*JANGAN
DIBACA KETIKA KHATIB SEDANG NAIK MIMBAR.
Sudah
empat tahun lebih gue kuliah. Sekarang sudah hampir masuk semester sembilan, udah
lumayan lama ternyata, baru sadar gue. Kadang-kadang gue malu kalau pergi ke
kampus, udah hampir semester sembilan bro, bayangkan!. Yang lain udah
pada selesai, lah, gue masih ngurus penelitian. Makanya, kalau gue ke kampus,
gue sering nutupin muka gue pake sweater, biar gak ketauan sama adek
tingkat gue. Hal itu gue lakuin karena mereka sering kepo banget sama
mahasiswa tingkat akhir yang gak selesai-selesai kayak gue gini.
“Udah
selesai skripsinya bang?”, tanya adek tingkat.
“Bentar
lagi, ni masih ngurus penelitian”, jawab gue ramah
Beberapa
hari berikutnya, pas gue mau pergi bimbingan, gue ketemu lagi sama mereka, “Udah sidang kah
bang?”, tanya mereka.
“Bentar
lagi dek”, ni lagi mau konsultasi sama pembimbing. (Udah mulai kesal)
Beberapa
hari berikutnya lagi, pas gue mau minta tanda tangan dosen pembimbing, gue
ketemu lagi sama mereka, “Kapan wisuda bang?”, tanyanya.
“Dek,
adek liat ndak di sana ada apa?”, tanya gue sambil nunjuk ruangan kecil di
sudut lorong fakultas.
“Ada WC
bang”, jawab mereka kompak dan kebingungan.
“Ke sana
yok!. Di tas abang ni ada pisau. Mau gak adek, abang gorok lehernya kayak
kejadian di UMSU kemaren?”.
Empat
tahun lebih kuliah, tentu saja banyak pengalaman dan pelajaran yang bisa gua
dapatkan. Mulai dari ilmu, wawasan, pengalaman, teman, dan juga mantan.
Bagi gue, kuliah itu bukan sekedar buat dapatin ijazah, bukan sekedar untuk
berlomba-lomba dapatin IPK yang tinggi, bukan sekedar itu kawan, yang paling
inti dari kuliah adalah; agar gue gak terlalu awal jadi pengangguran. * Prakkkkkk,
gue langsung disepak.
Kali ini
gue mau nulis tentang kejadian-kejadian masa lalu pada saat gue kuliah, mulai
dari awal sampai sekarang (ngurus skripsi). Tulisan kali ini seperti catatan
akhir kuliah gue. Tapi, agar lebih melankoli, gue ubah menjadi: curhatan akhir
kuliah.
***
Orientasi itu pengenalan bukan perbudakan
Masuk
kuliah gak semudah masuk ke pasar sayur yang bisa langsung masuk seenaknya. Gak
gitu. Sebelum perkuliahan aktif, gue harus melewati masa orientasi dulu. Masa
orientasi waktu kuliah rasanya lebih kejam daripada masa orientasi waktu
sekolah. Waktu itu para mahasiswanya harus botak, pake baju putih celana hitam,
dikasi gantungan papan nama, pake kopiah warna biru, pake kaos kaki bola
kemudian dipake dengan cara menutupi kain celana, biar kaos kakinya keliatan, plus
bawa tas ransel yang udah keliatan gemuk karena membawa bekal yang lumayan
banyak. Yang ganteng jadi jelek, yang jelek tambah jelek, yang sangat jelek
langsung di buang ke laut.
Senior
waktu itu pada galak-galak semua. Pagi-pagi udah teriak, ngebentakin para
junior yang berbuat salah dan melanggar aturan.
“Hei
kamu,,,”, teriak senior sambil nunjuk muka gue.
“Iya
bang”, jawab gue pelan sambil menunduk.
“Hei
kamu,,,” teriak senior lagi, matanya melotot seperti mau meloncat dari
sarangnya.
“Iya
bang”, jawab gue makin takut.
“Hatiku
dak, dik, duk saat aku... me~li~hatmu”, seniornya langsung nyanyi sambil
koreografi niruin Bastian coboy junior.
Gue
langsung pingsan.
“Mana
papan nama kamu?”, tanyanya mulai serius kembali.
“eee....eee....anu
bang... hilang”.
“Hilang-hilang,
baru masuk udah melanggar aturan. Gimana nanti kalau udah kuliah?. Kebiasaan”,
senior teriak-teriak ke gue, air liurnya muncrat ke muka gue. Sontak, jerawat
gue langsung pecah-pecah di tempat.
“Maaf
bang”.
“Maaf,
maaf, emang lebaran. Sekarang kamu lari keliling kota Pontianak dua putaran!”
“Siap
bang”, gue langsung pulang gak balik-balik lagi ke kampus.
Gue
sejujurnya gak setuju sama model orientasi yang kayak begitu. Orientasi
sebenarnya adalah peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat dan
sebagainya). Sumpah itu bukan kata-kata gue, itu gue ambil di internet.
Sedehananya, orientasi adalah pengenalan, bukannya perbudakan. Jika pada masa
orientasi, mahasiswa/i diajari untuk tunduk, patuh, nurut sama senior, maka
dampaknya adalah; mereka akan menjadi mahasiswa yang penakut waktu kuliah
nanti. Takut bertanya, takut menyampaikan pendapat, takut berargumen, takut mengoreksi,
akhirnya proses kuliah hanya menjadi satu arah; dosen ngajari mahasiswa.
Coba kita
lihat di kelas, gak banyak mahasiwa/i yang aktif. Yang aktif palingan satu dua
orang. Pas dosen bilang, “Ada yang mau bertanya?”. Suasana kelas hening, mahasiwa/i
saling sikut-sikutan karena malu mau bertanya. Pas dosennya menyampaikan
sesuatu yang keliru, gak ada mahasiswa/i yang mau mengoreksi atau menegur, “Pak,
salah pak”, gak ada. Yang ada malah kayak gini, ngomong dalam hati, “terus pak,
terus!, makin cepat bapak selesai ceramah, makin cepat kami istirahat”, gue
sering soalnya, hehehe...
***
Belajar bukan sekedar di kelas
Kuliah
itu beda dengan sekolah. Kalau sekolah; guru yang lebih banyak memberikan
pelajaran, sementara kuliah; mahasiswa/i yang harus aktif belajar sendiri.
Dosen Cuma datang ke kelas, jelasin dikit, habis itu ngasi tugas. Simpel. Itu
pun kalau dosennya rajin, kalau pas ketemu sama dosen yang sering jalan-jalan
ikut My Trip My Adventure, wah,,,sampai ujian pun gak bakal masuk.
Akhirnya nilainya pun sembarang isi, ilmunya terserah, bodo amat.
Oleh
karena itu, kita gak bisa berharap banyak dari kegiatan perkuliahan di kelas.
Kuliah di kelas itu hanya rangsangan saja, setelahnya kita sendiri yang eksplor
lebih dalam lagi. Baca buku, ikut seminar, buat grup diskusi, dan
kegiatan-kegiatan lainnya yang bisa menambah wawasan kita terkait dengan
perkuliahan yang telah dilaksanakan di kelas. Sumpah, ini baru kata-kata
gue, bukan copas di internet...
***
Totalitas
Totalitas
sangat diperlukan ketika kita mengerjakan sesuatu pekerjaan, termasuk saat
kuliah. Gue sering lihat mahasiwa/i saat kuliah itu malas-malasan. Waktu dikasi
tugas ngerjakan makalah, ngerjainnya ogah-ogahan. Waktu disuruh presentasi
makalah, lembek kayak jelly. Ngerjakan tugas seadanya, yang penting
dikumpulkan.
Kalau gue
gak kayak gitu, lebih parah dari itu malahan. Becanda. Kalau gue, setiap
ada tugas makalah, gue usahakan referensinya banyak, gue utamakan referensinya
buku, bila perlu bukunya beli. Waktu ada tugas presentasi, gue sungguh-sungguh
ngerjainnya. Power pointnya gue buat semenarik mungkin. Sebelum maju, sekitar
dua minggu, gue udah latihan speaking dulu, seolah-olah gue sedang
presentasi beneran. Setiap ada tugas, gue gak mau asal kumpul gitu aja, gue
selalu kepingin apa yang gue kerjakan adalah yang terbaik dari mahasiswa/i yang
lain. Pas skripsi aja gue malas-malas gini. Karena bagi gue, wisuda itu hanya
sekedar seremoni belaka, yang paling inti itu adalah proses kuliahnya. (Kayaknya
gue sedang kerasukan arwah mahasiswa aktivis, nulisnya jadi garang kayak gini)
***
Gue dan Buku
Baru
sekarang (pas kuliah), gue sadar betapa pentingnya buku, betapa mengasyikkan
membaca buku, betapa harusnya kita membaca buku dan betapa mahalnya harga-harga
buku di Gramedia. Koleksi buku gue sekarang udah sekitar 200 buku, mulai dari
buku agama, pendidikan, politik, ekonomi, konspirasi, sampai buku sastra. Banyak
kan?, gue aja sampai muntah-muntah baca semuanya.
Perjuangan
gue membeli buku juga gak mudah. Sekitar 70 persen dari uang jajan gue, gue
sisihkan buat traktir pacar, eh salah, buat beli buku. Uang jajan gue
emang lumayan banyak perbulannya, sekitar satu juta. Tapi setelah dipotong 70
persen, uang jajan gue tinggal 300 ribu lagi, sebulan 300 ribu men. Jadi nggak
ada bedanya gue (anak PNS) sama mahasiswa yang orangtuanya petani yang cuma
bisa ngasi ke anaknya 500 ribu perbulan. Hanya kadangnya gue kesal gaes sama
mahasiswa/i yang orang tuanya kurang mampu, kesalnya adalah; mereka suka
sok-sokan hidup seperti orang kaya, makan sering diluar, rajin shopping
beli pakaian, sering nongkrong-nongkrong di tempat elit, abis itu dipamerin
lagi di media sosial, seolah hartanya itu berlebihan. Cobalah!, daripada gitu
mendingan uangnya digunakan buat beli buku, kan mantap, walau pakaian
sederhana, tapi otak kita kaya. Betul gak gaes?, asik kan gue?.
Karena
uang jajan yang hanya sekitar 300 ribu perbulan itulah, hidup gue jadi
sangat-sangat menyedihkan. Makannya telur sama indomi, telur sama indomi, hanya
sesekali gue makan ayam, itu pun kalau lagi pergi undangan, undangan gelap
tepatnya. Orang tua gue sampai heran, uang jajan udah dikasi 1 juta
perbulan, tapi kok badan kurus kerempeng kayak gini.
Saking
kecanduannya, uang untuk keperluan lain pun terkadang gue gunakan untuk beli
buku. Kemaren pas bulan juni (pas bulan puasa), Emak gue ngasi uang ke gue buat
beli pakaian lebaran.
“Nak,
emak udah transfer 700 ribu, nanti beli baju lebaran ya!”, pinta emak gue. Pas
nyampe rumah (pulang kampung), emak gue nanyain, “Mana baju lebarannya?”.
“Ni mak”,
gue ngangkat kardus kecil yang gue bawa dari Pontianak.
“Apa itu?”,
tanya emak gue.
“Buku”.
“Kok
malah beli buku?”
“Aku bisa
pakai baju lebaran tahun kemaren mak, jadi gak usah repot-repot beli baju
lebaran yang baru. Jadi, duitnya aku gunakan buat beli buku”, jelas gue pelan
karena kecape’an.
“Kan emak
suruh beli baju, bukan beli buku”, emak gue agak meninggikan suaranya.
“Mak,
buku itu lebih penting daripada baju. Baju sekali pakai selesai, tapi buku bisa
kita pakai berkali-kali, manfaatnya panjang bisa sampai mati”.
Emak gue
langsung sedih sambil sesenggukan.
“Kok
sedih mak?”, tanya gue
“Emak
lagi nonton film Uttaran Nak”, jawab emak gue termehek-mehek.
Gue langsung
jedotin muka ke TV, “Mak..........Mak..........”
***
mantabbbs
BalasHapus