Selasa, 28 Juni 2016

PACARAN UNDERCOVER

Kata sebagian orang; pacaran itu punya dampak positif. Katanya bisa nambah semangat. Maka jangan heran, pacaran ini digadang-gadang menjadi saingan suplemen penambah semangat lainnya; seperti Extra Joss, Kukubima Energi, dan Hemaviton Plus, sama satu lagi, Scott’s Emulsion, eh salah, itu obat penambah tinggi badan deng.....

Kata sebagian orang lagi bilang; pacaran itu adalah usaha buat cari jodoh. Yang gue heran, anak SMA, SMP, bahkan SD sama PAUD udah mulai pacaran, apa gak keawalan ya?.

Oke, terserahlah lah mau bilang apa. Yang jelas kali ini kita akan ulik sedikit hal-hal yang ada di balik pacaran, yang gak banyak dibahas dan dibicarakan di publik. Istilah untuk tulisan gue kali ini adalah Pacaran Undercover. Jeng-jeng-jeng-jeng.....awas-awas air panas..!!



Selama ini kita melihat pacaran sebagai aktivitas lumrah, biasa dan gak bertentangan sama norma-norma yang ada. Oke fine. Gue gak mau debat sama kalian yang pacaran, entar gue malah dibully lagi –karena belum move on dari mantan-. Masalahnya adalah; tidak banyak dari kita yang ngebahas sisi gelap dari pacaran. Perlu keterbukaan dan kejujuran sih sebenarnya. Makanya kali ini gue mau buka-bukaan, di kampung lagi panas soalnya

Nah, hal-hal yang gue sampain ini gue dapat dari observasi. Dari mulai observasi non partisipan sampai observasi partisipan. Dari mulai observasi di dunia nyata dan observasi di dunia maya. Sekarang mah gak susah liat hidup orang lain. Di media sosial itu udah gudangnya data-data kehidupan kita sehari-hari. Jadi gak susah deh liat kehidupan anak-anak remaja zaman sekarang. 

Nah, apa saja kenyataan yang gak banyak orang tau dari pacaran, cekidot........

Pertama, dalam pacaran, seseorang harus dapat untung atau paling tidak balik modal. Ternyata tidak hanya dalam berdagang saja kita mencari untung. Tapi dalam pacaran juga ada sistem kerja yang seperti ini; yaitu mencari untung. Gak bakal ada pacar yang rela hujan-hujanan antar jemput gebetannya kalau gak ada untungnya. Tukang ojek aja ada bayarannya, masak si cowok gak ada, nista banget idup. Ya, tapi upahnya tentu berbeda-beda. Ada yang ngebales dengan kesetiaan, diupah dengan semakin sayang dari pacar, atau dibales pake nasi bungkus harga 10 ribuan, atau paling tidak harus setara dengan apa yang telah diusahakan oleh si pacar, misalkan; modal belasan ribu dapat mengecup paha, modal puluhan ribu bisa mengemut dada. Paha & dada ayam ya. Ngeres aja pikirannya.

Kedua, pacaran itu harus rela berkorban. Jadi kalian yang pacaran sebenarnya adalah relawan juga, sama kayak relawan gempa dan bencana. Rela berkorban ini juga macam-macam bentuknya. Rela ngorbanin waktu. Rela ngorbanin tenaga. Rela ngorbanin harta. Bahkan rela ngorbanin itunya,.......ilmunya maksudnya. Biasanya kan ada dari kita yang punya pacar agak bego’an dikit, nah gebetannya lah yang ngajarin dia supaya pandai. Tapi jadi relawan itu gak mudah lo. Harus ikhlas. Apalagi kalau pas putus, jadi sia-sia deh pengorbanannya....Beruntunglah mereka yang pacaran dengan prinsip cari untung, karena mereka pergi dengan keuntungan yang udah mereka dapat, misalkan udah dapat dada tadi, dada ayam maksudnya.

Ketiga, pacaran itu menganut prinsip kebebasan. Ada hal yang memang dilarang ketika pacaran; yaitu selingkuh. Selain daripada selingkuh dibebaskan. Bebas bergaul dan berkomunikasi dengan temen cewek/cowok. Bebas berekspresi di media sosial dengan mengunggah foto-foto sensasional bahkan vulgar, misalkan berpose dengan telanjang kaki gak pake sandal, kan vulgar tu. Kebebasan ini sebenarnya juga sama bahayanya dengan selingkuh, karena ini bisa jadi jalan menuju selingkuh. Dari kebebasan itulah mereka punya kesempatan untuk dapat yang lebih lagi daripada pacar mereka yang sebelumnya. Siapa tau pas posting foto ganteng atau cantik ada yang tertarik. Akhirnya naksir dan selingkuh deh. Mana kita tau. Rumput tetangga lebih hijau.

Keempat, pacaran itu buat kecanduan. Nah baru tau kan?. Segala aktivitas yang buat kecanduan itu biasanya gak bagus dan cenderung berbahaya, misalnya; Game, Rokok, Minuman keras, Narkoba, Judi dan Pornografi. Nah pacaran ini juga ternyata bisa buat kecanduan. Makanya gak banyak jomblo yang bertahan lama, mereka (jomblo) biasanya akan cari pacar lagi. Tapi tergantung juga, mereka udah TH berapa dalam pacaran, emang COC. Level maksudnya. Dalam pacaran ada empat level; (1) Easy (mantan1-2 orang), (2) Medium (mantan3-5 orang), (3) Hard (mantan 6-10 orang), (4) Expert (mantan 11- tak terbatas orang). Nah biasanya yang kecanduan ini mereka yang udah berada pada level Hard dan Expert. Gue juga gak tau apa yang membuat mereka kecanduan. Apakah karena rambut si pacar dapat mengeluarkan aroma nikotin?, atau belaian tangan pacar mengandung kokain?, atau mungkin genggaman tangan pacar bisa membangkitkan kerja hormon dopamine?. Kita masih belum tau pasti. Ini masih dalam tahap penelitian kami....mungkin ada yang tau, bisa komen dibawah.....

Kelima, hal yang jarang orang tau adalah; pacaran gak punya payung hukum. Sampai sekarang belum ada yang berani ngajuin Draf RUU Pacaran ke DPR. Kerugiannya adalah; anda gak bakal bisa ngelarang  pacar anda mau cari pacar baru selain anda. Makanya, bila ada yang selingkuh biasanya diselesain dengan cara berantem bawa temen, minta bantu dukun, sampe nekat membunuh. Nah kalau udah sampai ke tahap akhir ini baru ada payung hukumnya, yaitu mengenai tindak kekerasan dan pembunuhan. Tapi RUU ilmu perdukunan juga belum disahkan deng....

Kesimpulannya adalah; ada hal-hal yang bersifat merugikan dalam pacaran. Pacaran gak semulus bulatan cilok buatan mamang. Jadi berfikirlah sekali lagi untuk pacaran. 

Kata temen gue; “mencintai gak harus memacari, tapi yang baiknya adalah menikahi”

Ada lagi yang bilang begini; “kalau orang yang anda cintai kemudian menikah dengan orang lain karena anda gak memacarinya, maka itu lebih keren, dibanding anda memacari seseorang walaupun anda berhasil menikahinya”.

Share:

Senin, 27 Juni 2016

AWAS, SPESIES ENDEMIK BERBAHAYA.

Kemarin-kemarin gue udah nulis. Mungkin tulisannya rada-rada agak serius dan serem, apalagi pas bahas tentang zina. Beberapa temen sampai nanyak ke gue, “itu beneran Zid?”, tanyanya. Trus gue jawab “beneran lah, kan itu curhatan kamu”. Ternyata yang bertanya gak sadar kalau kisah itu gue ambil dari kisah pribadinya.

Nah, kali ini gue mau cerita tentang spesies endemik yang langka dan hidup dalam sekumpulan populasi remaja. Nama spesies endemik itu hanya satu kata saja. Jika kalian mendengarnya, maka akan ada berbagai ekspresi yang muncul dari diri kalian. Ada yang sedih, ada yang senyum-senyum gak jelas, ada yang ketawa terpingkal-pingkal sampai digotong ke rumah sakit jiwa, bahkan ada yang muntah-muntah mengeluarkan santapan sahurnya. Kejam kan?, begitulah racunnya bekerja.

Nah, gambar dibawah ini adalah ilustrasi dari spesies yang berbahaya itu.




Nama spesies endemik  itu adalah: “MANTAN”..............Tuh kan ada yang senyum-senyum, awas bentar lagi kalian akan muntah.

Ya, bahasa Indonesianya memang mantan, tapi dalam aturan penamaan bakunya atau dalam binomial nomenklaturnya adalah Aweas mantyanis. Aweas genusnya, dan mantyanis spesiesnya. Efek puasa jadi ngelantur.

Gue termasuk yang sering stalking mantan. Kalau gak stalking mantan itu rasanya seperti sayur tanpa garam, seperti hidup tanpa oksigen, seperti main futsal gak pake sepatu, dan seperti masak telur dadar tapi gak pake minyak goreng. Kebayang gak tu rasanya?, hehehe..namanya juga majas, jatuhnya pasti lebay.

Pas gue liat alumni-alumni yang pernah bersekolah di hati gue, gue serasa bukan lagi melihat mantan, tapi seperti melihat setan, bawaannya menggoda..aja. Serius. Padahal dulu mereka udah gue blokir dari media sosial, tapi rindu dan rasa penasaran itu kembali membawa gue pulang untuk melihat kabar dan bertanya dalam hati, “Masih hidup gak nih cewek?”

Entah mengapa, barisan para mantan di media sosial gue makin buat puasa gue terasa sia-sia. Mereka udah beda sekali dengan dulunya. Dulu masih ingusan, pecicilan dan make up sering gak beraturan; eye shadow dipakai di bibir, lipstik dipakai ke kelopak mata dan dibawah alis. Hadeh,,,,. Tapi sekarang, mereka udah gak lagi seperti itu. Sekarang mereka udah pandai berdandan dan pandai mencari perhatian. Siapa yang mengajari mereka?, bukan gue.

Apalagi semenjak ada media sosial yang bernama instagram kembarannya instaons, weleh....... mereka bisa update foto satu jam sekali dengan pose dan busana yang beraneka ragam. Kadang pose kayang sambil menjulurin lidah, pose manjat tiang sambil garuk-garuk kepala, sampai pose ngelenturin badan seperti pemain sirkus. Busana dan accesories yang digunakan juga bermacam-macam. Kadang pake cardigan berkalungkan buah lontar, suatu kali pake sweater dan pake jam tangan motif kura-kura ninja, pernah juga pake hoodie dan pake kacamata 3 dimensi, sampai kaos oblong yang terbuat dari karung goni bertuliskan “BULOG”.

Yang buat gue agak nyesek sebenarnya adalah mereka udah pada punya pacar. Kalau pacarnya jelek mendingan, ini tajir, ganteng, pintar, mantan anggota MLM lagi. Selain udah pada punya pacar, fotonya mesra-mesra lagi, selfie beduaan di mall, selfie beduaan di kafe, sampai selfie beduaan di tempat remang-remang, entah apa yang mereka lakukan?, yang jelas ketiganya adalah setan, dan gue orang yang keempat, sang stalker, hehehe.

Tapi yang gue heran adalah; kalau mereka emang udah punya pacar, maka seharusnya si cewek ini gak lagi dong upload-upload foto sensasional seperti itu. seharusnya mereka stop untuk pamer kecantikan. Kalau pamer ya silahkan, tapi pamer yang selain anggota tubuh lah. Masa’ jari kaki pun difoto, selfie lagi. 

Dari itu gue mulai curiga, bahwa ketika pacaran, si cewek atau mungkin cowok sebenarnya masih berharap untuk dapetin pasangan yang lebih sempurna lagi. Masih kepengen mempercantik dan memperganteng diri dan kemudian dijual di media sosial, siapa tau ada pembeli yang nawarin harga yang lebih mahal dari pacarnya yang sekarang. Kalau ada, maka pacar yang lama akan diputusin, maka lahirlah spesies endemik bernama “MANTAN”, hehehe. Ini Cuma hipotesis gue, seterusnya gue serahin pada kalian semua untuk merenunginya.

Maka dari itu,,, udah deh!,,, jangan pacaran!,,, karena sangat banyak kepalsuan di dalamnya. 

Ingat, tindak kejahatan bukan terjadi karena ada niat pelakunya. Tapi karena adanya kesempatan. Gak nyambunglah, gak nyambunglah,,,,, bodo amat.
Share:

Minggu, 26 Juni 2016

SANTRI MELAWAN.

“Adoh, gimane lah tok?”, tanya Eki.

Aku, Uni, Eri, diam tak bersuara. Pertanyaan Eki hanya dibalas oleh suara jangkrik yang berirama monoton. Kami sedang berfikir untuk mencari cara agar bisa keluar dari kewajiban gila ini.

***

Pesantren ini sudah lama berdiri. Sudah tua umurnya. Tapi, semakin tua bangunannya semakin megah dan besar. Tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Untuk merayakan hari ulang tahunnya, kami –santri putra- harus mengorbankan rambut yang hitam ini untuk dicukur habis alias dibotak. Santri sering menyebutnya dicatam. Sungguh hadiah yang spesial untuk pesantren, tapi menyedihkan bagi para santri. Memang, tak semua sedih dengan kewajiban ini. Ada juga santri yang menyambutnya dengan bahagia. Tanpa disuruh pun mereka sudah siap untuk mencukur habis rambutnya.



Rambut adalah mahkota, kata guru SD ku dulu bilang. Tapi di momen ulang tahun ini, mahkota itu harus dikorbankan. Banyak santri yang keberatan, tapi tak banyak yang mau protes dan bersuara. Karena bila protes atau tidak mentaati kewajiban ini, maka bersiap-siaplah untuk berhadapan dengan ustadz Mau, ustadz tergarang di pesantren ini.

Sekitar tiga hari sebelum hari ulang tahun pesantren, aku, Uni, Eki dan Eri berkumpul di kamar Uni. Kamar ini sederhana, perabotan di dalamnya pun tak banyak. Hanya ada empat lemari dan dua ranjang tingkat dua yang diwariskan dari masa ke masa. Kami selalu merapatkan hal-hal penting disini; seperti agenda keluar malam tanpa izin, rapat tentang “siapa pencuri di asrama?”, tentang “siapa yang melaporkan ke ustad Mau perihal santri yang merokok di belakang asrama?”, dan rapat-rapat lainnya. Termasuk hari ini, kami merapatkan mengenai kewajiban botak untuk memperingati hari ulang tahun pesantren.

“Jadi gimane tok Ni?” tanya Eki. 

Eki adalah salah satu santri yang keberatan dengan kewajiban ini. Botak bukan hal yang biasa dalam hidupnya. Bahkan mungkin merupakan sesuatu yang langka, sama langkanya dengan peristiwa komet Halley yang melintasi bumi. Aku rasa, jika ia harus berlari keliling lapangan volly seratus kali untuk menebus kewajiban botak ini, maka ia akan melakukannya.

“Kite usah botak”, jawab Uni tegas seolah ia sedang menjadi hakim di persidangan dan memutuskannya dengan ketukan palu tiga kali, tanda keputusan sudah berakhir dan tidak dapat diganggu gugat.

Uni adalah ketua perkumpulan ini. Siapa yang tak kenal dengan anak gang nelayan yang satu ini. Badannya yang gempal membuat dirinya menjadi santri yang disegani. Bentuk wajahnya yang persegi itu mirip dengan potongan wajah preman pasar yang hobi menantang orang berkelahi. Seorang orator ulung, seorang revolusioner, dan seorang pemikir handal. Ia sudah sering menentang hukuman dari ustadz Mau. Ia memang ada bakat jadi seorang lawyer atau pengacara. Dari kelebihan itulah, ia dipercaya sebagai seksi keamanan di asrama putra. Tapi aku rasa, ia yang paling sering diamankan karena sering melanggar aturan. Dan sayangnya lagi, skandal hubungannya dengan banyak santriwati juga sering memperburuk citranya. 

Eri menyela, “Kalau Ustad Mau nanyak kite cemane Ni?”

Eri juga salah satu orang yang takut dengan kewajiban botak ini. Aku rasa ia lebih takut daripada Eki. Potongan kepalanya yang seperti buah mangga itu tentu saja tak cocok untuk dibotak. Makanya ia perlu helaian rambut untuk menutup bentuk kepala yang unik itu. 

“Keatinye lah”, jawab Uni. Ia beranjak dari kasur dan bercermin pada kaca yang menyatu dengan lemari pakaiannya. Ia menyisiri rambutnya yang tipis dan pendek. Aku rasa penentangan kewajiban ini bukan karena ia tak cocok untuk dibotak, karena rambutnya saja sudah cepak seperti tentara. Tentulah membotaki rambutnya itu tidak akan mengubah penampilannya. Aku rasa, tindakan perlawanan ini murni sebagai perlawanan, bukan atas dasar motif cengeng seperti santri lainnya. Jiwa pelawan itulah yang tak banyak dimiliki oleh santri disini.

***

Sore itu, pemandangan di asrama terlihat berbeda. Bukan karena bangunan masjid yang berpindah tempat, bukan karena tempayan-tempayan berlumut yang menghilang,  juga bukan karena pasukan kucing liar yang tak hadir saat santri sedang menyantap makan sore mereka, melainkan karena ramainya santri yang sudah memenuhi kewajibannya; botak. Sekarang tempat ini tak seperti asrama santri lagi, akan tetapi lebih terlihat seperti kuil shaolin. Apalagi ketika mereka berkejaran satu sama lain untuk berebut botol air yang sedang dibawa oleh santri lainnya. Mereka sangat terlihat lincah, gesit, licin, liar dan tentu saja botak.

***

Sehabis isya, seluruh santri berkumpul di masjid. Malam ini akan ada pengecekan dari ustadz Mau mengenai kewajiban botak ini. Hal itu harus ia lakukan, mengingat besok lusa adalah hari ulang tahun pesantren. Seharusnya seluruh santri sudah botak malam ini. Kalau masih ada juga yang belum, maka mereka punya kesempatan untuk botak besok hari, sebelum besoknya lagi para santri sudah harus botak semua.

Santri duduk berkumpul membentuk setengah lingkaran. Ustadz Mau berdiri di depan memegang mikrophone. Ia mengenakan peci putih. Baju muslimnya rapi namun tekstur kainnya terlihat keras sekeras bentakannya saat sedang marah. Sorot matanya tajam seperti singa yang siap menerkam rusa liar di padang savana. “Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh”, ia mengucapkan salam dengan suara yang datar membuat santri bertambah segan.

Seluruh santri menjawab serempak namun pelan, “Wa’alaikum salam warahmatullaahi wabarakaatuh”.

Ustadz Mau kemudian memanjatkan syukur dan mengucapkan sholawat. Setelah itu ia memulai pembicaraannya dengan bertanya, “Masih ada yang belum catam?”.

Santri terdiam tak ada yang berani menyahut. Ada yang tertunduk bukan karena takut, tapi  karena mengantuk. Ada yang membelai-belai wajahnya sendiri sambil memencet jerawat yang baru saja masak. Ada juga yang menggaruk-garuk kepala, mungkin karena sudah sebulan tak pernah keramas pake shampo.

“Angkat tangan yang belum catam!”, perintah Ustadz Mau.

Hampir semua mata santri memandang Uni, Eri, Eki dan aku. Pandangan itu diselingi dengan bisik-bisik seperti lebah yang mendengung. Seketika itu, Uni memberanikan dirinya mengangkat tangan. Kemudian Eki, Eri dan aku ikut menyusul. Seolah tak ingin memperparah keadaan, tangan yang terangkat ini segera kami turunkan.

Tampak wajah ustadz Mau mulai memerah. Lubang hidungnya membesar. Keningnya berkerut dan rahangnya mengatup. Tangannya terlihat menggenggam erat tangkai mikrophone. Tapi kemarahan itu seperti ditahan, karena ia tau, yang dihadapinya adalah orang-orang yang sudah seringkali menentang dan melawan.

 “Ni, ape alasanmu nda’an maok catam?”, tanya Ustadz Mau.

Uni tak kalah garang. Perpaduan antara mata, hidung, mulut dan keningnya itu memunculkan mimik wajah yang tak bersahabat. Ia memang tak akan menjawab. Karena ia tahu, kalau semua santri dan mungkin ustadz Mau sadar bahwa kewajiban ini tak masuk akal, tak jelas filosofinya dan tak jelas apa faidahnya.

“Ini sudah kemauan pimpinan. Tidak bisa dibantah”, jelas Ustad Mau.

Suasana hening. Tidak ada santri yang berbicara. Kalaupun ada, mereka hanya berbisik-bisik pelan. 

“Kalian boleh tidak botak, tapi kalau kalian sakit, jangan minta tolong dengan pihak pesantren. Urus sendiri hidup kalian masing-masing kalau tidak mau lagi mematuhi aturan di pesantren”, tambah ustadz Mau lagi.

Inilah sistem politik santri di pesantren kami. Jauh dari prinsip demokrasi. Apalagi jika sudah berhadapan dengan ustadz Mau, semuanya serba otoriter. Jika sudah mendapat ancaman seperti itu, seorang Uni pun tak akan dapat berkutik. Siapa yang jamin kami akan sehat terus di pesantren. Seandainya jika suatu hari nanti kami sakit keras dan pesantren tidak peduli, maka tamatlah riwayat kami di tempat ini.

Malam itu aku belajar satu hal, yaitu tentang keberanian. Secara pribadi, aku memang tidak setuju dengan kewajiban botak untuk memperingati hari ulang tahun pesantren. Ketidaksetujuanku bukan hanya karena jelek saat dibotak, tapi lebih karena faidah yang tak jelas dari kewajiban ini. Apa hubungannya botak dengan ulang tahun pesantren. 

Saat itu, kewajiban botak seperti sebuah simbol kekuasaan mutlak yang belum padam dalam dunia pendidikan. Saat santri harus patuh dan tunduk seperti kerbau yang dicucuk hidungya, saat itulah santri bukan seorang yang merdeka. Malam itu, Uni membuktikan bahwa sudah saatnya santri juga harus berani melawan, terutama pada aturan-aturan absurd yang dibuat hanya sekedar pada emosi dan perasaan senang atas sifat ketundukan para santri.

***

Hari ulang tahun pun datang. Pagi itu kami berkumpul di depan kantor sekolah. Santri yang botak menjadi bahan tertawaan santriwati serta siswa-siswi luar yang tidak tinggal di asrama. Sebagian santri malu dan merasa sedih. Tapi bagi Uni dan aku, mungkin Eri dan Eki, kami bangga karena telah berani melawan, walau harus berakhir dengan nasib yang sama seperti santri lainnya.
Share: