“Boy, boy, biru boy, biru”, ucap Ian setengah berbisik sambil
menyikut lenganku. Biru hanyalah kode saja, sebenarnya yang terjadi adalah;
wanita berbaju biru sedang berjalan ke arah kantin, tempat kami sedang
berkumpul.
Aku dan Eri menoleh ke arah wanita tersebut. Aku tak berani
memandang serius, hanya sekilas pandang saja. Tetapi Eri lumayan berani
memandang serius, detail dari kepala sampai telapak kaki.
Asid ikut memandang sambil melahap gorengan tahu isi. Asid
sama seperti aku, ia tak memandang serius, hanya sekilas sambil
melanjutkan santapan. Kami berdua memang pria yang jaim (jaga iman).
Wanita itu bersama kedua temannya mulai mendekati kantin,
berjalan perlahan seperti tuan puteri yang didampingi oleh dayang-dayangnya. Ia
berjalan begitu anggun dan berwibawa, daun-daun berguguran menambah momen
kepermaisuriannya. Semoga saja tidak ada ranting yang jatuh, apalagi kotoran
burung, tentu saja hal itu bisa memperburuk suasana.
Setelah lima abad berjalan, barulah ia bersama kedua
dayangnya sampai ke kantin. Lima abad hanyalah majas, sindiran karena lamanya mereka berjalan. Cewek memang begitu kali ya?. Jalannya diperlambat sedikit
biar terlihat anggun.
Kembali ke wanita berbaju biru tadi, setibanya di kantin, ia dan
kedua dayangnya mencari tempat duduk. Mereka memandang ke berbagai arah dan tak
menemukan tempat duduk yang cukup untuk mereka bertiga. Sebenarnya ada beberapa
bangku yang kosong, tapi hanya cukup untuk satu orang saja, tidak mungkinkan mereka duduk
berpangku?, memangnya ini bus umum. Aku sempat mengira mereka akan menggelar
koran dan duduk lesehan sambil menyodorkan gelas aqua (mengemis). Ternyata tidak,
itu hanya imajinasi humorku saja.
Kebetulan sekali, tiga mahasiswa -yang sudah sejak lama
nongkrong- beranjak dari tempat duduknya. Aku berspekulasi bahwa ketiga
mahasiswa itu sudah lama sekali duduk di tempat itu. Lihatlah!, tiga gelas
yang ada di atas meja sudah kosong, batu es pun sudah mencair, bahkan laba-laba
sudah beranak pinak di gelas tersebut. Ketiga wanita itu menggantikan posisi mahasiswa
yang baru saja beranjak meninggalkan tempat duduknya.
“Hangat sekali tempat duduknya”, kata dayang A.
“Berarti dia cemburuan”, kata dayang B.
Wanita berbaju biru tidak merespon ucapan kedua dayang yang
ada di depannya, ia menjaga betul kewibawaannya.
Aku, Eri, Ian dan Asid sesekali menoleh ke arah wanita
berbaju biru. Cantiknya luar biasa, mungkin itu yang ada di dalam hati kami
bereempat. Atau mungkin Asid memandang ke arah dayang A, maklumlah, Asid memang
punya selera tersendiri. Dayang A memang tidak terlalu jelek, aku bahkan tidak
berhak menilai hal tersebut karena bagaimanapun dia ciptaan Tuhan juga. Bila aku
menghinanya, sama juga aku menghina Tuhan. Mengapa aku jadi ceramah begini?.
Kembali ke dayang A. Apakah kalian ingin mendengarkan
penjelasanku tentang bagaimana rupa dayang A?. Dayang A menggunakan baju merah,
berjilbab ungu, dan mengenakan rok hijau, kalau dia berdiri di tepi jalan,
orang pasti mengira dia adalah umbul-umbul tujuh belasan. Wajahnya bulat,
hidungnya berbentuk jambu. Keringat selalu mengucur dari keningnya, ini adalah
tanda-tanda orang yang sebentar lagi didatangi malaikat pencabut nyawa. Kalau tidak
percaya, baca saja di internet!.
Aku tau betul siapa Asid, dalam hal menilai wanita dia tidak melihat rupa, tidak
melihat penampilan dan tidak melihat harta serta keturunan, akan tetapi dia melihat apa yang
ada di dada manusia. Sungguh langka orang seperti Asid ini. Dayang A mungkin
adalah tipe wanita yang diidam-idamkannya sejak lama, sejak ia rajin membaca
novel Habiburrahman.
“Nampaknya dayang B cantek juga”, kata Eri.
Amboy, apa indikator kecantikan dayang B Ri?, bisa-bisanya
kau berkata seperti itu. Kalian mau tau bagaimana rupa dayang B?. Dayang B
mengenakan sepatu karet, semacam sendal tapi seperti sepatu. Ada banyak
lobang-lobang kecil di sepatu tersebut, mungkin lobang kecil itu adalah semacam sirkulasi udara, tempat jempol kaki bernafas. Sepatu itu kalau didiamkan di bawah
garis khatulistiwa saat tengah hari; maka dia akan meleleh. Selain itu, selera
dayang B juga aneh, dia memesan cappucino dingin, aneh nggak itu?. Selain itu,
tasnya, coba lihat tasnya!, eh mana tasnya?, perasaan tadi ada. Sudahlah lupakan
tasnya.
SUMBER GAMBAR: MANG-ODOY.BLOGSPOT.COM |
O ya, kita menilai kecantikan bukan kemapanan atau
penampilan. Kecantikan identik dengan wajah seseorang, tak peduli dia pincang
atau tak punya tangan, yang penting adalah wajah. Kalau wajah cantik, maka
cantiklah ia. Lihatlah wajah dayang A!, aku tidak bisa melihat wajahnya, pandanganku
dihalangi oleh dua mahasiswa berbadan besar yang ada di dekatnya. Tapi aku
masih bisa melihat sedikit, bibirnya, ya bibirnya saja yang kelihatan kalau
dilihat dari samping.
“Tapi masih canteklah yang baju biru boy”, kata Ian
menimpali.
Wanita berbaju biru memang cantik. Parasnya mirip Awkarin, pipinya
kemerah-merahan, harum bedaknya tercium sampai jarak 10 mil, mungkin dia menggunakan bedak herocin atau caladine. Barusan
aku baca di internet, katanya caladine dapat menghilangkan bekas jerawat,
mungkin sebab itulah wanita berbaju biru itu wajanhya mulus dan licin. Apabila
lalat hinggap di wajahnya, maka lalat tersebut akan terpeleset dan masuk ke dalam
cangkir. Apabila lalat itu masuk ke dalam cangkir, maka wanita berbaju biru itu
cukup mencelupkan kedua sayap lalat tersebut ke dalam air agar air tersebut
tidak beracun.
Mata wanita berbaju biru itu besar. Yang kumaksudkan besar
bukan sebesar mata sapi atau mata dinosaurus. Yang kumaksud besar disini
adalah,,,ya besar untuk seukuran manusia. Seperti mata artis korea; Song Hye
Kyo. Senyumnya,,, aduh manis sekali, tapi seperti ditahan-tahan, begitupula saat
tertawa, mulutnya ditutup. Mungkin dia tidak mau lalat masuk ke dalam mulutnya saat tertawa dan tersenyum. Tapi...plas,,,mulutnya terbuka dan aduh, giginya
ompong. Aku menghentakkan tangan ke meja, "PRAKKK"
“Ngape boy?”, kata Eri, Ian dan Asid.
“Ndak”, aku berusaha menenangkan diri dan menenangkan ketiga
temanku.
Detik jam terus berbunyi. Batu es mulai mencair. Mereka bertiga -Ian, Eri, dan Asid- masih menikmati ketiga wanita tersebut. Asid
menikmati apa yang ada di dada dayang A. Eri menikmati sepatu dayang B. Dan Ian
masih tidak tahu apa yang ada di balik senyum manis wanita berbaju biru.
Ah biarlah mereka bertiga menikmati wanitanya masing-masing
dan aku menikmati nasi gorengku ini.
"Kok telur dadarnya mirip mantan?", aku menghempaskan tangan ke meja untuk yang kedua kalinya.
0 komentar:
Posting Komentar