Sudah
lima menit aku duduk di disini, di atas kursi kayu yang sudah tua. Kursi tua
ini masih kalah tuanya dengan bangunan lima tingkat ini. Aku selalu memilih
lantai paling atas, menikmati pemandangan yang tidak akan bisa kulihat bila aku
berada di lantai bawah. Apabila aku mendongakkan kepalaku ke atas, maka aku
bisa melihat langit tanpa penghalang sedikitpun. Apabila mataku menatap lurus
ke depan atau memutar kepalaku, maka aku bisa melihat kota ini membentang
begitu indahnya. Entahlah, tak juga indah sebenarnya. Semerawut, tak beraturan,
untungnya sekarang malam hari, jadi lampu-lampu bangunan bisa sedikit menjadi
penghias. Lihatlah gedung-gedung besar nan tinggi itu, mereka berdiri dengan
angkuhnya, seolah rumah-rumah kecil yang ada di sekitarnya hanyalah para kacung
yang bisa diperas bahkan diinjak-injak semaunya.
Aku sedang
menunggu seseorang. Dia adalah orang yang selalu aku andalkan saat pikiran dan
jiwa sudah semerawut seperti tata kota yang ada di hadapanku ini. Seperti
biasa, aku harus menunggu dulu beberapa menit sebelum ia datang. Selalu saja
aku yang datang duluan. Mungkin karena aku datang hanya karena ada maunya saja,
makanya ia agak malas untuk menemuiku, hingga terlambat adalah sebuah
kepastian.
Dari jauh
terdengar sayup-sayup musik dangdut berdendang memecah kesunyian. Deru
kendaraan muncul dan hilang begitu cepat. Tapi ribuan rumah penduduk tetap
memilih bisu seperti ada perasaan duka yang begitu mendalam. Pepohonan memilih
menutup hari dengan sedikit menari, ranting dan daunnya terkantuk-kantuk ke
kanan dan ke kiri mengikuti arah angin berlari. Mereka seperti sekelompok
pemain teater yang sudah tau perannya sendiri-sendiri. Pertunjukkan yang begitu
menyimpan banyak arti.
Sepuluh
menit sudah, sahabat yang kutunggu masih belum juga datang. Aku akan
mentolerirnya, aku beri ia waktu dua menit lagi, jika dua menit ia masih belum
datang juga, maka aku akan pulang. Sekarang sudah pukul sepuluh lewat lima
puluh menit. Angin malam yang berpetualang membonceng butiran-butiran air
membuat udara semakin dingin. Angin adalah pemusik yang paling handal, apa yang
dibelai olehnya dapat menghasilkan suara-suara yang indah, tapi terkadang juga
menyeramkan.
“Masih
sama kan apa yang kau lihat?”, sebaris suara muncul dari belakang, suara yang
tak begitu asing.
Tangannya
menangkap pundakku. Aku tak menoleh sedikitpun karena aku tau dia adalah sahabat
karibku. Dengan tangan yang masih menempel di pundak, dia mencoba untuk duduk
di kursi yang ada di sampingku. Setelah bokongnya menyentuh kursi dan
punggungnya bersandar, barulah ia melepaskan tangannya dari pundakku. Aku masih
tak ingin menoleh, karena tanpa melihatnya pun aku sudah hafal garis wajahnya,
lekuk hidungnya, tebal alisnya bahkan sorot matanya, semuanya masih sama.
saatnyasantai.blogspot.com |
“Gimana?,
masih sama atau berbeda tempat dan pemandangan ini?”, tanyanya lagi.
“Secara
detail berbeda, tapi secara umum sama saja”, jawabku.
“Persis
seperti dirimu. Secara detail kau terlihat berbeda, potongan rambutnmu, celana
jeansmu, kemeja flanel yang kau pakai itu juga baru nampaknya. Tapi secara umum
kau sama saja, sama seperti dulu, mudah menyerah dan penakut”.
Aku
membujurkan tubuhku, duduk dengan tegap karena sebelumnya agak membungkuk. “Kau
juga masih sama, masih bisa memberi sedikit kelonggaran dalam hati yang sesak
ini. Makanya aku selalu menemuimu disini”, ucapku.
“Dasar
manusia, datang hanya saat ada maunya saja.”
Kerlap-kerlip
bintang makin semarak dan menggembirakan, beda dengan kerlap-kerlip lampu tower
yang sombong itu, ia seperti membenci kami berdua. Lolongan anjing mulai
terdengar, tanda waktu sudah larut malam. Bulan semakin semangat bersinar,
seolah sekarang adalah puncak dari waktu kerjanya.
“Kau tau
mengapa tak seorang pun dapat mengetahui masa depan?”, tanyanya.
“Karena
semua orang bukan Tuhan”, jawabku singkat.
Dia
tertawa, setelah itu meludah lalu menepuk pundakku beberapa kali. “Jawabanmu
itu benar sekali. Orang bukan Tuhan, Tuhan bukan orang, heh”.
Barulah aku
berani melihat wajahnya. Masih sama seperti yang biasa aku lihat. Wajahnya mirip
sekali denganku. Apabila kami berjalan berdua di keramaian maka orang pasti
mengira kalau aku adalah saudara kembarnya. Hanya saja dia lebih bijak dan
paling pandai memberi nasihat, lebih tepatnya dia adalah tempat untuk aku
meluapkan segala keresahan.
“Aku tau,
kau bukan takut sebenarnya. Bukan. Kau hanya terlalu banyak berpikir.
Ketakutanmu, yang kau anggap rasa takut itu lahir dari pikiranmu”. Dia
merangkulkan tangan kirinya ke pundakku. “Jalan pikiranmu memang rumit, bahkan kusut
seperti benang sehabis dimainkan oleh anak kecil”.
Aku
membungkuk lagi, menggengam kedua tanganku dengan erat, “Menyesal aku sudah menyelam
sampai sedalam ini”.
“Heh, Kau
sudah terlanjur masuk. Aku tau kau ingin kembali dengan kehidupanmu yang dulu;
tak ada beban pikiran, hidup selayaknya manusia biasa menikmati hidup”. Dia
menarik lagi tangannya dari pundakku. “Kau sudah mencoba semuanya kan?. Kau
pulang, kembali ke duniamu yang lama. Tapi apa yang kau dapatkan he?. Dunia itu
sudah berbeda. Jiwamu yang membuatnya berbeda. Bahkan pikiranmu memberontak
tentu saja”.
Pesawat
tiba-tiba melintas di atas kepalaku. Jalannya tak cepat seperti biasanya.
Mungkin ia sudah lelah mengudara seharian. Sebuah kapal lawit mengejutkanku
dengan suara klaksonnya yang begitu nyaring. Suaranya bergema sampai ke seluruh
penjuru kota.
Dia
berdiri, meraih pagar besi, setelah itu bertopang dagu di atasnya. Aku ikut
berdiri di sampingnya. “Heh...kau juga terlalu suka melihat kebelakang. Kau
terlalu suka memikirkan masa lalu. Parahnya kau ingin kembali ke masa itu. Coba
kau teruskan perjalananmu ini. Biarkan pikiranmu menjalar lagi seperti akar ubi
jalar, siramlah ia, bila perlu kau beri pupuk”, ucapnya.
“Itulah
yang aku khawatirkan, apakah semuanya akan baik-baik saja?. Aku di tempat yang
berbeda sekarang. Bisa gila aku kalau terus disini sendiri, dipenjara oleh
pikiran-pikiran ini.”
Dengan
sigap ia langsung menoleh ke arahku dan menolak bahuku dengan tangannya, dia berkata dengan agak keras, “Boy, kau tak sendiri. Banyak orang sepertimu,
hanya saja kau belum bertemu mereka”. Dia kemudian kembali ke posisi semula,
melihat pemandangan kota. Dia kemudian berucap lirih, “Masa lalu memang tak
mungkin dilupakan boy”. Sejenak ia mengambil nafas dalam-dalam. “Dia akan terus
ada di dalam sini (dia menunjuk kepalanya)”, kemudian ia menoleh ke arahku lagi
dan melanjutkan, “Tapi kita bisa memilih untuk menyimpannya disini atau tidak (dia
kemudian menunjuk dadanya)?”.
“Jadi?”,
tanyaku untuk memperjelas ucapannya itu.
“Lanjutkan
perjalananmu, sampai kau menemukan orang yang berada di jalan yang sama
denganmu. Dia akan memberi nasihat yang lebih baik lagi dariku. Karena
sebenarnya aku juga sama denganmu, hanya pikiranku lebih stabil saja”.
Setelah mataku
berkedip, lalu aku menoleh ke arahnya, ingin melihatnya lagi untuk yang kedua
kali, dia sudah tidak ada. Kepergiannya lebih cepat dari hembusan angin. Aku
belum sempat mengucapkan perpisahan, bahkan tidak terpikir kalau dia akan pergi
secepat itu, masih ada hal yang harus kubicarakan dengannya. Tapi tak apa, lain
kali aku bisa memanggilnya,,, karena DIA adalah AKU.
0 komentar:
Posting Komentar