Udara dingin
sehabis hujan adalah hal yang kusukai dalam hidupku. Ia mampu membawa kenangan
lama berputar di kepala, seperti piringan hitam yang diputar di phonograph.
Waktu
Sekolah Dasar, aku menyukai udara dingin sehabis hujan. Ketika malamnya hujan
deras dan paginya masih menyisakan rintik-rintik kecil hujan, aku duduk di
sebuah kursi di depan teras rumah. Ibu selalu membuat teh hangat setiap
paginya. Sambil memasang sepatu, aku menyeruput teh manis buatan ibu.
Halaman depan
rumah menawarkan pemandangan yang hanya ada saat sehabis hujan; genangan air,
bebek yang menyocor lumpur, serta dedaunan yang masih basah yang membuat
warnanya terlihat lebih hijau. Di samping rumah, pasukan kodok masih betah
menyanyikan nyanyian monoton yang sama dengan semalam.
Saat seperti
ini, maka ayahlah yang akan mengantarkanku ke sekolah. Ibu selalu terlihat
sibuk membongkar lemari pakaian untuk mencari jaketku. Aku masih ingat jaket ku
waktu itu, motif kotak-kotak warna merah dan hitam. Entah dari apa bahan jaket
ku itu, tengkuk leherku terasa gatal saat mengenakannya.
Saat mengantarkanku
ke sekolah, ayah tidak mengenakan pakaian dinasnya, ia hanya mengenakan baju
kaos berkerah lengan panjang dan celana kain panjang. Payung berukuran besar
melindungi kami berdua dari rintik-rintik kecil hujan. Ayah sering kepayahan
mengikuti gerak lincahku yang mencoba menghindari genangan air. Terkadang ia
memegang tanganku, terkadang juga ia melepaskannya.
Saat kami
sampai di sebuah gang, kami berdua melihat air parit yang meluap. Jalan yang
biasa ku lewati sudah tak tampak lagi. Yang tampak hanya air yang berwarna
cokelat. Sepertinya air itu dalamnya bisa mencapai lutut, lutut ayahku. Aku tak
mungkin melewatinya dengan pakaian seperti ini. Sepatu dan celanaku bisa basah.
Ayah segera
melipat celananya. Setelah itu, Ia menggendong tubuh kecilku dengan tangan
kanannya. Sementara tangan kirinya masih erat memegang payung. Aku melingkarkan
tanganku ke lehernya agar aku tak melorot ke bawah. Kami berdua menyusuri
luapan air parit itu dengan kesunyian, yang terdengar hanya riak air akibat
terjangan kaki ayahku. Sekitar dua puluh meter kami berdua melewati luapan air,
kami pun sampai di tempat yang agak tinggi di dekat sekolah. Tak ada lagi
luapan air.
Ayah langsung
menurunkanku dari gendongannya. Aku langsung menyalami tangannya. Setelah itu,
aku berlari menuju sekolah. Kaki kecilku kemudian berhenti dan menoleh ke
belakang, aku melihat ayah sudah pulang menyusuri jalan yang sama. Jalan yang
dipenuhi luapan air parit.
Saat itu,
saat udara dingin sehabis hujan menusuk pori-pori kulit, aku malah merasakan
kehangatan. Kehangatan dari seorang ayah. Itulah mengapa aku selalu suka udara
dingin sehabis hujan. Karena dinginnya mengingatku akan kehangatan seorang
ayah.
senang ya masih punya ayah :) bersyukurlh
BalasHapussaya suka tulisan yg ini..menyentuh dan nyaman dibaca