagi
hal yang menurut saya relevan dengan keadaan sekarang pada dunia remaja pada
bukunya Imam Ratrioso ini adalah tentang minat baca dan menonton. Imam Ratrioso
(2015:83), mengatakan “semakin rendahnya minat baca kita secara umum, yang
sebanding dengan semakin meningkatnya budaya menonton, menunjukkan bahwa
manusia Indonesia pasca-Reformasi lambat laun sedang menuju arah kehancuran
budaya, sekaligus menjauh dari persyaratan mutlak terjadinya perubahan yang
lebih baik”.
Saya
pernah ditanya tentang koleksi buku saya, “Zid berapa uang kau habis buat
beli buku ni?”. “Zid ngapa sih kau suka beli buku?”. Ini pertanyaan
mahasiswa. kawan-kawan heran dengan buku yang saya beli. Saya agak merasa aneh,
mengapa mahasiswa yang punya koleksi buku itu menjadi keunikan?. Justru ketika
mahasiswa tidak punya koleksi buku pada saat dia jadi mahasiswa, ini yang menurut
saya aneh. Sebagai seorang pelajar, senjatanya adalah buku. Bagaimana mungkin kita
dikatakan pelajar, tapi tidak punya teori dan prinsip serta hukum yang
dipegang. Hal-hal seperti teori, pemahaman, wawasan itu hanya ada di buku.
Ceramahan dosen di kelas bisa hilang, tapi catatan atau buku yang kita punya
tentang mata kuliah akan tetap ada selama tidak hilang, maksudnya akan lebih
terjaga daripada sekedar diingat.
Saya
pernah liat lulusan luar negeri, dia datang dari luar negeri setelah
menyelesaikan S1 nya. Dia bawa koleksi buku-buku dengan bahasa asing sebanyak 2
buah mobil. Bukunya tebal-tebal dan buku-buku induk. Saya takjub, begini
ternyata lulusan luar negeri. Kita lulusan Indonesia liat buku sekitar 100 buah
punya teman sendiri saja sudah “wah”, apalagi liat koleksi buku para sarjana
luar negeri yang diangkut 2 buah mobil?. Bahkan si lulusan luar negeri ini
cerita kalau masih banyak buku-bukunya yang ia tinggalkan di luar negeri karena
ribet bawanya. Amazing.
Coba liat
kawan-kawan yang sesama kuliah!, berapa banyak koleksi bukunya?, lebih banyak
koleksi buku atau koleksi film anime?, lebih banyak koleksi buku atau koleksi
foto selfie?, lebih banyak koleksi buku atau koleksi kotak rokok?. Ironi dan menyedihkan.
3.
Semakin agresif
“Dinamika
sosial manusia Indonesia pascra-reformasi mengalami perubahan sangat mencolok.
Salah satu bukti konkretnya adalah meningkatnya agresivitas dan tindak
kekerasan dalam masyarakat. Tidak jarang kita temukan perkelahian antar
pengendara mobil yang tidak bisa mengontrol diri hanya karena bersenggolan.
Tidak jarang terjadi anak muda menampar pacarnya di depan umum hanya karena
pertengkaran kecil diantara mereka” (Hal 85).
Contoh yang ditunjukkan Imam Ratrioso
bermacam-macam, seperti tawuran, perkelahian, peningkatan hubungan seks bebas
dan sejenis, KDRT, aborsi dan pembuangan bayi, tindakan asusila, bahkan
pertikaian antar berbeda agama dan sesama agama.
Dalam konteks kehidupan remaja, pelajar,
dan mahasiswa semua contoh diatas hampir kena semua, dari tawuran, seks bebas
dan sejenis, aborsi, tindakan asusila dan pertikaian dengan latar belakang
perbedaan pemahaman dalam keyakinan. Kalau saya ceritakan satu persatu bisa panjang
tulisan ini.
4.
Melunturnya kesadaran keindonesiaan
“Dalam
jangka panjang, hilangnya keindonesiaan akan mengundang berbagai ancaman yang
sangat serius. Antara lain: krisi pangan, hilangnya aset budaya, merebaknya
penguasaan asing di dalam negeri, kurangnya cinta pada produk anak negeri
sendiri, dan lain-lain yang tentu lebih dashyat lagi. Apakah sekarang sudah
terjadi? Marilah kita lihat realitas yang bergerak ke arah sana” (Hal 107).
Imam
Ratrioso mencontohkan hal ini seperti menjamurnya sekolah asing, tidak pahamnya
hal-hal kebangsaan seperti pancasila dan pembukaan UUD 1945, kurangnya
mendalami tokoh-tokoh nasional seperti walisongo, gajahmada, atau sriwijaya.
Hilangnya karakter bangsa seperti gotong royong, ramah tamah, peduli, sopan
santun, dialog dsb. dan yang terakhir sikap yang bangga dengan budaya dan
produk luar.
Dalam
dunia remaja, pelajar serta mahasiswa, saya ingin menceritakan masalah mengenai
bangga dengan produk dan budaya luar. Bagi seorang remaja, mengikuti arus zaman
adalah menjadi sebuah kewajiban. Tidak ikut tren yang sedang berkembang maka
akan disebut “tidak gaul”. Tapi sikap kita yang ikut tren zaman ini
kadang-kadang kelewatan batas. Sampai-sampai produk luar tidak kita filter,
tapi langsung pake saja tanpa pertimbangan baik buruknya dari segi norma dan
agama, artinya hanya ikut-ikutan. Hal ini bisa kita lihat di media sosial kita
masing-masing.
Pada hal
lain saya juga ingin bercerita mengenai produk atau brand dari luar. Saya dulu
adalah termasuk konsumen yang tidak peduli lagi bagus apa tidaknya produk luar
negeri, yang penting beli, dan bangga brandnya luar negeri. Produk itu adalah
pakaian. Tapi sekarang saya pikir lagi, kalaulah fungsinya sama, misalkan baju
yaitu hanya untuk dipakai, melindungi dari cuaca seperti dingin dan panas,
untuk menutup aurat, maka seharusnya cari harga yang lebih rendah, karena
kualitas ya sama saja. Tapi karena sudah tersebar paham materialisme dimana
semua diukur dari materinya, brandnya, merknya, produknya, kita lupa tentang
tujuan barang itu sebenarnya.
Dalam hal
produk luar negeri, saya juga sempat shock dan kaget tentang makanan-makanan
milik luar negeri yang dijual di Mall atau pusat pembelanjaan. Saya tidak perlu
sebutkan produk-produk makanannya, kalian semua sudah pada tau apa-apa saja
makanan yang brandnya berasal dari luar negeri. Jujur saja saya bukan anak
Mall, jadi kalau naik eskalator, atau lift, dan juga nonton bioskop itu agak
bersikap ndeso. Pernah suatu ketika saya coba pesan minuman ringan di salah
satu tempat di Mall. Untuk bayar minuman itu saya harus merogoh kocek cukup
dalam karena satu gelas minuman kecilnya seharga 21.000 rupiah. Mending kalau
enak, ini rasanya gak karuan, udah sikit, gak enak, mahal lagi, ini produk luar
negeri. Tapi demi gengsi kita tahan rasa-rasa gak enak itu, yang penting udah
keliatan kalau kita minum dan makannya di tempat-tempat yang produknya luar
negeri. Ini adalah logika yang salah bagi saya.
Nah
tindakan-tindakan seperti diatas lah yang saya harus dirubah dari sekarang.
seringlah berbelanja pada pasar-pasar tradisional, karena yang jual disana
rakyat pribumi semua, begitu juga produknya. Kalau nyantai sama kawan ya cari
angkringan sajalah daripada harus ke Mall kemudian makan dan minum produk luar
negeri. Kemudian kalau shopping, ya shopping saja di toko-toko baju biasa, gak
usah harus berciri tren luar negeri, cari yang tren nusantara. Saya yakin lebih
murah dibanding harus ke Mall dan belanja pakaian-pakaian luar negeri yang
harganya buat kita elus dada. Inilah cara yang saya rasa dapat meningkatkan
jiwa kendonesiaan kita, dan cara bagaimana kita membangun kemajuan ekonomi
warga Indonesia. Stop Hamburgerisasi dan MCdonaldlisasi!.
5.
Semakin mengagungkan Materialisme
“Lunturnya
kesadaran keindonesiaan akibat amnesia jiwa secara nasional telah sampai pada
titik yang mengkhawatirkan. Pancasila sebagai dasar negara yang dianggap sakti
mungkin kini tengah sakit hati pada perilaku anak negeri yang bernama manusia
Indonesia ini. manusia Indonesia pasca-Reformasi, dalam praktiknya, telah
menggeser sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan menggantinya
dengan Materialisme yang paling utama. Materi menjadi alasan dan tujuan yang
paling diunggulkan manusia Indonesia. Materi
menjadi ukuran dan padanan” (Hal 117).
Imam Ratrioso mencontohkan tindakan ini
seperti bisnis dalam sekolah, bersedekah dengan harapan untuk mendapat materi
yang lebih banyak lagi, budaya sogok-menyogok, gaya hidup hedonis terutama pada
generasi muda, iklan yang memprovokasi untuk berprilaku konsumtif, dan budaya
money politic.
6.
Kepasrahan yang tetap tinggi
“Saya
melihat manusia Indonesia dalam banyak hal telah berhasil menjadikan kepasrahan
sebagai solusi. Bagaimana tidak, di tengah bencana alam yang bertubi-tubi
melanda, dari letusan gunung api yang datang secara estafet, gempa bumi yang
disertai tsunami, hingga kemiskinan yang terus mendera, kepasrahan telah
menjadi satu-satunya obat penenang” (Hal 133).
Begitulah
kira-kira quote yang disajikan Imam Ratrioso mengenai jiwa kepasrahan manusia
Indonesia. Beliau mencontohkan kepasrahan yang tinggi seperti uang yang
seharusnya menjadi milik rakyat tapi dikorupsi oleh pejabat, namun rakyat tak mau
bersuara, tapi lebih memilih pasrah sebagai obat penenang. Ibu-ibu rela dan
pasrah mengantri BLSM di tengah terik matahari. Pasar tradisional pasrah ketika
dihadapkan pada persaingan pasar dengan retail mini market yang menjamur
hingga pelosok desa. Serta banyak hal lainnya.
Dalam hal
kepasrahan saya juga sering dengar dari kawan-kawan sesama mahasiswa. kita
pernah berdiskusi masalah kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan rakyat
kecil, kita punya solusi untuk meneriakkan ini di media-media yang kita punya.
Tapi apa kata salah satu kawan saya yang ikut diksusi, “udah pasrah saja
dengan pemerintah, toh suara kita juga tidak didengar”. Bayangkan....tidak
ada sama sekali jiwa perubahannya.
Pernah
juga suatu waktu ketika presiden menaikkan harga BBM, saya dan beberapa kawan
protes, tapi ada kawan saya yang lain bilang “ini kan urusan pemerintah,
mereka yang lebih tau bagaimana seharusnya suatu hal dilakukan”. Kalau
seperti ini mental mahasiswa, saya juga mau jadi presiden, pinjam uang di bank
5 Milyar, bayar media, populerkan saya, kemudian ketika saya menjabat saya buat
kebijakan dengan segala cara yang menghasilkan uang 6 Milyar, toh tidak ada
yang mau protes. Maka dalam masa jabatan 5 tahun saya dapat laba bersih 1
milyar, berarti dalam satu tahun 200 juta, maka dalam satu bulan saya punya
omset bersih 17 juta. Sebuah bisnis yang menggiurkan, maka orang berlomba-lomba
jadi presiden, karena di Indonesia keuntungannya besar. Ini baru dana dari kebijakan
saya, belum suap-suap dari perusahaan asing, wooh bisa lebih banyak untungnya.
Plus gaji lagi, banyak sudah penghasilan presiden.
7.
Tetap mudah memaafkan
“Manusia
Indonesia terkenal ramah dan pemaaf. Penjajah saja sudah lama dimaafkan dan
bahkan tidak sedikit yang berterima kasih atas penjajahan itu, apalagi
kesalahan anak bangsa sendiri. Korupsi bermiliar-miliar bukanlah apa-apa, toh
paling lama kita mencaci mereka dalam bilangan bulan atau tahun” (Hal 140).
8.
Tahan menderita
“Meski
telah mengalami serentetan penderitaan akibat penjajahan itu, tetapi manusia
Indonesia tetap tahan banting, tetap bisa berpesta, tetap happy-happy saja.
Mestinya mentalitas demikian perlu dikembangkan sebagai modal memperjuangkan
kemajuan di berbagai bidang” (Hal152).
Saya ingin menggabungkan
dua karakter ini menjadi satu saja, yaitu mudah memaafkan dan tahan menderita.
Dua hal ini lebih tepatnya adalah masuk ke ranah bagaimana Manusia Indonesia
merespon hal-hal yang membatai dirinya secara sadar dan tidak sadar. Oleh karena
itu, Imam Ratrioso mencontohkan sikap mudah memaafkan dan tahan menderita
manusia Indonesia itu ketika pemerintahnya korupsi, mereka mudah melupakan
kejadian itu, ketika kekayaan alam kita dirusak asing dan rakyatnya sendiri
manjadi miskin di tempatnya sendiri, manusia Indonesia tahan sekali dengan
derita itu dan survive. Ketika terjad hal-hal yang mengambil kemerdekaan
mereka, Manusia Indonesia tidak mau melawan, tidak mau protes, tidak mau
berteriak karena karakternya mudah memaafkan dan tahan menderita.
Selesai sudah cerita saya untuk mereview
kembali bagian 1 dari buku Imam Ratrioso ini. Inilah karakter atau potret manusia
Indonesia saat ini. Manusia Indonesia masih besar rasa mementingkan diri
sendiri, kemauan belajar yang rendah, semakin agresif, melunturnya kesadaran
keindonesiaan, semakin mengangungkan materialisme, kepasrahan yang tetap
tinggi, tetap mudah memaafkan, dan tahan menderita.
Di bagian selanjutnya Imam Ratrioso
menjelaskan apa sebenarnya yang membuat manusia Indonesia seperti di atas dan
juga di bagian akhir Imam Ratrioso memberi solusi untuk merubah
karakter-karakter tersebut. oleh karena itu, silahkan anda perdalami sendiri
dengan mencari dan membaca buku tersebut.
Wassalam........
0 komentar:
Posting Komentar