Minggu, 20 September 2015

WANDI



Wandi....ya wandi, ia kawanku dulu waktu di pesantren.

Seorang anak kampung jauh di pelosok yang mencoba memperbaiki jalan hidup di pesantren. Aku masih ingat saat pertama kali masuk pesantren, di saat yang lain datang dengan membawa peralatan yang lengkap, bekal yang banyak, diantar dengan kendaraan yang lumayan mewah, Wandi hanya datang dengan membawa karung guni serta tikar daun pandan kuning ditemani sosok sang ayah dengan hanya berjalan kaki. Sangat sederhana.

Sosok sang ayah sangat berpengaruh besar baginya, ayah yang tegar dan kuat, yang selalu mendukung wandi untuk terus bisa semangat dalam menjalani pendidikan. Ayahnya hanya penoreh getah karet di kampung, begitu pula ibunya. Ia pernah bercerita, kalau tempat tinggalnya adalah rumah kayu yang mau rubuh, karena memang jauh dari yang namanya cukup.

Wandi bukanlah orang yang cerdas, dia bukan anak yang berprestasi pula, baik di bidang olahraga, seni dan agama. Selama aku berteman dengannya, belum pernah aku melihat apa yang lebih dari dirinya, yang mungkin bisa dikembangkan di pesantren ini. sosoknya yang tertutup, membuatku sulit untuk membaca bakat dan minat serta kelebihan anak ini.

Yang aku tau, dia punya sosok ayah yang punya mimpi besar kepada dirinya, karena ia anak pertama. Sehingga sampai kelas dua SMP ia masih bertahan sekolah dan mondok. Dengan penghasilan ayahnya yang tidak menentu, ia mencoba menabung beberapa receh uang perak serta beberapa lembar uang kertas, dengan harapan ketika waktunya tiba, untuk tagihan SPP dan uang makan, ia dapat membantu kekurangan kiriman dari sang ayah.

Aku masih ingat, seng berbentuk silinder bergambar seperhero adalah tabungannya, ia beli di salah satu minimarket ternama di kota tempat kami mondok. Aku pun tak tau, berapa persis uang yang sudah ditabungnya. Yang pasti ia pernah bilang denganku, bahwa tabungan inilah satu-satunya harapan untuk dapat melanjutkan cita-cita ayahnya, yaitu melanjutkan pendidikan ini. Aku tau bahwa sang ayah sangat kesulitan dengan harga karet yang terus menurun dari waktu ke waktu, sehingga tidak akan cukup untuk membiayai wandi sekolah. Tapi wandi punya kemauan yang keras, untuk bisa membahagiakan ayahnya dengan terus bersekolah. 

Hari terus berganti......

Wandi tak terlihat seperti biasa. Dia murung dan melamun di segundukan tanah, dekat kolam tempat para anak asrama mandi. Aku pun menghampirinya dan menanyakan tentang kemurungannya tersebut. Ia mengatakan bahwa inilah waktunya, inilah saatnya untuk pulang ke kampung menemui ayah. Aku pun penasaran mengapa wandi sampai mengatakan seperti itu. Dia memberikanku sepucuk surat dibungkus amplop dengan tulisan di bagian depannya, “untuk anandaku Wandi”. Aku membaca dan tak kuasa menahan duka. Ayanhya ternyata sedang sakit keras, sosok penyemangat dalam hidupnya harus tergolek lemah di pembaringan, dengan kondisi badan yang sangat sakit untuk digerakkan. 

wandi akhirnya pulang. Aku berpesan untuknya supaya jangan lupa untuk kembali lagi ke pesantren, melanjutkan cita-cita sang ayah. Namun dia tak menyahut dan pergi begitu saja. Akupun kembali ke kamar. Untuk sementara ini, wandi tidak ada disamping lagi karena pulang menjenguk sang ayah. Hari terus berlalu, wandi tak kunjung datang, hingga akhirnya bagi rapor kenaikan kelas. 

Aku heran dengan waktu yang sudah berjalan dua bulan, wandi tak muncul. aku coba iseng bertanya dengan kawan akrabnya yang lain, tentang tidak kembalinya wandi. Kawan itupun menjawab, kalau wandi tidak lagi melanjutkan sekolahnya karena tidak punya biaya lagi. “lah bukannya dia masih punya tabungan, setidaknya cukup untuk menyelesaikan kelas dua ini?” aku tau tabungan itu lumayan karena sudah dihimpun dari sejak awal dia masuk pesantren. “tabunganya hilang” jawab si kawan. 

Ternyata, harapan terakhirnya juga ikut berhenti menyemangatinya bersama sosok sang ayah, sehingga hari kemarin adalah pertemuan terakhirku dengannya. Aku memang tak melihat kemampuan yang luar biasa dari wandi di bidang akademik, aku juga tak melihat bakatnya di bidang yang lainnya, tapi aku melihat kebesaran jiwa yang begitu besa,r dibanding kebanggan mendapatkan juara 1 di kelas.

Wandi adalah salah satu sosok yang hilang dari bangsa. Sebuah karakter yang seharusnya setiap generasi penerus bangsa ini punya. Karakter itulah yang sebenarnya berharga dibanding prestasi anak-anak luar biasa lainnya. Kecerdasan bisa diasah, namun kemauan yang kuat adalah lahir dan tertempa di dalam jiwa. Bakat dan minat bukanlah penentu, tapi kemauan untuk berkorban, mandiri dan membahagiakan orang tua adalah yang menjadi nomor satu.

Mungkin sosok wandi sekarang tidak lagi berada di bangku perkuliahan atau sekolah. Tapi aku berharap, dia dapat menularkan semangat itu pada adik-adiknya di kampung sana.

Semangat terus wandi.
Dari kawan lamamu.


Share:

1 komentar:

  1. SubhanaALLAH ....
    sangatlah menyentuh naluri ceritanya.....semoga ia diberkahi ALLAH..
    ilmu bukanlah hnya dinuai dari sekolah..
    tapi ilmu bisa dinuia dimanapun....
    Hidup GENERASI PENERUS BANGSA!

    BalasHapus