Sabtu, 30 April 2016

SERIUS MAU WISUDA? (RENUNGAN BUAT CALON SARJANA PENDIDIKAN)




Membuat status di media sosial tentang kegundahan hati saya mengenai wisuda dan sarjana rasanya tidak cukup. Saya perlu ratusan kata untuk beropini tentang hal yang satu ini. Fokus kritikan saya kali ini bukan untuk sarjana ekonomi, hukum, pertanian, dsb. Tapi, tulisan yang bernada kritik ini meninting calon sarjana pendidikan; terutama sarjana pendidikan agama Islam. Saya sudah sangat lama memendam kegundahan ini, hanya saja saya perlu waktu yang tepat untuk meluapkannya. Dan saya rasa inilah saatnya. 

Ada dua hal yang menjadi kegundahan saya ketika memandang sarjana dan calon sarjana pendidikan agama Islam saat ini.

Pertama:
Saya adalah seorang mahasiswa jurusan pendidikan agama Islam tingkat akhir. Ketika saya berada dalam atmosfer akhir perkuliahan, saya melihat satu hal yang paradoks. Saya melihat semangat kawan-kawan yang menyelesaikan skripsinya sangat-sangat luar biasa. Semangat untuk meraih gelar sarjana dan wisuda juga menggebu-gebu. Mereka –calon sarjana pendidikan agama Islam- rela menunggu dosen selama berjam-jam hanya untuk mendapatkan bimbingan atau tanda tangan. Mereka jadi rajin ke perpustakaan untuk mencari literatur, kajian teori, dan penelitian sebelumnya. Luar biasa. Saya kagum......tapi tunggu dulu!.

Bila kita mundur ke belakang -saat semester 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7-, saya tak melihat semangat itu. Saya malah melihat kebalikannya. Banyak mereka –calon sarjana pendidikan agama Islam- yang tak bersemangat untuk kuliah. Sering tidak hadir dalam perkuliahan. Saya sering mendapati makalah mahasiswa dan mahasiwi dengan daftar pustaka yang minim -paling lima sumber- dan itu kebanyakan comot dari internet. Saya suka muak ketika melihat mereka mempresentasikan makalahnya di depan kelas, mereka terlihat sangat-sangat tak bersemangat, tak menguasai bahan, dan sering tak bisa menjawab pertanyaan audien. Saya sangat jarang melihat mereka membaca, berdiskusi, membahas masalah perkuliahan dan sebagainya. Saya masih sering mendapatkan mahasiswa-mahasiswi yang tidak bisa mengaji dan tidak menguasai materi-materi pembelajaran agama Islam. Tapi, sekarang mereka tiba-tiba ngebet banget pengen wisuda dan meraih gelar sarjana, are you serious?, sekarang mereka baru semangat, lalu ke mana aja kemaren?, 

Saya berkesimpulan bahwa mereka –para calon sarjana pendidikan agama Islam- adalah orang-orang yang terlalu terobsesi dengan hasil, dan tak menghargai proses. Karena bagi saya, kuliah adalah proses dan wisuda adalah hasil. Semester 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, para dosen mengisi pikiran kita dengan berbagai mata kuliah, wawasan, pemikiran, semangat, inspirasi, tapi saat itu saya tak melihat semangat mereka membara. Sekarang, saat mereka hanya mengerjakan satu fokus masalah –judul skripsi- mereka semangat luar biasa, bukankah itu hal yang aneh?. Mereka –para calon sarjan pendidikan agama Islam- seperti menelan satu buah dan menyingkirkan buah-buahan yang lain dari hadapan mereka. Bersemangat dengan skripsi dan wisuda, tapi tak bersemangat dengan mata kuliah yang sudah ada sebelumnya. Maka jadilah sarjana yang gila gelar (membanggakan hasil dan tidak menghargai proses).

Kedua :
Saya sering sekali mendengarkan cita-cita sumbang seperti ini: “Kalau udah sarjana aku pengen honor di sekolah ini itu sambil buka usaha, bisnis, dan wirausaha. Jadi guru hanya sampingan saja”. Saya sangat-sangat tidak suka dengan cita-cita seperti ini. Bagi saya, inilah pangkal kerusakan pendidikan di negeri ini: munculnya guru-guru yang tidak niat menjadi guru. Guru bukanlah profesi yang ecek-ecek atau olok-olok. Seorang guru harus rela berkorban, mengorbankan waktunya, mengorbankan tenaganya, mengorbankan pikirannya bahkan mengorbankan hartanya demi sebuah tujuan yang mulia: yaitu mencerdaskan anak bangsa. 

Bila ada sarjana yang ingin menjadi guru namun hanya sekedar sampingan dan tidak niat dengan sungguh-sungguh, maka sebenarnya dia mengorbankan pendidikan demi sebuah kesenangan pribadi. Jika jadi guru, jadilah guru dan fokus!. Jika ingin menjadi seorang wirausaha, bisnisman, dan entrepreneur, silahkan!, dan jangan coba-coba masuk ke dalam wilayah pendidikan, karena guru bukan untuk ajang coba-coba apalagi hanya selingan dan pekerjaan sampingan. Hal inilah yang sangat saya ragukan dari para sarjana pendidikan agama Islam: lahir guru-guru agama yang berotak materi yang hanya mengejar keuntungan pribadi.

Akhirnya, saya bukan benci atau iri kepada mereka yang telah wisuda. Tapi dalam hati yang terdalam, saya punya harapan yang luar biasa dengan para sarjana; terutama sarjana pendidikan agama Islam. Saya tidak ingin melihat pendidikan kita tercoreng dengan lulusan-lulusan yang selalu terobsesi dengan hasil dan tidak menghargai proses. Saya juga tidak ingin mendengar cita-cita keliru dari para sarjana pendidikan agama Islam; yang terobsesi jadi pengusaha dan menjadikan “guru” hanya sekedar pekerjaan sampingan, yang akhirnya pendidikan menjadi korban.

Sekarang, pendidikan kita sangat bobrok. Mereka –para generasi penerus bangsa- menginginkan guru yang penuh semangat, menginspirasi, dan berani mengajarkan mereka untuk bermimpi. Mereka –para generasi penerus bangsa- perlu guru-guru yang menghargai proses bukan guru yang terobsesi dengan hasil. Tugas para sarjana tidaklah mudah, jadi persiapkan dengan sungguh-sungguh!. Jika anda berpeluh-peluh dan semangat untuk meraih gelar sarjana dan wisuda, maka lakukanlah hal yang sama untuk meningkatkan kompetensi keguruan anda. Jadi guru atau tidak sama sekali!, karena tugas dan tanggung jawab seorang guru tidak ringan.

catatan: tidak semua calon sarjana pendidikan Islam seperti diatas, tapi hampir kebanyakan......

Share:

Jumat, 22 April 2016

HOROR DI PESANTREN (KISAH LAIN CERPEN MANTAN)

Di sore itu, awan mulai merapat dan menyatu dari berbagai arah. Warnanya hitam pekat, rapat menghalau cahaya matahari senja. Sudah lama sekali musim kemarau dan tak turun hujan. Mungkin hari inilah saatnya alam memuntahkan timbunan air untuk membasahi bumi yang kerontang. Cahaya kilat bergiliran muncul di balik gumpalan awan yang terlihat mengamuk. Suara guruh yang bergema mengikuti cahaya kilat turut menambah suasana menjadi semakin menakutkan.

Di balik suasana yang mengerikan itu, para santri malah merasa senang, karena sudah lama mereka tidak mandi dengan air bersih. Sekitar dua minggu sebelumnya, para santri harus merelakan tubuh kurusnya disiram oleh air bor yang sangat bau dan berwarna kecoklatan. Suasana mendung sore itu memberi harapan untuk merasakan mandi air hujan. Segera para santri menyiapkan ember-ember dan menjejerkannya di bawah seng masing-masing asrama.

Polah seperti itu juga dilakukan oleh aku dan Oga. Di kamar kami, Hanya aku dan Oga yang bersemangat untuk menadah air hujan yang akan turun. Sementara Uda dan Eri masih tidur, karena tidak puas dengan tidur siang yang singkat beberapa jam yang lalu. Segera ember bekas cat berukuran besar dan ember hitam ukuran sedang kusimpan di bawah talang air yang mencurahkan air hujan disamping kamar. 

Tidak lama setelah itu, hujan pun turun. Hujan turun begitu deras menghantam bumi dan atap seng asrama, sehingga membuat suara ribut. Begitu ributnya, aku dan Oga sampai berteriak untuk saling memanggil satu sama lain. Angin juga begitu kencang, menghempas apa yang ada di sekitarnya. Pelepah dan daun kelapa dibawa hilir mudik bergoyang karena dihantam angin. 

Aku dan Oga tidak membiarkan momen itu berlalu begitu saja. Segera kami mengambil peralatan mandi yang tersusun di dalam centong dan membawanya keluar kamar. Aku dan Oga tidak keluar lewat pintu asrama, melainkan langsung melompat dari jendela kamar. Disitulah aku dan Oga mandi, di bawah pancuran air hujan yang jatuh deras dari talang air. Aku dan Oga seperti suku Afrika yang tidak pernah menemukan air. Rasa senang kami luar biasa, bahkan tak ingin rasanya melepas air hujan yang jatuh begitu saja  dari langit ke permukaan tanah.

Karena badan sudah menggigil dan jari tangan sudah berkerut, aku dan Oga memutuskan untuk berhenti mandi air hujan. Kami berdua kedinginan, menggigil, dan disertai gertakan gigi dan bibir yang sudah berubah menjadi biru kehitam-hitaman. Aku dan Oga mengambil handuk yang digantung di jendela, dan mengelap serta membalutnya ke badan. Segera kami naik lagi ke kemar lewat jendela dan berlekas untuk memasang pakaian.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Uda dan Eri tidur mati. Suara berisik dan hembusan angin yang masuk ke kamar tidak sama sekali menganggu tidur mereka. Uda tidur dengan posisi bujur kaku dengan telapak tangan bersedekap seperti mayat fir’aun. Eri tidur dengan posisi melengkung seperti udang yang digoreng di minyak yang panas. 

Oga membangunkan Uda dan Eri dengan menggoyangkan badan mereka. “Woi, woi, bangun!. Udah jam 5, ambek nasi lagi!”.

Eri membalikkan badannya dan meregangkan badan seperti kucing yang habis tidur panjang. Matanya masih mengantuk dan sulit membuka. “Jam berape Ga?”, kata Eri dengan mata yang masih terpejam.

“Jam 5” jawab Oga.

Eri pun beranjak dari tidurnya dan duduk bersila. Tangannya liar, menggaruk-garuk leher dan mata yang sudah begitu merah. Eri kemudian menggoyangkan kaki Uda. “Da, Da, bangun Da!”.

“Eeghhh, eeghhh”. Uda memonyongkan, memiringkan, memutar mulutnya seolah urat wajahnya sudah begitu kaku sehingga harus dibujurkan kembali. Tangan dan kakinya dibujurkan dan diregangkan, bahkan kepalan tangan Uda hampir menonjok wajah Eri yang masih kusut.

“Yok ambek nasi”, ajak Oga.

“Yok”, jawabku.

“Nitip, nitip”, pinta Eri yang sudah sangat malas bergerak untuk bangkit dari duduknya.

“Aku sekalin Ga”, pinta Uda yang berbicara namun mata masih terpejam.

Itulah kebiasaan Uda dan Eri yang menjengkelkan. Tapi nitip ngambil nasi dan lauk untuk makan biasanya juga bergiliran. Terkadang Oga minta ambilkan Uda dan terkadang aku minta ambilkan Eri. Seperti itulah adanya, simbiosis mutualisme di kamar kami.

----------------------------***-------------------

Oga masuk ke kamar dengan dua piring nasi di dua tanganya seperti pelayan restoran. “Da, nah nasi kau”.

Aku pun masuk ke kamar dengan membawa dua piring yang sudah terisi dengan nasi, ikan pisang-pisang goreng dan sayur sawi. “Ri, nasi kau”, ucapku sambil meletakkannya di atas lemari.

Aku dan Oga duduk berhadapan menyantap makan sore waktu itu. Eri dan Uda melompat dari jendela menuju ember yang sudah berisi air hujan untuk mencuci muka. Setelah itu, mereka melompat lagi masuk ke kamar. 

Eri mengelap mukanya dengan handuk. “Ujan rupanya. Saking tidur mati, aku sampai tidak dengar suara hujan”, kata Eri.

Ketika Uda hendak mengambil piringnya, dia terkejut. “Ga.......banyak benar kau ngasi kuah ke nasiku ini?”

Seketika itu butiran nasi langsung muncrat dari mulut Oga, karena tidak tahan menahan tawa. “Bukan kuah Da, tu air hujan. Kau tau lah, aku ndak ade pakai payung, jadi masuklah air hujan ke nasi kau”, jelas Oga.

“Adoh....nasi aku pun banjir Da”, gerutu Eri.

“Dah lah Ri, makan-makan jak!. Anggap jak kuah sawi”, ujar Uda.

--------------------***-------------------------

Ketika sehabis isya, Hujan mulai reda. Di beberapa bagian, air tampak menggenang. Suasana malam dihibur dengan paduan suara katak dan kodok. Angin masih membawa hawa dingin masuk ke dalam kamar, menerobos celah-celah dinding dan jendela kayu. Seharusnya para santri belajar bersama di masjid. Akan tetapi karena hawa dingin yang membuat malas untuk keluar, akibatnya santri memilih belajar di kamar. Ustadz yang seharusnya mengontrol dan menyuruh para santri untuk belajar di masjid pun tidak tampak batang hidungya. 

Ketika tempat belajar beralih dari mesjid ke kamar, maka aktivitas pun beralih dari belajar ke hal-hal yang nggak jelas. Eri sibuk smsan sama pacar gelapnya. Uda sibuk smsan sama pacarnya di kampung. Oga memasangkan earphone di telinganya. Kebiasaan Oga adalah mendengarkan siaran radio kota, karena kebetulan penyiarnya adalah wanita yang ia incar sejak lama. Maka kangen-kangenannya adalah dengan mendengarkan si Eli yang sedang ON AIR. Itulah nama gadis tersebut, Eli. Sementara aku hanya main game snake xenzia di HP Nokia yang sudah butut. Waktu itu Ovi, Dini dan Lin sudah jadi mantan, jadi gak bakal ada lagi episode kisah mereka disini.

---------------------***-----------------

Sekitar jam 10, setelah Uda puas smsan dengan pacarnya, ia pun bangkit dari pembaringan. Ia mulai gelisah menggeliat seperti cacing yang disiram air panas. 

“Ngapa Da?”, tanyaku.

“Ndak”, jawab Uda.

Uda membuka jendela dan melihat ke arah rumah ustad Mau. Ustadz Mau adalah usatdz tergalak di pesantren kami. Selain pembina, dia juga seorang guru silat. Eri sudah pernah terkena tendangan T oleh ustad Mau. Oga sudah pernah dibotak karena ketauan keluar main game di warnet tanpa izin. Uda sudah pernah ditempeleng. Dan aku sudah tiga kali dirazia HP oleh beliau. Tak heran bila setiap tindakan yang berbau kriminal harus direncanakan dengan matang, terutama untuk menghindari sergapan ustad Mau.

Dari kami bereempat, semuanya sudah punya tindakan kejahatan masing-masing. Dan salah satu santri yang mendapatkan predikat jahat oleh Ustadz Mau adalah Uda. Kebiasaan buruk Uda adalah merokok. Lokasi para perokok juga nomaden seperti manusia purba. Kadang-kadang di WC tua, di bumbung asrama, di toko-toko depan pesantren, dan yang paling favorit adalah di hutan kecil belakang asrama.

Uda sesekali mengintip dari celah kecil jendela yang sedikit terbuka. Matanya mengintip ke arah rumah ustad Mau. Ketika belum dirasa aman, maka dia duduk kembali dan memainkan jemarinya pada HP genggam yang ada di tangannya. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam lewat, ia kembali mengintip rumah ustad Mau dari celah jendela kamar. Rumah Ustad Mau sepertinya sudah agak gelap, karena beberapa lampu yang sudah tidak menyala lagi. Di saat itulah Uda merasa keadaan sudah aman.

Tak lama kemudian, ada seseorang mengetuk pintu kamar. Uda langsung membuka dan ternyata berdiri Nus di depan pintu dengan mengenakan jaket serta celana training. Nus adalah teman Uda dalam aksi merokoknya. Walaupun sudah jam 11, tetap saja hawa dingin hujan tidak berubah. Uda segera mengenakan pakaian yang hampir sama dengan Nus dan keluar menutup pintu kemudian pergi bersama Nus.

Mereka keluar dari asrama dengan melompati jendela belakang. Setelah melompat, mereka harus melangkahi parit yang berukuran lumayan besar. Suasana malam itu sangat dingin. Walaupun hujan tidak turun sederas sore tadi, tapi hujan gerimis cukup membuat suasana malam begitu sejuk dan sedikit membasahi pakaian mereka berdua.

Di belakang asrama, tempat yang dituju Uda dan Nus adalah sepetak hutan kecil. Di dekat hutan terdapat bekas lapangan tenis yang sudah tidak digunakan lagi. Rumput liar menjalar merayap menutupi sebagin lapangan tenis tersebut. Semen yang sudah retak di beberapa bagian memberitahukan bahwa lapangan tenis ini sudah cukup lama tidak digunakan. Di samping lapangan tenis terdapat pohon ketapang yang besar. Di bawah pohon ketapang itulah Uda dan Nus mendudukkan dirinya untuk mengisap beberapa batang rokok.

Pohon ketapang itu menjulang tinggi ke atas. Batangnya lumayan besar, sebesar pelukan dua orang dewasa. Dahan dan daunnya rimbun menutup langit. Beberapa akar tanaman liar menggantung dan melilit batang pohon tersebut. Sekitar pohon hanya semak belukar yang tidak beraturan. Banyak akar batang pohon ketapang yang menyembul di tanah. Di akar yang menyembul itulah Uda dan Nus duduk. Suasana malam itu begitu mencekam dan gelap. Tidak ada bintang, tidak ada bulan dan yang ada hanya sinar dari bara rokok mereka yang serupa titik merah bila dilihat dari kejauhan.



Cerita angker di tempat tersebut telah beredar di kalangan santri. Tapi cerita itu hanya seperti angin lalu saja, karena tidak banyak santri yang pernah menemukan sesuatu yang menakutkan disitu. Ada yang mengatakan pernah melihat sosok manusia yang bertubuh besar sedang duduk di bawah pohon. Ada yang mengatakan pernah melihat wanita berjalan melintas di semak-semak. Dan masih banyak lagi cerita lainnya. Tapi bagi Uda dan Nus, cerita-cerita itu tak pernah memadamkan keinginan mereka untuk merokok di bawah pohon itu.

Bagi perokok, rasa masam di mulut tidak bisa dihilangkan kecuali dengan mengisap tembakau yang telah dilinting. Rasa ketagihan itulah yang memberanikan kedua santri ini menikmati rokok-rokok mereka di bawah pohon tersebut. Sambil merokok dengan posisi jongkok, Uda dan Nus juga sesekali bercerita untuk memecahkan kesunyian dan keheningan. Mereka berbicara dengan sangat pelan agar suara mereka tidak terdengar terlalu jauh dan diketahui oleh ustadz, terutama ustadz Mau. Selain bercerita, mereka juga sesekali menepakkan tangan ke wajah dan telinga serta telapak kaki, karena nyamuk hutan yang juga sedang kehausan akibat suasana dingin malam itu.

Ketika Uda dan Nus sedang asik bercerita tentang satu dua perkara. Tiba-tiba satu ranting kecil seukuran jari tangan jatuh ke bawah menimpa kepala Uda. Uda sempat menyumpah namun masih bisa ditahan. Uda merasa ranting itu tidak jatuh begitu saja, akan tetapi jatuh karena ada sebab, seperti dilempar. Uda sempat merinding tapi dia tidak berani bercerita dengan Nus, karena itu dapat membuatnya jadi seperti orang yang penakut. “Tok”, ranting kecil dengan ukuran yang sama menimpa kepala Uda lagi. Kali ini ranting itu menghantam kepalanya dengan cukup kuat. Dalam hatinya ia berucap “tidak mungkin ada ranting yang jatuh dari atas pohon bisa menghantam sekuat itu”. Uda lebih merasa itu seperti lemparan seseorang yang begitu kuat.

“Nus kayak ada yang melempar aku dari atas Nus”, ucap Uda dengan suara pelan.

Nus pun menyemburkan asap rokoknya ke muka Uda. “Da, Da, itu angin Da”.

“Tapi kuat Nus”, ucap Uda lagi.

“Anginnya kan kuat Da”, 

Uda merasa perkataan Nus ada benarnya. Ranting yang jatuh itu mungkin disebabkan angin yang bertiup kuat, sehingga jatuhnya pun kencang ke arah dirinya. Seketika itu udara makin terasa dingin. Mungkin waktu sudah menunjukkan pukul 12 lewat. Suasana semakin sunyi dan yang terdengar hanya suara katak dan kodok bersaut-saut bergiliran.

Uda menyulutkan rokoknya yang entah sudah keberapa. Segera tokainya ia pantikkan dan api menyambar lintingan tembakau. Saat api yang masih hidup itu membakar tembakau, Uda juga mengisapnya agar bara api menjalar dan menghidupi rokok. Seketika isapannya masih di pertengahan untuk menghidupkan rokok, seketika itu juga ranting dengan ukuran yang sama menghantam tokai dan rokoknya sehingga terpelanting ke tanah.

Uda tersentak kaget dan memegang tangan Nus. “Nus apa tu?”

Nus pun memantikkan tokai miliknya dan mencari arah tokai dan rokok Uda yang jatuh ke tanah akibat hantaman ranting. Nus kemudian mengambil dan mengembalikan Tokai Uda serta rokonya. “Yang tadi itu ranting Da”, ucap Nus yang mengibur Uda agar tidak merasa cemas.

“Tapi kuat sekali Nus”, jelas Uda dengan agak gemetaran.

“Iyalah, dengan ranting pun takut, Bencong Da, Da”

Uda pun menghidupkan kembali rokonya dengan tokai. Ketika itu tidak ada lagi yang melemparnya. Uda tidak berani melihat ke atas, karena takut ada sesuatu yang menakutkan. Lagi pula ia tidak dapat melihat dengan jelas ada apa diatas pohon itu, karena suasana yang begitu gelap. Sebenarnya hal itu bisa saja ia lakukan dengan menghidupkan tokainya dan kemudian melihat ke atas pohon. Tapi itu tidak akan dilakukan, karena lebih baik menyimpan saja rasa takut itu, daripada harus terkejut melihat apa yang ada diatas.

Nyamuk semakin ramai mengerumuni tubuh mereka. Walaupun nyamuk hanya dapat menjangkau bagian kepala dan kaki mereka, itu sudah cukup membuat Uda dan Nus harus menggerakkan tangannya ke atas dan kebawah menghalau nyamuk yang ada. Udara dingin semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba Uda merasa ada yang mendekati mereka dari arah atas pohon. Walaupun Uda tidak melihat keatas, tapi Uda merasa ada bayangan hitam melebihi gelapnya malam mencoba berpindah dari satu dahan ke dahan lain yang lebih rendah. Uda melihat Nus dengan santai menghisap dan menghembuskan asap rokonya sambil menatap ke depan dengan tatapan yang kosong seolah sedang melamunkan sesuatu. Uda merasa bayangan itu sudah semakin dekat dengan mereka dan siap menerkam. Seketika itulah, terdegar suara tawa yang begitu melengking, mengejutkan mereka. Ketawanya seperti suara wanita atau kuntilanak yang sering mereka dengar dan tonton di film-film horor. Tapi suara itu hanya terdengar satu kali saja dan setelah itu senyap, tidak lagi terdengar.

Nus dengan langkah seribu langsung berlari menuju asrama menghantam semak belukar di depannya. Uda sempat jongkok kaku tidak tau apa yang harus dilakukan, karena takut dan bercampur heran melihat Nus yang tunggang langgang berlari lebih duluan. Uda ingin sekali berlari tapi tubuhnya sama sekali sulit untuk digerakkan. Satu kali lagi ranting seukuran jempol kaki menghantam kepalanya lebih keras daripada sebelumnya, dan saat itulah ia langsung berlari menyusul Nus yang sudah jauh di depan. 

Nus langsung melompat jauh melewati parit dan langsung meraih jendela kemudian masuk ke asrama. Uda yang berjarak agak jauh menyusul namun lupa dengan parit yang ada di dekat jendela asrama. Sebenarnya ia tau bahwa di dekat jendela ada parit, namun karena takut dan gelap maka ia melompat terlebih dulu dan malah mendarat di parit dan “buurrrr”, Uda menceburkan kakinya diparit yang banjir akibat hujan lebat tadi sore. Uda tak berhenti sampai situ saja, ia langsung berusaha naik dan meraih telinga jendela dan masuk ke asrama. 

Nus entah lari kemana. Mungkin ia balik ke kamarnya di asrama lain. tapi Uda langsung  masuk ke kamar dengan celana yang basah sampai lutut. Ia ngos-ngosan dan duduk jongkok di dekat pintu. Mendengar itu, aku, Eri dan Oga bangun dan melihat Uda yang duduk jongkok dengan wajah yang agak pucat dan sedikit berkeringat.

“Ngape Da?”, tanya Eri

Uda tak bisa menjawab. Dia langsung mengganti celananya dan membersihkan kakinya yang sedikit kotor dengan handuk. Setelah itu ia pun menceritakan kejadian seperti apa yang telah terjadi diatas. kami pun merasakan suasana menyeramkan itu dari cerita Uda. Kami merasa hantu itu masih mengikuti Uda dan mendengarkan pembicaraan kami dari balik jendela. Saking takutnya, kami berempat tidak bisa tidur kecuali hanya berbaring dengan jarak yang agak berdekatan dan pura-pura memejamkan mata sampai azan shubuh dikumandangkan.

----------***--------------
Share:

Senin, 11 April 2016

EPILOG CERPEN MANTAN

Alhamdulillah.......... gue langsung sujud syukur atas proyek sederhana pribadi gue ini. Nulis cerita ternyata gak mudah. Lebih enak nulis makalah yang comot sana comot sini. Cita-cita gue nulis cerpen sederhana akhirnya kesampaian, setelah beberapa kali mencoba dan mencoba. Sebelumnya, gue sempat nulis beberapa tulisan, tapi gak ada yang bergenre cerita dan kebanyakan adalah tulisan biasa. Membuat dialog dengan ekspresi ternyata sulit, lebih sulit dari tidur, hahaha. Dan yang lebih sulit adalah memfantasikan cerita pribadi ini agar lebih dramatis, hahahah. Kalau kawan-kawan SMA gue dulu pada baca, mereka akan tau bahwa banyak dramanya di cerita gue dibandingkan faktanya, karena emang gue sebenarnya gak punya mantan, hahahah, becanda.

Alhamdulillah, sampai saat ini gak ada respon dari mantan yang terkait. Kalau sempat ada, mereka bakalan protes dan minta revisi lagi cerita yang gue buat, karena cerita yang gue buat terlalu romantis, hehehe. Tapi disitulah letak sastra kata Andrea Hirata, “menjadikan hal yang sederhana menjadi lebih bermakna”, walaupun cerpen gue sebenarnya bukan sastra sih. Walaupun banyak mereka-reka, ceritanya dibuat agar lebih bisa bermakna dan dapat diambil hikmahnya.

Sebenarnya cerita udah selesai dan gue gak bakal lagi nulis tentang mantan, sumpah,,,,,,,,,,. Tapi disini gue pengen buat epilog merangkum dari tiga cerita sebelumnya. Setiap cerita gak bakal dibanggakan, terutama oleh penulisnya, jika sebuah cerita gak bermakna buat kehidupan nyata. Oleh sebab itulah, gue perlu sekali membuat kesimpulan dan penutup dari cerita pendek mantan ini. Selain penutup, gue juga ingin mengklarifikasi beberapa komentar dari beberapa kawan yang mungkin bernada negatif buat tulisan gue ini, tentunya di epilog ini.

Cerpen sengaja gue umbar dan hebohkan di medsos gue, karena sebenarnya proyek ini adalah warming up buat gue untuk nulis cerita yang lebih serius lagi. Gue berharap ada komentar, kritik dan saran yang bisa membangun dan memperbaiki kesalahan pada penulisan. Hal ini gue lakuin karena gue punya cita-cita untuk nulis fiksi, dan berusaha untuk ngejar para penerbit buat nerbitin tulisan gue nantinya. Tapi ini baru rencana, jadi jangan dianggap serius dulu, hahaha. Gak apa kan mimpi?, asal jangan ngigau aja.

Komentar para pembaca dan tidak pembaca lumayan banyak masuk, salah satu rekan dakwah gue heran sampai buat sesi tabligh akbar ke gue. Dia marahin gue karena pacaran. Gue ingin sampaikan ke dia, ini cerita gue sebelum mendapatkan hidayah. Ini cerita saat gue masih labil dan banyak jerawat tumbuh menjamur di pipi gue, jadi ini bukan cerita gue saat sekarang. Gue sekarang udah gak setuju lagi dengan pacaran, camkan itu ya!, hahaha. Gue lebih milih naik ke pelaminan daripada pacaran yang nguras uang jajan. Gue lebih milih membina rumah tangga dengan Ridho-Nya dibanding mesra-mesraan dibawah murka-Nya, aseekkkk. Jadi seperti itu.

Ada pula komentar lainnya yang mengatakan bahwa cerita ini lebih menjelekkan nama pesantren. Hal ini perlu gue klarifikasi. Pertama, ini aalah fiksi bukan realita kisah nyata, jadi jangan diseriusin. Kedua, pesantren gue waktu SMA lebih kuat di bidang ekstrakurikuler dibandingkan kurikulernnya. Di pesantren waktu itu gak ada istilah ngaji kitab gundul, dan kitab-kitab lainnya. Jadi gue merasa ini lebih tepat disebut boarding school dibanding pesantren. Bahkan sekarang gue liat pesantrennya udah lebih modern dibanding dulu. Ketiga,  Gue pengen bilang bahwa sebagaimanapun ketatnya dunia pesantren, tetap,,, santri dan santriwatinya gak bisa nolak yang namanya cinta, terutama cinta labil yang bergejolak di dalam jiwa. Setiap kisah baik itu nyata maupun tidak nyata, gak bakal seru jika gak ada kisah cintanya, karena cinta itu adalah fitrah dari Yang Kuasa. Hanya sekali lagi gue pengen tekankan, bahwa pemahaman tentang cinta harus tetap pada jalur Nya. Greattt.....

Kemudian ada yang komentar begini, “Ini sih cerita bual-bual Zid”. Yappppp......betul sekali, ini hanya bualan semata. Secara detail ceritanya gak bakalan begitu, tapi garis besar cerita kurang lebih inspirasi dari kisah gue. Banyak hal-hal gak masuk akal yang gue tulis dalam cerita, seperti Tokoh cinta yang gue jelek-jelekkin, tokoh Mat Noh, Bayu, dan Singkong yang gue hina, Tokoh Uda yang suka bokep, tokoh Ovi yang suka sama gue, tokoh Dini yang suka sama senyum manis gue, dan Tokoh Lin yang tomboy. Gue pengen bilang ke kalian, itulah sebuah imajinasi dan fiksi terutama berlatar komedi. Penulis dituntut untuk buat pembaca ketawa dibanding serius membaca.

Gue pengen ngucapin terima kasih dengan komentar yang suka dengan tulisan gue, terutama Rany, cie namanya gue tulis. Ada juga Sity yang ledekkin gue karena gak kelar-kelar sama proposal. Thanks buat Vina nih, gue tulis juga, yang sering like dan gue juga sering like timeline lo ya Vin, hahaha. Ada juga Syarifah yang tiba-tiba ngetag puisi ke beranda facebook gue. Gue merasa tersindir banget tu degan puisi. Terimakasih buat Fery, yang nantang gue buat novel untuk kisah masa pesantren dulu, InsyaAllah Fer.

Dari tiga cerita sebelumnya, gue pengen bilang bahwa masa lalu gak harus dilupakan, entah itu bersifat luka dan menyedihkan. Masa lalu tetap jadi bagian dari hidup kita. Masa lalu gak harus mantan, masa lalu bisa saja kebersamaan dengan kawan, kehangatan dengan keluarga, keteladanan dari seorang guru, kebaikan dari seseorang yang sekarang ternyata mereka udah gak bersama kita lagi. Kita juga sadar bahwa masa lalu gak selalu sesuatu yang nyaman dan mengembirakan. Masa lalu juga kadang sering berwarna kegalauan, kepahitan atau kerunyaman. Sehingga hal yang buruk seperti itu selalu pengen kita lupakan. Anak muda zaman sekarang terutama, mereka selalu gagal move on karena pengen melupakan mantan. Gue pengen bilang ke mereka bahwa mantan gak perlu dilupakan, inget aja terus!!!, terutama sesuatu hal yang positif dari mereka. Kita jadikan mantan yang udah ninggalin kita sebagai penyemangat, penyemangat agar kita bisa jadi lebih baik dari mereka. Dan harusnya dari mantan-mantan itu kita berubah, berubah untuk tidak lagi pacaran dan lebih milih nikah agar bisa lebih seriusan,,,asekkkkk.

Gue pengen belajar dari kisah Ovi, tentang bahayanya milih pasangan hanya dari sekedar tampang dan cantik doang. Karena kebersamaan adalah tentang kenyamanan yang gak harus datang dari kecantikan atau ketampanan. Gue pengen belajar dari kisah Dini, tentang perlunya kita menjadikan mantan sebagai penyemangat untuk jadi lebih baik, bukan malah down dan gantung diri di pohon cabe. Gue pengen belajar dari kisah Lin, belajar untuk menjadi orang yang peduli.

Akhirnya, proyek sederhana ini selesai. Gue pengen ngucapin terima kasih buat yang baca. Gue pengen terima  kasih juga buat yang udah menghina. Gue pengen terima kasih juga kepada yang udah cuek dengan cerpen gue, terutama mantan-mantan gue yang udah gue ceritain, karena sampai sekarang mereka gak menyadari kalau ceritanya gue buat.

Rencana ke depan gue pengen nulis serius dan rela berkejar-kejaran dengan penerbit buat maksa mereka nerbitin kisah gue. Proyek nulis itu butuh waktu yang lama guys.... kalau kalian tau. Dee Lestari ngelarin supernovanya udah lebih dari 10 Tahun. Andrea Hirata nyelesein novel dengan judul “Ayah” selama enam tahun. Bahkan kata Fuadi penulis novel “Negeri 5 Menara, ngelarin novel sampe terbit butuh waktu 2 tahun. Jadi jangan bilang kapan selesai?...hahahha



Sekian.........
Share: