Kini usia kuliahku tak lagi muda. Aku sudah
semester 7 dan hampir ke semester 8. Sudah hampir 4 tahun aku duduk di bangku
perguran tinggi. Tak banyak yang aku dapatkan. Mungkin karena aku terlalu terlena
dengan silaunya hidup bebas, hidup bebas di kota. Kini aku baru sadar bahwa
banyak hal yang terlewatkan. Sudah 4 tahun, aku baru membaca catatan harian
Ahmad Wahib tentang agama dan politik. Sudah 4 tahun aku baru tertartik dengan
kehidupan sang demonstran Soe Hok Gie. Sudah
4 tahun ini, aku baru ingin membeli bukunya Pram dan Mochtar Lubis.
Membaca, membaca dan membaca. Aku tak
pernah paham semua isi buku yang ku baca. Aku hanya mengerti satu dua judul
saja. tapi aku tak pernah berhenti untuk membeli buku. Mungkin karena keasikan
membaca, aku tak pernah mengusik proposal penelitianku. Ya, proposal penelitian
yang judulnya diejek oleh beberapa dosen. Jangankan dosen, aku sendiri pun tak
yakin dengan judul penelitianku, karena skripsi hanya untuk syarat lulus saja,
bukan untuk menunjukkan kecerdasan. Lihatlah mereka yang mengurus proposal
penelitian dengan cepat, mereka tak pernah pikir apa dampak skripsi terhadap
pribadi mereka, yang penting cepat, itu saja.
Tentang cinta.
Beberapa waktu lalu, aku sempat menghibur
diri dengan membaca novel. Buku-buku non fiksi dengan bahasan yang agak berat
ku singkirkan. Alasannya sederhana, aku ingin hobi membacaku bisa menjadi
hiburan bukan hanya pengetahuan. Tapi ada alasan lain yang lebih tepat, aku
ingin melupakan seseorang. aku kira dengan membaca novel dengan genre cinta
akan mengobati kepedihanku, ternyata tidak. Sakit hati ternyata tak bisa
dihilangkan dengan paksaan, tapi hanya bisa dilupakan dengan kerelaan.
Sebelumnya aku pernah menulis bahwa aku
menyimpan harapan pada seseorang di seberang sana. Tapi di tulisan itu juga
kukatakan bahwa itu hanya harapan, dan saat ini ia bebas dengan siapa saja.
waktu kini menunjukkan bahwa tulisan ku bisa menjadi ramalan. Kebebasannya membawa
pada akhir pencarian. Dia telah memilih untuk bersama orang lain untuk menjadi
sandingan.
Aku tidak pernah kecewa sebenarnya, sama
sekali tidak. Karena dari situ, aku mengalihkan hidupku pada sesuatu yang
pasti, yaitu buku. Aku memang sedih, tapi sedih itu kututup, dan ku coba untuk
berhadapan dengan sosok-sosok sejarah yang hidup abadi yaitu tulisan. Aku berdiskusi
dengan tulisan-tulisan walau aku hanya peserta pasif dalam diskusi tersebut.
kata-kata di dalamnya sukar untuk dicerna, bahasanya ilmiah, gagasannya terlalu
tinggi. Tapi di situ aku merasa tidak sedih lagi.
Tentang kampus
Kembali ke gedung kampus. Kini kawan-kawanku
sudah banyak yang hampir penelitian. sebentar lagi mereka wisuda. Sementara aku
seminar proposal saja belum. Aku masih ingin kuliah, tepatnya membaca buku. Hanya
saat kuliah saja, aku bisa membeli buku, karena uang jajan yang diberikan. Kawan-kawan
mungkin cepat selesai dan wisuda, tapi apakah mereka tak ingin memperlama
kuliah, karena di sini mereka bisa berpikir, berdiskusi, dan menambah wawasan. Jika
wisuda membuat mereka menjadi pekerja dan tak lagi bertambah ilmunya, maka apa
guna cepat lulus kuliah?. Mungkin niat kuliahnya juga sudah salah dari awal,
yaitu kuliah hanya ingin dapat pekerjaan, bukan membuka wawasan.
Pemerintahan itu seperti kampus, lebih
tepatnya kampusku, lebih tepat lagi fakultasku. Birokrasi di dalamnya otoriter,
sok berkuasa, apalagi bagian administrasi. Tak semuanya, tapi hampir semuanya. Di
kampus kita sudah tak tau mana pelayan dan mana yang dilayani. Jika mahasiswa
bayar, maka yang dibayar melayani. Siapa yang melayani? Ya mereka yang digaji. Jika
mahasiswa membayar dengan sepenuh hati dan tanpa kurang sepeser pun dari yang
disepakati, maka harusnya mereka mendapatkan pelayan sepenuh hati. Namanya saja
kampus agama, tapi tak ada nilai agama yang diterapkan.
Tidak hanya itu saja. jadwal kuliah sudah
ditentukan, mahasiswa datang sesuai dengan jadwal, namun dosen tak kunjung
datang, bahkan tak memberi alasan. Giliran mahasiswa terlambat datang, mulai
berlaku peraturan. Ini adalah kediktatoran. Mana katanya demokrasi?. Ternyata ini
teori kekuasaan, mereka para pemangku jabatan tinggi bisa bebas melanggar
aturan, tapi bawahan tak bisa bebas melanggar aturan. Bahkan saat bawahan tau
kalau penguasa melanggar aturan, mereka tetap tampil seperti tak pernah ada
dosa.
Aku berpikir, mungkin ini karena
mahasiswa/i sudah lama diam untuk ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Mahasiswa/i
takut bergerak karena sekarang sudah jamannya uang. mahasiswa/i takut
dikeluarkan karena sepatah kata yang terlontar dapat men DO kan mereka. tapi
satu alasan juga yang kuat, karena mahasiswa/i kurang membaca. Andaikan mereka
membaca ahmad wahib, soe hok gie, eko prasetyo, mungkin mereka tau bahwa jadi
mahasiswa bukan hanya sekedar nampil di kampus dengan pakaian necis, tapi juga
harus bersifat kritis. Kritis pada semua yang mereka lihat, kritis pada
pelayanan kampus, kritis pada tindakan sosial, kritis pada permainan politik,
bahkan kritis pada kepercayaan.
Sayang, teknologi membutakan mata
mahasiswa/i. sayang fashion dan kuliner membutakan mata mahasiswa/i. Kita tidak
hanya apatis pada lingkungan sekitar, tapi kita sudah apatis pada diri sendiri.
Ini sangat bahaya sekali.
Tentang pandangan hidup
Aku sebenarnya ingin bilang kepada orang
tuaku tentang pandangan hidup mereka saat ini, bahwa mereka sedang mengidap
materialisme. Bagaimana tidak, aku disuruh cepat lulus, kalau perlu lanjut S2,
nanti jadi dosen honorer, lama-lama diangkat jadi pegawai. Liat semuanya itu,
semuanya materi. Padahal aku ingin menyendiri dulu dengan ilmu, aku tak ingin
dulu memperdulikan pekerjaan, dan aku ingin menjadi orang yang hidup
berantakan, susah, kelaparan, tapi mau berkorban. Inilah cita-citaku, tapi aku
sadar itu tak akan sejalan dengan zaman, zaman materialisme dan hedonisme.
Tentang Politik
Sekarang harga barang sudah pada naik,
sementara pendapatan masyarakat kita terus menurun. Masyarakat sibuk mencari
pendapatan tambahan. Mahasiswa/i sibuk dengan produk teknologi yang terus
datang silih berganti. Pihak agamawan juga sibuk untuk memilih materi untuk
membius masyarakat agar sabar dalam menjalani hidup ini. Siapa yang mau protes
kalau begini?.
0 komentar:
Posting Komentar