Jumat, 30 September 2016

KANTIN DAN WANITA (catatan mahasiswa belum wisuda)



“Boy, boy, biru boy, biru”, ucap Ian setengah berbisik sambil menyikut lenganku. Biru hanyalah kode saja, sebenarnya yang terjadi adalah; wanita berbaju biru sedang berjalan ke arah kantin, tempat kami sedang berkumpul.

Aku dan Eri menoleh ke arah wanita tersebut. Aku tak berani memandang serius, hanya sekilas pandang saja. Tetapi Eri lumayan berani memandang serius, detail dari kepala sampai telapak kaki.

Asid ikut memandang sambil melahap gorengan tahu isi. Asid sama seperti aku, ia tak memandang serius, hanya sekilas sambil melanjutkan santapan. Kami berdua memang pria yang jaim (jaga iman).

Wanita itu bersama kedua temannya mulai mendekati kantin, berjalan perlahan seperti tuan puteri yang didampingi oleh dayang-dayangnya. Ia berjalan begitu anggun dan berwibawa, daun-daun berguguran menambah momen kepermaisuriannya. Semoga saja tidak ada ranting yang jatuh, apalagi kotoran burung, tentu saja hal itu bisa memperburuk suasana.

Setelah lima abad berjalan, barulah ia bersama kedua dayangnya sampai ke kantin. Lima abad hanyalah majas, sindiran karena lamanya mereka berjalan. Cewek memang begitu kali ya?. Jalannya diperlambat sedikit biar terlihat anggun. 

Kembali ke wanita berbaju biru tadi, setibanya di kantin, ia dan kedua dayangnya mencari tempat duduk. Mereka memandang ke berbagai arah dan tak menemukan tempat duduk yang cukup untuk mereka bertiga. Sebenarnya ada beberapa bangku yang kosong, tapi hanya cukup untuk satu orang saja, tidak mungkinkan mereka duduk berpangku?, memangnya ini bus umum. Aku sempat mengira mereka akan menggelar koran dan duduk lesehan sambil menyodorkan gelas aqua (mengemis). Ternyata tidak, itu hanya imajinasi humorku saja.

Kebetulan sekali, tiga mahasiswa -yang sudah sejak lama nongkrong- beranjak dari tempat duduknya. Aku berspekulasi bahwa ketiga mahasiswa itu sudah lama sekali duduk di tempat itu. Lihatlah!, tiga gelas yang ada di atas meja sudah kosong, batu es pun sudah mencair, bahkan laba-laba sudah beranak pinak di gelas tersebut. Ketiga wanita itu menggantikan posisi mahasiswa yang baru saja beranjak meninggalkan tempat duduknya. 

“Hangat sekali tempat duduknya”, kata dayang A. 

“Berarti dia cemburuan”, kata dayang B. 

Wanita berbaju biru tidak merespon ucapan kedua dayang yang ada di depannya, ia menjaga betul kewibawaannya. 

Aku, Eri, Ian dan Asid sesekali menoleh ke arah wanita berbaju biru. Cantiknya luar biasa, mungkin itu yang ada di dalam hati kami bereempat. Atau mungkin Asid memandang ke arah dayang A, maklumlah, Asid memang punya selera tersendiri. Dayang A memang tidak terlalu jelek, aku bahkan tidak berhak menilai hal tersebut karena bagaimanapun dia ciptaan Tuhan juga. Bila aku menghinanya, sama juga aku menghina Tuhan. Mengapa aku jadi ceramah begini?.

Kembali ke dayang A. Apakah kalian ingin mendengarkan penjelasanku tentang bagaimana rupa dayang A?. Dayang A menggunakan baju merah, berjilbab ungu, dan mengenakan rok hijau, kalau dia berdiri di tepi jalan, orang pasti mengira dia adalah umbul-umbul tujuh belasan. Wajahnya bulat, hidungnya berbentuk jambu. Keringat selalu mengucur dari keningnya, ini adalah tanda-tanda orang yang sebentar lagi didatangi malaikat pencabut nyawa. Kalau tidak percaya, baca saja di internet!.

Aku tau betul siapa Asid, dalam hal menilai wanita dia tidak melihat rupa, tidak melihat penampilan dan tidak melihat harta serta keturunan, akan tetapi dia melihat apa yang ada di dada manusia. Sungguh langka orang seperti Asid ini. Dayang A mungkin adalah tipe wanita yang diidam-idamkannya sejak lama, sejak ia rajin membaca novel Habiburrahman.

“Nampaknya dayang B cantek juga”, kata Eri.

Amboy, apa indikator kecantikan dayang B Ri?, bisa-bisanya kau berkata seperti itu. Kalian mau tau bagaimana rupa dayang B?. Dayang B mengenakan sepatu karet, semacam sendal tapi seperti sepatu. Ada banyak lobang-lobang kecil di sepatu tersebut, mungkin lobang kecil itu adalah semacam sirkulasi udara, tempat jempol kaki bernafas. Sepatu itu kalau didiamkan di bawah garis khatulistiwa saat tengah hari; maka dia akan meleleh. Selain itu, selera dayang B juga aneh, dia memesan cappucino dingin, aneh nggak itu?. Selain itu, tasnya, coba lihat tasnya!, eh mana tasnya?, perasaan tadi ada. Sudahlah lupakan tasnya. 

SUMBER GAMBAR: MANG-ODOY.BLOGSPOT.COM


O ya, kita menilai kecantikan bukan kemapanan atau penampilan. Kecantikan identik dengan wajah seseorang, tak peduli dia pincang atau tak punya tangan, yang penting adalah wajah. Kalau wajah cantik, maka cantiklah ia. Lihatlah wajah dayang A!, aku tidak bisa melihat wajahnya, pandanganku dihalangi oleh dua mahasiswa berbadan besar yang ada di dekatnya. Tapi aku masih bisa melihat sedikit, bibirnya, ya bibirnya saja yang kelihatan kalau dilihat dari samping. 

“Tapi masih canteklah yang baju biru boy”, kata Ian menimpali.

Wanita berbaju biru memang cantik. Parasnya mirip Awkarin, pipinya kemerah-merahan, harum bedaknya tercium sampai jarak 10 mil, mungkin dia menggunakan bedak herocin atau caladine. Barusan aku baca di internet, katanya caladine dapat menghilangkan bekas jerawat, mungkin sebab itulah wanita berbaju biru itu wajanhya mulus dan licin. Apabila lalat hinggap di wajahnya, maka lalat tersebut akan terpeleset dan masuk ke dalam cangkir. Apabila lalat itu masuk ke dalam cangkir, maka wanita berbaju biru itu cukup mencelupkan kedua sayap lalat tersebut ke dalam air agar air tersebut tidak beracun.

Mata wanita berbaju biru itu besar. Yang kumaksudkan besar bukan sebesar mata sapi atau mata dinosaurus. Yang kumaksud besar disini adalah,,,ya besar untuk seukuran manusia. Seperti mata artis korea; Song Hye Kyo. Senyumnya,,, aduh manis sekali, tapi seperti ditahan-tahan, begitupula saat tertawa, mulutnya ditutup. Mungkin dia tidak mau lalat masuk ke dalam mulutnya saat tertawa dan tersenyum. Tapi...plas,,,mulutnya terbuka dan aduh, giginya ompong. Aku menghentakkan tangan ke meja, "PRAKKK"

“Ngape boy?”, kata Eri, Ian dan Asid.

“Ndak”, aku berusaha menenangkan diri dan menenangkan ketiga temanku.

Detik jam terus berbunyi. Batu es mulai mencair. Mereka bertiga -Ian, Eri, dan Asid- masih menikmati ketiga wanita tersebut. Asid menikmati apa yang ada di dada dayang A. Eri menikmati sepatu dayang B. Dan Ian masih tidak tahu apa yang ada di balik senyum manis wanita berbaju biru.

Ah biarlah mereka bertiga menikmati wanitanya masing-masing dan aku menikmati nasi gorengku ini.

"Kok telur dadarnya mirip mantan?", aku menghempaskan tangan ke meja untuk yang kedua kalinya.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar