Minggu, 28 Agustus 2016

DIA ADALAH AKU

Sudah lima menit aku duduk di disini, di atas kursi kayu yang sudah tua. Kursi tua ini masih kalah tuanya dengan bangunan lima tingkat ini. Aku selalu memilih lantai paling atas, menikmati pemandangan yang tidak akan bisa kulihat bila aku berada di lantai bawah. Apabila aku mendongakkan kepalaku ke atas, maka aku bisa melihat langit tanpa penghalang sedikitpun. Apabila mataku menatap lurus ke depan atau memutar kepalaku, maka aku bisa melihat kota ini membentang begitu indahnya. Entahlah, tak juga indah sebenarnya. Semerawut, tak beraturan, untungnya sekarang malam hari, jadi lampu-lampu bangunan bisa sedikit menjadi penghias. Lihatlah gedung-gedung besar nan tinggi itu, mereka berdiri dengan angkuhnya, seolah rumah-rumah kecil yang ada di sekitarnya hanyalah para kacung yang bisa diperas bahkan diinjak-injak semaunya.

Aku sedang menunggu seseorang. Dia adalah orang yang selalu aku andalkan saat pikiran dan jiwa sudah semerawut seperti tata kota yang ada di hadapanku ini. Seperti biasa, aku harus menunggu dulu beberapa menit sebelum ia datang. Selalu saja aku yang datang duluan. Mungkin karena aku datang hanya karena ada maunya saja, makanya ia agak malas untuk menemuiku, hingga terlambat adalah sebuah kepastian. 

Dari jauh terdengar sayup-sayup musik dangdut berdendang memecah kesunyian. Deru kendaraan muncul dan hilang begitu cepat. Tapi ribuan rumah penduduk tetap memilih bisu seperti ada perasaan duka yang begitu mendalam. Pepohonan memilih menutup hari dengan sedikit menari, ranting dan daunnya terkantuk-kantuk ke kanan dan ke kiri mengikuti arah angin berlari. Mereka seperti sekelompok pemain teater yang sudah tau perannya sendiri-sendiri. Pertunjukkan yang begitu menyimpan banyak arti. 

Sepuluh menit sudah, sahabat yang kutunggu masih belum juga datang. Aku akan mentolerirnya, aku beri ia waktu dua menit lagi, jika dua menit ia masih belum datang juga, maka aku akan pulang. Sekarang sudah pukul sepuluh lewat lima puluh menit. Angin malam yang berpetualang membonceng butiran-butiran air membuat udara semakin dingin. Angin adalah pemusik yang paling handal, apa yang dibelai olehnya dapat menghasilkan suara-suara yang indah, tapi terkadang juga menyeramkan.

“Masih sama kan apa yang kau lihat?”, sebaris suara muncul dari belakang, suara yang tak begitu asing.

Tangannya menangkap pundakku. Aku tak menoleh sedikitpun karena aku tau dia adalah sahabat karibku. Dengan tangan yang masih menempel di pundak, dia mencoba untuk duduk di kursi yang ada di sampingku. Setelah bokongnya menyentuh kursi dan punggungnya bersandar, barulah ia melepaskan tangannya dari pundakku. Aku masih tak ingin menoleh, karena tanpa melihatnya pun aku sudah hafal garis wajahnya, lekuk hidungnya, tebal alisnya bahkan sorot matanya, semuanya masih sama.

saatnyasantai.blogspot.com


“Gimana?, masih sama atau berbeda tempat dan pemandangan ini?”, tanyanya lagi.

“Secara detail berbeda, tapi secara umum sama saja”, jawabku.

“Persis seperti dirimu. Secara detail kau terlihat berbeda, potongan rambutnmu, celana jeansmu, kemeja flanel yang kau pakai itu juga baru nampaknya. Tapi secara umum kau sama saja, sama seperti dulu, mudah menyerah dan penakut”.

Aku membujurkan tubuhku, duduk dengan tegap karena sebelumnya agak membungkuk. “Kau juga masih sama, masih bisa memberi sedikit kelonggaran dalam hati yang sesak ini. Makanya aku selalu menemuimu disini”, ucapku.

“Dasar manusia, datang hanya saat ada maunya saja.”

Kerlap-kerlip bintang makin semarak dan menggembirakan, beda dengan kerlap-kerlip lampu tower yang sombong itu, ia seperti membenci kami berdua. Lolongan anjing mulai terdengar, tanda waktu sudah larut malam. Bulan semakin semangat bersinar, seolah sekarang adalah puncak dari waktu kerjanya.

“Kau tau mengapa tak seorang pun dapat mengetahui masa depan?”, tanyanya.

“Karena semua orang bukan Tuhan”, jawabku singkat.

Dia tertawa, setelah itu meludah lalu menepuk pundakku beberapa kali. “Jawabanmu itu benar sekali. Orang bukan Tuhan, Tuhan bukan orang, heh”.

Barulah aku berani melihat wajahnya. Masih sama seperti yang biasa aku lihat. Wajahnya mirip sekali denganku. Apabila kami berjalan berdua di keramaian maka orang pasti mengira kalau aku adalah saudara kembarnya. Hanya saja dia lebih bijak dan paling pandai memberi nasihat, lebih tepatnya dia adalah tempat untuk aku meluapkan segala keresahan.

“Aku tau, kau bukan takut sebenarnya. Bukan. Kau hanya terlalu banyak berpikir. Ketakutanmu, yang kau anggap rasa takut itu lahir dari pikiranmu”. Dia merangkulkan tangan kirinya ke pundakku. “Jalan pikiranmu memang rumit, bahkan kusut seperti benang sehabis dimainkan oleh anak kecil”.

Aku membungkuk lagi, menggengam kedua tanganku dengan erat, “Menyesal aku sudah menyelam sampai sedalam ini”.

“Heh, Kau sudah terlanjur masuk. Aku tau kau ingin kembali dengan kehidupanmu yang dulu; tak ada beban pikiran, hidup selayaknya manusia biasa menikmati hidup”. Dia menarik lagi tangannya dari pundakku. “Kau sudah mencoba semuanya kan?. Kau pulang, kembali ke duniamu yang lama. Tapi apa yang kau dapatkan he?. Dunia itu sudah berbeda. Jiwamu yang membuatnya berbeda. Bahkan pikiranmu memberontak tentu saja”.

Pesawat tiba-tiba melintas di atas kepalaku. Jalannya tak cepat seperti biasanya. Mungkin ia sudah lelah mengudara seharian. Sebuah kapal lawit mengejutkanku dengan suara klaksonnya yang begitu nyaring. Suaranya bergema sampai ke seluruh penjuru kota. 

Dia berdiri, meraih pagar besi, setelah itu bertopang dagu di atasnya. Aku ikut berdiri di sampingnya. “Heh...kau juga terlalu suka melihat kebelakang. Kau terlalu suka memikirkan masa lalu. Parahnya kau ingin kembali ke masa itu. Coba kau teruskan perjalananmu ini. Biarkan pikiranmu menjalar lagi seperti akar ubi jalar, siramlah ia, bila perlu kau beri pupuk”, ucapnya.

“Itulah yang aku khawatirkan, apakah semuanya akan baik-baik saja?. Aku di tempat yang berbeda sekarang. Bisa gila aku kalau terus disini sendiri, dipenjara oleh pikiran-pikiran ini.”

Dengan sigap ia langsung menoleh ke arahku dan menolak bahuku dengan tangannya, dia berkata dengan agak keras, “Boy, kau tak sendiri. Banyak orang sepertimu, hanya saja kau belum bertemu mereka”. Dia kemudian kembali ke posisi semula, melihat pemandangan kota. Dia kemudian berucap lirih, “Masa lalu memang tak mungkin dilupakan boy”. Sejenak ia mengambil nafas dalam-dalam. “Dia akan terus ada di dalam sini (dia menunjuk kepalanya)”, kemudian ia menoleh ke arahku lagi dan melanjutkan, “Tapi kita bisa memilih untuk menyimpannya disini atau tidak (dia kemudian menunjuk dadanya)?”.

“Jadi?”, tanyaku untuk memperjelas ucapannya itu.

“Lanjutkan perjalananmu, sampai kau menemukan orang yang berada di jalan yang sama denganmu. Dia akan memberi nasihat yang lebih baik lagi dariku. Karena sebenarnya aku juga sama denganmu, hanya pikiranku lebih stabil saja”.

Setelah mataku berkedip, lalu aku menoleh ke arahnya, ingin melihatnya lagi untuk yang kedua kali, dia sudah tidak ada. Kepergiannya lebih cepat dari hembusan angin. Aku belum sempat mengucapkan perpisahan, bahkan tidak terpikir kalau dia akan pergi secepat itu, masih ada hal yang harus kubicarakan dengannya. Tapi tak apa, lain kali aku bisa memanggilnya,,, karena DIA adalah AKU.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar