Selasa, 30 Mei 2017

BANYAK WANITA KEBELET NIKAH?, WHY?




Judul kontroversial di atas sengaja saya pilih agar tulisan kali ini lebih menjual (komersil).
***
Sebagai filsuf indie amatir yang berada di bawah naungan swasta dan hampir berusia 23 tahun, saya mendapati adanya gejala sosial yang terjadi pada teman seangkatan saya, terutama yang berjenis kelamin wanita.
Penyebutan kata “wanita” disini tidak bertendensi untuk merendahkan derajat dan martabat kaum hawa, sebagaimana perdebatan di kalangan ahli bahasa yang masih memperdebatkan kata “wanita” dan “perempuan”. Katanya perempuan dari segi bahasa lebih mulia dibandingkan wanita. Katanya... Namun perkara itu juga merupakan perkara yang khilafiyah di antara para ulama bahasa, seperti masalah qunut tidak qunut.
Lanjut...
Kembali pada permasalahan awal. Adapun gejala sosial yang muncul di kalangan wanita seangkatan saya adalah permasalahan pingin cepat nikah. Bila saya perhatikan, kegelisahan wanita seangkatan saya pada masalah ini cenderung lebih heboh dibandingkan di kalangan kaum pria. 
sumber gambar: weheartit.com

Bila pria menanggapi masalah pernikahan dengan cara yang selow seperti lagunya Young Lex featuring Gamaliel, maka wanita menanggapi isu pernikahan dengan begitu panik kebakaran jambang seolah sedang mengalami Premenstrual Syndrome (PMS).
Bentuk kepanikan wanita bisa bermacam-macam, tapi yang paling jamak kita temui dalam kehidupan kita adalah munculnya status-status “baper” yang menjurus kepada arah pernikahan, mulai dari tulisan yang blak-blakkan pengen nikah sampai tulisan yang halus dan tersirat sehingga harus ditafsirkan dengan metode semiotik (penafsiran melalui simbol emotikon) dan hermeneutik (penafsiran dengan cara melihat konteks diturunkannya status).
***
Sebagai filsuf amatir yang peka terhadap lingkungan, saya berusaha untuk mencari jawaban dari gejala sosial tersebut. Adapun rumusan masalah tunggal yang saya buat adalah “Mengapa wanita lebih kebelet nikah dibanding pria?.”
Mulailah saya mencari jawaban dengan googling di internet. Saya menjelajah dari blog satu ke blog lain, mulai dari blog moderat seperti Hipwee dan Idn Times sampai situs ekstrem seperti Suicide Guide dan Rent-a-Hintman.
Namun saya tidak puas dengan jawaban yang ditawarkan oleh blog dan situs di atas. Bagaimana tidak, jawaban yang mereka berikan dari pertanyaan yang saya lemparkan “Mengapa wanita lebih kebelet nikah dibanding pria?”, adalah: Pertama, karena kepingin menjadi ibu muda seperti Retno Hening dan Arumi Bachsin. Kedua, desakan orang tua. Ketiga karena sudah jebol (hati dan perasaannya).
Karena tidak puas, saya mengubah peta sumber data primer saya yang awalnya bersumber dari pustaka internet menjadi hasil wawancara. Mulailah saya mendatangi beberapa teman saya untuk melakukan wawancara, seperti Abdur Rasyid, Kurniawan Riantoso, Danny Pranata, Feri, Sam Haji, dan Benny Subandi.
Sebenarnya saya ingin meluaskan wawancara kepada beberapa narasumber lainnya seperti Habeb Ahmad Firdaus. Hanya saja narasumber yang satu ini terlampau sibuk mengurusi masalah politik, penista agama, dan pemasaran kue raya.
Meskipun narasumber terbatas, saya rasa beberapa nama diatas sudah memenuhi kriteria narasumber yang diperlukan.
Abdur Rasyid misalkan, beliau adalah pakar dalam masalah asmara, berpengalaman dalam putus-nyambung suatu hubungan, dan punya koleksi mantan yang lumayan. Keprofesionalan ini dibuktikan dengan akan berlangsungnya pernikahan beliau tahun ini. Calon istrinya ini adalah wanita yang tempo waktu pernah bergelar mantan dalam ruang asmara beliau. Bayangkan, mantan jadi pasangan. Boleh lah ajarkan aku Syid mantra-mantra pemikat hati mantan...huhhhh...
Kurniawan Riantoso, peternak ikan cupang yang punya omzet menjanjikan. Ia punya pengalaman panjang dalam menjalin hubungan. Satu-satunya pria di kelas saya yang paling sedikit punya mantan adalah beliau. Dari situlah saya menyadari bahwa ketulusan dan kesetiaan beliau dalam menjalin hubungan sangat perlu dipertimbangkan sehingga layak sebagai seorang narasumber.
Danny Pranata, selebriti futsal yang mengubur mimpinya untuk bermain di Santiago Bernabeu karena cedera pundak lutut kaki. Beliau ahli dalam menjalin hubungan asmara tidak kasat mata, banyak publik yang tidak bisa merekam jejak asmaranya, bukan karena tidak punya pasangan atau mantan, melainkan karena keahliannya dalam menyembunyikan jalinan percintaan.
Feri, entrepreneur muda, CEO H&F Distro. Seorang idealis dalam dunia asmara. Ia begitu kritis terhadap wanita yang terjangkit virus materialisme akut. Itulah alasan dia untuk selalu jomblo pada masa perkuliahan, selain karena shockbreaker motor yang sudah mati.
Sam Haji, aktivis HTI yang konsisten meneriakkan kata “haram” pada pacaran. Jika permasalahan negara solusinya adalah khilafah, maka pada persoalan asmara solusinya adalah nikah. Tentu saja Sam Haji patut dijadikan narasumber, sebagai penyeimbang dari jawaban aktivis pro pacaran seperti Bung Abdur Rasyid dan Danny Pranata.
Benny Subandi, penyuka burung hias, penyendiri yang skripsinya belum tuntas-tuntas. Sorry Ben, tapi itu memang kenyataan. Beliau cukup mumpuni dalam hal asmara. Sudah berapa wanita yang ia taklukkan, meskipun ujung-ujungnya wanita itu yang memutuskan untuk meninggalkan. Karena nasib mengenaskan seperti itulah saya memasukkan Benny dalam daftar narasumber.
***
Respon para narasumber dalam menjawab pertanyaan inti “Mengapa wanita lebih kebelet nikah daripada pria?” bermacam-macam, dari yang tersipu malu sambil gigit lengan baju, menjawab sepatah dua patah kata, hingga ceplas-ceplos seperti sedang berkhotbah.
Hasil dari berbagai jawaban itu kemudian saya peras lagi. Sehingga dari bermacam-macam jawaban, saya hanya mengambil tiga jawaban yang itu adalah jawaban terbanyak dan terbaik menurut saya (subjektif).
Jadi ada tiga alasan “Mengapa wanita lebih kebelet nikah daripada pria?”:
Pertama, Faktor Usia.
Faktor usia memang merupakan jawaban terbanyak dan terbaik pertama. Jika kita triangulasikan jawaban itu dengan Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatakan “Batas usia menikah bagi perempuan adalah 16 tahun dan pria 19 tahun”, maka bisa kita dapatkan benang merahnya, bahwa dari sinilah lahir pola pikir di masyarakat kita kalau wanita harus lebih dulu menikah dibanding pria. Disini kita menggunakan rumus perbandingan senilai.
Lihatlah perbedaan usia tersebut!, 16 : 19. Jadi bila ada wanita dan pria yang sama-sama berusia 23 tahun, kemudian si pria menikah lebih duluan, maka si wanita dengan umur yang sama (23 tahun) akan panik. Mengapa?. Karena tidak sesuai dengan perbandingan senilai dalam Undang-Undang di atas.
Seharusnya pria yang berusia sama dengan si wanita tadi baru akan menikah di usia 26 tahun, bukan 23 tahun. 16 : 19 atau 1 : 3.
Paham?.
Saya juga tidak paham.
Alasan lain mengapa para narasumber banyak menjawab faktor usia adalah karena masa produktivitas wanita untuk melahirkan seorang anak cukup terbatas.
Sebagai perbandingan, bolehlah kita tilik hal tersebut dari beberapa artikel yang saya dapatkan. Salah satu artikel menyebutkan bahwa masa ideal wanita baru baik untuk menikah adalah di usia 21 tahun. Mengapa?, karena di usia 21-35 tahun resiko gangguan kesehatan pada ibu hamil paling rendah yaitu 15 persen. Sederhananya, di usia 21-35 tahun organ reproduksi, aspek emosional dan sosial sudah lebih matang daripada cabe-cabean yang masih berusia belasan tahun.
Selain itu beberapa ahli juga mengatakan bahwa wanita akan berada di puncak kesuburan di usia 24 tahun. Jadi sangat disayangkan jika pada masa puncak kesuburan ini para wanita masih menyematkan gelar jomblo di kepalanya. Sayang sekali kan?. Kekekekeh..
Oleh dua sebab di ataslah, maka wanita lebih ngebet pengen nikah dibandingkan pria. Jadi ketidaktahanan wanita untuk segera menikah bukan hanya masalah cari sensasi saja, melainkan berdalil pada masalah kesehatan dan kesuburan.
***
Kedua, Iri Melihat Teman yang Sudah Menikah.
Mochtar Lubis pernah menulis sebuah buku berjudul Manusia Indonesia. Di buku itu ia merilis beberapa ciri-ciri manusia Indonesia, diantaranya munafik, tidak bertanggung jawab, percaya takhayul dan masih banyak lainnya. Dari beberapa sifat yang ia sebutkan sebagai ciri-ciri manusia Indonesia, ternyata iri dan dengki juga termasuk, meskipun sifat itu tidak masuk dalam enam sifat teratas versi Mochtar Lubis.
Penyakit ini hampir tersemai di dalam hati seluruh umat manusia Indonesia baik itu pria maupun wanita. Nah, dalam kasus nikah, hampir kebanyakan wanita yang sudah ditinggal temannya nikah duluan akan merasa tersakiti hatinya, meskipun saat datang ke acara pelaminan mereka masih sanggup melebarkan senyuman.
Iri dan dengki inilah yang memunculkan benih-benih kepingin nikah pada diri wanita. Namun iri dan dengki dalam kasus ini bersifat positif, karena berlomba-lomba menuju kursi pelaminan, bukan berlomba-lomba menuju kemaksiatan dan pacaran. Asekkk...
***
Ketiga, Wanita Tidak Berani Melamar Duluan.
Nah ini adalah masalah pelik yang turun temurun dari zaman Marah Roesli menerbitkan novel Siti Nurbaya sampai zaman munculnya novel Raditya Dika. Masalahnya adalah; wanita tida berani dan merdeka untuk menyampaikan perasaannya duluan. Yang mereka lakukan adalah menunggu dan menunggu.
Karena prinsip menunggu inilah menjadikan wanita tertuntut untuk segera mendapatkan jodoh. Karena kalau tidak, dia akan bernasib menjadi perawan tua. Perlu saya beri tahu, Feri suka yang begituan, lebih dewasa katanya.
Sudahlah, kita singkirkan dulu novel Raditya Dika kesukaan Bung Abdur Rasyid. Lebih baik kita mengambil pelajaran dari novel yang sastrawi dan melegenda karya Marah Roesli yang berjudul Siti Nurbaya.
Novel Marah Roesli yang berjudul Siti Nurbaya bercerita tentang hilangnya kebebasan wanita untuk memilih pendamping hidupnya. Ia terpaksa menikah dengan Datuk Maringgih karena tuntutan hutang, padahal ia sebenarnya punya kekasih yang ia cintai.
Seharusnya tidak ada lagi Siti Nurbaya di zaman modern seperti saat ini. Maksud saya, seharusnya wanita tidak lagi menunggu pinangan atau tunangan, tapi mereka juga punya hak untuk menentukan pilihan; siapa lelaki yang pantas menjadi suaminya. Konsekuensinya, wanita harus merdeka dan berani, bukan pasrah dan mengalah.
Di zaman menjamurnya berbagai jenis media sosial, seharusnya sudah tidak ada lagi batas untuk mengungkapkan perasaan. Jika memang tidak diperbolehkan untuk berkomunikasi langsung antar lawan jenis yang bukan mahram, si wanita bisa bercerita pada keluarganya atau temannya yang punya network terhadap pria yang ia idam-idamkan. Bummm... masalah selesai.
Wanita seharusnya merdeka untuk memilih siapa pasangannya. Bukankah pernah ada Sahabiyah yang menawarkan diri kepada Rasulullah untuk dinikahi yang terekam dalam hadis Bukhari?. Bukankah Khadijah pada saat itu yang terlebih dahulu menyampaikan hasratnya untuk hidup bersama Rasulullah melewati temannya yang bernama Nafisah?.
Oleh karena itu, logikanya mesti dibalik. Wanita tidak harus selalu dan selamanya dari zaman ke zaman untuk menunggu dipilih, tetapi kalian juga seharusnya merdeka untuk memilih duluan. Ngeri ya bahasa saya ini...hehehe.
Hanya saja bila kita lihat konteks terkini. Seseorang tidak semudah itu menawarkan diri kepada orang lain. Mesti ada modalnya dulu, baik itu kebaikan spritual, emosional maupun kesiapan materinya. Oleh karena itu, jika wanita ingin merdeka menentukan pilihan, seharusnya kemapanan tidak hanya disiapkan oleh pria, tetapi juga dari wanita.
Itupun jika wanita memang ingin merdeka untuk memilih, bukan pasrah dipilih. Tapi apabila memang masih mengiginkan kebudayaan lama, ya... silahkan. Toh ini hanya buah pikiran dari filsuf indie amatiran yang berada di bawah naungan pihak swasta.
***
Oke, cukup sekian hasil penelitian saya bersama teman-teman saya. Apabila ada kekurangan seperti typo, kata yang tidak baku serta kalimat yang ambigu, kami mohon maaf. Yah... yang namanya sebuah karya memang tidak akan pernah ada yang sempurna.
Sekian dan terima kasih. Salam Ramadan.



Share:

Senin, 29 Mei 2017

BUKBER

Assalamu’alaikum, masih puasa?.
***
Meskipun baru empat hari kita berpuasa, provokasi untuk mengajak BUKBER (Buka Puasa Bersama) sudah mulai bergema di media sosial, terkhusus pada kalangan baru akil balig. Fenomena sosial ini saya yakin akan semakin mendapatkan momentumnya saat menjelang akhir Ramadan nanti.
Jadi, wahai kalian para entrepreneur muda, manfaatkanlah kesempatan ini dengan sebaik-baiknya, karena di bulan Ramadan ini perilaku konsumtif masyarakat Indonesia akan semakin meningkat. Kalian bisa buka warung jajanan, jual es tebu, atau jual petasan dan kembang api, lumayan buat nambah uang THR.
Bukber tidak hanya sekedar menjadi ajang untuk merperhalus budi pekerti seorang manusia, tapi juga menjadi ajang untuk bersosialisasi antar sesama bahkan bisa menjadi ajang unjuk gaya dan mode busana.
Sudahlah ini bulan puasa, saya harus menahan diri dari mengkritik dan mencela. Ehmm....
Oke, kali ini saya ingin memberikan beberapa hal yang harus diketahui terkait penyelenggaraan buka puasa bersama yang mungkin tidak begitu penting untuk kalian baca, tapi setidaknya bacalah ya!, lah maksa. Mungkin beberapa hal itu seperti saran atau tips bagi kalian yang ingin menyelenggarakan pesta buka puasa bersama.
 
sumber gambar: priceindo.com
Langsung saja.
Pertama, Pemilihan Tempat.
Dalam teori pendidikan, lingkungan sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan seorang peserta didik. Jika lingkungannya baik, maka potensi kebaikannya juga akan selaras dengan kebaikan yang ditawarkan oleh lingkungannya.
Nah, dalam memilih tempat berbuka puasa, kita tidak perlu ribet menggunakan teori pendidikan di atas, karena teori di atas hanya sekedar intermezzo, pesanan iklan dari menteri pendidikan dan kebudayaan.
Ada banyak tempat yang bisa digunakan untuk mengadakan buka puasa bersama. Kita bisa menyelenggarakannya di tempat ibadah, rumah, sekolah, kafe, restoran, dan tempat-tempat lainnya yang tentunya dapat menyediakan makanan dan minuman.
Namun, tempat yang paling sering menjadi perdebatan adalah rumah dan restoran. Perlu saya perjelas terlebih dahulu, yang dimaksud dengan restoran di sini bukan sekedar tempat makan mewah yang berada di hotel berbintang, tapi restoran juga bisa berarti tempat makan sederhana seperti warung pecel ayam dan bakso setan.
Untuk memudahkan pemilihan tempat di atas, ada baiknya kita analisis terlebih dahulu satu per satu keuntungan dan kerugian ketika mengadakan acara buka puasa bersama di tempat tersebut. Kali ini kita akan menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan kualitatif komparatif (perbandingan kualitas) yang sudah saya ajukan kepada ketua jurusan dan tentu saja sudah di acc.  Terima kasih Pak.
Rumah. Keuntungan pertama bila kita mengadakan buka bersama di sebuah rumah adalah hemat biaya. Bahkan menurut survei ecek-ecek, berbuka puasa bersama di rumah bisa menghemat biaya produksi hingga 30 persen.
Keuntungan lainnya bila mengadakan buka puasa bersama di rumah adalah ketepatan waktu. Dengan sistem seperti ini, kita bisa menghitung keefisienan waktu. Misalnya, kapan harus masak?, kapan harus memukul es batu?, kapan harus menuangkan es kopyor ke dalam gelas plastik dan sebagainya?, semuanya bisa diperhitungkan dengan sangat baik. Sehingga pada saat azan magrib berkumandang, semua orang sudah bisa membasahi kerongkongannya dengan air yang menyegarkan.
Dengan berbuka puasa bersama di rumah juga, kita bisa memperkuat hubungan sosial antar sesama, karena semua pekerjaan seperti berbelanja bahan, mencuci buah-buahan dan menggoreng ayam bisa dikerjakan bersama-sama. Persis seperti teori gotong royong ala Mohammad Hatta.
Hanya saja, sistem seperti ini bisa mengakibatkan terbukanya peluang untuk korupsi. Maklumlah, tidak ada satupun sistem yang sempurna di dunia ini. Tuan rumah bisa saja menimbun beberapa potong dada ayam atau beberapa gelas kolang-kaling sehingga mengakibatkan kerugian terhadap peserta buka puasa bersama. Dan sedihnya lagi, KPK tidak akan mau mengusut kasus korupsi yang berbau agama seperti ini. Ingat, politik harus dipisahkan dari agama. Islam Yes, Partai Islam No, begitulah semboyannya.
Kerugian lainnya dari berbuka puasa bersama di rumah adalah dapat menyebabkan keletihan dan kecape’an para peserta. Karena yang menyiapkan semuanya adalah orang-orang yang terlibat dalam acara buka puasa bersama.
Restoran. Bila buka puasa bersama di rumah bisa menghemat biaya, maka sebaliknya, berbuka puasa di restoran akan lebih banyak mengeluarkan biaya. Namun peluang untuk korupsi akan tertutup rapat, karena akumulasi keuntungan sudah terserap oleh pemilik restoran.
Kerugiannya, biasanya penjamuan hidangan di meja makan akan terasa lama. Terkadang azan magrib sudah berkumandang, si chef masih asik menggoyangkan spatulanya untuk menggoreng bawang.
Keadilan sosial bagi seluruh peserta buka puasa bersama juga terkadang sulit didapatkan. Karena itu tadi, masak makanannya lumayan lama, apalagi masih ada beberapa restoran yang belum beralih dari kompor minyak tanah ke kompor gas, bahkan masih ada yang menggunakan kayu bakar.
Untuk menghindari ketidakadilan tersebut, kita bisa melakukan pemesanan terlebih  dahulu, minimal satu jam sebelum waktu berbuka.
Keuntungan berbuka puasa di restoran adalah tidak ribet dan tidak menimbulkan keletihan karena kita tidak turun langsung dalam menyiapkan makanan dan minuman. Kita tidak perlu sok ikut-ikutan pramusaji menumis kangkung dan menggeprek ayam. Kita juga tidak perlu sibuk menata meja dan menyapu halaman, apalagi mengatur kendaraan di parkiran.
***
Kedua, Mensilentkan Gadget.
Bagi sebagian orang, memainkan gadget di keramaian mungkin bukanlah tindakan asusila. Tapi bagi yang perasa dan punya kesadaran sosial yang tinggi serta rajin ikut upacara bendera, melihat teman yang bermain gadget di saat sedang kumpul bareng adalah sebuah tindakan yang tercela. Orang yang seperti itu (sering sibuk sendiri dengan gadget di tengah keramaian) patut dipertanyakan nilai akidah akhlak dan ilmu pengetahuan sosialnya!.
Ingat, gadget hanya boleh dimainkan pada saat kita menjadi orang pertama yang datang ke tempat yang sudah dijanjikan untuk buka puasa bersama, lumayan untuk membunuh waktu saat menunggu.
Atau pada saat ada sesi foto bersama barulah kita boleh menggunakan gadget kita. Di saat itu hukum menggunakan gadget menjadi fardhu kifayah, apabila sebagian teman sudah melakukannya, maka gugurlah kewajiban teman yang lain, karena foto itu nantinya bisa dishare lewat media sosial, bluetooth atau Shareit.
Serahkan foto bersama kepada teman yang memiliki kualitas kamera yang mempuni. Jika gadget anda kameranya hanya berkekuatan 0,5 megapiksel, maka simpanlah gadget anda rapat-rapat di saku celana, bila perlu kubur dengan tanah.
Tapi jika kita orang yang terakhir datang, dan saat itu sudah ramai teman-teman kita yang datang, maka jangan pernah mainin gadget kita!. Bercengkeramalah dan bertatap muka lah dengan mereka, karena itu adalah hal yang langka.
Kalaupun mereka ngacangin kita, kita tetap tidak boleh memainkan gadget. Sebagai alternatif, kita boleh memainkan hal yang lain seperti gulung-gulung tisu dan membengkokkan garpu.
***
Ketiga, Mengadakan Kultum.
Selama ini kegiatan buka puasa bersama kita miskin makna. Bukannya menambah pahala, yang terjadi malah bergosip ria sehingga menumpuk dosa. Para cowok gosipin Hamish Daud tunangan sama Raisa, nah yang cewek gosipin naiknya harga bawang putih di pasaran.
Bagaimana jika perilaku tidak berfaedah itu kita ubah. Caranya adalah dengan mengadakan acara kultum (kuliah tujuh puluh tahun). Tujuannya adalah untuk mengalihkan kegiatan yang tidak bermanfaat menjadi bermanfaat.
Agar saat mendengar kultum tidak pada ngantuk seperti mendengarkan khutbah Jumat, maka materi kultum haruslah materi terkini, seperti pembubaran HTI, penetapan HRS sebagai tersangka, RUU penyelenggaraan pemilu atau kebangkitan situs MOJOK.CO di kancah dunia digital setelah pongah menyebut dirinya bakal bubar beberapa abad lalu.
Jika kita tidak punya teman yang bertalenta dalam memberikan kultum, maka kita bisa menggantinya dengan acara lain, seperti acara motivasi, ospek MLM, atau atraksi sulap. Tapi jika ada yang berbakat, anda bisa mendaftarkan beliau ke acara Asia Got Talent yang akan diselenggarakan di Jakarta 3 Juni mendatang.
***
Mungkin cukup sekian pembahasan dari rumusan masalah yang telah saya ajukan. Saya khawatir apabila semakin dituloykan (diteruskan), maka tulisan ini bisa membatalkan puasa kita bersama.
Tentu saya menyadari masih banyak kekeliruan dan keabsurdan dalam tulisan saya, oleh karena itu saya tidak memerlukan kritik dan saran dari para pembaca, karena tulisan ini juga tidak akan saya pertanggungjawabkan secara akademis.
Saya tidak pernah mengiming-imingi para pembaca dengan gelimang pahala ketika membaca tulisan ini. Karena jika pembaca waras, tentu pembaca sudah menutupnya sejak membaca bagian judul dan menggantinya dengan bacaan yang lebih bermanfaat... seperti membaca status hoax.
Sekian dan terima kasih. Salam Ramadhan.
Share:

Selasa, 02 Mei 2017

PENDIDIKAN YANG MEMBELENGGU.



Awal tahun ini Indonesia tersenyum bahagia karena melihat putra bangsa mereka yaitu Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Marcus Fernaldi Gideon berhasil memenangkan laga bergengsi All England 2017.

Kemenangan itu menarik perhatian berbagai media untuk meliput dan berbincang bersama Kevin dan Marcus. Dan yang cukup menggelitik ketika Kevin dan Marcus diundang oleh stasiun televisi swasta NET TV dalam acara Ini Talkshow.

Komedian Sule selaku pembawa acara melemparkan sebuah pertanyaan kepada Marcus. Dengan wajah serius ia bertanya, “Dari dulu memang bercita-cita menjadi pemain bulu tangkis atau pelawak?”.

Semua tertawa karena pertanyaan Sule yang lucu.

Setelah tawa penonton reda, Sule kembali bertanya, “Emang cita-cita atau disuruh orang tua?”, tanya Sule.

Marcus menjawab, “Soalnya malas sekolah, capek kan sekolah belajar terus. Disuruh ada pilihan nggak usah sekolah tapi main bulutangkis, ya udahlah nggak usah sekolah aja. Kalau sekolah dimarahin mulu ama guru.”

Semua penonton kembali tertawa mendengarkan jawaban polos dari Marcus.

“Nah kalau Kevin, cita-cita kamu yang pengen atau diarahkan sama orang tua?,” tanya Sule.

“Sama sih kurang lebih, dari kecil emang hobi, terus malas sekolah juga.” Jawab Kevin sambil tertawa sendiri, sementara yang lain terdiam. Kevin jadi tengsin (malu).

Percakapan ringan di atas memperlihatkan bagaimana sekolah di mata anak-anak Indonesia dan bagaimana sebuah hobi mampu membawa seseorang melesat melebihi apa yang dibayangkan sebelumnya.

Sekolah memang penting, tapi tidak semua sekolah mampu mengembangkan potensi dan bakat anak, sehingga anak yang merasa sekolah tidak memberi ia kebebasan untuk mengembangkan potensinya, maka dia akan keluar dari sekolah dan belajar di luar. 

Jika belajar adalah usaha untuk mengembangkan potensi, maka sekolah bukan satu-satunya pilihan. Kevin dan Marcus contohnya, ia lebih memilih belajar di luar sekolah, ia berangkat ke lapangan dan berlatih disana, disanalah bakat dan potensinya berkembang.

Dan belajar di luar sekolah itu ternyata berhasil, hal ini dibuktikan oleh Kevin dan Marcus. Mereka berdua berhasil menjuarai kejuaraan bergengsi dan tertua dunia yaitu All England pada tahun 2017 ini. 

Tidak cukup sampai disitu, pada Kamis tanggal 16 bulan maret 2017, The Badminton World Federation (Federasi Bulu Tangkis Dunia) merilis juara pasangan terbaru dunia yaitu Kevin dan Marcus. Mereka juga menjuarai kompetisi bergengsi lainnya seperti India Open 2016 dan 2017, China Open 2016, Australia Open 2017, Malaysia Open 2017 dan masih banyak lagi yang lainnya.

Berbicara tentang bakat dan potensi, saya pernah menemukan gambar satire di media sosial. Gambar itu memperlihatkan seorang manusia sebagai guru mengajar berbagai macam hewan seperti ikan, katak, burung dan sebagainya.

Gambar itu melampirkan sebuah perkataan Albert Einstein (ahli sains), ia mengatakan:
“Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree it will live its whole life believing that it is stupid.”

Sori, bakat saya bukan di bidang bahasa, jadi saya tidak akan menerjemahkannya untuk kalian. Tapi kurang lebih maksudnya seperti ini, semua orang itu jenius, termasuk hewan ya. Tapi kalau kita memerintahkan ikan untuk memanjat pohon, dan saat ikan tersebut tidak bisa melakukannya lalu kemudian kita menghukumnya, maka sepanjang hidupnya dia (si ikan itu) akan berpikiran bahwa dia bodoh. Padahal dia tidak bodoh kan?. Kitanya saja yang salah memanfaatkan potensinya. Potensi ikan bukan memanjat pohon melainkan berenang di air.

Jadi pendidikan seharusnya bisa melihat “apa” potensi anak dan setelah tahu “apa” potensinya, maka pendidikan bertugas untuk mengembangkan potensi tersebut. Bukannya mendikte anak untuk melakukan semua hal hingga anak itu pusing kepalanya. Tapi cari bakatnya dan kembangkan. Selesai. 

Dan inilah yang dilakukan di negara Finlandia, sebuah negara dengan sistem pendidikan terbaik dunia. Salah satu keunggulan pendidikan mereka adalah kurikulum yang lebih bersifat fleksibel dan kegiatan ekstrakurikuler (bahasa, olahraga dan kesenian) yang seimbang dengan kegiatan kurikuler. Bahkan murid bisa memlih pelajaran kesukaan mereka. Semangat pendidikan mereka adalah agar anak bisa bahagia bukan sekedar cerdas semata.

Sebenarnya tanpa harus berkacamata pada sistem pendidikan di negara lain, negara kita Indonesia pun sudah merumuskan pentingnya potensi anak. Hal itu tertuang pada definisi pendidikan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Potensi manusia inilah yang ingin dikembangkan. Potensi ada dua secara garis besar, yaitu potensi untuk dunia (keahlian) dan potensi religi (kebaikan) mereka. Sebenarnya pendidikan itu ingin membentuk manusia agar ahli di bidangnya dan bagus akhlaknya dengan landasan agama mereka masing-masing, udah itu aja. Simpel kan?.

Tapi dalam pelaksanaannya, bakat tidak diperhatikan dan akhlak dibiarkan, sementara nilai diagung-agungkan.

Sumber gambar ; realita.co


Oke sekarang kita lanjut pada masalah, “Mengapa bakat dan potensi itu tidak berkembang?”.

Pertama: orang tua yang menggiring anaknya tanpa melihat potensi anak

Orang tua berperan besar dalam menentukan arah masa depan anak. Saat masuk Sekolah Dasar, orang tua yang memasukkan kita ke Sekolah Dasar tertentu. Penggiringan ini berlangsung hingga kita masuk SMA. 

Jika hanya saat masuk SD, SMP dan SMA sih tidak terlalu bermasalah anak digiring seperti itu. Yang menjadi masalah adalah, pada saat masuk perguruan tinggi pun nilai voting orang tua lebih menentukan dibandingkan suara hati kita sebagai anak. 

Ya memang sih yang membiayai kita adalah orang tua, tapi kan yang tau potensi kita kan ya kita sendiri. Oke kalau anaknya ekstrovert, terbuka dengan orang tua, ia bisa berdiskusi dulu sebelum masuk perguruan tinggi. Tapi bagaimana dengan anak yang tertutup, kan susah. Belum lagi ada anak yang takut membantah orang tua, takut dikutuk jadi batu akik seperti ceritanya malin kundang.

Masalah lainnya, orang tua sekarang ini terlalu berpikiran pragmatis. Melakukan sesuatu jika ada gunanya saja, jika dipandang tidak menghasilkan maka ia akan menjauhinya. Ia memilihkan anak-anaknya perguran tinggi tertentu karena memandang peluang kerja di masa depan, bukan mengacu pada potensi anak sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

“Nak, kamu masuk jurusan perawat ya, banyak Rumah Sakit yang buka beberapa tahun ke depan, peluang kerjanya besar,” kata sang Ibu.

Nggeh buk,” jawab sang anak, padahal anak ini tidak sedikit pun menaruh minat dan berbakat dalam bidang kesehatan.

Contoh lain:

“Boy, kau masuk jurusan PGSD (pendidikan guru SD) ya boy!. Lima tahun ke depan nanti guru SD banyak yang pensiun. Jadi selesai kau kuliah kau bisa langsung honor, sip boy?,” bujuk sang Ayah.

“Ndak Yah, aku ndak pandai ngajar, aku mau masuk jurusan komputer aja, bakat aku di komputer Yah,” bantah sang anak.

“Eh, Eh, kau melawan Ayah ya, nanti Ayah kutuk kau jadi kura-kura sungai,” gertak sang Ayah.

“Ampun Yah. Oke lah Yah aku masuk PGSD aja.”

Alasan Kedua adalah Biaya.

Saat SMA dulu saya punya teman yang jenius sekali dalam pelajaran sains dan hitung-hitungan seperti Matematika, Kimia, dan Fisika. Jika ada waktu senggang saya selalu minta ia untuk mengajari saya tiga mata pelajaran tersebut. Sebenarnya sih minta contekan juga, heheh. Maklum lah ya saat SMA dulu imannya kurang kuat. 

Tapi sewaktu saya kuliah di Pontianak, saya kaget saat mengetahui dia tidak melanjutkan kuliah. Tamat SMA dia langsung kerja, semacam kerja kuli bangunan dan pengerjaan jalan. Dia punya bakat dan berpotensi, tapi karena kendala biaya, bakat yang istimewa itu tidak lagi berkembang. 

Memang sih ada yang namanya beasiswa dan semacamnya, tapi info seperti itu kan tidak terjangkau oleh dirinya yang tinggal jauh di sebuah kampung. Lagipula adiministrasi untuk beasiswa itu juga terkadang ribet dan mencekik. 

Alasan ketiga, sedikitnya pilihan.

Ini cerita juga. Ya cerita terus lah ya, soalnya permasalahan ini ada di sekitar kita.

Saya punya seorang teman yang jago main bola. Sering ikut pertandingan dan juara. Saat hendak masuk ke perguruan tinggi, awalnya ia memilih jurusan Penjaskes di UNTAN Pontianak karena sesuai dengan kemampuan motoriknya. Dan sekali lagi, itu satu-satunya yang agak nyambung dengan potensi dirinya. 

Tapi setelah tes dan sebagainya dia tidak lulus. Kegagalan itu dikarenakan dia lemah dalam hal akademis, hitung-hitungan dan sebagainya, tapi main bola jago.

Sebenarnya dia bisa masuk IKIP PGRI Pontianak dengan jurusan yang sama. Tapi karena mendengar biaya semesteran di IKIP PGRI Pontianak yang lumayan mahal, akhirnya dia mengambil jurusan Ekonomi Islam di IAIN Pontianak. 

Hal semacam itu kan pelarian namanya, dan yang namanya pelarian pasti tidak enak. Terbukti, setelah kuliah beberapa semester ada berita bahwa nilainya rendah, banyak nilai yang tidak keluar, sering bolos dan sebagainya. 

Mengapa hal ini terjadi?.

Pertama karena dia melakukan sesuatu yang bukan potensinya. Kedua, dia tidak punya banyak pilihan. Tidak ada sekolah bola di Kalimantan Barat. Kalaupun ada ya di Jawa sana. Dan kalaupun dia mau untuk masuk sekolah Bola, sudah dapat dipastikan orang tuanya tidak setuju, mengapa?. Kembali ke pasal 1, orang tua terlalu berlebihan dalam menggiring anak.

Di sekolah pun kurang lebih sama, potensi kita tidak banyak berkembang. Pemilihan jurusan baru akan dilakukan saat SMA. Itupun dengan jurusan yang sedikit, IPA dan IPS. Jika sekolahnya lebih favorit sedikit, maka akan ada jurusan Bahasa. Jika di Aliyah tertentu ada jurusan agama. 

Pertanyaannya adalah, “Bagaimana dengan anak yang potensinya di bidang olahraga dan kesenian?.”

Maka bisa kita jawab dengan penuh semangat, “Potensi mereka akan mati dengan sendirinya.”

Alasan Keempat, tidak fokus.

Cerita lagi, dulu waktu akhir-akhir kuliah saya sempat terkejut karena ada mata kuliah kewirausahaan masuk  ke dalam perkuliahan saya. Agak nggak nyambung karena saya mengambil jurusan pendidikan. Awalnya saya sempat berperasangka baik dulu, siapa tau materi ini memang berhubungan atau berguna dalam dunia pendidikan. 

Setelah perkuliahan berjalan ternyata tidak ada satupun kaitannya dengan dunia pendidikan terutama guru. Saya kira mata kuliah tersebut akan mengajarkan bagaimana mengelola biaya pendidikan, bagaimana mengolah pembelajaran yang kreatif namun dengan biaya yang murah, karena kewirausahaan biasanya terkait dengan biaya dan kreatifitas.Ternyata tidak ada.

Di mata kuliah tersebut kami belajar mengenal jenis-jenis usaha, tips membuka usaha, tips agar barang dagangan laris, tips memilih tempat usaha dan sebagainya. Sebenarnya kan kami dididik untuk menjadi guru bukan pengusaha. Ini kok jadi seperti ini?.

Setelah diselidiki ternyata mata kuliah ini berguna sebagai “jaga-jaga”, siapa tahu setelah sarjana nanti ada yang tidak berminat jadi guru terus bisa banting setir untuk menjadi pengusaha. Dari situ saya berpikir bahwa kampus saya sendiri pun tidak yakin kalau setelah ini kami akan menjadi guru semuanya. Pengembangan potensi kami tidak dilakukan secara fokus dan serius. Atau mungkin benar juga kata kampus, “Ada yang nggak bakat jadi guru, tapi masuk fakultas keguruan.”

Itu salah satu contoh di perkuliahan, belum lagi kalau di sekolah. Kita bisa merasakan hal itu. Mungkin hampir semua orang sepakat bahwa materi pelajaran di sekolah terlalu banyak dan tidak berfokus pada potensi anak. Terutama saat SMP dan SMA. 

Di SMP ada PPKN, Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Seni Budaya, IPA, IPS, PAI dan Penjas. Di SMA nambah lagi Biologi, Kimia, Fisika, Ekonomi, Sejarah, Geografi, TIK dan Sosilogi. Jika ada kesalahan tolong disampaikan karena saya jurusan PAI. 

Banyak kan?.

Dan karena mata pelajaran itu disuap aja langsung ke anak tanpa tahu sebenarnya dia suka atau tidak dengan mata pelajaran itu, maka yang terjadi adalah anak akan muntah dengan sengaja. Untung pada saat itu tidak puasa, kalau puasa dia udah batal karena muntah dengan sengaja.

Seharusnya, jika anak suka hitung-hitungan dan ilmu pengetahuan alam, maka tempatkan dia di bidang sains dan ilmu pengetahuan alam. Jika dia suka sejarah, sosial dan geografi, tempatkan di di ruangan yang mengajarkan hal tersebut. Jika dia suka olahraga, tempatkan ia di lapangan atau stadium untuk terus melatih potensinya. Jika ia senang berkesenian, maka tempatkanlah ia di ruang kesenian. Jika begitu kan anak-anak bisa fokus dan melakukan sesuatu yang memang ia minati. Setelah itu anak-anak pun akan mengakhiri kisah mereka dengan happy ending.

Teman saya ada yang protes. “Ah nggak bisa gitu Zid, mereka yang hobi olahraga juga harus belajar IPA, yang hobi IPA juga harus olahraga, pokoknya sekolah sekarang itu sudah sip dan maknyus.

Ya betul, kita harus belajar banyak hal. Tapi tidak harus sampai expert di semua hal tersebut. Belajar dasarnya aja, seperti matematika itu penting, tapi belajar dasar-dasarnya aja. Kecuali jika mereka memang ada potensi di Matematika, nah mereka harus expert di bidang itu. Tapi bagi yang tidak minat, mereka cukup belajar dasarnya aja, yang  berguna untuk kehidupan mereka.

Toh tidak semua pelajaran yang pernah kita pelajari kita ingat semua kan?. Enggak kan?. Hanya ada satu bidang pelajaran yang kita tekuni saat dewasa.

Kalau tidak percaya, coba anda jawab pertanyaan ini. Materi ini pernah anda pelajari di sekolah waktu SMP dulu.

“Sebutkan tingkatan klasifikasi pada tumbuhan!.” (dilarang buka internet).

“Bagaimana cara kalor berpindah dari benda bersuhu tinggi ke benda bersuhu rendah?.” (dilarang buka internet)

“Sebutkan lapisan atmosfer bumi secara berurutan!.” (boleh buka internet karena anda memang tidak akan hafal jawabannya di kepala).

“Nggak tau kan ya?.”

Bagi yang jurusan Biologi, Fisika, dan Geografi sih pasti bisa. Tapi yang bukan jurusan itu ya nggak bisa lah, bukan potensi kalian. Lalu buat apa kita menghafal materi tingkatan klasisikasi tumbuhan waktu SMP dulu jika tidak juga kita gunakan sekarang?.

Bukankah itu buang-buang waktu.

Sekolah kita mengajarkan semua hal hingga lupa potensi kita sebenarnya di mana. Akhirnya waktu sekolah dulu kita tahu banyak hal, tapi ketika dewasa kita lupa banyak hal tersebut, karena pada saat dewasa kita memilih salah satu hal saja dari sekian banyak hal.

Makanya Kevin dan Marcus malas sekolah, karena mereka berdua tau bahwa sekolah itu terlalu banyak membuang waktu mereka dan tidak pernah fokus untuk mengembangkan potensi mereka sebagai penyuka bulu tangkis.

SEKIAN

“Pendidikan yang memerdekakan adalah pendidikan yang mengakomodasi bakat dan keterampilan, bukan pendidikan yang hanya bisa memberi beban.”

-MATA NAJWA-
Share: