Sebuah ide, gagasan, pengetahuan tersebar
lewat lisan dan tulisan. Dosen mata kuliah Bahasa Indonesia saya pernah bilang,
bahwa informasi lebih kuat apabila tersampaikan lewat tulisan. Karena pada saat
menulis diperlukan banyak pertimbangan dan pengkoreksian, tidak seperti bicara
yang kadang langsung terucap tanpa banyak pertimbangan.
Tulisan-tulisan ini pun tersebar dengan
banyak media lagi, salah satunya adalah buku. Jadi membaca buku itu penting
sekali. Nah kali ini saya ingin cerita sedikit tentang pengalaman membaca buku.
Mengapa begitu penting?, karena saya yakin membaca buku bagi orang yang belum
biasa itu susah sekali. Menatap milyaran teks tanpa ada gambar plus kata-kata
yang tak menentu itu lumayan menyakitkan. Saya disini tidak menggurui dan
merasa lebih dari kalian, tapi disini saya hanya share pengalaman dan kalau ada
yang berkesan silahkan diambil. Tapi kalau tidak ada silahkan komentar di
bawahnya.
Saya sudah bisa membaca itu mulai TK
(taman kanak-kanak). Jadi kawan-kawan kenal huruf alfabet aja belom, saya malah
udah bisa baca. Karena sebelum TK saya udah diajar huruf dan mengeja, jadi pas
TK saya udah bisa baca. Makanya waktu TK dan SD kelas 1 dan 2 saya belajarnya
agak nyantai, karena disitu kita lebih banyak belajar membaca.
Di rumah waktu itu tersebar buku-buku
Sekolah Dasar, karena orang tua saya guru SD. Jadi saya masih ingat buku yang
banyak itu buku bahasa Indonesia warna sampulnya hijau. Nah di buku bahasa
Indonesia ini banyak cerita-cerita rakyat. Termasuk yang banyak tersebar juga
buku kemerdekaan, sampul depannya gambar pahlawan menancapkan bendera merah
putih, mungkin ini juga buku favorit kalian waktu kecil dulu. Awalnya saya
penasaran apa sih ceritanya?, karena belum bisa membaca, saya hanya liat-liat
gambarnya saja. Karena penasaran itulah, orang tua saya lalu mengajari saya
membaca.
Begitu juga dengan menulis. Saya masih
ingat dulu waktu saya TK, sehabis pulang dari TK saya langsung ke sekolah ibu
saya. Jadi saya dibawa oleh ibu saya ikut beliau ngajar, ini waktu TK. Ketika
ibu saya ngajar, saya sibuk nulis dan gambar. Jadi ibu saya paham sekali, kalau
udah ada saya ikut, maka beliau langsung nyimpan lembaran kertas kosong dan
pulpen di atas meja guru di depan untuk saya supaya saya nggak ganggu beliau
ngajar.
Yang saya lakukan kalau udah dikasi modal
kertas dan pulpen waktu itu adalah buat gambar kemudian ada tulisannya. Saya
berimajinasi kalau apa yang saya buat itu adalah sebuah judul film. Jadi ada
gambar filmnya entah itu robot atau monster, kemudian ada tulisan................ultraman,
power ranger dsb.
Itu dulu waktu kecil. Pas SMP beda lagi.
Sekitar kelas 2 atau kelas 3 SMP, saya langganan majalah bola dan soccer.
Karena waktu itu memang lagi booming-boomingnya dunia sepak bola. Selepas itu
juga saya sempat suka sama komik-komik naruto, doraemon, nah kalau conan sempat
beli tapi pusing bacanya, karena jalan ceritanya maen logika, jadi saya sempat
pusing tujuh keliling baca conan. Beda sama komik-komik ringan seperti
doraemon, pembaca di bawa berimajinasi dan mengalir bebas tanpa harus berpikir,
cukup berimajinasi dan menikmati.
Masuk usia SMA, dunia membaca saya agak
berkurang. Komik jarang beli, novel cuman beli sekali dengan judul sang
pemimpi, baca ke perpustakaan juga waktu ada tugas saja. SMA saya lebih
menikmati masa-masa remaja saja, bergaul dsb.
Masuk ke kuliah saya terbawa atmosfer
akademis yang kuat. Kawan-kawan punya opini yang dikuatkan dengan teori dan
pendapat tokoh. Para mahasiswa dan mahasiswi yang ada berargumen dan beretorika
dengan luar biasa tidak seperti waktu ketika saya di bangku sekolah.
Disini saya mulai tertantang untuk
membuka juga wawasan dan pemahaman saya. Oleh karena itu, sekitar semester 3
saya sering beli buku. Alasan saya jelas, kalau beli kita yang punya, tapi
kalau minjem di perpustakaan buku itu akan dipulangkan lagi, sehingga kalau
sewaktu-waktu kita perlu, maka kita sulit mencarinya lagi.
Jujur, membaca itu bukan hal yang mudah.
Mungkin waktu sekolah dulu saya baca komik rasanya enak sekali. Tapi ketika
kuliah, saya baca buku pemikiran, teori, gagasan dsb, saya mendadak shock juga.
Menghabiskan satu muka itu lumayan susahnya bagi saya. Jadi banyak buku-buku
tebal yang sampai sekarang saya belum selesai membacanya, karena bahasanya yang
berat.
Sampai sekarang, banyak buku-buku yang
saya beli itu tidak saya pahami dan akhirnya tidak selesai dibaca.
Sampai-sampai salah satu dosen saya sarankan untuk beli kamus ilmiah populer,
supaya kata-kata ilmiah dalam buku yang kalian baca itu bisa kalian pahami.
Saran dosen itupun saya lakukan, tapi tetap saja menghabiskan satu buku ilmiah
itu susah minta ampun. tapi tidak juga semua buku tidak bisa
dibaca, banyak juga buku yang saya khatam membacanya dan paham maksudnya. Tapi
buku ini lebih bertema inspirasi, kalau buku yang teori-teori tetap saja malas
untuk dibaca.
Namun, saya merasa ada satu hal yang saya
dapatkan dari membaca, yaitu kita serasa menjadi semakin bijak. Kalian tau ada
banyak perbedaan pemahaman di luar sana, jika anda tidak punya pemahaman
tentang pemahaman-pemahaman tersebut, maka akan dengan mudah anda menjudge
perbedaan tersebut. tapi jika anda sudah belajar dan mengetahui apa-apa saja
perbedaanya, maka kita merasa lega, “oh bedanya disini, salahnya disini,
benarnya disini”, bijak kita dalam menghadapi wawasan itu.
Walau banyak buku yang saya tidak paham,
tapi dari beberapa buku yang saya paham, saya belajar tentang hal lain, yaitu
“Peduli”. Seperti yang saya bilang diatas, bahwa buku-buku yang saya kebanyakan
paham itu buku-buku inspirasi dan kritikan-kritikan, itu mudah sekali
memahaminya, karena isinya cuman protes, opini, pendapat, nasehat dsb. jadi
dari buku-buku kita belajar peduli, peduli terhadap nasib bangsa, peduli
terhadap perpecahan umat, peduli terhadap generasi bangsa, walaupun bukti
kepedulian kita hanya lewat opini saja.
Setelah membaca buku juga, saya merasa
ada yang memberontak di hati saya, bergeliat di kepala saya, yang memaksa untuk
dimuntahkan. Maka muntahan itu lahirlah menjadi tulisan. Semakin banyak kita
membaca, semakin banyak pengetahuan yang masuk ke dalam diri kita, dan ketika
pikiran ini penuh di otak, maka dia akan segera tumpah menjadi tulisan. Maka
resep ampuh menulis sebenarnya adalah membaca. Orang yang tidak mau membaca
tidak akan menulis. Saya punya teman yang mana waktu itu kita sama-sama buat blog
barengan. Saya buat blog, mereka juga buat blog dan saya yang buatkan mereka.
awal-awalnya kita ngisi blog kita dengan makalah. Jadi kawan saya ngisi
makalah-makalahnya, saya juga awal-awal ngisi blog saya dengan makalah. Sampai
sekarang blog yang konsisten nambah terus cuman blog saya, sementara blog kawan
saya jangankan nambah, bahkan mereka sampai lupa password blognya saking gak
pernah lagi diurus. Saya berpikir, “wajar kalau tulisannya gak
nambah-nambah, baca buku aja nggak, jadi apa yang mau ditulis?”.
Namun bagi saya menulis itu bukanlah
ingin cari pamor atau terkenal. Tapi saya merasa dengan menulis itu kita bisa
lega, karena semua keresahan sudah ditumpahkan lewat tulisan. Saya tidak peduli
mau dibaca atau enggak tulisan saya, bagi saya tidak ada pengaruhnya sama
sekali. Namun yang berpengaruh adalah ketika saya meluapkan segala gagasan
mentah saya ke dalam sebuah tulisan, sehingga tidak ada lagi pikiran yang
menggeliat di dalam otak saya.
saya juga merasa, sebagai pembaca
tentu menulis adalah keperluan. Jadi membaca dan menulis ini berkolerasi.
Ketika seseorang ingin menulis tentu di harus punya pengetahuan dulu dengan
membaca, begitu juga ketika dia ingin membaca tentu dia akan menuliskan apa
yang telah ia baca. Ada korelasinya enggak sih?.
Maksud saya adalah ketika orang banyak
membaca dia akan segera menulis. Saya menuliskan beberapa hal karena saya rasa,
ketika apa yang saya baca kemudian saya tulis, membuat pemahaman saya tentang
bacaan itu meningkat dibanding hanya sekedar membacanya saja tanpa menulis.
Dengan menulis saya mengingat kembali konsep-konsep yang pernah saya baca dalam
suatu buku, maka ada beberapa tulisan saya yang menuliskan tentang operasi
buku, tujuannya sederhana yaitu supaya saya ingat kembali konsep dalam buku tersebut.
Jujur saja, ketika membaca satu buku
selesai, maka satu jam setelah membaca, apa yang kita baca tadi lenyap
seketika, tidak ingat lagi idenya, tidak ingat lagi kata-katanya, tidak ingat
lagi gagasannya dsb. jangankan setelah satu jam, setelah satu bab terlewati dan
masuk bab berikutnya kadang kita lupa apa sebenarnya yang disampaikan dalam bab
sebelumnya. Maka untuk mengingat itu kita perlu menulis.
Jadi kesimpulannya adalah membaca dan
menulis satu paket. Tidak bisa dipisahkan. Semakin banyak membaca semakin mahir
kita dalam menulis. Semakin mahir kita menulis, semakin perlu kita memperindah
tulisan kita dengan pengetahuan baru, sehingga mengajak kita untuk membaca,
membaca dan membaca.