Kamis, 04 Agustus 2016

UDARA DINGIN SEHABIS HUJAN

Udara dingin sehabis hujan adalah hal yang kusukai dalam hidupku. Ia mampu membawa kenangan lama berputar di kepala, seperti piringan hitam yang diputar di phonograph.

Waktu Sekolah Dasar, aku menyukai udara dingin sehabis hujan. Ketika malamnya hujan deras dan paginya masih menyisakan rintik-rintik kecil hujan, aku duduk di sebuah kursi di depan teras rumah. Ibu selalu membuat teh hangat setiap paginya. Sambil memasang sepatu, aku menyeruput teh manis buatan ibu. 

Halaman depan rumah menawarkan pemandangan yang hanya ada saat sehabis hujan; genangan air, bebek yang menyocor lumpur, serta dedaunan yang masih basah yang membuat warnanya terlihat lebih hijau. Di samping rumah, pasukan kodok masih betah menyanyikan nyanyian monoton yang sama dengan semalam.

Saat seperti ini, maka ayahlah yang akan mengantarkanku ke sekolah. Ibu selalu terlihat sibuk membongkar lemari pakaian untuk mencari jaketku. Aku masih ingat jaket ku waktu itu, motif kotak-kotak warna merah dan hitam. Entah dari apa bahan jaket ku itu, tengkuk leherku terasa gatal saat mengenakannya. 



Saat mengantarkanku ke sekolah, ayah tidak mengenakan pakaian dinasnya, ia hanya mengenakan baju kaos berkerah lengan panjang dan celana kain panjang. Payung berukuran besar melindungi kami berdua dari rintik-rintik kecil hujan. Ayah sering kepayahan mengikuti gerak lincahku yang mencoba menghindari genangan air. Terkadang ia memegang tanganku, terkadang juga ia melepaskannya. 

Saat kami sampai di sebuah gang, kami berdua melihat air parit yang meluap. Jalan yang biasa ku lewati sudah tak tampak lagi. Yang tampak hanya air yang berwarna cokelat. Sepertinya air itu dalamnya bisa mencapai lutut, lutut ayahku. Aku tak mungkin melewatinya dengan pakaian seperti ini. Sepatu dan celanaku bisa basah. 

Ayah segera melipat celananya. Setelah itu, Ia menggendong tubuh kecilku dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya masih erat memegang payung. Aku melingkarkan tanganku ke lehernya agar aku tak melorot ke bawah. Kami berdua menyusuri luapan air parit itu dengan kesunyian, yang terdengar hanya riak air akibat terjangan kaki ayahku. Sekitar dua puluh meter kami berdua melewati luapan air, kami pun sampai di tempat yang agak tinggi di dekat sekolah. Tak ada lagi luapan air. 

Ayah langsung menurunkanku dari gendongannya. Aku langsung menyalami tangannya. Setelah itu, aku berlari menuju sekolah. Kaki kecilku kemudian berhenti dan menoleh ke belakang, aku melihat ayah sudah pulang menyusuri jalan yang sama. Jalan yang dipenuhi luapan air parit. 

Saat itu, saat udara dingin sehabis hujan menusuk pori-pori kulit, aku malah merasakan kehangatan. Kehangatan dari seorang ayah. Itulah mengapa aku selalu suka udara dingin sehabis hujan. Karena dinginnya mengingatku akan kehangatan seorang ayah.

Share:

1 komentar:

  1. senang ya masih punya ayah :) bersyukurlh
    saya suka tulisan yg ini..menyentuh dan nyaman dibaca

    BalasHapus