Judul
kontroversial di atas sengaja saya pilih agar tulisan kali ini lebih menjual
(komersil).
***
Sebagai filsuf indie amatir yang berada di bawah naungan swasta dan hampir berusia
23 tahun, saya mendapati adanya gejala sosial yang terjadi pada teman
seangkatan saya, terutama yang berjenis kelamin wanita.
Penyebutan kata “wanita” disini tidak bertendensi untuk merendahkan derajat dan martabat kaum hawa, sebagaimana
perdebatan di kalangan ahli bahasa yang masih memperdebatkan kata “wanita” dan “perempuan”.
Katanya perempuan dari segi bahasa lebih mulia dibandingkan wanita. Katanya...
Namun perkara itu juga merupakan perkara yang khilafiyah di antara para ulama
bahasa, seperti masalah qunut tidak qunut.
Lanjut...
Kembali pada permasalahan awal. Adapun gejala
sosial yang muncul di kalangan wanita seangkatan saya adalah permasalahan pingin
cepat nikah. Bila saya perhatikan, kegelisahan wanita seangkatan saya pada
masalah ini cenderung lebih heboh dibandingkan di kalangan kaum pria.
sumber gambar: weheartit.com |
Bila pria menanggapi masalah pernikahan
dengan cara yang selow seperti
lagunya Young Lex featuring Gamaliel,
maka wanita menanggapi isu pernikahan dengan begitu panik kebakaran jambang
seolah sedang mengalami Premenstrual
Syndrome (PMS).
Bentuk kepanikan wanita bisa bermacam-macam,
tapi yang paling jamak kita temui dalam kehidupan kita adalah munculnya
status-status “baper” yang menjurus kepada arah pernikahan, mulai dari tulisan
yang blak-blakkan pengen nikah sampai tulisan yang halus dan tersirat sehingga
harus ditafsirkan dengan metode semiotik (penafsiran melalui simbol emotikon)
dan hermeneutik (penafsiran dengan cara melihat konteks diturunkannya status).
***
Sebagai filsuf amatir yang peka terhadap
lingkungan, saya berusaha untuk mencari jawaban dari gejala sosial tersebut.
Adapun rumusan masalah tunggal yang saya buat adalah “Mengapa wanita lebih
kebelet nikah dibanding pria?.”
Mulailah saya mencari jawaban dengan googling di internet. Saya menjelajah
dari blog satu ke blog lain, mulai dari blog moderat seperti Hipwee dan Idn
Times sampai situs ekstrem seperti Suicide
Guide dan Rent-a-Hintman.
Namun saya tidak puas dengan jawaban yang
ditawarkan oleh blog dan situs di atas. Bagaimana tidak, jawaban yang mereka
berikan dari pertanyaan yang saya lemparkan “Mengapa wanita lebih kebelet nikah
dibanding pria?”, adalah: Pertama, karena kepingin menjadi ibu muda seperti
Retno Hening dan Arumi Bachsin. Kedua, desakan orang tua. Ketiga karena sudah
jebol (hati dan perasaannya).
Karena tidak puas, saya mengubah peta sumber
data primer saya yang awalnya bersumber dari pustaka internet menjadi hasil
wawancara. Mulailah saya mendatangi beberapa teman saya untuk melakukan
wawancara, seperti Abdur Rasyid, Kurniawan Riantoso, Danny Pranata, Feri, Sam
Haji, dan Benny Subandi.
Sebenarnya saya ingin meluaskan wawancara
kepada beberapa narasumber lainnya seperti Habeb Ahmad Firdaus. Hanya saja
narasumber yang satu ini terlampau sibuk mengurusi masalah politik, penista
agama, dan pemasaran kue raya.
Meskipun narasumber terbatas, saya rasa beberapa
nama diatas sudah memenuhi kriteria narasumber yang diperlukan.
Abdur Rasyid misalkan, beliau adalah pakar
dalam masalah asmara, berpengalaman dalam putus-nyambung suatu hubungan, dan
punya koleksi mantan yang lumayan. Keprofesionalan ini dibuktikan dengan akan
berlangsungnya pernikahan beliau tahun ini. Calon istrinya ini adalah wanita
yang tempo waktu pernah bergelar mantan dalam ruang asmara beliau. Bayangkan,
mantan jadi pasangan. Boleh lah ajarkan aku Syid mantra-mantra pemikat hati mantan...huhhhh...
Kurniawan Riantoso, peternak ikan cupang yang
punya omzet menjanjikan. Ia punya pengalaman panjang dalam menjalin hubungan.
Satu-satunya pria di kelas saya yang paling sedikit punya mantan adalah beliau.
Dari situlah saya menyadari bahwa ketulusan dan kesetiaan beliau dalam menjalin
hubungan sangat perlu dipertimbangkan sehingga layak sebagai seorang
narasumber.
Danny Pranata, selebriti futsal yang mengubur
mimpinya untuk bermain di Santiago Bernabeu karena cedera pundak lutut kaki. Beliau
ahli dalam menjalin hubungan asmara tidak kasat mata, banyak publik yang tidak
bisa merekam jejak asmaranya, bukan karena tidak punya pasangan atau mantan,
melainkan karena keahliannya dalam menyembunyikan jalinan percintaan.
Feri, entrepreneur
muda, CEO H&F Distro. Seorang idealis dalam dunia asmara. Ia begitu
kritis terhadap wanita yang terjangkit virus materialisme akut. Itulah alasan
dia untuk selalu jomblo pada masa perkuliahan, selain karena shockbreaker motor yang sudah mati.
Sam Haji, aktivis HTI yang konsisten
meneriakkan kata “haram” pada pacaran. Jika permasalahan negara solusinya
adalah khilafah, maka pada persoalan asmara solusinya adalah nikah. Tentu saja
Sam Haji patut dijadikan narasumber, sebagai penyeimbang dari jawaban aktivis pro
pacaran seperti Bung Abdur Rasyid dan Danny Pranata.
Benny Subandi, penyuka burung hias, penyendiri
yang skripsinya belum tuntas-tuntas. Sorry
Ben, tapi itu memang kenyataan. Beliau cukup mumpuni dalam hal asmara. Sudah
berapa wanita yang ia taklukkan, meskipun ujung-ujungnya wanita itu yang memutuskan
untuk meninggalkan. Karena nasib mengenaskan seperti itulah saya memasukkan
Benny dalam daftar narasumber.
***
Respon para narasumber dalam menjawab pertanyaan
inti “Mengapa wanita lebih kebelet nikah daripada pria?” bermacam-macam, dari yang
tersipu malu sambil gigit lengan baju, menjawab sepatah dua patah kata, hingga
ceplas-ceplos seperti sedang berkhotbah.
Hasil dari berbagai jawaban itu kemudian saya
peras lagi. Sehingga dari bermacam-macam jawaban, saya hanya mengambil tiga
jawaban yang itu adalah jawaban terbanyak dan terbaik menurut saya (subjektif).
Jadi ada tiga alasan “Mengapa wanita lebih
kebelet nikah daripada pria?”:
Pertama, Faktor Usia.
Faktor usia memang merupakan jawaban
terbanyak dan terbaik pertama. Jika kita triangulasikan jawaban itu dengan
Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang
mengatakan “Batas usia menikah bagi perempuan adalah 16 tahun dan pria 19 tahun”,
maka bisa kita dapatkan benang merahnya, bahwa dari sinilah lahir pola pikir di
masyarakat kita kalau wanita harus lebih dulu menikah dibanding pria. Disini kita
menggunakan rumus perbandingan senilai.
Lihatlah perbedaan usia tersebut!, 16 : 19. Jadi
bila ada wanita dan pria yang sama-sama berusia 23 tahun, kemudian si pria
menikah lebih duluan, maka si wanita dengan umur yang sama (23 tahun) akan
panik. Mengapa?. Karena tidak sesuai dengan perbandingan senilai dalam
Undang-Undang di atas.
Seharusnya pria yang berusia sama dengan si
wanita tadi baru akan menikah di usia 26 tahun, bukan 23 tahun. 16 : 19 atau 1
: 3.
Paham?.
Saya juga tidak paham.
Alasan lain mengapa para narasumber banyak menjawab
faktor usia adalah karena masa produktivitas wanita untuk melahirkan seorang
anak cukup terbatas.
Sebagai perbandingan, bolehlah kita tilik hal
tersebut dari beberapa artikel yang saya dapatkan. Salah satu artikel
menyebutkan bahwa masa ideal wanita baru baik untuk menikah adalah di usia 21
tahun. Mengapa?, karena di usia 21-35 tahun resiko gangguan kesehatan pada ibu
hamil paling rendah yaitu 15 persen. Sederhananya, di usia 21-35 tahun organ
reproduksi, aspek emosional dan sosial sudah lebih matang daripada cabe-cabean yang
masih berusia belasan tahun.
Selain itu beberapa ahli juga mengatakan
bahwa wanita akan berada di puncak kesuburan di usia 24 tahun. Jadi sangat
disayangkan jika pada masa puncak kesuburan ini para wanita masih menyematkan
gelar jomblo di kepalanya. Sayang sekali kan?. Kekekekeh..
Oleh dua sebab di ataslah, maka wanita lebih
ngebet pengen nikah dibandingkan pria. Jadi ketidaktahanan wanita untuk segera
menikah bukan hanya masalah cari sensasi saja, melainkan berdalil pada masalah kesehatan dan kesuburan.
***
Kedua, Iri Melihat Teman yang Sudah
Menikah.
Mochtar Lubis pernah menulis sebuah buku
berjudul Manusia Indonesia. Di buku itu ia merilis beberapa ciri-ciri manusia
Indonesia, diantaranya munafik, tidak bertanggung jawab, percaya takhayul dan
masih banyak lainnya. Dari beberapa sifat yang ia sebutkan sebagai ciri-ciri
manusia Indonesia, ternyata iri dan dengki juga termasuk, meskipun sifat itu
tidak masuk dalam enam sifat teratas versi Mochtar Lubis.
Penyakit ini hampir tersemai di dalam hati seluruh
umat manusia Indonesia baik itu pria maupun wanita. Nah, dalam kasus nikah, hampir
kebanyakan wanita yang sudah ditinggal temannya nikah duluan akan merasa
tersakiti hatinya, meskipun saat datang ke acara pelaminan mereka masih sanggup
melebarkan senyuman.
Iri dan dengki inilah yang memunculkan
benih-benih kepingin nikah pada diri wanita. Namun iri dan dengki dalam kasus ini bersifat positif, karena
berlomba-lomba menuju kursi pelaminan, bukan berlomba-lomba menuju kemaksiatan
dan pacaran. Asekkk...
***
Ketiga, Wanita Tidak Berani Melamar Duluan.
Nah ini adalah masalah pelik yang turun
temurun dari zaman Marah Roesli menerbitkan novel Siti Nurbaya sampai zaman
munculnya novel Raditya Dika. Masalahnya adalah; wanita tida berani dan merdeka
untuk menyampaikan perasaannya duluan. Yang mereka lakukan adalah menunggu dan
menunggu.
Karena prinsip menunggu inilah menjadikan
wanita tertuntut untuk segera mendapatkan jodoh. Karena kalau tidak, dia akan bernasib
menjadi perawan tua. Perlu saya beri tahu, Feri suka yang begituan, lebih
dewasa katanya.
Sudahlah, kita singkirkan dulu novel Raditya
Dika kesukaan Bung Abdur Rasyid. Lebih baik kita mengambil pelajaran dari novel
yang sastrawi dan melegenda karya Marah Roesli yang berjudul Siti Nurbaya.
Novel Marah Roesli yang berjudul Siti Nurbaya
bercerita tentang hilangnya kebebasan wanita untuk memilih pendamping hidupnya.
Ia terpaksa menikah dengan Datuk Maringgih karena tuntutan hutang, padahal ia
sebenarnya punya kekasih yang ia cintai.
Seharusnya tidak ada lagi Siti Nurbaya di
zaman modern seperti saat ini. Maksud saya, seharusnya wanita tidak lagi
menunggu pinangan atau tunangan, tapi mereka juga punya hak untuk menentukan
pilihan; siapa lelaki yang pantas menjadi suaminya. Konsekuensinya, wanita
harus merdeka dan berani, bukan pasrah dan mengalah.
Di zaman menjamurnya berbagai jenis media
sosial, seharusnya sudah tidak ada lagi batas untuk mengungkapkan perasaan. Jika
memang tidak diperbolehkan untuk berkomunikasi langsung antar lawan jenis yang
bukan mahram, si wanita bisa bercerita pada keluarganya atau temannya yang
punya network terhadap pria yang ia
idam-idamkan. Bummm... masalah
selesai.
Wanita seharusnya merdeka untuk memilih siapa
pasangannya. Bukankah pernah ada Sahabiyah
yang menawarkan diri kepada Rasulullah untuk dinikahi yang terekam dalam hadis
Bukhari?. Bukankah Khadijah pada saat itu yang terlebih dahulu menyampaikan
hasratnya untuk hidup bersama Rasulullah melewati temannya yang bernama
Nafisah?.
Oleh karena itu, logikanya mesti dibalik. Wanita
tidak harus selalu dan selamanya dari zaman ke zaman untuk menunggu dipilih, tetapi
kalian juga seharusnya merdeka untuk memilih duluan. Ngeri ya bahasa saya ini...hehehe.
Hanya saja bila kita lihat konteks terkini. Seseorang
tidak semudah itu menawarkan diri kepada orang lain. Mesti ada modalnya dulu,
baik itu kebaikan spritual, emosional maupun kesiapan materinya. Oleh karena
itu, jika wanita ingin merdeka menentukan pilihan, seharusnya kemapanan tidak
hanya disiapkan oleh pria, tetapi juga dari wanita.
Itupun jika wanita memang ingin merdeka untuk
memilih, bukan pasrah dipilih. Tapi apabila memang masih mengiginkan kebudayaan
lama, ya... silahkan. Toh ini hanya buah pikiran dari filsuf indie amatiran yang berada di bawah
naungan pihak swasta.
***
Oke,
cukup sekian hasil penelitian saya bersama teman-teman saya. Apabila ada
kekurangan seperti typo, kata yang
tidak baku serta kalimat yang ambigu, kami mohon maaf. Yah... yang namanya
sebuah karya memang tidak akan pernah ada yang sempurna.
Sekian
dan terima kasih. Salam Ramadan.