Wandi....ya wandi, ia kawanku dulu waktu di pesantren.
Seorang anak kampung jauh di pelosok yang mencoba memperbaiki jalan
hidup di pesantren. Aku masih ingat saat pertama kali masuk pesantren, di saat
yang lain datang dengan membawa peralatan yang lengkap, bekal yang banyak,
diantar dengan kendaraan yang lumayan mewah, Wandi hanya datang dengan membawa
karung guni serta tikar daun pandan kuning ditemani sosok sang ayah dengan
hanya berjalan kaki. Sangat sederhana.
Sosok sang ayah sangat berpengaruh besar baginya, ayah yang tegar
dan kuat, yang selalu mendukung wandi untuk terus bisa semangat dalam menjalani
pendidikan. Ayahnya hanya penoreh getah karet di kampung, begitu pula ibunya. Ia
pernah bercerita, kalau tempat tinggalnya adalah rumah kayu yang mau rubuh,
karena memang jauh dari yang namanya cukup.
Wandi bukanlah orang yang cerdas, dia bukan anak yang berprestasi
pula, baik di bidang olahraga, seni dan agama. Selama aku berteman dengannya,
belum pernah aku melihat apa yang lebih dari dirinya, yang mungkin bisa dikembangkan di
pesantren ini. sosoknya yang tertutup, membuatku sulit untuk membaca bakat dan
minat serta kelebihan anak ini.
Yang aku tau, dia punya sosok ayah yang punya mimpi besar kepada
dirinya, karena ia anak pertama. Sehingga sampai kelas dua SMP ia masih
bertahan sekolah dan mondok. Dengan penghasilan ayahnya yang tidak menentu, ia
mencoba menabung beberapa receh uang perak serta beberapa lembar uang kertas,
dengan harapan ketika waktunya tiba, untuk tagihan SPP dan uang makan, ia dapat
membantu kekurangan kiriman dari sang ayah.
Aku masih ingat, seng berbentuk silinder bergambar seperhero adalah
tabungannya, ia beli di salah satu minimarket ternama di kota tempat kami
mondok. Aku pun tak tau, berapa persis uang yang sudah ditabungnya. Yang pasti
ia pernah bilang denganku, bahwa tabungan inilah satu-satunya harapan untuk
dapat melanjutkan cita-cita ayahnya, yaitu melanjutkan pendidikan ini. Aku tau
bahwa sang ayah sangat kesulitan dengan harga karet yang terus menurun dari
waktu ke waktu, sehingga tidak akan cukup untuk membiayai wandi sekolah. Tapi wandi
punya kemauan yang keras, untuk bisa membahagiakan ayahnya dengan terus
bersekolah.
Hari terus berganti......
Wandi tak terlihat seperti biasa. Dia murung dan melamun di
segundukan tanah, dekat kolam tempat para anak asrama mandi. Aku pun
menghampirinya dan menanyakan tentang kemurungannya tersebut. Ia mengatakan
bahwa inilah waktunya, inilah saatnya untuk pulang ke kampung menemui ayah. Aku
pun penasaran mengapa wandi sampai mengatakan seperti itu. Dia memberikanku
sepucuk surat dibungkus amplop dengan tulisan di bagian depannya, “untuk anandaku
Wandi”. Aku membaca dan tak kuasa menahan duka. Ayanhya ternyata sedang
sakit keras, sosok penyemangat dalam hidupnya harus tergolek lemah di
pembaringan, dengan kondisi badan yang sangat sakit untuk digerakkan.
wandi akhirnya pulang. Aku berpesan untuknya supaya jangan lupa
untuk kembali lagi ke pesantren, melanjutkan cita-cita sang ayah. Namun dia tak
menyahut dan pergi begitu saja. Akupun kembali ke kamar. Untuk sementara ini, wandi tidak ada
disamping lagi karena pulang menjenguk sang ayah. Hari terus berlalu, wandi tak
kunjung datang, hingga akhirnya bagi rapor kenaikan kelas.
Aku heran dengan waktu yang sudah berjalan dua bulan, wandi tak
muncul. aku coba iseng bertanya dengan kawan akrabnya yang lain, tentang tidak
kembalinya wandi. Kawan itupun menjawab, kalau wandi tidak lagi melanjutkan
sekolahnya karena tidak punya biaya lagi. “lah bukannya dia masih punya
tabungan, setidaknya cukup untuk menyelesaikan kelas dua ini?” aku tau
tabungan itu lumayan karena sudah dihimpun dari sejak awal dia masuk pesantren.
“tabunganya hilang” jawab si kawan.
Ternyata, harapan terakhirnya juga ikut berhenti menyemangatinya
bersama sosok sang ayah, sehingga hari kemarin adalah pertemuan terakhirku
dengannya. Aku memang tak melihat kemampuan yang luar biasa dari wandi di
bidang akademik, aku juga tak melihat bakatnya di bidang yang lainnya, tapi aku
melihat kebesaran jiwa yang begitu besa,r dibanding kebanggan mendapatkan juara
1 di kelas.
Wandi adalah salah satu sosok yang hilang dari bangsa. Sebuah karakter
yang seharusnya setiap generasi penerus bangsa ini punya. Karakter itulah yang
sebenarnya berharga dibanding prestasi anak-anak luar biasa lainnya. Kecerdasan
bisa diasah, namun kemauan yang kuat adalah lahir dan tertempa di dalam jiwa. Bakat
dan minat bukanlah penentu, tapi kemauan untuk berkorban, mandiri dan
membahagiakan orang tua adalah yang menjadi nomor satu.
Mungkin sosok wandi sekarang tidak lagi berada di bangku perkuliahan
atau sekolah. Tapi aku berharap, dia dapat menularkan semangat itu pada
adik-adiknya di kampung sana.
Semangat terus wandi.
Dari kawan lamamu.
SubhanaALLAH ....
BalasHapussangatlah menyentuh naluri ceritanya.....semoga ia diberkahi ALLAH..
ilmu bukanlah hnya dinuai dari sekolah..
tapi ilmu bisa dinuia dimanapun....
Hidup GENERASI PENERUS BANGSA!