Toy hanya bisa duduk di
sebuah kursi sofa dan memandangi kami bertiga yang sedang bermain mobil-mobilan
di ruang tamu rumahnya. Ibunya sibuk memilah daging dan tulang ikan, menyendoki
dagingnya, kemudian menyuapkan sesendok nasi yang telah disirami gulai ikan ke
mulut Toy. Kedua temanku serius bermain mobil-mobilan, sementara aku fokus
kepada Toy dan ibunya.sebenarnya bukan kepada kedua orang itu, akan tetapi
kepada nasi dan gulai ikan yang setiap beberapa detik sekali hinggap ke mulut
Toy. Aku lapar karena belum makan siang. Kuah yang berwarna kuning dan beraroma
kunyit serta seonggok ikan gembung sukses membuat ususku mengkerut dan
berbunyi. Aku hanya bisa berfantasi seolah suapan itu juga masuk ke dalam
mulutku.
Toy tidak ikut bermain
karena ia hanya bisa duduk di kursi. Keadaannya tak memungkinkan ia untuk
banyak bergerak. Luka di betis kanannya yang ia dapatkan sekitar dua minggu
yang lalu masih belum begitu sembuh. Luka tiga sobekan dengan masing-masing dua
jahitan itu tercipta akibat gigitan anjing kampung yang bernama Village Dog. Diantara kami berempat;
aku, Toy, Uda, dan Ade, akulah yang paling merasa bersalah. Kesalahan ini tidak
diketahui banyak orang, hanya kami bereempat yang tahu. Aku bersyukur Toy tidak
membeberkan kesalahanku itu pada orang tuanya.
Kesalahan ini bermula ketika
kami bosan bermain kelereng di halaman rumah Uda. Kami bosan karena kemenangan
hanya dirasakan oleh Ade. Ia sangat lihai menjentikkan biji kaca itu sehingga
ia mampu mengumpulkan banyak kelereng. Ade memiliki kelereng sebanyak satu
ember cat berukuran besar. Kami bertiga; aku, Uda dan Toy selalu meminjam
kelereng Ade disaat kalah. Hutang kami bertiga sudah menumpuk. Pembayaran
hutang juga berbunga dua kali lipat. Misalkan aku meminjam lima kelereng, maka
aku harus membayar sepuluh kelereng kepada Ade. Jumlah hutang kami bertiga
sudah tidak terhitung lagi dengan jari tangan karena jari tangan kami hanya
sepuluh. Aku berhutang 125 biji kelereng, Uda 80 kelereng dan Toy yang paling
banyak yaitu 250 kelereng. Itupun belum dihitung dengan bunganya.
Agar kerugian ini tidak
terjadi dan dirasakan sampai anak cucu kami nantinya, kami bertiga; aku, Uda
dan Toy berniat melakukan revolusi. Pelunasan hutang dan kecurangan yang parah
tidak bisa lagi dirubah kecuali dengan revolusi. Untuk menyiasatinya, kami
bertiga membuat konspirasi; yaitu menghentikan permainan kelereng dan
menggantikannya dengan permainan lain atau keseruan lain. Siasat itu berhasil
dan Ade pun mengalami kerugian besar. Kelereng yang ia kumpulkan tidak lagi
berharga. Akhirnya ia melupakan hutang tersebut.
Untuk menghilangkan musim
kelereng, kami bereksperimen dengan permainan-permainan baru. Awalnya kami mencoba
bermain gambar, karena Ade melihat ada peluang untuk menjadi pemilik modal lagi
di permainan ini, kami bertiga segera menghentikan permainan tersebut. Setelah
itu, saat musim kemarau tiba, kami memutuskan untuk mengganti kebiasaan bermain
sore dengan mandi di sungai. Di sungai kami bisa berenang, bermain
kejar-kejaran di air, lomba menyelam paling lama dan membuat istana dari pasir
hitam yang berlumpur. Tapi keseruan ini hanya berjalan empat hari, karena esoknya
ditemukan anak kecil dari kampung sebelah tewas tenggelam di sungai tempat
biasa kami bermain. Karena kejadian tersebut, anak-anak kecil termasuk kami
bereempat tidak berani lagi bermain di sungai. Akhirnya kami mencari keseruan
di sore hari dengan memancing kemarahan anjing di komplek perumahan warga Katolik.
Tidak semua anjing di
komplek tersebut galak dan mau mengejar anak kecil seperti kami, sehingga kami
harus mencoba dulu mana anjing yang galak dan mana yang tidak. Pertama kami
mencoba dengan anjing kampung berwarna kuning, tubuhnya tidak terlalu besar
bahkan terkesan kurus, tulang-tulangnya terlihat timbul di beberapa bagian
badannya. Kami memancing kemarahannya dengan berbagai cara. Uda melempari anjing
tersebut dengan batu kerikil berukuran kecil, anjing itu tidak peduli. Ade
melemparinya dengan kelereng, anjing itu hanya berpindah tempat. Toy
menyalak-nyalak sambil menghadapkan pantatnya ke arah anjing tersebut, kemudian
menepuk-nepuk pantatnya, anjing tersebut sama sekali tak bernafsu melihatnya.
Aku berlari beberapa langkah ke depan kemudian mundur lagi beberapa langkah ke
belakang seperti pendemo yang takut-takut berani menghadapi polisi, anjing itu
hanya menjilat kakinya. Kesimpulannya, anjing ini tidak bisa diajak bermain.
Kami mencari anjing lain. Kami
menelusuri gang lainnya yang ada di komplek tersebut. Pucuk dicita ulam pun
tiba, kami menemukan anjing lain. Anjing itu berbaring santai di pinggir jalan,
warnanya hitam dan badannya agak gemuk. Kami mulai beraksi memancing kemarahan
anjing tersebut dengan cara sebelumnya; melempari dengan batu, menyalak meniru anjing,
menepuk-nepuk pantat dan berlari maju mundur. Anjing itu bereaksi, dia ikut
menyalak. Melihat reaksi itu, kami semakin bersemangat, kami melompat-melompat
seperti kera saat musim kawin. Anjing itu menyalak lebih cepat dan lebih keras
hingga akhirnya berdiri dan berjalan beberapa langkah ke arah kami. Kami
berempat sudah memasang kuda-kuda untuk berlari menjauhi anjing, tak lupa
sendal jepit kami selipkan diantara jari-jemari tangan kami masing-masing.
Usaha kami berbuah hasil,
anjing itu akhirnya memanas dan mengejar kami bereempat. Diantara kami
bereempat, lari yang paling cepat dipegang oleh Uda, kedua Ade, ketiga aku dan
keempat Toy. Sayangnya aku tidak ingin berlari terlalu cepat karena aku tau
bagaimana caranya membuat anjing takut. Trik ini digunakan oleh orang pada umumnya
ketika mereka dikejar anjing atau menemukan anjing yang galak. Trik itu adalah
duduk, berpura-pura mengambil batu dan berpura-pura melempar, padahal tidak ada
satu batupun yang kau pegang. Trik ini mengajarkan kita untuk bersikap berani
walau sebenarnya keberanian yang kita punya hanyalah keberanian yang konyol. Sungguh
pelajaran yang bagus. Dan saat ini aku ingin mencoba trik tersebut.
Aku memperlambat lariku,
kulihat temanku yang lainnya semakin menjauh dan mempercepat larinya. Aku berhenti
dan membalikkan badan, aku melihat anjing itu masih berlari mengejar. Segera
aku berpura-pura duduk dan menempelkan tangan kananku ke tanah seolah sedang
meraih batu. Anjing itu mengeremkan kakinya ke tanah sampai tanah itu berdebu.
Ia melihatku dengan tatapan tajam. Kami berdua seperti dua orang koboy yang
saling berhadapan sebelum akhirnya menembakkan revolver ke arah lawan. Anjing
itu menggeram, raut wajahnya terik, matanya menyipit, mulutnya sedikit terangkat
ke atas memperlihatkan gigi taringnya yang tajam dan kuning, sejak lahir tak
pernah sikat gigi. Ia menyalak, aku sedikit gugup, keberanianku sedikit demi
sedikit mulai luntur. Ia memasang kuda-kuda untuk mulai mengejarku kembali.
Ketika ia mulai berlari lagi ke arahku, aku mengeluarkan jurus andalan; yaitu berpura-pura
melempar batu. Sayangnya nyali anjing itu tidak ciut sedikitpun. Akhirnya aku
benar-benar ingin meraih batu dan melemparnya, sayangnya batu yang ada di jalan
tersebut tertanam cukup dalam. Aku pun mengganti plan A dengan plan B; yaitu
berlari sekencang-kencangnya.
Pada saat mulai berlari
kembali, jarak aku dan anjing tidak jauh, paling hanya delapan meter saja.
Tentu saja dengan jarak seperti itu, anjing itu sangat mudah mendekatiku.
Jarakku dan jarakknya semakin dekat hingga akhirnya ia berlari di sampingku
sambil menyalak. Di depan -sekitar tigapuluh meter- aku bisa melihat ketiga
temanku. Mereka bersorak agar aku mempercepat lariku. Sayangnya anjing tersebut
sudah mendahuluiku. Ia langsung mengambil alih posisi, aku dibelakang dan dia
di depan. Aku berhenti, dia pun berhenti tapi masih menyalak. Dia
mengelilingiku dan terus menyalak. Keringatku bercucuran, mukaku mungkin pucat,
aku pasrah. Setelah beberapa kali ia mengelilingiku aku pun heran, mengapa ia
tak juga menggigitku?. Dari sini aku berpikir bahwa anjing itu tau maksudku
yang hanya ingin mengajaknya bermain. Oleh karenanya, diapun hanya bermain dan
tidak ingin menggigitku apalagi membunuhku. Aku berkesimpulan bahwa anjing bisa
membaca pikiran manusia.
sumber gambar : news.okezone.com |
Denga teoriku yang barusan
ku temukan itu, aku mencoba bereksperimen. Aku berpikir untuk memukulnya,
mengusirnya dan bila perlu menyiksanya. Dia berhenti menyalak seperti tau apa
yang ada di dalam pikiranku. Aku tercengang, ternyata teoriku berhasil. Aku
melihat ada sebatang kayu di samping jalan. Dengan gerak perlahan, aku
melangkahkan kakiku ke arah kayu tersebut. Aku meraih kayu tersebut, tentu saja
dengan pikiran ingin membunuhnya. Ia diam dan kemudian lari tunggang-langgang
menyalak penuh ketakutan. “Tolong-tolong”, kurang lebih itulah terjemahan dari
gonggongannya. Aku mengangkat kayu dan berteriak penuh kemenangan.
Ketiga temanku mendatangiku
dan menepuk pundakku. Mereka memuji kehebatanku dalam menjinakkan anjing
kampung yang galak tersebut. Mereka mengajakku untuk kembali memanasi anjing
tersebut. Tapi aku mencegahnya, karena hari sudah petang. Akhirnya kami
bereempat pulang dan keesokan harinya kuceritakan teoriku tadi kepada mereka;
bahwa anjing bisa membaca pikiran kita. Kalau kita berani, anjing akan takut.
Kalau kita ingin mengajaknya main, dia akan bermain.
Esoknya aku tidak bisa
mengikuti teman-temanku bermain-main dengan anjing karena aku harus membantu
ibu memanen jeruk sambal di halaman rumahku. Tanpa kehadiranku, mereka tetap
pergi ke tempat anjing tersebut. Aku mengingatkan mereka tentang teoriku itu.
“Ingat!!!, anjing bisa
membaca pikiran manusia”, kataku mengingatkan.
Mereka mengangguk paham.
Malamnya aku mendapatkan
kabar dari ibuku bahwa betis Toy digigit anjing kampung. Ia dibawa ke mantri
desa. Ibu mengatakan kalau lukanya parah sekali, sampai dijahit. Saat itulah
aku merasa bersalah karena telah melahirkan teori anjing.
***
Saat aku melihat Toy disuap
oleh ibunya dan mereka tidak peduli denganku yang kelaparan ini, aku
berkesimpulan bahwa manusia tidak bisa membaca pikiran manusia.
Semoga saja Toy bisa
membantah teoriku lagi.
0 komentar:
Posting Komentar