Jumat, 22 Juli 2016

CURHATAN AKHIR KULIAH #1

*JANGAN DIBACA KETIKA KHATIB SEDANG NAIK MIMBAR.

Sudah empat tahun lebih gue kuliah. Sekarang sudah hampir masuk semester sembilan, udah lumayan lama ternyata, baru sadar gue. Kadang-kadang gue malu kalau pergi ke kampus, udah hampir semester sembilan bro, bayangkan!. Yang lain udah pada selesai, lah, gue masih ngurus penelitian. Makanya, kalau gue ke kampus, gue sering nutupin muka gue pake sweater, biar gak ketauan sama adek tingkat gue. Hal itu gue lakuin karena mereka sering kepo banget sama mahasiswa tingkat akhir yang gak selesai-selesai kayak gue gini. 

“Udah selesai skripsinya bang?”, tanya adek tingkat.

“Bentar lagi, ni masih ngurus penelitian”, jawab gue ramah

Beberapa hari berikutnya, pas gue mau pergi bimbingan, gue  ketemu lagi sama mereka, “Udah sidang kah bang?”, tanya mereka.

“Bentar lagi dek”, ni lagi mau konsultasi sama pembimbing. (Udah mulai kesal)

Beberapa hari berikutnya lagi, pas gue mau minta tanda tangan dosen pembimbing, gue ketemu lagi sama mereka, “Kapan wisuda bang?”, tanyanya.

“Dek, adek liat ndak di sana ada apa?”, tanya gue sambil nunjuk ruangan kecil di sudut lorong fakultas.

“Ada WC bang”, jawab mereka kompak dan kebingungan.

“Ke sana yok!. Di tas abang ni ada pisau. Mau gak adek, abang gorok lehernya kayak kejadian di UMSU kemaren?”.

“Kabur................”, mereka lari tunggang langgang.

Empat tahun lebih kuliah, tentu saja banyak pengalaman dan pelajaran yang bisa gua dapatkan. Mulai dari ilmu, wawasan, pengalaman, teman, dan juga mantan. Bagi gue, kuliah itu bukan sekedar buat dapatin ijazah, bukan sekedar untuk berlomba-lomba dapatin IPK yang tinggi, bukan sekedar itu kawan, yang paling inti dari kuliah adalah; agar gue gak terlalu awal jadi pengangguran. * Prakkkkkk, gue langsung disepak. 

Kali ini gue mau nulis tentang kejadian-kejadian masa lalu pada saat gue kuliah, mulai dari awal sampai sekarang (ngurus skripsi). Tulisan kali ini seperti catatan akhir kuliah gue. Tapi, agar lebih melankoli, gue ubah menjadi: curhatan akhir kuliah.

***

Orientasi itu pengenalan bukan perbudakan 

Masuk kuliah gak semudah masuk ke pasar sayur yang bisa langsung masuk seenaknya. Gak gitu. Sebelum perkuliahan aktif, gue harus melewati masa orientasi dulu. Masa orientasi waktu kuliah rasanya lebih kejam daripada masa orientasi waktu sekolah. Waktu itu para mahasiswanya harus botak, pake baju putih celana hitam, dikasi gantungan papan nama, pake kopiah warna biru, pake kaos kaki bola kemudian dipake dengan cara menutupi kain celana, biar kaos kakinya keliatan, plus bawa tas ransel yang udah keliatan gemuk karena membawa bekal yang lumayan banyak. Yang ganteng jadi jelek, yang jelek tambah jelek, yang sangat jelek langsung di buang ke laut.

Senior waktu itu pada galak-galak semua. Pagi-pagi udah teriak, ngebentakin para junior yang berbuat salah dan melanggar aturan. 

“Hei kamu,,,”, teriak senior sambil nunjuk muka gue.

“Iya bang”, jawab gue pelan sambil menunduk.

“Hei kamu,,,” teriak senior lagi, matanya melotot seperti mau meloncat dari sarangnya.

“Iya bang”, jawab gue makin takut.

“Hatiku dak, dik, duk saat aku... me~li~hatmu”, seniornya langsung nyanyi sambil koreografi niruin Bastian coboy junior.

Gue langsung pingsan.

“Mana papan nama kamu?”, tanyanya mulai serius kembali.

“eee....eee....anu bang... hilang”.

“Hilang-hilang, baru masuk udah melanggar aturan. Gimana nanti kalau udah kuliah?. Kebiasaan”, senior teriak-teriak ke gue, air liurnya muncrat ke muka gue. Sontak, jerawat gue langsung pecah-pecah di tempat. 

“Maaf bang”.

“Maaf, maaf, emang lebaran. Sekarang kamu lari keliling kota Pontianak dua putaran!”

“Siap bang”, gue langsung pulang gak balik-balik lagi ke kampus.

Gue sejujurnya gak setuju sama model orientasi yang kayak begitu. Orientasi sebenarnya adalah peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat dan sebagainya). Sumpah itu bukan kata-kata gue, itu gue ambil di internet. Sedehananya, orientasi adalah pengenalan, bukannya perbudakan. Jika pada masa orientasi, mahasiswa/i diajari untuk tunduk, patuh, nurut sama senior, maka dampaknya adalah; mereka akan menjadi mahasiswa yang penakut waktu kuliah nanti. Takut bertanya, takut menyampaikan pendapat, takut berargumen, takut mengoreksi, akhirnya proses kuliah hanya menjadi satu arah; dosen ngajari mahasiswa.

Coba kita lihat di kelas, gak banyak mahasiwa/i yang aktif. Yang aktif palingan satu dua orang. Pas dosen bilang, “Ada yang mau bertanya?”. Suasana kelas hening, mahasiwa/i saling sikut-sikutan karena malu mau bertanya. Pas dosennya menyampaikan sesuatu yang keliru, gak ada mahasiswa/i yang mau mengoreksi atau menegur, “Pak, salah pak”, gak ada. Yang ada malah kayak gini, ngomong dalam hati, “terus pak, terus!, makin cepat bapak selesai ceramah, makin cepat kami istirahat”, gue sering soalnya, hehehe...

***

Belajar bukan sekedar di kelas 

Kuliah itu beda dengan sekolah. Kalau sekolah; guru yang lebih banyak memberikan pelajaran, sementara kuliah; mahasiswa/i yang harus aktif belajar sendiri. Dosen Cuma datang ke kelas, jelasin dikit, habis itu ngasi tugas. Simpel. Itu pun kalau dosennya rajin, kalau pas ketemu sama dosen yang sering jalan-jalan ikut My Trip My Adventure, wah,,,sampai ujian pun gak bakal masuk. Akhirnya nilainya pun sembarang isi, ilmunya terserah, bodo amat.

Oleh karena itu, kita gak bisa berharap banyak dari kegiatan perkuliahan di kelas. Kuliah di kelas itu hanya rangsangan saja, setelahnya kita sendiri yang eksplor lebih dalam lagi. Baca buku, ikut seminar, buat grup diskusi, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bisa menambah wawasan kita terkait dengan perkuliahan yang telah dilaksanakan di kelas. Sumpah, ini baru kata-kata gue, bukan copas di internet...
 
***

Totalitas 

Totalitas sangat diperlukan ketika kita mengerjakan sesuatu pekerjaan, termasuk saat kuliah. Gue sering lihat mahasiwa/i saat kuliah itu malas-malasan. Waktu dikasi tugas ngerjakan makalah, ngerjainnya ogah-ogahan. Waktu disuruh presentasi makalah, lembek kayak jelly. Ngerjakan tugas seadanya, yang penting dikumpulkan. 

Kalau gue gak kayak gitu, lebih parah dari itu malahan. Becanda. Kalau gue, setiap ada tugas makalah, gue usahakan referensinya banyak, gue utamakan referensinya buku, bila perlu bukunya beli. Waktu ada tugas presentasi, gue sungguh-sungguh ngerjainnya. Power pointnya gue buat semenarik mungkin. Sebelum maju, sekitar dua minggu, gue udah latihan speaking dulu, seolah-olah gue sedang presentasi beneran. Setiap ada tugas, gue gak mau asal kumpul gitu aja, gue selalu kepingin apa yang gue kerjakan adalah yang terbaik dari mahasiswa/i yang lain. Pas skripsi aja gue malas-malas gini. Karena bagi gue, wisuda itu hanya sekedar seremoni belaka, yang paling inti itu adalah proses kuliahnya. (Kayaknya gue sedang kerasukan arwah mahasiswa aktivis, nulisnya jadi garang kayak gini)

***

Gue dan Buku 

Baru sekarang (pas kuliah), gue sadar betapa pentingnya buku, betapa mengasyikkan membaca buku, betapa harusnya kita membaca buku dan betapa mahalnya harga-harga buku di Gramedia. Koleksi buku gue sekarang udah sekitar 200 buku, mulai dari buku agama, pendidikan, politik, ekonomi, konspirasi, sampai buku sastra. Banyak kan?, gue aja sampai muntah-muntah baca semuanya.

Perjuangan gue membeli buku juga gak mudah. Sekitar 70 persen dari uang jajan gue, gue sisihkan buat traktir pacar, eh salah, buat beli buku. Uang jajan gue emang lumayan banyak perbulannya, sekitar satu juta. Tapi setelah dipotong 70 persen, uang jajan gue tinggal 300 ribu lagi, sebulan 300 ribu men. Jadi nggak ada bedanya gue (anak PNS) sama mahasiswa yang orangtuanya petani yang cuma bisa ngasi ke anaknya 500 ribu perbulan. Hanya kadangnya gue kesal gaes sama mahasiswa/i yang orang tuanya kurang mampu, kesalnya adalah; mereka suka sok-sokan hidup seperti orang kaya, makan sering diluar, rajin shopping beli pakaian, sering nongkrong-nongkrong di tempat elit, abis itu dipamerin lagi di media sosial, seolah hartanya itu berlebihan. Cobalah!, daripada gitu mendingan uangnya digunakan buat beli buku, kan mantap, walau pakaian sederhana, tapi otak kita kaya. Betul gak gaes?, asik kan gue?.

Karena uang jajan yang hanya sekitar 300 ribu perbulan itulah, hidup gue jadi sangat-sangat menyedihkan. Makannya telur sama indomi, telur sama indomi, hanya sesekali gue makan ayam, itu pun kalau lagi pergi undangan, undangan gelap tepatnya. Orang tua gue sampai heran, uang jajan udah dikasi 1 juta perbulan, tapi kok badan kurus kerempeng kayak gini. 

Saking kecanduannya, uang untuk keperluan lain pun terkadang gue gunakan untuk beli buku. Kemaren pas bulan juni (pas bulan puasa), Emak gue ngasi uang ke gue buat beli pakaian lebaran. 

“Nak, emak udah transfer 700 ribu, nanti beli baju lebaran ya!”, pinta emak gue. Pas nyampe rumah (pulang kampung), emak gue nanyain, “Mana baju lebarannya?”.

“Ni mak”, gue ngangkat kardus kecil yang gue bawa dari Pontianak.

“Apa itu?”, tanya emak gue.

“Buku”.

“Kok malah beli buku?”

“Aku bisa pakai baju lebaran tahun kemaren mak, jadi gak usah repot-repot beli baju lebaran yang baru. Jadi, duitnya aku gunakan buat beli buku”, jelas gue pelan karena kecape’an.

“Kan emak suruh beli baju, bukan beli buku”, emak gue agak meninggikan suaranya.

“Mak, buku itu lebih penting daripada baju. Baju sekali pakai selesai, tapi buku bisa kita pakai berkali-kali, manfaatnya panjang bisa sampai mati”.

Emak gue langsung sedih sambil sesenggukan.

“Kok sedih mak?”, tanya gue

“Emak lagi nonton film Uttaran Nak”, jawab emak gue termehek-mehek.

Gue langsung jedotin muka ke TV, “Mak..........Mak..........”

***

* Bersambung.......


Share:

1 komentar: