Senin, 29 Agustus 2016

KUDA NIL

Orang sering bilang, “I Hate Monday”. Heh, gue gak. Awalnya sih gitu,,,tapi?.

Senin 29 Agustus 2016.

Hari ini gue udah siap-siap mau pergi ke kampus. Baju dan celana udah gue setrika, bahan yang mau gue ketik ntar di perpustakaan kampus udah gue siapin, badan udah wangi, rambut udah mengkilap dan rapi, kuku udah gue potong takut ada periksa kuku di kampus, motor udah gue panasin (saking panasnya sampe meleleh), pokoknya semua udah gue siapin buat hari ini (hari Senin).

Gue udah mulai semangat buat nyelesain skripsi. Kasian pembimbing gue, kayaknya mereka berdua udah bosan ngeliat tampang gue yang kerjaannya bolak-balik bawa revisian. Okelah, untuk itu, hari ini gue mau membuka hari baru, mau semangat nyelesain skripsi. Hari ini udah gue jadwalkan untuk mengerjakan Bab IV (pembahasan). Tujuan gue hari ini adalah perpustakaan kampus, gue pengen analisis pembahasan-pembahasan skripsi yang ada di perpustakaan kampus, menyeleksinya, mengkritiknya dan mencari mana yang layak untuk dijadikan contekan untuk pembahasan gue, sebenarnya yang lebih tepat adalah yang terakhir, nyari contekan buat nyelesain skripsi gue, heheh.

Di perjalanan saat berkendaraan, gue bersiul dan menyanyikan lagu-lagu semangat seperti potong bebek angsa, pelangi-pelangi, balonku ada lima dan lagu TK lainnya, maklum lagu semangat yang gue hafal cuman itu. saking Semangatnya, gue jingkrak-jingkrak di motor, wheelie (angkat ban depan), circle (angkat ban depan sambil berputar-putar), dan akhirnya jatuh ke selokan.

Pas di kampus, gue berjalan kalem dan ngelemparin senyum ke siapapun termasuk ke Mamang es tebu yang ada di depan gerbang. Hari ini kebetulan lagi ada ospek mahasiswa/i baru. Gue nyamperin sekumpulan mahasiswa baru yang sedang beristirahat di lapangan. 

“Hei, anak baru ya?”, tanya gue ramah.

“Ya bang. Abang disini kuliah?, Semester berapa?”, tanya salah satu dari mereka

“Kuliah lah, masak jual es tebu. Oh abang udah ngerjain skripsi, bentar lagi selesai. Ni mau ke perpustakaan ngerjainnya”, kata gue sambil senyum.

“Mantap lah bang”

“Oh ya abang pergi dulu ya, yang semangat ospeknya!”, kata gue nyemangatin mereka.

“Ok bang, semoga sukses bang skripsinya”.

“Oke”.

Gue langsung pergi ke perpustakaan. Pas gue sampai depan pintu perpustakaan, ternyata tulisan di pintunya “TUTUP”, trus ada pengumuman kalau perpustakaan baru buka awal September. Gue langsung terkulai lemas seperti habis diputus sama mantan yang lahir tanggal 28 Agustus (cielah). (HBD Ntan). Pas gue rajin, eh,,,kampusnya malas. Nasib-nasib.....

Akhirnya, gue langsung balik dan ikut bergabung sama mahasiswa/i yang lagi ospek.

“Lah kok disini bang?”

“Abang udah gak tahan jadi mahasiswa tingkat akhir dek, abang pengen ngulang dari awal aja, jadi mahasiswa baru lagi”, jelas gue sedih

Mereka puk-puk in gue. Dalam hati gue berkata, “I Hate Monday”.

Gue gak mutusin pulang, karena kalau pulang, gue bakal tidur-tiduran. Jadi gue mutusin pergi ke sebuah cafe, menyendiri, dan menulis sambil cari gebetan.

***

Kali ini gue mau cerita tentang pengalaman gue waktu di pesantren. Tapi gue gak akan ngejelasin ilmu yang dipelajari di dalamnya seperti ilmu Nahwu dan Sharaf. Gue gak bakal jelasin itu, soalnya gue juga gak paham yang begituan. Nampak sekali di pesantren cuma makan, tidur, sama buang air. 

Yang pengen gue ceritain sekarang adalah tentang pengalaman gue waktu dihukum di pesantren. Wah penting ya?, gak juga sih. Oleh karena itu, di akhir tulisan ini nanti, kita akan tarik relevansinya dengan permasalahan yang ada sekarang, aseekkk. Padahal gue juga gak tau relevansi itu apa.  

Salah satu hukuman yang paling menakutkan di pesantren adalah Botak/Gundul. Pertama kali gue kena hukuman botak itu waktu sekolah menengah pertama di pesantren. Rasanya seperti gak hidup, sumpah. Kemana-mana mesti pakai kopiah, sering dijitak sama teman, waktu tidur gue sering dikerjain; kepala gue dijadikan media untuk menggambar khaligrafi, dan yang pastinya santriwati pada menjauh, mereka menganggap gue tuyul yang tersesat dan tak tau arah jalan pulang.

Padahal gue waktu itu gak salah, entah kenapa pimpinan pesantren tega sekali mencukur habis rambut yang ada di kepala gue. Ceritanya begini; waktu itu gue pergi ke masjid pake sendal swallow, pas baliknya sendal gue hilang dan gue cariin gak ketemu-ketemu, lah gue pake aja sendal Carwil. Gak taunya itu sendal Ustadz. Tamat riwayat, gue langsung diseret ustadz ke meja pengadilan.

“Ngapain kamu nyolong sendal saya?”, tanya Ustadz dengan suara kasar sambil melototin gue.

“Sendal saya di masjid hilang ustadz”, jawab gue takut seperti pembegal motor yang sedang dihakimi massa.

“Kamu tahu hukuman mencuri apa ha?”, tanya Ustadz

“Tahu Ustadz, tahu. Hukumannya nikahin anak Ustadz”, jawab gue polos, gue langsung disabet pake sorban.

“Hukumannya botak”, jelas Ustadznya tegas. “Gara-gara kamu, saya pulang ke rumah pake sendal swallow”, kata Ustadznya sambil memperlihatkan sendal swallow yang melekat erat di kakinya. 

“Lah, itu sendal saya Ustadz”

“???”, Ustadznya kebingungan.

Akhirnya kami berdua dibotak oleh pimpinan pondok pesantren.

***

Selain dibotak, hukuman yang lumayan mengerikan adalah berendam di kolam yang ada ikannya. Gue pernah sekali dihukum yang kayak beginian gara-gara gak ikut sholat shubuh berjama’ah di masjid. Santri yang dihukum waktu itu; gue, Hadi dan Minjay. Tengah asik-asiknya mimpi ketemu sama Putri Titian (artis), tiba-tiba paha gue digajul sama Ustadz. Gajul = teknik tendangan dengan tumit kaki yang ditarik 120 derajat dari sasaran kemudian dilepaskan dengan cepat dan bertenaga untuk menghantam paha santri-santri yang berlumuran dosa. Sontak kami bertiga kaget dan langsung bangun sambil salto belakang, saking refleksnya.

“Ambil wudhu cepat, setelah itu sholat”, perintah Ustadz. Setelah itu dia keluar entah kemana. 

Kami bertiga bergegas pergi ke tempat wudhu, berlari sambil memegang paha yang masih ngilu bekas gajulan. Setelah wudhu, kami sholat berjama’ah di kamar. Saat kami berzikir, tiba-tiba pengeras suara berbunyi, pertanda akan ada santri atau santriwati yang akan masuk meja pengadilan.

“Dipanggil,,,, Yazid, Hadi dan Minjay untuk segera ke rumah”, suara Ustadz bergema membelah udara shubuh. 

“Aaahhhhhhhh”, kami bertiga terkulai lemah.

Segera kami bertiga datang ke rumahnya. Ustadz sudah duduk di sebuah kursi panjang yang ada di teras rumah. 

“Buka baju kalian!”, perintah Ustadz dengan suara menakutkan.

Kami pun membuka baju, seluruh pesantren bercahaya karena menerima pantulan cahaya dari tubuh kami, oke bercanda. Pas buka baju, langit semakin gelap, udara semakin dingin, burung-burung berhenti berkicau dan ayam tak mau berkokok, nah metafora seperti itu baru pas. 

“Masuk ke kolam!”, perintah Ustadz.

Kami tak berani melawan, kalau melawan maka hukumannya bisa dua kali lipat. Kami pun masuk ke dalam kolam dengan pelan-pelan karena takut langsung disambar ikan Piranha. Air kolamnya dingin, dalamnya sepaha, warnanya sudah hijau tua, baunya luar biasa, ikan Nila lari ketakutan karena ada tiga anak manusia yang akan menguasai wilayahnya. 

“Jongkok!”, perintah Ustadz.

Kami pun berjongkok hingga air menenggelamkan kami sampai dada. 

“Jongkok lagi!”, perintah Ustadz

Akhirnya kami berjongkok lebih rendah lagi sampai air menenggelamkan seluruh tubuh kecuali kepala dan setengah batang leher. Setelah itu ustadz masuk ke dalam rumah.

Baru tiga menit berendam, badan gue udah menggigil, begitupula Minjay dan ...........?

“Wah Hadi mana Jay?”, tanya gue.

Kolamnya berukuran sekitar empat kali empat meter. Kami berdua menoleh ke belakang, mungkin Hadi ada di belakang, di sudut kolam. Pas kami menoleh ke belakang, Hadi benar-benar gak ada di kolam.

“Waduh jangan-jangan dia dimakan ikan”, kata gue khawatir.

“Aduh bahaya ini Zid”.

Tiba-tiba “Waaaaaa..........”, Hadi muncul dari dalam kolam mengejutkan kami berdua. Kampret,,,rupanya dia menyelam. Gila ni anak, kami berdua kedinginan sementara dia malah menyelam dalam kolam. Mungkin dia membayangkan kolam ini seperti Raja Ampat (pusat diving nomor satu di Indoensia).

“Kalau kalian ndak bergerak di air, kalian akan kedinginan”, jelas Hadi. “Bergerak-bergerak!”, intruksi Hadi seperti pelatih sepak bola.

Entah darimana dia dapat teori seperti itu. Karena kami emang gak paham banget sama teori-teori sains, maka kami nurut aja sama omongannya. Gue dan Minjay mencoba berenang. Minjay berenang gaya kupu-kupu, gue berenang gaya dada, dan Hadi berenang gaya punggung. Kami berlomba dari satu tepi kolam ke tepi kolam lainnya dengan masing-masing gaya seperti atlet renang Sea Games. Tak lama kemudian kami disiram air panas oleh Ustadz. Akhirnya kami kapok dan kembali ke posisi semula, jongkok sampai air menggenangi setengah leher dan yang pasti kembali menggigil kedinginan.

Hal yang pasti terjadi ketika kita dingin adalah banyaknya produksi Anti Diuretic Hormone alias pengen pipis. Itulah yang dialami oleh kami bertiga saat berada di kolam. Entah sudah berapa liter air seni yang ditampung di Vesica Urinaria (kantung kemih) kami bertiga.

Tiba-tiba air kolam di sekitar gue menjadi agak hangat. Kehangatannya menghilangkan sedikit rasa kedinginan gue. Tapi tunggu dulu, darimana datangnya kehangatan ini?. Gue langsung menoleh ke arah Minjay yang ada di sebelah gue. 

“Jay, kau kencing ya?”, tanya gue.

“Iya Zid, aku ndak tahan”, ucap Minjay sambil menyipitkan mata, sepertinya proses keluarnya Urin dari tubuh Minjay masih berlangsung.

“Sialllll...........”, gue langsung menjauh darinya, pergi ke sudut kolam.

Sumpah, kantung kemih gue udah gak kuat lagi, dan akhirnya .................. “ah lega”.

Saat gue masih enak-enaknya ngeluarin semua persediaan urin yang menumpuk, tiba-tiba Hadi berenang mengelilingi kolam seperti Kuda Nil. 

Sumber gambar: jokowarino.id


“Ngapain Di?”, tanya gue heran.

“Aku kencing Zid”, jawabnya.

“Kampret,,,,,,,,,,”.

“Kayaknya asik ni, kalau gitu aku ikut”, kata Minjay mengikuti Hadi yang berenang seperti Kuda Nil memutari kolam. Mereka berdua sudah seperti sepesang Kuda Nil yang sedang bahagia.
 
Gue gak mau kalah, akhirnya gue ikut juga. Jadilah kami tiga ekor kuda Nil yang berenang memutari kolam sambil menyemprotkan cairan urin ke seluruh penjuru kolam, biar tau rasa tu ikan, Muahahahah (ketawa puas).

***

Hukuman ekstrim yang ketiga adalah sabetan (pukulan dengan kayu sebesar tiga jari). Hukuman seperti ini sering gue alami. Pernah suatu ketika beberapa santri terlambat pergi ke sekolah. Di sekolah, para santri dan santriwati sudah pada berbaris semua untuk mengikuti upacara bendera hari senin. Beberapa santri termasuk gue malah masih sibuk di kamar (asrama), ada yang mencari sepatu, ada yang masih menyiapkan buku pelajaran, mengenakan seragam, dan gue malah baru selesai mandi.

Seorang Ustadz datang mengecek asrama. Gawat-gawat. 

“Yang terlambat baris di depan asrama!”, teriak sang Ustadz nyaring hingga memecahkan gendang telinga semut. “Cepat!”, teriaknya lagi.

Yang lain udah pada berbaris di asrama, lah gue malah kebingungan mencari cawet. “Aduh hilang lagi”, gue menggerutu dalam hati.

“Itu, itu, yang masih di kamar itu, cepat!”, teriak Ustadz.

“Iya Ustadz tunggu, celana dalam saya hilang ini”, kata gue.

Langsung batu seukuran bola kasti melayang ke arah gue, “eits”, untung masih bisa gue tangkis pake pintu almari, aksi gue udah mirip kapten amerika yang menangkis palunya Thor menggunakan tameng Vibraniumnya.

“Hei cepat, cepat!”.

“Iya Ustadz”, gue langsung ambil posisi di barisan paling kanan.

Ustadz langsung celingak-celinguk mencari senjata. Dan.....ah,,,sebatang kayu persegi muncul tiba-tiba sekitar tujuh meter dari barisan kami. Segera ia mengambil kayu tersebut. Jika dilihat dari jauh, sepertinya tekstur kayunya itu cukup kuat. Yang paling pertama menjadi sasaran adalah gue.

“Prakkk......prakkkk.......prakkk”, tiga kali kayu sebesar tiga jari itu menghantam betis gue dan betis santri lainnya. Wow, indah sekali,,,,,, betis gue jadi berwarna biru tapi sakitnya luar biasa. Otot betis gue gak bisa dibujurkan, walhasil gue berjalan kaku dan membungkuk seperti manusia purba.

***

Dan hukuman ekstrim terakhir adalah pelonco. Biasanya yang dapat hukuman begini adalah mereka yang ketahuan pacaran atau berdua-duaan di tempat sepi. Gak enaknya, hukuman ini harus diumumkan kepada seluruh santri dan santrwiwati agar mereka semua bisa menonton beramai-ramai. Untungnya gue waktu pesantren dulu jomblo (gak laku), jadinya gak pernah dapat hukuman yang kayak beginian.

Model hukumannya; santri hanya diperkenankan menggunakan sarung yang diangkat sampai lutut. Cowok dan cewek akan dicoret-coret mukanya menggunakan arang. Setelah itu, panci, kuali, gelas seng, sendok dan garpu diikat memanjang dan melingkar seperti kalung. Hiasan itu dikalungkan ke tubuh cewek dan cowok tersebut. Setelah mereka ganteng dan cakep, barulah mereka diarak keliling asrama secara berdampingan. Pasangan tersebut berjalan melintasi asrama baik itu asrama cewek maupun cowok. Setiap mereka berdua melintasi asrama,  mereka berdua akan disoraki rame-rame, “Huuuuuuuuuu,,,,huuuuuuuuu”, “rasain-rasain”, “piuuuuuwiitt,,,,,,piuuuwitt,,,”, memalukan sekali. 

***

Masih banyak hukuman-hukuman lainnya yang ada di pesantren, seperti membersihkan tempat sampah, membersihkan WC, menggali sumur, menyedot WC, ditampar, ditinju, diterajang dan hukuman-hukuman ekstrim lainnya. Alhamdulillah, sampai saat ini gue dan santri-santri lainnya yang udah ngerasakan beberapa hukuman diatas masih sehat wal’afiat

Saat lebaran kemarin gue silaturahmi lagi ke tempat kawan-kawan alumni pesantren. Kami bercerita banyak hal dan yang paling kami ingat adalah hukuman-hukuman yang kami terima itu. Kami semua berkesimpulan: hukuman keras seperti itu adalah cara terbaik untuk mendispilinkan kami (para santri yang bandel) seperti ini. Tapi sekarang hukuman-hukuman itu sudah ditiadakan lagi karena bisa melanggar HAM. 

Gue setuju dengan kebijakan sekarang yang mengatakan bahwa pukulan, tendangan, tinjuan, tamparan dan perpeloncoan sudah tak bisa lagi diterapkan. Hal seperti itu adalah bentuk kekerasan tentu saja. 

Zaman sekarang udah gak bisa disamakan dengan zaman dulu. Perbedaan zaman akan membentuk manusia yang berbeda pula. Begitupula dengan kenakalan anak didik, jadi para pendidik harus pandai-pandai menganalis pemicu dari kenakalan yang ada di zaman yang selalu berubah cepat ini. Sekarang sudah zamannya teknologi, zamannya internet, zamannya media sosial, zamannya globalisasi. Dan gue melihat, sumber dari kenakalan anak didik zaman sekarang adalah gadget dan internet.

Anak didik zaman sekarang banyak belajar dari internet. Cara mereka berbicara, cara mereka berpakaian, cara mereka bergaul, cara mereka memperlakukan teman, cara mereka berpikir dan cara mereka melihat sesuatu kebanyakan berasal dari apa yang mereka lihat di internet. Kalau guru hanya main tendang, main tampar, main jewer tanpa menyentuh pemicu kenakalan mereka, maka hukuman-hukuman itu gak akan berguna. 

Oleh karena itu, guru harus memiliki peraturan yang lebih update lagi dengan kondisi sekarang. Guru harus berpikir, bagaimana caranya mengatasi kenakalan anak didik yang lahir dari sepotong gadget?, bagaimana caranya mencegah anak didik agar tidak menonton, menyukai dan meniru hal-hal buruk dari video, gambar atau postingan yang tersebar bebas di dunia maya?, dan bagaimana caranya membentuk mental dan karakter anak didik, memahamkan mereka mengenai dampak negatif yang ada di internet, sehingga mereka tak mudah terpengaruh dengan perilaku buruk yang ada di dalamnya?. 

Bagaimana caranya?, kalianlah (para guru) yang bertanggung jawab untuk menemukan caranya.

“Lah kamu Zid?”

“Gue belum sarjana, status gue masih mahasiswa”, jawab gue santai.

***
Share:

0 komentar:

Posting Komentar