Selasa,
30 Agustus 2016.
Pagi hari
pukul 10.00 WIB gue mendapati pemberitahuan cuaca di facebook yang mengatakan
kalau hari ini akan turun hujan dan badai. Facebook juga menghimbau kepada para
penggunanya untuk sedia payung sebelum hujan. Karena kurang yakin, gue keluar
untuk ngecek kebenarannya. Cuaca di luar sangat kontras sekali dengan apa yang
disampaikan di facebook. Matahari bersinar cerah, langit biru, awan masih putih
dan yang pasti gue masih tetap sendiri, oh noooo. Tak ada tanda-tanda
akan turun hujan apalagi badai. Mark Zuckerberg emang keterlaluan mau
bohongin gue, emang gue cowok apaan?. Iuew.
Pukul
13.00 WIB saat gue sedang asik nulis di netbook, Kentus datang entah
darimana.
“Panas
Zid, panas, panas”, keluh Kentus yang setelah masuk kamar langsung guling-guling
di karpet seperti kerasukan.
Gue gak menghiraukan
Kentus yang mengeluh kepanasan, walaupun sebenarnya gue juga kepanasan. Siang
ini panasnya emang luar biasa dibanding hari-hari sebelumnya. Kemarin-kemarin emang
gak ada hujan dan lumayan panas, tapi hari ini panasnya beda dan lebih kuat,
gak seperti biasanya.
Tak lama
setelah itu Kentus senyap, gak bergerak gak bersuara. Badannya udah basah oleh
keringat. Gue mendekat, jantungnya seperti gak berdetak, hidungnya seperti gak
lagi mengeluarkan karbon dioksida. Tapi mulutnya mangap sampai dimasukin semut
merah. Gue udah mulai khawatir, jangan-jangan Kentus udah dipanggil oleh yang
diatas. Akhirnya gue agak mendekat lagi sedikit, tiba-tiba....”ntuuuttttt”,
kampret,,,dia malah kentut. Kesimpulannya Kentus masih hidup, dia hanya
tertidur.
Pukul
14.00 WIB Oriq pulang dari sekolah. Oriq adalah teman sekamar gue, tahun ini
dia baru masuk SMA di salah satu SMA ternama di Pontianak. Anaknya agak kurus,
rambutnya keriting, kulit agak hitam, tingginya sekitar 160 cm dan yang pasti
jomblo. Saat Oriq tiba ke asrama, gue udah ngantuk berat dan akhirnya tertidur menyusul Kentus. Di
mimpi kami bertemu, Kentus masih kepanasan, “Panas, panas, panas”, ternyata
kami sedang mimpi di lahar gunung berapi.
Pukul 14.30
WIB gue udah mulai sadar tapi masih malas-malasan untuk bangun. Beberapa kali
pintu kamar terbanting oleh angin kencang, begitupula jendela. Gue akhirnya
bangun dan melihat langit dari kaca jendela udah gelap banget. Kami tinggal di
sebuah bangunan empat tingkat, kamar kami tepatnya di tingkat ketiga.
Oriq udah
terlihat panik menahan beberapa jendela yang gak memilik slot kunci. Melihat angin
yang masuk lewat pintu begitu kuat, gue segera menuju pintu untuk menutupnya. Kamar
udah gelap seperti waktu maghrib, angin begitu kencang, beberapa kali suara
petir terdengar, sementara itu Kentus masih tertidur pulas, Kentus gue
lempar pake sapu.
Saat gue
sedang susah-susahnya menutup pintu karena melawan arah angin, Oriq malah
kepengen keluar kamar.
“Eh, Riq
kau mau kemana?”, tanya gue panik sambil narik tangan Oriq. Angin begitu kuat,
saking kuatnya, bungkus indomie yang berterbangan melesat masuk ke mulut gue. “khrok,,oooghkkk,,oooghkkk”
(keselek).
Muka Oriq
udah pucat. Kulitnya yang hitam menjadi putih bersinar di tengah kegelapan
langit. “Angin bang, angin”, kata Oriq panik sambil nunjuk ke belakang, ke arah
jendela kaca.
Tangan Oriq
langsung gue tarik dengan kuat dan dia terlempar ke dalam kamar menghantam Kentus
yang masih tertidur pulas (mereka akhirnya berpelukan). Pintu segera gue
kunci. Gue melihat keadaan luar lewat ventilasi kaca yang ada di dekat pintu. Sumpah
baru kali ini gue melihat angin begitu kuat menghantam rumah-rumah penduduk. Seng,
kayu balok, terpal dan entah apa lagi berterbangan seperti debu.
Oriq lari
ke arah jendela untuk menahan beberapa jendela agar tidak terbuka. Kentus bangun,
duduk bersila, menggosok-gosok mata dan kentut “ntuuuuuuuutttt”.
“Ntus,
angin kuat ntus”, kata gue masih panik untuk mengingatkan Kentus.
“Orang
kentut dibilang angin kuat, aneh kau ni Zid”, ucap kentus santai sambil
menguap.
Kentus
berdiri dan berjalan ke arah Oriq yang sedang sibuk menahan jendela.
Setelah melihat
apa yang terjadi, Kentus terkejut dan panik sambil lari tak beraturan untuk mengamankan barang-barang
yang berharga, “Gila Zid, gempa, gempa, gempa....... angin, angin,
angin......... bahaya........ lari, lari, lari.......!”.
Gue lempar
Kentus pake power bank, akhirnya dia diam.
“Santai
Ntus, santai”, kata gue nenangin Kentus.
Sumber gambar: www.forbes.com |
Kami bertiga
berkumpul di jendela membantu Oriq sambil melihat arah angin yang masih
berputar-putar mencari mangsa. Anginnya seperti membentuk tornado kecil
memutar-mutarkan apa saja yang dilewatinya. Seng dan kayu balok membumbung
tinggi ke atas sekitar 100 meter dari tanah. Tiba-tiba angin makin kuat,
putaran angin semakin jelas terlihat. Kami bertiga udah pasrah di dalam kamar. Tapi
gue baru kepikiran untuk mengabadikan momen mengerikan ini dengan HP, siapa tau
ada wartawan yang tertarik, video gue dibayar mahal, tapi guenya udah meninggal.
“Ntus,
rekam Ntus, rekam!”, gue mengambil alih komando.
Gue dan
Kentus sibuk mencari-cari HP. Oriq paling pertama nemuin HPnya yang ada di saku
celana yang ia pakai. Melihat Oriq yang udah duluan standby di jendela
dengan HP di tangan, gue dan Kentus berkumpul lagi di depan jendela.
“Rekam
Riq!”, perintah gue cepat.
Oriq
langsung mengaktifkan HP nya dan mengarahkannya ke arah angin yang masih ganas
dan berputar menghantam rumah penduduk. Waktu mau mengarahkan HP ke arah angin, kami
baru sadar kalau HP Oriq gak ada kamera. Gue dan Kentus tepok jidat, Oriq
kami lempar ke pusaran angin. “Wooooouuuuuyyy”, Oriq menghilang.
“HP ntus,
HP!”, teriak gue agar Kentus semakin cepat mencari HP nya. Kali ini tidak akan
terulang kesalahan pertama karena HP kentus memiliki kamera. Sayangnya Kentus
kelamaan, yang ketemu duluan malah HP gue.
Gue pun mengarahkan
HP ke arah angin yang masih dengan ganasnya menghantam rumah penduduk. Gue dan
Oriq berdiri di depan jendela. Oriq berada di samping gue sebagai asisten
kameramen. HP gue aktifin, kamera gue buka, sayangya yang standby malah
kamera depan, akhirnya kami berdua berselfie ria. Tepok jidat yang
kedua. Hadeh.
Saking paniknya,
gue sampe gak bisa membalikkan kamera depan ke kamera belakang. Kentus datang
membawa HP nya. Ah,,,, tugas memvideokan gue serahkan ke Kentus. Dengan sigap
Kentus mengarahkan HP nya ke arah angin yang masih ganas sekitar 40 meter di
depan kami. Kentus kameramen, gue dan Oriq asisten. Pas rekaman video dimulai,
eh anginnya udah agak mereda. Rekaman video yang kami dapat cuman berdurasi 10
detik. Video itu kami putar kembali, yang ada di video cuman angin kecil yang
menerbangkan kantong kresek. Tepok jidat yang ketiga, Kentus kami
lempar dari tingkat tiga.
Sekitar pukul
15.40 WIB, setelah sholat ashar, kami naik ke lantai empat (lapangan). Kami terkejut,
di lapangan atas sudah bertengger atap seng lengkap dengan kayu penyangga yang
entah darimana asalnya. Ukurannya lumayan besar, 8 keping seng lengkap dengan
kayu yang menyangganya. Saking besar dan beratnya, Kin (teman sekamar) mencoba
untuk mengangkat, tapi gak mampu.
Hipotesis
gue mengatakan kalau bangunan kami gak dilewati angin. Seng-seng yang ada ini hanya
kiriman saja dari angin yang kuat tadi. Darimana gue bisa berkesimpulan seperti
itu?,,,,,
Gue yakin
dengan hipotesis gue karena celana dalam Kentus masih khusyuk dan tawadhu’ nyantol
di jemuran yang ada di lantai paling atas ini.
Sekian........
0 komentar:
Posting Komentar