Sabtu, 30 Januari 2016

KITA PERLU GALAU



Kebanyakan orang benci galau. Tapi bagiku, sepertinya tidak terlalu seperti itu. kita sebenarnya perlu mencari galau sebanyak-banyaknya. Karena kalau kita pandai memanfaatkannya, maka galau bisa berubah menjadi move on. Galau ibarat potongan kayu yang telah dipotong. Kayu-kayu itu adalah hasil dari pukulan kuat dari sebuah parang. Sama seperti kayu yang terpotong, galau adalah hasil dari hempasan kuat perasaan yang terpatah dan terpotong karena hancurnya harapan.

Hanya terkadang potongan-potongan kayu ini tak pernah dilihat secara kreatif dan positif. Kita hanya membakarnya untuk menghilangkannya. Kita sering menganggap potongan kayu yang telah terpotong itu hanya sebuah sampah dan harus dimusnahkan. Seperti itulah galau, kita menganggap potongan dan patahan perasaan adalah sampah dan harus dilenyapkan. Maka kita sering melupakan kegalauan kita dan membuangnya bahkan tak ingin lagi mengingatnya.



Tapi, cobalah potongan-potongan kayu itu kita kumpulkan, susun dan buat jadi sebuah tangga untuk dimanfaatkan mengambil sesuatu yang lebih tinggi nanti. Cobalah, kumpulkan kegalauanmu, kumpulkan satu persatu sakit hatimu, rangkai ia jadi sebuah tangga untuk menuju kesuksesan. jadikan galaumu tangga terkuat untuk merajut masa depan, jadikan ia tangga untuk mencapai kesuksesan. buatlah mereka yang telah memotong dan menghempaskan hatimu takjub, bahwa patahan perasaan yang telah mereka buat, malah menjadi tangga kesuksesanmu.

Jangan buang galaumu, tapi kumpulkan sebanyak-banyaknya, dan manfaatkan ia menjadi semangat untuk kesuksesanmu, bukan malah membuangnya dan berlalu begitu saja.
Share:

Rabu, 27 Januari 2016

CINTA, KAMPUS, PANDANGAN HIDUP DAN POLITIK



Kini usia kuliahku tak lagi muda. Aku sudah semester 7 dan hampir ke semester 8. Sudah hampir 4 tahun aku duduk di bangku perguran tinggi. Tak banyak yang aku dapatkan. Mungkin karena aku terlalu terlena dengan silaunya hidup bebas, hidup bebas di kota. Kini aku baru sadar bahwa banyak hal yang terlewatkan. Sudah 4 tahun, aku baru membaca catatan harian Ahmad Wahib tentang agama dan politik. Sudah 4 tahun aku baru tertartik dengan kehidupan sang demonstran Soe  Hok Gie. Sudah 4 tahun ini, aku baru ingin membeli bukunya Pram dan Mochtar Lubis. 

Membaca, membaca dan membaca. Aku tak pernah paham semua isi buku yang ku baca. Aku hanya mengerti satu dua judul saja. tapi aku tak pernah berhenti untuk membeli buku. Mungkin karena keasikan membaca, aku tak pernah mengusik proposal penelitianku. Ya, proposal penelitian yang judulnya diejek oleh beberapa dosen. Jangankan dosen, aku sendiri pun tak yakin dengan judul penelitianku, karena skripsi hanya untuk syarat lulus saja, bukan untuk menunjukkan kecerdasan. Lihatlah mereka yang mengurus proposal penelitian dengan cepat, mereka tak pernah pikir apa dampak skripsi terhadap pribadi mereka, yang penting cepat, itu saja.

Tentang cinta.
Beberapa waktu lalu, aku sempat menghibur diri dengan membaca novel. Buku-buku non fiksi dengan bahasan yang agak berat ku singkirkan. Alasannya sederhana, aku ingin hobi membacaku bisa menjadi hiburan bukan hanya pengetahuan. Tapi ada alasan lain yang lebih tepat, aku ingin melupakan seseorang. aku kira dengan membaca novel dengan genre cinta akan mengobati kepedihanku, ternyata tidak. Sakit hati ternyata tak bisa dihilangkan dengan paksaan, tapi hanya bisa dilupakan dengan kerelaan.

Sebelumnya aku pernah menulis bahwa aku menyimpan harapan pada seseorang di seberang sana. Tapi di tulisan itu juga kukatakan bahwa itu hanya harapan, dan saat ini ia bebas dengan siapa saja. waktu kini menunjukkan bahwa tulisan ku bisa menjadi ramalan. Kebebasannya membawa pada akhir pencarian. Dia telah memilih untuk bersama orang lain untuk menjadi sandingan.

Aku tidak pernah kecewa sebenarnya, sama sekali tidak. Karena dari situ, aku mengalihkan hidupku pada sesuatu yang pasti, yaitu buku. Aku memang sedih, tapi sedih itu kututup, dan ku coba untuk berhadapan dengan sosok-sosok sejarah yang hidup abadi yaitu tulisan. Aku berdiskusi dengan tulisan-tulisan walau aku hanya peserta pasif dalam diskusi tersebut. kata-kata di dalamnya sukar untuk dicerna, bahasanya ilmiah, gagasannya terlalu tinggi. Tapi di situ aku merasa tidak sedih lagi.

Tentang kampus
Kembali ke gedung kampus. Kini kawan-kawanku sudah banyak yang hampir penelitian. sebentar lagi mereka wisuda. Sementara aku seminar proposal saja belum. Aku masih ingin kuliah, tepatnya membaca buku. Hanya saat kuliah saja, aku bisa membeli buku, karena uang jajan yang diberikan. Kawan-kawan mungkin cepat selesai dan wisuda, tapi apakah mereka tak ingin memperlama kuliah, karena di sini mereka bisa berpikir, berdiskusi, dan menambah wawasan. Jika wisuda membuat mereka menjadi pekerja dan tak lagi bertambah ilmunya, maka apa guna cepat lulus kuliah?. Mungkin niat kuliahnya juga sudah salah dari awal, yaitu kuliah hanya ingin dapat pekerjaan, bukan membuka wawasan.

Pemerintahan itu seperti kampus, lebih tepatnya kampusku, lebih tepat lagi fakultasku. Birokrasi di dalamnya otoriter, sok berkuasa, apalagi bagian administrasi. Tak semuanya, tapi hampir semuanya. Di kampus kita sudah tak tau mana pelayan dan mana yang dilayani. Jika mahasiswa bayar, maka yang dibayar melayani. Siapa yang melayani? Ya mereka yang digaji. Jika mahasiswa membayar dengan sepenuh hati dan tanpa kurang sepeser pun dari yang disepakati, maka harusnya mereka mendapatkan pelayan sepenuh hati. Namanya saja kampus agama, tapi tak ada nilai agama yang diterapkan. 

Tidak hanya itu saja. jadwal kuliah sudah ditentukan, mahasiswa datang sesuai dengan jadwal, namun dosen tak kunjung datang, bahkan tak memberi alasan. Giliran mahasiswa terlambat datang, mulai berlaku peraturan. Ini adalah kediktatoran. Mana katanya demokrasi?. Ternyata ini teori kekuasaan, mereka para pemangku jabatan tinggi bisa bebas melanggar aturan, tapi bawahan tak bisa bebas melanggar aturan. Bahkan saat bawahan tau kalau penguasa melanggar aturan, mereka tetap tampil seperti tak pernah ada dosa.

Aku berpikir, mungkin ini karena mahasiswa/i sudah lama diam untuk ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Mahasiswa/i takut bergerak karena sekarang sudah jamannya uang. mahasiswa/i takut dikeluarkan karena sepatah kata yang terlontar dapat men DO kan mereka. tapi satu alasan juga yang kuat, karena mahasiswa/i kurang membaca. Andaikan mereka membaca ahmad wahib, soe hok gie, eko prasetyo, mungkin mereka tau bahwa jadi mahasiswa bukan hanya sekedar nampil di kampus dengan pakaian necis, tapi juga harus bersifat kritis. Kritis pada semua yang mereka lihat, kritis pada pelayanan kampus, kritis pada tindakan sosial, kritis pada permainan politik, bahkan kritis pada kepercayaan.

Sayang, teknologi membutakan mata mahasiswa/i. sayang fashion dan kuliner membutakan mata mahasiswa/i. Kita tidak hanya apatis pada lingkungan sekitar, tapi kita sudah apatis pada diri sendiri. Ini sangat bahaya sekali.

Tentang pandangan hidup
Aku sebenarnya ingin bilang kepada orang tuaku tentang pandangan hidup mereka saat ini, bahwa mereka sedang mengidap materialisme. Bagaimana tidak, aku disuruh cepat lulus, kalau perlu lanjut S2, nanti jadi dosen honorer, lama-lama diangkat jadi pegawai. Liat semuanya itu, semuanya materi. Padahal aku ingin menyendiri dulu dengan ilmu, aku tak ingin dulu memperdulikan pekerjaan, dan aku ingin menjadi orang yang hidup berantakan, susah, kelaparan, tapi mau berkorban. Inilah cita-citaku, tapi aku sadar itu tak akan sejalan dengan zaman, zaman materialisme dan hedonisme.

Tentang Politik
Sekarang harga barang sudah pada naik, sementara pendapatan masyarakat kita terus menurun. Masyarakat sibuk mencari pendapatan tambahan. Mahasiswa/i sibuk dengan produk teknologi yang terus datang silih berganti. Pihak agamawan juga sibuk untuk memilih materi untuk membius masyarakat agar sabar dalam menjalani hidup ini. Siapa yang mau protes kalau begini?.


Share:

Selasa, 05 Januari 2016

ISLAM DI MATA ORANG JEPANG (OPERASI BUKU)

Saya masih ingat waktu saya Aliyah dulu, ketika sekolah dan mondok di sebuah pondok pesantren. Sebagai sekolah yang berlatar belakang agama Islam sudah tentu akan ada banyak hal yang ditemukan yang kaitannya dengan agama di tempat saya menempuh pendidikan ini. Di pondok ini saya tidak hanya mendapati belajar aqidah, fiqih, dan akhlak saja, akan tetapi mulai meluas ke pemikiran-pemikiran atau perbedaan pemikiran Islam di Indonesia.

Ada dua organisasi besar yang sering menjadi bahan debat kawan-kawan waktu itu, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Perbedaan dua organisasi ini yang sangat sering dimunculkan di permukaan diskusi adalah mengenai perbedaan tentang penentuan awal bulan Ramadhan dan Hari Raya Id.

Saya masih ingat ketika diskusi diadakan, guru menyatukan dua kelas yang berbeda yaitu kelas jurusan IPA dan IPS menjadi satu kelas dan isu mengenai kedua organisasi tersebut didiskusikan. Karena para siswa dan siswi tidak punya bekal yang mendalam terkait isu tersebut, maka yang terjadi adalah debat kusir serta sanggahan yang ekstrem, yang membuat kedua organisasi tersebut seperti tidak akur.

Ketika melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang background agama Islam, saya kembali menemukan perbedaan-perbedaan golongan dalam Islam lebih banyak lagi, tidak sekedar NU dan Muhammadiyah, bahkan untuk kedua organisasi ini clear tidak ada masalah yang begitu serius mendera. Namun selain organisasi tersebut, ternyata ada banyak golongan lain yang saya baru ketahui dan kemudian saya melihat perbedaan-perbedaan diantaranya begitu kuat.

Sebagai seorang muslim yang takut dan care pada keyakinan dalam agama, tentu saja perbedaan-perbedaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada jalan yang ditempuh dan harus ada pengetahuan tentang golongan mana yang menyimpang dan tidak menyimpang. Maka saya mencoba mengamati perbedaan-perbedaan ini dengan studi kepustakaan. Mencari buku-buku yang kira-kira bisa mejawab masalah tersebut, atau paling tidak buku-buku yang dapat menampilkan pemahaman-pemahaman dari golongan-golongan yang ada, terutama golongan Islam yang ada di Indonesia.

Dan pada akhirnya saya menemukan satu buku yang menurut saya lumayan mengupas masalah-masalah perbedaan-perbedaan antara golongan-golongan dalam Islam. Buku itu ditulis oleh Hisanori Kato berjudul Islam Di Mata Orang Jepang terbitan Kompas. Buku ini sebenarnya tidaklah membuat perbedaan-perbedaan semakin meruncing, tapi tujuan buku ini adalah mencari titik temu dari beberapa golongan yang ada.


Buku ini tidak melihat golongan-golongan atau organisasinya, akan tetapi lebih tertuju kepada pemimpin dari tokoh-tokoh tersebut. ada tokoh Bisma Siregar (pakar hukum), Mohamad Sobary (sosiolog, kolumnis, dan budayawan), Eka Jaya (anggota FPI), Ismail Yusanto (Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia), Ulil Abshar Abdalla (Ketua Jaringan Islam Liberal), Lily Munir (tokoh kesetaraan gender), Fadli Zon (Tokoh Politik Islam), Abu Bakar Ba’asyir (Tokoh Islam Fundamental), dan Gus Dur (tokoh Islam Nusantara).

Menurut saya penjabaran oleh Hisanori Kato terkait beberapa tokoh diatas sudah lumayan dalam menambah wawasan saya mengenai perbedaan-perbedaan yang ada terkait antar beberapa golongan yang ada di tubuh umat Islam di Indonesia. Ada beberapa hal yang menurut saya luar biasa dari tulisan Hisanori Kato ini. Pertama, dalam tulisan beliau, dia menyampaikan apa adanya namun dibalut dengan kata-kata yang tidak memihak salah satu tokoh, semua tokoh dibahas dengan penuh kelebihan dan kharisma masing-masing tanpa menjelek-jelekkan tokoh. Kedua, saya setuju dengan epilog dari tulisan beliau yang mengharapkan adanya diskusi antar tokoh-tokoh tersebut, karena selama ini para tokoh-tokoh besar yang ada pada masing-masing golongan jarang bertemu dalam kehangatan, yang ada justru pertikaian tanpa pernah bertemu.

Hisanori kato menyadari betul bahwa di semua tokoh-tokoh tersebut ia merasakan kehangatan dan kenyamanan saat bertemu untuk melakukan dialog atau wawancara. Tidak adanya tindakan yang membuat Hisanori Kato merasa kecewa dan tidak nyaman ketika bertemu para tokoh-tokoh di atas.

Setelah membaca tulisan Hisanori Kato, saya melihat perbedaan-perbedaan yang sebenarnya tidak harus menimbulkan kebencian antar umat muslim, seperti waktu ketika saya Aliyah dimana anak muda yang mengaku NU kadang menyindir anak muda yang mengaku Muhammadiyah, begitu juga sebaliknya.

Di saat sekarang saya masih merasakan pilu yang cukup mendalam ketika di dunia maya dan dunia nyata, golongan Islam di Indonesia saling membalas opini, gambar, anekdot, yang latar belakangnya karena benci dsb. Padahal jika perbedaan ini didiskusikan mungkin tidak terjadi kebencian yang begitu mendalam diantara golongan tersebut.

Dari tulisan Hisanori Kato saya belajar satu hal, bahwa teologi, tafsiran, pemahaman, pemikiran manusia jika dibenturkan satu sama lain akan menimbulkan gesekan kebencian karena setiap manusia akan mengaku dirinyalah yang benar, tapi sepertinya tidak akan terjadi bila manusia itu bertemu secara fisik dan mendiskusikan kembali pemikiran mereka dengan meninggalkan pemikiran pribadi mereka dan membuka pikiran untuk pendapat orang lain.

Buku Hisanori Kato sangat layak menjadi referensi jika kita ingin memahmi perbedaan-perbedaan golongan di Indonesia namun bukan dengan tujuan untuk mencari kesalahan akan tetapi dengan tujuan mendamaikan.
Share:

Minggu, 03 Januari 2016

MEMBACA & MENULIS

Sebuah ide, gagasan, pengetahuan tersebar lewat lisan dan tulisan. Dosen mata kuliah Bahasa Indonesia saya pernah bilang, bahwa informasi lebih kuat apabila tersampaikan lewat tulisan. Karena pada saat menulis diperlukan banyak pertimbangan dan pengkoreksian, tidak seperti bicara yang kadang langsung terucap tanpa banyak pertimbangan.

Tulisan-tulisan ini pun tersebar dengan banyak media lagi, salah satunya adalah buku. Jadi membaca buku itu penting sekali. Nah kali ini saya ingin cerita sedikit tentang pengalaman membaca buku. Mengapa begitu penting?, karena saya yakin membaca buku bagi orang yang belum biasa itu susah sekali. Menatap milyaran teks tanpa ada gambar plus kata-kata yang tak menentu itu lumayan menyakitkan. Saya disini tidak menggurui dan merasa lebih dari kalian, tapi disini saya hanya share pengalaman dan kalau ada yang berkesan silahkan diambil. Tapi kalau tidak ada silahkan komentar di bawahnya.

Saya sudah bisa membaca itu mulai TK (taman kanak-kanak). Jadi kawan-kawan kenal huruf alfabet aja belom, saya malah udah bisa baca. Karena sebelum TK saya udah diajar huruf dan mengeja, jadi pas TK saya udah bisa baca. Makanya waktu TK dan SD kelas 1 dan 2 saya belajarnya agak nyantai, karena disitu kita lebih banyak belajar membaca.

Di rumah waktu itu tersebar buku-buku Sekolah Dasar, karena orang tua saya guru SD. Jadi saya masih ingat buku yang banyak itu buku bahasa Indonesia warna sampulnya hijau. Nah di buku bahasa Indonesia ini banyak cerita-cerita rakyat. Termasuk yang banyak tersebar juga buku kemerdekaan, sampul depannya gambar pahlawan menancapkan bendera merah putih, mungkin ini juga buku favorit kalian waktu kecil dulu. Awalnya saya penasaran apa sih ceritanya?, karena belum bisa membaca, saya hanya liat-liat gambarnya saja. Karena penasaran itulah, orang tua saya lalu mengajari saya membaca.


Begitu juga dengan menulis. Saya masih ingat dulu waktu saya TK, sehabis pulang dari TK saya langsung ke sekolah ibu saya. Jadi saya dibawa oleh ibu saya ikut beliau ngajar, ini waktu TK. Ketika ibu saya ngajar, saya sibuk nulis dan gambar. Jadi ibu saya paham sekali, kalau udah ada saya ikut, maka beliau langsung nyimpan lembaran kertas kosong dan pulpen di atas meja guru di depan untuk saya supaya saya nggak ganggu beliau ngajar.

Yang saya lakukan kalau udah dikasi modal kertas dan pulpen waktu itu adalah buat gambar kemudian ada tulisannya. Saya berimajinasi kalau apa yang saya buat itu adalah sebuah judul film. Jadi ada gambar filmnya entah itu robot atau monster, kemudian ada tulisan................ultraman, power ranger dsb.

Itu dulu waktu kecil. Pas SMP beda lagi. Sekitar kelas 2 atau kelas 3 SMP, saya langganan majalah bola dan soccer. Karena waktu itu memang lagi booming-boomingnya dunia sepak bola. Selepas itu juga saya sempat suka sama komik-komik naruto, doraemon, nah kalau conan sempat beli tapi pusing bacanya, karena jalan ceritanya maen logika, jadi saya sempat pusing tujuh keliling baca conan. Beda sama komik-komik ringan seperti doraemon, pembaca di bawa berimajinasi dan mengalir bebas tanpa harus berpikir, cukup berimajinasi dan menikmati.

Masuk usia SMA, dunia membaca saya agak berkurang. Komik jarang beli, novel cuman beli sekali dengan judul sang pemimpi, baca ke perpustakaan juga waktu ada tugas saja. SMA saya lebih menikmati masa-masa remaja saja, bergaul dsb.

Masuk ke kuliah saya terbawa atmosfer akademis yang kuat. Kawan-kawan punya opini yang dikuatkan dengan teori dan pendapat tokoh. Para mahasiswa dan mahasiswi yang ada berargumen dan beretorika dengan luar biasa tidak seperti waktu ketika saya di bangku sekolah.

Disini saya mulai tertantang untuk membuka juga wawasan dan pemahaman saya. Oleh karena itu, sekitar semester 3 saya sering beli buku. Alasan saya jelas, kalau beli kita yang punya, tapi kalau minjem di perpustakaan buku itu akan dipulangkan lagi, sehingga kalau sewaktu-waktu kita perlu, maka kita sulit mencarinya lagi.

Jujur, membaca itu bukan hal yang mudah. Mungkin waktu sekolah dulu saya baca komik rasanya enak sekali. Tapi ketika kuliah, saya baca buku pemikiran, teori, gagasan dsb, saya mendadak shock juga. Menghabiskan satu muka itu lumayan susahnya bagi saya. Jadi banyak buku-buku tebal yang sampai sekarang saya belum selesai membacanya, karena bahasanya yang berat.

Sampai sekarang, banyak buku-buku yang saya beli itu tidak saya pahami dan akhirnya tidak selesai dibaca. Sampai-sampai salah satu dosen saya sarankan untuk beli kamus ilmiah populer, supaya kata-kata ilmiah dalam buku yang kalian baca itu bisa kalian pahami. Saran dosen itupun saya lakukan, tapi tetap saja menghabiskan satu buku ilmiah itu susah minta ampun. tapi tidak juga semua buku tidak bisa dibaca, banyak juga buku yang saya khatam membacanya dan paham maksudnya. Tapi buku ini lebih bertema inspirasi, kalau buku yang teori-teori tetap saja malas untuk dibaca.

Namun, saya merasa ada satu hal yang saya dapatkan dari membaca, yaitu kita serasa menjadi semakin bijak. Kalian tau ada banyak perbedaan pemahaman di luar sana, jika anda tidak punya pemahaman tentang pemahaman-pemahaman tersebut, maka akan dengan mudah anda menjudge perbedaan tersebut. tapi jika anda sudah belajar dan mengetahui apa-apa saja perbedaanya, maka kita merasa lega, “oh bedanya disini, salahnya disini, benarnya disini”, bijak kita dalam menghadapi wawasan itu.

Walau banyak buku yang saya tidak paham, tapi dari beberapa buku yang saya paham, saya belajar tentang hal lain, yaitu “Peduli”. Seperti yang saya bilang diatas, bahwa buku-buku yang saya kebanyakan paham itu buku-buku inspirasi dan kritikan-kritikan, itu mudah sekali memahaminya, karena isinya cuman protes, opini, pendapat, nasehat dsb. jadi dari buku-buku kita belajar peduli, peduli terhadap nasib bangsa, peduli terhadap perpecahan umat, peduli terhadap generasi bangsa, walaupun bukti kepedulian kita hanya lewat opini saja.

Setelah membaca buku juga, saya merasa ada yang memberontak di hati saya, bergeliat di kepala saya, yang memaksa untuk dimuntahkan. Maka muntahan itu lahirlah menjadi tulisan. Semakin banyak kita membaca, semakin banyak pengetahuan yang masuk ke dalam diri kita, dan ketika pikiran ini penuh di otak, maka dia akan segera tumpah menjadi tulisan. Maka resep ampuh menulis sebenarnya adalah membaca. Orang yang tidak mau membaca tidak akan menulis. Saya punya teman yang mana waktu itu kita sama-sama buat blog barengan. Saya buat blog, mereka juga buat blog dan saya yang buatkan mereka. awal-awalnya kita ngisi blog kita dengan makalah. Jadi kawan saya ngisi makalah-makalahnya, saya juga awal-awal ngisi blog saya dengan makalah. Sampai sekarang blog yang konsisten nambah terus cuman blog saya, sementara blog kawan saya jangankan nambah, bahkan mereka sampai lupa password blognya saking gak pernah lagi diurus. Saya berpikir, “wajar kalau tulisannya gak nambah-nambah, baca buku aja nggak, jadi apa yang mau ditulis?”.

Namun bagi saya menulis itu bukanlah ingin cari pamor atau terkenal. Tapi saya merasa dengan menulis itu kita bisa lega, karena semua keresahan sudah ditumpahkan lewat tulisan. Saya tidak peduli mau dibaca atau enggak tulisan saya, bagi saya tidak ada pengaruhnya sama sekali. Namun yang berpengaruh adalah ketika saya meluapkan segala gagasan mentah saya ke dalam sebuah tulisan, sehingga tidak ada lagi pikiran yang menggeliat di dalam otak saya.

saya juga merasa, sebagai pembaca tentu menulis adalah keperluan. Jadi membaca dan menulis ini berkolerasi. Ketika seseorang ingin menulis tentu di harus punya pengetahuan dulu dengan membaca, begitu juga ketika dia ingin membaca tentu dia akan menuliskan apa yang telah ia baca. Ada korelasinya enggak sih?.

Maksud saya adalah ketika orang banyak membaca dia akan segera menulis. Saya menuliskan beberapa hal karena saya rasa, ketika apa yang saya baca kemudian saya tulis, membuat pemahaman saya tentang bacaan itu meningkat dibanding hanya sekedar membacanya saja tanpa menulis. Dengan menulis saya mengingat kembali konsep-konsep yang pernah saya baca dalam suatu buku, maka ada beberapa tulisan saya yang menuliskan tentang operasi buku, tujuannya sederhana yaitu supaya saya ingat kembali konsep dalam buku tersebut.

Jujur saja, ketika membaca satu buku selesai, maka satu jam setelah membaca, apa yang kita baca tadi lenyap seketika, tidak ingat lagi idenya, tidak ingat lagi kata-katanya, tidak ingat lagi gagasannya dsb. jangankan setelah satu jam, setelah satu bab terlewati dan masuk bab berikutnya kadang kita lupa apa sebenarnya yang disampaikan dalam bab sebelumnya. Maka untuk mengingat itu kita perlu menulis.

Jadi kesimpulannya adalah membaca dan menulis satu paket. Tidak bisa dipisahkan. Semakin banyak membaca semakin mahir kita dalam menulis. Semakin mahir kita menulis, semakin perlu kita memperindah tulisan kita dengan pengetahuan baru, sehingga mengajak kita untuk membaca, membaca dan membaca.
Share: