Sabtu, 12 November 2016

TEORI ANJING



Toy hanya bisa duduk di sebuah kursi sofa dan memandangi kami bertiga yang sedang bermain mobil-mobilan di ruang tamu rumahnya. Ibunya sibuk memilah daging dan tulang ikan, menyendoki dagingnya, kemudian menyuapkan sesendok nasi yang telah disirami gulai ikan ke mulut Toy. Kedua temanku serius bermain mobil-mobilan, sementara aku fokus kepada Toy dan ibunya.sebenarnya bukan kepada kedua orang itu, akan tetapi kepada nasi dan gulai ikan yang setiap beberapa detik sekali hinggap ke mulut Toy. Aku lapar karena belum makan siang. Kuah yang berwarna kuning dan beraroma kunyit serta seonggok ikan gembung sukses membuat ususku mengkerut dan berbunyi. Aku hanya bisa berfantasi seolah suapan itu juga masuk ke dalam mulutku.

Toy tidak ikut bermain karena ia hanya bisa duduk di kursi. Keadaannya tak memungkinkan ia untuk banyak bergerak. Luka di betis kanannya yang ia dapatkan sekitar dua minggu yang lalu masih belum begitu sembuh. Luka tiga sobekan dengan masing-masing dua jahitan itu tercipta akibat gigitan anjing kampung yang bernama Village Dog. Diantara kami berempat; aku, Toy, Uda, dan Ade, akulah yang paling merasa bersalah. Kesalahan ini tidak diketahui banyak orang, hanya kami bereempat yang tahu. Aku bersyukur Toy tidak membeberkan kesalahanku itu pada orang tuanya.

Kesalahan ini bermula ketika kami bosan bermain kelereng di halaman rumah Uda. Kami bosan karena kemenangan hanya dirasakan oleh Ade. Ia sangat lihai menjentikkan biji kaca itu sehingga ia mampu mengumpulkan banyak kelereng. Ade memiliki kelereng sebanyak satu ember cat berukuran besar. Kami bertiga; aku, Uda dan Toy selalu meminjam kelereng Ade disaat kalah. Hutang kami bertiga sudah menumpuk. Pembayaran hutang juga berbunga dua kali lipat. Misalkan aku meminjam lima kelereng, maka aku harus membayar sepuluh kelereng kepada Ade. Jumlah hutang kami bertiga sudah tidak terhitung lagi dengan jari tangan karena jari tangan kami hanya sepuluh. Aku berhutang 125 biji kelereng, Uda 80 kelereng dan Toy yang paling banyak yaitu 250 kelereng. Itupun belum dihitung dengan bunganya. 

Agar kerugian ini tidak terjadi dan dirasakan sampai anak cucu kami nantinya, kami bertiga; aku, Uda dan Toy berniat melakukan revolusi. Pelunasan hutang dan kecurangan yang parah tidak bisa lagi dirubah kecuali dengan revolusi. Untuk menyiasatinya, kami bertiga membuat konspirasi; yaitu menghentikan permainan kelereng dan menggantikannya dengan permainan lain atau keseruan lain. Siasat itu berhasil dan Ade pun mengalami kerugian besar. Kelereng yang ia kumpulkan tidak lagi berharga. Akhirnya ia melupakan hutang tersebut.

Untuk menghilangkan musim kelereng, kami bereksperimen dengan permainan-permainan baru. Awalnya kami mencoba bermain gambar, karena Ade melihat ada peluang untuk menjadi pemilik modal lagi di permainan ini, kami bertiga segera menghentikan permainan tersebut. Setelah itu, saat musim kemarau tiba, kami memutuskan untuk mengganti kebiasaan bermain sore dengan mandi di sungai. Di sungai kami bisa berenang, bermain kejar-kejaran di air, lomba menyelam paling lama dan membuat istana dari pasir hitam yang berlumpur. Tapi keseruan ini hanya berjalan empat hari, karena esoknya ditemukan anak kecil dari kampung sebelah tewas tenggelam di sungai tempat biasa kami bermain. Karena kejadian tersebut, anak-anak kecil termasuk kami bereempat tidak berani lagi bermain di sungai. Akhirnya kami mencari keseruan di sore hari dengan memancing kemarahan anjing di komplek perumahan warga Katolik.

Tidak semua anjing di komplek tersebut galak dan mau mengejar anak kecil seperti kami, sehingga kami harus mencoba dulu mana anjing yang galak dan mana yang tidak. Pertama kami mencoba dengan anjing kampung berwarna kuning, tubuhnya tidak terlalu besar bahkan terkesan kurus, tulang-tulangnya terlihat timbul di beberapa bagian badannya. Kami memancing kemarahannya dengan berbagai cara. Uda melempari anjing tersebut dengan batu kerikil berukuran kecil, anjing itu tidak peduli. Ade melemparinya dengan kelereng, anjing itu hanya berpindah tempat. Toy menyalak-nyalak sambil menghadapkan pantatnya ke arah anjing tersebut, kemudian menepuk-nepuk pantatnya, anjing tersebut sama sekali tak bernafsu melihatnya. Aku berlari beberapa langkah ke depan kemudian mundur lagi beberapa langkah ke belakang seperti pendemo yang takut-takut berani menghadapi polisi, anjing itu hanya menjilat kakinya. Kesimpulannya, anjing ini tidak bisa diajak bermain.

Kami mencari anjing lain. Kami menelusuri gang lainnya yang ada di komplek tersebut. Pucuk dicita ulam pun tiba, kami menemukan anjing lain. Anjing itu berbaring santai di pinggir jalan, warnanya hitam dan badannya agak gemuk. Kami mulai beraksi memancing kemarahan anjing tersebut dengan cara sebelumnya; melempari dengan batu, menyalak meniru anjing, menepuk-nepuk pantat dan berlari maju mundur. Anjing itu bereaksi, dia ikut menyalak. Melihat reaksi itu, kami semakin bersemangat, kami melompat-melompat seperti kera saat musim kawin. Anjing itu menyalak lebih cepat dan lebih keras hingga akhirnya berdiri dan berjalan beberapa langkah ke arah kami. Kami berempat sudah memasang kuda-kuda untuk berlari menjauhi anjing, tak lupa sendal jepit kami selipkan diantara jari-jemari tangan kami masing-masing.

Usaha kami berbuah hasil, anjing itu akhirnya memanas dan mengejar kami bereempat. Diantara kami bereempat, lari yang paling cepat dipegang oleh Uda, kedua Ade, ketiga aku dan keempat Toy. Sayangnya aku tidak ingin berlari terlalu cepat karena aku tau bagaimana caranya membuat anjing takut. Trik ini digunakan oleh orang pada umumnya ketika mereka dikejar anjing atau menemukan anjing yang galak. Trik itu adalah duduk, berpura-pura mengambil batu dan berpura-pura melempar, padahal tidak ada satu batupun yang kau pegang. Trik ini mengajarkan kita untuk bersikap berani walau sebenarnya keberanian yang kita punya hanyalah keberanian yang konyol. Sungguh pelajaran yang bagus. Dan saat ini aku ingin mencoba trik tersebut. 

Aku memperlambat lariku, kulihat temanku yang lainnya semakin menjauh dan mempercepat larinya. Aku berhenti dan membalikkan badan, aku melihat anjing itu masih berlari mengejar. Segera aku berpura-pura duduk dan menempelkan tangan kananku ke tanah seolah sedang meraih batu. Anjing itu mengeremkan kakinya ke tanah sampai tanah itu berdebu. Ia melihatku dengan tatapan tajam. Kami berdua seperti dua orang koboy yang saling berhadapan sebelum akhirnya menembakkan revolver ke arah lawan. Anjing itu menggeram, raut wajahnya terik, matanya menyipit, mulutnya sedikit terangkat ke atas memperlihatkan gigi taringnya yang tajam dan kuning, sejak lahir tak pernah sikat gigi. Ia menyalak, aku sedikit gugup, keberanianku sedikit demi sedikit mulai luntur. Ia memasang kuda-kuda untuk mulai mengejarku kembali. Ketika ia mulai berlari lagi ke arahku, aku mengeluarkan jurus andalan; yaitu berpura-pura melempar batu. Sayangnya nyali anjing itu tidak ciut sedikitpun. Akhirnya aku benar-benar ingin meraih batu dan melemparnya, sayangnya batu yang ada di jalan tersebut tertanam cukup dalam. Aku pun mengganti plan A dengan plan B; yaitu berlari sekencang-kencangnya. 

Pada saat mulai berlari kembali, jarak aku dan anjing tidak jauh, paling hanya delapan meter saja. Tentu saja dengan jarak seperti itu, anjing itu sangat mudah mendekatiku. Jarakku dan jarakknya semakin dekat hingga akhirnya ia berlari di sampingku sambil menyalak. Di depan -sekitar tigapuluh meter- aku bisa melihat ketiga temanku. Mereka bersorak agar aku mempercepat lariku. Sayangnya anjing tersebut sudah mendahuluiku. Ia langsung mengambil alih posisi, aku dibelakang dan dia di depan. Aku berhenti, dia pun berhenti tapi masih menyalak. Dia mengelilingiku dan terus menyalak. Keringatku bercucuran, mukaku mungkin pucat, aku pasrah. Setelah beberapa kali ia mengelilingiku aku pun heran, mengapa ia tak juga menggigitku?. Dari sini aku berpikir bahwa anjing itu tau maksudku yang hanya ingin mengajaknya bermain. Oleh karenanya, diapun hanya bermain dan tidak ingin menggigitku apalagi membunuhku. Aku berkesimpulan bahwa anjing bisa membaca pikiran manusia. 

sumber gambar : news.okezone.com


Denga teoriku yang barusan ku temukan itu, aku mencoba bereksperimen. Aku berpikir untuk memukulnya, mengusirnya dan bila perlu menyiksanya. Dia berhenti menyalak seperti tau apa yang ada di dalam pikiranku. Aku tercengang, ternyata teoriku berhasil. Aku melihat ada sebatang kayu di samping jalan. Dengan gerak perlahan, aku melangkahkan kakiku ke arah kayu tersebut. Aku meraih kayu tersebut, tentu saja dengan pikiran ingin membunuhnya. Ia diam dan kemudian lari tunggang-langgang menyalak penuh ketakutan. “Tolong-tolong”, kurang lebih itulah terjemahan dari gonggongannya. Aku mengangkat kayu dan berteriak penuh kemenangan. 

Ketiga temanku mendatangiku dan menepuk pundakku. Mereka memuji kehebatanku dalam menjinakkan anjing kampung yang galak tersebut. Mereka mengajakku untuk kembali memanasi anjing tersebut. Tapi aku mencegahnya, karena hari sudah petang. Akhirnya kami bereempat pulang dan keesokan harinya kuceritakan teoriku tadi kepada mereka; bahwa anjing bisa membaca pikiran kita. Kalau kita berani, anjing akan takut. Kalau kita ingin mengajaknya main, dia akan bermain. 

Esoknya aku tidak bisa mengikuti teman-temanku bermain-main dengan anjing karena aku harus membantu ibu memanen jeruk sambal di halaman rumahku. Tanpa kehadiranku, mereka tetap pergi ke tempat anjing tersebut. Aku mengingatkan mereka tentang teoriku itu.

“Ingat!!!, anjing bisa membaca pikiran manusia”, kataku mengingatkan.

Mereka mengangguk paham.

Malamnya aku mendapatkan kabar dari ibuku bahwa betis Toy digigit anjing kampung. Ia dibawa ke mantri desa. Ibu mengatakan kalau lukanya parah sekali, sampai dijahit. Saat itulah aku merasa bersalah karena telah melahirkan teori anjing.

***

Saat aku melihat Toy disuap oleh ibunya dan mereka tidak peduli denganku yang kelaparan ini, aku berkesimpulan bahwa manusia tidak bisa membaca pikiran manusia. 

Semoga saja Toy bisa membantah teoriku lagi.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar