Sabtu, 29 April 2017

SETIAP MAHASISWA/I BISA JADI DUTA BACA

sumber gambar: merdeka.com

Masih hangat dalam ingatan saya, saat saya berada di bangku Sekolah Dasar dulu, Bibi saya yang berada di Pontianak membelikan saya sebuah buku komik yang kontennya berupa materi pelajaran Sekolah Dasar. Selain ada gambarnya, kayak komik gitu, pembahasannya juga memuat materi pelajaran, seperti materi IPA dan IPS. Jadi kalau belajar saya nggak pakai buku paket, tapi pakai buku komik itu, nangkap materinya lebih mudah. Buku itu berulang-ulang kali saya baca di rumah dan di sekolah sampai sampul depannya sobek. 

Selain pengalaman itu, saya juga punya pengalaman lain terkait minat baca, tepatnya saat saya masih berada di TK (taman kanak-kanak) 0 kecil. Waktu TK saya sudah bisa membaca tanpa mengeja, sementara teman-teman saya belum ada yang bisa membaca, jangankan membaca, mengenal huruf aja banyak yang belom bisa. Karena sudah bisa membaca itulah, pada suatu hari Ibu Guru di TK saya meminta saya untuk membaca di depan kelas. 

“Yazid...,” rayu Bu guru. Maklumlah, guru waktu TK kan emang suaranya agak mendayu-dayu gitu, supaya muridnya nggak nangis dan ngompol di celana.

“Ya Bu Guru..” jawab saya dengan suara mendayu-dayu juga, saking mendayunya sampai teman-teman TK saya yang berada di belakang ada yang main seruling dan main gendang, jadi konser dangdut. 

“Ayo maju ke depan, bawa bukunya dan bacakan ke teman-temannya!,” pinta Bu Guru. Jadi Ibu Guru udah tau kalau saya bisa baca, dan hari itu ia minta saya bawa buku untuk membaca di depan teman-teman. Tentu saja waktu itu saya bawa buku dongeng, bukan bawa buku Das Kapitalnya Karl Marx.

Saya pun maju dan membaca. Guru terpana, karena emang jarang ada anak TK yang udah bisa membaca tanpa mengeja, sementara anak-anak TK lainnya pipis di celana, saking... nggak taulah saking apanya.

Sejak peristiwa itu, teman-teman TK saya jadi semangat untuk belajar membaca, karena mereka sadar, hampir di setiap benda yang mereka lihat selalu saja ada tulisannya. Di buku ada tulisan, di buku gambar ada tulisan, di tas yang mereka bawa ada tulisan, di kotak makanan mereka ada tulisan, di pensil dan crayon yang digunakan untuk menulis pun ada tulisan, jadi mereka penasaran, ni tulisan bacaannya apa?.

Karena teman-teman TK saya tau saya bisa baca, jadi mereka sering nanya ke saya terkait tulisan-tulisan itu.

“Zid, ni apa bacaannya?,” tanya Teja sambil nunjuk botol minumannya.

“Rabbit,” jawab saya dengan ucapan khas Indonesia, karena saya belum tahu bahasa Inggris waktu itu. Tapi tulisannya benar Rabbit, ada gambar kelinci di botol minumannya.

Ada lagi, “Zid ni apa bacaannya?,” tanya Zubaidah sambil nunjuk tulisan yang ada di dinding TK. 

“Bodoh,” jawab saya agak keras.

Zubaidah langsung kaget, nangis dan ngadu kepada Bu Guru. Dia kira saya bilang dia bodoh, padahal tulisannya emang BODOH. Sebenarnya tulisan itu adalah: “Jika tidak belajar maka kalian akan bodoh”. Cuma tulisan “Jika kalian tidak belajar maka kalian akan” nya itu udah pudar, nggak jelas. Jadi saya baca aja tulisan yang jelas, yaitu bodohnya, dan Zubaidah juga nunjuk pada kata Bodohnya, bukan pada bagian kalimat yang pudarnya. Zubaidah, Zubaidah,,,udah gedekah kamu sekarang?.

Semenjak atraksi membaca dongeng di depan kelas itulah minat baca teman-teman TK saya jadi meningkat, mereka udah peduli dengan huruf, dengan kata, dengan kalimat. Karena tadi?, hampir semua yang mereka lihat ada tulisannya. Rasa ingin tahu mereka tentang “apa” di balik tulisan itulah yang membuat mereka semangat belajar membaca, ya paling tidak untuk mengenal huruf.

Selain itu, terkait minat baca juga, waktu kecil itu ada snack yang hadiahnya buku mini lipat, konten di dalam bukunya berupa cerita bergambar. Disebut buku mini lipat karena dia semacam kertas panjang kemudian dilipat-lipat. Jadi sebelum dibaca, buku itu dibentangkan dulu sepanjang tangan, setelah itu barulah dibaca. Dan hal ini diingatkan oleh teman saya, dia bilang masa kecilnya dulu suka baca buku mini lipat ini. Akhirnya saya teringat juga, ternyata emang pernah ada buku mini lipat ini dalam daftar bacaan masa kecil saya. Dan buku mini lipat ini sempat viral waktu saya kecil dulu, juga disukai sama anak-anak.

Tidak jauh dari buku mini lipat hadiah snack. Saya juga pernah ketagihan beli susu bubuk yang ada hadiah buku dongengnya. Harga susunya satu kotak kalau tidak salah saya sekitar 20.000 rupiah. Karena suka baca buku dongengnya, saya jadi cepat ngabisin susu bubuknya. Prinsipnya, semakin cepat susu bubuknya habis, semakin cepat pula saya bisa beli sekotak susu bubuk yang baru, semakin cepat saya beli sekotak susu bubuk yang baru, semakin cepat pula saya bisa baca buku dongeng yang baru. 

Dari pengalaman diatas, entah nyambung atau enggak, saya berkesimpulan bahwa setiap anak kecil itu punya minat baca yang tinggi. Saya pernah lihat komunitas membaca Pontianak upload foto di media sosial terkait kegiatan mereka mengampar buku di beberapa desa, dan di setiap foto itu pasti anak-anak kecil yang mengerubungi lapak buku mereka, bukan orang dewasa. 

Dari situ saya berpikir bahwa aslinya minat baca anak-anak itu tinggi. 

Mengapa?.

Karena anak-anak itu punya rasa ingin tahu yang besar. Dan sumber pengetahuan yang paling bagus dan tepat adalah buku. Kata teman saya, Buku adalah jendela dunia, media sosial adalah jendela munculnya fitnah. Emang agak keras, maklum, teman saya itu memang menganut paham ekstrimisme kiri-kanan.

Hanya saja, ini masalah kita semua, minat baca yang tinggi pada anak-anak itu mati dengan seiring bertambahnya usia mereka. 

Mengapa mati?. 

Karena kurangnya fasilitas bacaan yang dekat dan bersahabat dengan anak. Sehingga potensi besar itu -minat baca yang tinggi pada anak-anak-, tidak bisa dioptimalkan. Mereka punya minat baca yang tinggi, tapi mereka tidak punya bacaannya, nggak tau dimana bisa mendapat buku. Dan tidak ada yang mendekatkan buku kepada mereka.

Lah, kan di kota, di sekolah itu sudah ada perpustakaan, tapi tetap aja anak-anak tidak suka mengunjungi perpustakaan?.

Ya, benar sekali, perpustakan sudah ada di perkotaan, bagaimana dengan desa dan kecamatan?. Kalaupun ada, dekatkah perpustakaan itu dengan anak-anak. 

Sekarang begini, kita harus sadar bahwa anak-anak itu tidak bergerak secara aktif, sederhananya: mereka itu harus disuap dulu baru makan. Dan perpustakaan tidak menyuap anak-anak untuk mau membaca. Mereka tidak mendekatkan anak dengan buku. Tapi anak yang harus pergi mendatangi perpustakaan, bukan begitu?. Itulah masalahnya. Perpustakaan itu gedung, masuk harus isi absen, di dalam harus diam, nggak boleh ribut, nggak boleh makan dan minum, ketika pergi ke perpustakaan harus berpakaian rapi dan sopan, kalau pinjam harus lapor, ada batas waktu pinjam, kalau mau perpanjang pinjaman harus lapor lagi. Semua keformalitasan ini membuat anak-anak jadi ogah ke perpustakaan. Ribet. Kesimpulannya, kita tidak bisa berharap banyak pada perpustakaan untuk menjaga kestabilan minat baca anak yang tinggi.

Maka dari itu saya mengapresiasi usaha komunitas membaca daripada perpustakaan dalam menjaga kestabilan minat baca anak yang tinggi. Komunitas membaca bergerak menulusuri ruang-ruang yang disukai anak. Mereka bawa banyak buku, pergi ke taman dan tempat bermain anak, kemudian menggelar karpet di tempat tersebut dengan bermacam buku di atasnya. Anak-anak kemudian mendekat dan membaca. 

Sementara lebih luar biasanya lagi, komunitas membaca ini pergi ke desa-desa sambil bawa buku dan menggelar lapak buku di sana. Anak-anak pasti mendekat dan membaca. Mereka –komunitas membaca- ini punya peluang yang besar untuk menarik anak di desa daripada anak-anak di kota, karena anak-anak di desa belum diperkosa oleh berbagai macam hiburan dan gadget seperti anak-anak di kota kebanyakan. 

Give applause for komunitas membaca di manapun mereka berada!.

Oke, cukup tepuk tangannya!.

Sekarang ada pertanyaan lagi, bagaimana saya -selaku mahasiwa/i- yang tidak bergabung dengan komunitas membaca bisa turut berpartisipasi menjaga kestabilan minat baca anak yang tinggi?.

Belilah banyak buku selama anda kuliah di kota. Saran ini memang tidak untuk mahasiswa/i yang kurang mampu, tapi khusus untuk mereka yang mampu. Tapi jangan juga mengaku mahasiswa/i kurang mampu jika beli pakaian modis dan kuota internet mampu. Sekarang kita klasifikasikan dulu mana mahasiswa yang mampu dan tidak mampu untuk membeli buku. Sambil cerita aja ya.

Waktu kuliah saya pernah nemu list pengeluaran bulanan teman saya. Cewek kebetulan. Dia mencatat list itu di sebuah buku agenda. Kebetulan waktu itu dia nitip buku itu ke saya, karena kepo saya buka buku tersebut. Dan di halaman kesekian saya menemukan list pengeluaran bulanan yang akan datang. Di situ tertulis:

Pakaian : 300.000
Kosmetik : 100.000
Kuota internet : 200.000
Liburan : 200.000
Nongkrong sama teman : 200.000

Mantap kan?. Tampaknya list pokok seperti uang bensin dan makan tidak ditulis, karena udah hafal dan ya... biasa aja. Tapi list pakaian, kuota internet, kosmetik, liburan dan nongkrong sama teman adalah anggaran yang harus diperhitungkan.

Ini tipe mahasiswa/i yang mampu. Dan belum lagi kalau kita lihat anggaran mahasiswa/i yang punya pacar. Ada uang malam mingguan, ada uang traktiran, ada uang bensin untuk antar jemput pacar, ada uang persiapan yang digunakan kalau pacarnya tiba-tiba sakit mendadak, wah pokoknya banyak lah. Nah, mahasiswa/i yang begini tergolong mahasiwa/i menengah ke atas dan mampu untuk beli buku.

Sekarang kalau anggaran buat beli kuota internet besar, anggaran untuk beli pakaian besar, anggaran untuk malam mingguan besar, mengapa tidak ada anggaran untuk beli buku?. 

Bukankah tugas mahasiswa/i para calon sarjana memang untuk itu, mengabdi, berguna untuk negerinya, bukan hanya bermanfaat untuk pribadi. Mahasiswa/i dan calon sarjana adalah pilar pendidikan, dan seharusnya turut serta dalam meningkatkan minat baca anak-anak para generasi penerus bangsa. Asik ya orasi gue.

Seandainya saja, satu kecamatan ada seratus mahasiswa/i yang kuliah di kota dalam rangka untuk mendapatkan gelar sarjana, dalam sebulan seratus mahasiswa ini membeli dua sampai tiga buku, maka selama empat tahun mereka sudah bisa membawa pulang seratus buku. Jadi waktu pulang ke kampung halaman nggak hanya bawa koleksi foto wisuda, tapi juga bawa buku untuk bacaan keluarga.

Tenang, seratus buku itu tidak untuk dihibahkan kepada Pak Camat. Tapi seratus buku itu anda simpan di rumah anda, letakkan pada tempat yang bisa dijangkau oleh keluarga anda, dan dengan itu anda -wahai para mahasiswa/i, calon sarjana dan sarjana- sudah berkontribusi untuk meningkatkan minat baca, minimal di keluarga anda. 

Tadi kan ada seratus mahasiswa tuh, jadi seratus rumah sudah punya perpustakaan mini di rumahnya masing-masing, dan ini terus berlanjut pada mahasiswa/i yang akan kuliah berikutnya.

Siapa tau ada adik, keponakan, sepupu yang lihat tumpukan buku kalian, karena menarik, dia ambil satu dan baca. Tingginya minat baca anak-anak di rumah dan di keluarga anda bisa terakomodir. Minat baca mereka yang tinggi itu bisa mereka lampiaskan. Karena kita sudah sepakat di awal bahwa minat baca anak itu tinggi, hanya saja fasilitasnya yang tidak ada dan tidak terjangkau oleh mereka. 

Bayangkan kalau jutaan mahasiwa/i melakukan hal tersebut, saya rasa tidak ada lagi suara sumbang yang mengatakan minat baca orang Indonesia ini rendah, budaya literasi kita kurang dan sebagainya. Karena jutaan mahasiswa/i, calon sarjana, dan para sarjana sudah menyelesaikan permasalahan tersebut, yaitu tadi, dengan cara membuka perpustakaan mini di rumah mereka masing-masing.

Makanya, ketika saya kuliah saya usahakan satu bulan minimal beli lima buku. Saya nggak cuma beli buku yang berkaitan dengan mata kuliah saya, tapi juga buku-buku lain yang ringan seperti fabel, novel, dongeng, puisi, buku sejarah. Dengan harapan ketika buku ini saya bawa pulang, saya bisa meningkatkan minat baca keluarga saya dan terutama memfasilitasi keluarga saya yang masih kecil-kecil agar hausnya mereka akan ilmu pengetahuan dan tingginya minat baca mereka bisa terakomodir.

Tapi sayangnya, sampai saat ini, kebanyakan mahasiwa/i yang kuliah hanya hobi beli kuota, dan para sarjananya pulang ke kampung hanya membawa koleksi foto wisuda. 

Ya sudahlah.....ya.

Sekian.

“Kita coba berpikiran terbalik untuk meningkatkan minat baca di Indonesia. Dekatkan buku ke mereka, bukan mereka yang harus datang untuk mencari buku.”
-Eka Kurniawan (penulis)-

 “Ada gejala di Indonesia, jika orang tuanya suka membaca, maka anaknya akan suka membaca. Maka kalau kita ingin anak-anak kita suka membaca, maka diri kita harus suka membaca dulu”
-Andrea Hirata (penulis)-

Share:

Jumat, 28 April 2017

PESTA WISUDA YANG TAK BERKESUDAHAN



Tanggal 15 April 2017, kampus tempat saya kuliah –IAIN Pontianak- menggelar hajatan terbesar yaitu wisuda sarjana dan pascasarjana. Tidak lama setelah itu, kampus UNTAN Pontianak, tepatnya pada tanggal 27 April 2017, juga turut menggelar pesta yang sama. Saya ingin mengucapkan selamat kepada semua yang sudah berhasil meraih gelar sarjana. Dan ucapan selamat ini penting sekali untuk mendinginkan perasaan kalian, sebelum kalian –yang sudah bergelar sarjana-, membaca pragraf-pragraf selanjutnya.

sumber gambar: www.uib.ac.id


Ada satu hal yang selama ini cukup menganggu pikiran saya, yaitu ketika melihat seorang sarjana yang membanggakan wisuda dan gelarnya secara berlebihan. Dari mana kok tau berlebihan?. Dari foto wisuda yang tidak henti-hentinya diupload ke media sosial.

Saya punya teman di media sosial, dia kemarin wisuda tanggal 15 April 2017. Dan di media sosialnya, dari tanggal 15 April 2017 sampai sekarang -28 April 2017-, foto-foto wisudanya nggak pernah khatam nongol di media sosial. Jam empat shubuh -baru bangun-, upload foto wisuda, tiga jam berikutnya upload foto wisuda, empat jam berikutnya lagi, upload foto wisuda lagi, lima kali sehari, udah mirip sama jadwal sholat wajib, lima waktu harus ada.

Dan yang cukup menggelitik, fotonya itu beda-beda; ada foto bersama rektor, bersama dosen (dosen kuliah, pembimbing, penguji), bersama teman (teman TK, SD, SMP, SMA, kuliah, organisasi, teman tapi mesra dsb), bersama keluarga (orang tua, saudara, saudari, sepupu, keponakan, kakek, nenek), dan itu nggak habis-habis.

Dan latar tempat fotonya juga bermacam-macam, ada yang foto di gedung tempat berlangsungnya acara, ada di luar gedung, ada yang di studio buatan di luar gedung -yang backgroundnya barisan buku-buku palsu-, ada yang di bawah pohon, di tepi parit, ini foto wisuda atau foto model?.

Saya curiga, ni orang punya 500 koleksi foto wisuda. Jadi, untuk menghabiskan fotonya agar bisa terlihat semua oleh temannya di media sosial, dia punya taktik, selama satu hari harus upload lima foto wisuda. Sehingga dalam waktu 100 hari, foto wisudanya bisa terupload semua di media sosial, dengan harapan orang tau kalau dia udah wisuda. 

Tapi masih mending, ada lagi yang sangat berlebihan. Dia udah wisuda beberapa bulan yang lalu. Tapi pada saat temennya baru wisuda, dan temennya upload foto wisuda, eh yang udah wisuda beberapa bulan yang lalu ini ikut-ikut upload foto wisuda. Setelah diselidiki, ternyata dia masih punya beberapa stok foto wisuda yang belum diupload, maklum ada 500 koleksi foto wisuda. Abis itu kasi caption di bawah foto: “Upload foto wisuda juga ah, ikut teman-teman yang wisuda hari ini”, padahal ni orang udah wisuda beberapa bulan yang lalu. Kok masih aja... foto lamanya diungkit-ungkit?.

Dari kejadian itu saya berkesimpulan bahwa; bukan hanya orang yang diputusin pacar aja yang nggak bisa move on. Sarjana juga banyak yang belum bisa move on, belum bisa move on dari wisuda, padahal wisudanya dia udah lewat, masih aja diingat dan dibawa-bawa ke permukaan.

Dan hal ini, yaitu berlebihan dalam membanggakan wisuda, sudah membudaya di kehidupan kampus kita. Saking membudayanya, temen saya heran saat liat saya yang waktu selesai acara wisuda langsung keluar. Waktu itu saya tidak lagi foto bersama pihak kampus, tidak lagi foto bersama temen, tidak lagi foto sama bangunan kampus dan sebagainya. Saya keluar, ketemu keluarga, foto dengan dua kali jepret sama keluarga setelah itu pulang. Seandainya saja bukan orang tua yang melahirkan dan membiayai saya kuliah, saya mungkin akan menolak untuk diajak foto. Sumpah. Karena bagi saya foto wisuda nggak penting, yang penting tu ijazahnya; penting untuk kerja, penting untuk lanjut S2. Kalau foto..., mungkin penting sih... penting untuk dipamerkan. Lah riya’ jadinya.

Karena begini, ada empat alasan yang membuat saya berpandangan bahwa membanggakan dan mengunggah foto wisuda sarjana secara berlebihan itu tidak pantas, dan empat alasan yang membuat kita sekarang seharusnya menyikapi gelar sarjana dan wisuda dengan sikap yang biasa saja.

Apa saja keempat alasan itu?.

Pertama, jumlah sarjana udah banyak. Organisasi kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyatakan Indonesia bakal menjadi negara dengan jumlah sarjana muda terbanyak kelima di masa depan. Bahkan posisinya terbanyak kelima di dunia. Mereka memprediksikan akan terwujud di tahun 2020. Berita ini ditulis tahun 2012 di merdeka.com. Sekarang 2017, berarti sekarang lagi banyak-banyaknya sarjana dibanding sebelumnya dan akan memuncak pada tahun 2020.

Kalau sarjana sekarang udah banyak, nggak lagi sedikit seperti zaman kakek nenek kita, terus apa yang mau dibanggakan?. Mau pamer ke tetangga, dia udah sarjana. Pamer ke teman, dia udah sarjana. Pamer ke orang yang nggak dikenal, dia malah udah dapat kerja. Malah kita yang sarjana yang sedih, karena belum dapat kerja. Jadi buat apa bangga secara berlebihan?. biasa aja, anggap aja lulus SD, udah.

Kedua, masa-masa kuliah yang biasa. Kalau saya liat, terutama teman-teman kampus saya, kuliahnya ya biasa-biasa aja, malah ada yang malas-malasan. Ngerjain makalah biasa, presentasi di depan kelas ya biasa, nggak juga meriah-meriah amat power pointnya, kemudian nilainya ya biasa, nggak ada yang IPK 4,00. Ilmunya ya biasa, bahkan ada yang belum bisa baca Al-Quran. Penelitiannya atau skripsinya ya biasa, beberapa bulan selesai, bahkan ada yang dua bulan selesai, penelitian macam apa yang selesai dua bulan?. Kita juga meneliti nggak seperti Harry A. Poeze, yang meneliti tokoh Tan Malaka selama 40 tahun, nggak kan?. Lalu apa yang di wow kan dari sarjana?. Biasa aja. Lalu ngapain foto wisudanya harus disebarkan tujuh hari tujuh malam seolah udah menemukan teori baru saat sarjana?.

Ketiga, sarjana adalah penyumbang pengangguran terbesar. Saya kutip dari Okezone.com, nanti kalian boleh googling sendiri. Disitu disebutkan, pada tahun 2015, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,56 juta orang. Dan 600 ribu dari 7,56 juta itu adalah lulusan perguruan tinggi baik diploma maupun sarjana. Jadi?.

Jadi seharusnya kita bersedih saat sarjana, jangan-jangan setelah kita sarjana bukannya mengurangi angka pengangguran (aib) di negeri ini, yang ada malah menambah. Seharusnya orang-orang saat wisuda itu merenung, tatapannya nanar, tak berdaya untuk membuka kamera dan berselfie ria, karena dia tau, setelah dia sarjana nyawa negeri ini ada di tangannya, tugas dia akan lebih berat, baik untuk diri sendiri, negaranya dan dunia. 

Bukan sebaliknya, jepret sana-sini, selfie, groufie, kemudian upload di media sosial lima kali sehari selama berpuluh-puluh hari. Yang jadi pertanyaan, “Apa kontribusi foto wisuda yang diupload lima kali sehari itu untuk dunia?”. “Apakah dengan adanya foto wisuda anda selama 30 hari di media sosial membuat lapangan pekerjaan jadi bermunculan?, kan enggak”.

Keempat, sarjana dan bukan sarjana punya peluang sukses yang sama.  Mungkin sejak kecil sudah ditanamkan di dalam pikiran kita bahwa orang yang sukses adalah orang yang berpendidikan tinggi, dan sarjana adalah salah satu indikatornya. Tapi itu mantra-mantra zaman dulu. Sekarang mantra itu udah nggak kepakai lagi. Sebab orang yang tidak kuliah pun, yang tidak ada gelar sarjana di belakangnya, juga bisa sukses. 

Nggak percaya?. 

Forbes.com (situs dari majalah bisnis dan finansial Amerika Serikat) sudah merilis data The World’s Billionaires Top 100 untuk tanggal 28 April tahun 2017. Peringkat orang kaya pertama dunia masih ditempati oleh Bill Gates. Silahkan masuk ke situs tersebut dengan keyword The World’s Billionaires Top 100, kalau sudah masuk silahkan klik foto Bill Gates di situs itu, dan scroll ke bawah, anda bisa lihat bagian educationnya, Bill Gates -orang kaya pertama itu- ternyata Drop Out dari Harvard University. Nggak selesai kuliah, tapi kekayaannya berada di peringkat pertama. Bukan hanya kaya, badan amalnya juga banyak, keliling dunia untuk beramal. Itu Bill Gates, kuliahnya nggak selesai.

Terus di peringkat lima ada Mark Zuckerberg (Cofounder Facebook), Drop Out dari Harvard juga sama dengan Bill Gates. Peringkat ke tujuh ada Larry Ellison (CEO dan Founder Oracle), yang Drop Out dari University of Chicago, University of Illionis, Urbana-Champaign.

Itu semua orang kaya dan yang harus dicatat, mereka nggak selesai kuliah, tapi sukses luar biasa. Jadi sekarang ubah mindset kita bahwa sarjana bukan satu-satunya makhluk yang istimewa, sehingga harus dibanggakan secara berlebihan. Biasa aja. Kalau masalah sukses, yang nggak sarjana juga bisa. Jadi biasa aja.

***

Lalu tidak bolehkah upload foto wisuda?.

Ya bolehlah, tapi ya sekedar aja. Jangan terlalu yang berlebihan. Kan malu sama Bill Gates dan Mark Zuckerberg. Mereka yang kaya dengan tanpa gelar sarjana aja woles, kok yang sarjana belum tentu dapat kerja udah lebay.

***
Tapi menurut saya, ada satu orang yang saya rasa dia harus upload foto wisuda sarjananya, bahkan disebarkan ke orang banyak. Siapa dia?.

Yaitu yang berhasil mendapatkan gelar sarjana dengan biaya sendiri dan memang karena orang tuanya tidak mampu, setelah itu berprestasi pula, dan dia satu-satunya yang berhasil mendapatkan gelar sarjana di kampungnya. Orang seperti ini yang seharusnya dipersilahkan dan diberi ruang seluas-luasnya untuk mengupload foto wisudanya, lebih mantap lagi kalau ada caption motivasinya. Supaya apa yang ia lakukan itu bisa menjadi pelajaran buat orang lain, terutama buat orang-orang yang ada di kampungnya yang belum bisa mendapatkan gelar sarjana karena kendala biaya. 

Tapi bagi kita yang sarjananya biasa aja, kuliah biaya orang tua, kuliahnya juga biasa aja, penelitiannya biasa aja, dapat pekerjaan pun belum tentu juga,... ya... merayakan wisudanya juga biasa-biasa aja lah ya, jangan yang berlebihan seperti contoh sebelumnya.
 
Sekian.

Share:

Kamis, 27 April 2017

STATUS "RELIGIUS" BAPER DI MEDIA SOSIAL



“Karena jodoh, aku disini terus berikhtiar dan berdoa dalam mendandani hati. Semoga ia bisa menjadi pendamping hidupku kala aku kehilangan arah. Ia juga bisa mengembalikan aku ke jalanMu.”

“Cari salon suami itu yang  ngajinya bener, tajwid aja diperhatikan, apa lagi kamu. Seperti yang diatas (sambil ngasi sign jari telunjuk ke gambar Muzammil Hasballah). Intinya baikin diri sendiri aja dulu, jaga hati, jaga pandangan, maka Allah juga akan siapkan yang terbaik untuk kita”.

Perlu diketahui, kedua pragraf yang bercetak miring diatas bukanlah kata mutiara atau pepatah dari tokoh besar dunia. Bukan. Dua pragraf bercetak miring di atas adalah contoh status yang saya kutip dari status teman saya di media sosial, dan tentu saja tidak akan saya sebutkan namanya disini, atau boleh kita sepakati bersama sebagai status anonim, tapi orangnya beneran ada, bukan fiktif belaka.

Semenjak istilah “Hijrah” booming di dunia nyata dan menjalar ke dunia maya, status-status seperti di atas juga semakin ramai berseliweran di dinding media sosial kita. Fenomena itu saya istilahkan dengan “hijrah” materialisme dan produknya yaitu status “religius” baper.

 
blog.maxyart.com

Mengapa “hijrah” materialisme?.

Karena hampir kebanyakan status tersebut di atas diproduksi oleh pemuda-pemudi yang “katanya” sedang berusaha untuk berhijrah.

Sementara materialisme untuk lebih mempermudah pengistilahan bagi mereka –yang berhijrah- karena tujuan materi, mencari perhatian lawan jenis salah satunya.

Mengapa status “religius” baper?.

Saya sebenarnya juga kurang yakin, apakah istilah “religius” baper pas untuk menunjukkan sifat dari status yang ditulis. Saya menyebut status mereka “religius” baper karena status -yang mereka tulis- yang seharusnya bersifat religius, seringkali  terbawa oleh perasaan penulis status yang ujungnya akan mengarah pada masalah jodoh dan nikah.

***

Sebelum menulis panjang lebar, saya akan perjelas, hijrah seperti apa yang saya maksud di dalam tulisan ini. 

Sebenarnya istilah hijrah itu luas, sebagaimana yang ditulis oleh Dedih Surana, seorang dosen di Universitas Islam Bandung. Ia membagi hijrah menjadi dua, hijrah makaniyah dan hijrah maknawiyah

Hijrah makaniyah adalah hijrah tempat, sifatnya wilayah atau teritorial, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti Rasulullah SAW pindah dari Mekkah ke Madinah. Dan tulisan ini tidak sedang membahas hijrah tersebut.

Hijrah kedua adalah hijrah maknawiyah, yang dibagi lagi oleh Dedih menjadi empat: i’tiqadiyah; hijrah keyakinan, fikriyah; hijrah pemikiran, syu’uriyah; hijrah kesenangan, sulukiyah; hijrah tingkah laku. 

Bisa dikatakan, hijrah yang saya bahas di tulisan ini adalah hijrah Syu’uriyah. Contoh, hijrahnya seseorang yang dulunya suka mendengarkan musik menjadi anti terhadap musik setelah mendengarkan pengajian dari salah satu ustadz. Atau hijrahnya seorang perempuan yang dulunya menggunakan pakaian yang kurang menutup aurat menjadi perempuan yang pakaiannya sudah berhijab (syar’i). Atau yang dulunya pacaran, semenjak dengar ceramah Ustadz Felix, La ode munafar, Hanan attaki dan sebagainya, atau karena dikhianati pacar, hijrah menjadi nggak mau pacaran lagi. 

Hijrah seperti inilah yang sedang ingin sedikit saya bahas pada tulisan kali ini. Terkhusus pada teman-teman yang hijrah dari pacaran menjadi tidak lagi pacaran, dan biasanya hijrah ini juga akan bermuara menuju hijrah dalam berpakaian.

Oke, balik lagi ke permasalahan awal. Fenomena “hijrah” materialisme ini sebenarnya bukan cerita baru. Kalau kalian sering buka kitab hadis, apalagi buka kitab shahih Bukhari, tepat di hadis yang pertama, maka kita akan menemukan ada satu hadis yang sebenarnya menyinggung masalah “hijrah” materialisme ini, hijrah yang tujuannya sekedar untuk mencari materi.  Atau kalau mau lebih tertantang lagi untuk membuka kitab hadis sambil senam anggota jari, kalian bisa cari hadis Muslim nomor 1907. 

Kurang lebih terjemahannya seperti ini.

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan RasulNya. Siapa yang hijrahnya karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”

Kalau kita liat lagi konteks hadisnya pada saat hadis ini keluar, yaitu pada saat Rasul dan para sahabat hijrah, kita bisa melihat bahwa kasusnya hampir sama dengan fenomena “hijrah” materialisme saat ini. 

Ceritanya: waktu Rasul dan para sahabat hijrah, sahabat menemukan ada pemuda yang ikut hijrah bukan karena Allah dan Rasul, melainkan karena ada wanita yang sedang ia incar, dan yang ingin ia nikahi. Awalnya pemuda ini nggak ada niat sama sekali untuk berhijrah, tapi karena wanita yang ia sukai ikut hijrah bersama Rasul, akhirnya ikutlah si pemuda ini berhijrah. Hal ini diketahui oleh salah seorang sahabat, ia pun menanyakan hal ini kepada Rasul. Akhirnya lahirlah hadis di atas, yang intinya kalau hijrahnya karena Allah dan Rasul, ya hijrahnya akan menuju ke sana. Tapi kalau tujuan hijrahnya untuk wanita, ya maka hasil dari hijrahnya ya untuk wanita itu.

Saya tidak tahu bagaimana tujuan si pemuda hijrah karena mengincar wanita yang ia suka ini ketahuan oleh salah seorang sahabat. Apakah tampak dari raut wajahnya?, atau dikasi tahu oleh sahabat si pemuda?, atau tampak dari gerak-geriknya yang suka cari perhatian sama si wanita?, yang jelas bukan karena status di akun facebooknya.

Kesimpulannya, pertama: hijrah si pemuda tidak untuk Allah dan RasulNya, sehingga ia pun tidak mendapatkan apa-apa dari Allah dan RasulNya. Dia hanya mendapatkan si wanita, tidak lebih. Kedua: terkadang, apa yang kita lakukan, kalau niatnya nggak bener, akhirnya bakal nggak bener dan besar kemungkinan akan ketahuan. Sebagaimana pemuda di atas yang tujuannya hijrah ketahuan oleh sahabat.

Apakah kisah pemuda di atas sama dengan kisah “hijrah” materialisme di era milenium saat ini?. Apakah hijrahwan dan hijrahwati saat ini mengidap penyakit yang sama dengan pemuda zaman Rasul, yang ia berhijrah hanya untuk mendapatkan wanitanya?.

Dua contoh status di atas mungkin sudah menjawab. Ada gejala yang tampak.

Kalau belum, mari kita analisis bersama!, terutama pada produk dari seseorang yang diduga mengidap “hijrah” materialisme, yaitu statusnya. Caranya dengan melemparkan tiga pertanyaan tepat pada status yang dibuat di media sosial. 

"Untuk apa status “religius” baper ditulis?."
  
"Mengapa orang yang baru berhijrah bawaan statusnya selalu mengarah pada masalah jodoh dan nikah?." 

"Mengapa status yang “religius” baper itu harus disertai foto si pemilik status yang tidak relevan dengan materi status?."

Pertama, untuk apa status “religius” baper itu ditulis?. 

Jawaban positifnya adalah untuk dakwah. 

Tapi kalau kita lihat dari dampak yang bisa muncul selanjutnya malah bisa berbahaya. Status “religius” baper bisa mengundang lawan jenis untuk berkomentar bahkan mengirim direct message ke pembuat status. Mengapa?. Karena sifat dari status “religius” baper itu lebih pesonal dan menarik perhatian.

Nggak percaya?.

Coba anda buat status yang bertema religi atau dakwah terserah, sertakan pula bumbu-bumbu baper. Sebagai perbandingan untuk mengujinya, share video langsung dari ustadz yang ahli dalam membahas hal yang sama, pernikahan misalkan. Manakah yang lebih banyak dilike, ditanggapi dan dikomentari?. 

Sudah pasti status anda yang baper itu, karena status anda yang baper itu lebih personal, langsung dari hati dan perasaan anda, lansung dari pemilik akunnya. Sementara video yang dishare dari akun lain itu tidak, padahal nilai kebenaran video ustadz yang ahli tadi lebih kuat.

Silahkan dicoba!.

Kedua, “Mengapa hampir kebanyakan status media sosial orang yang “baru” berhijrah sering lari ke masalah nikah dan jodoh, bukankah ada sejuta masalah agama yang perlu diperhatikan?.”

Coba perhatikan, hampir setiap muda-mudi yang “baru” berhijrah, seringkali status di media sosialnya bersifat “religius” baper. 

Apakah Islam hanya menganjurkan kita untuk menyegarakan menikah?, kan enggak. Ada banyak hal lain yang diperintahkan di dalam Islam selain menikah. Islam memerintahkan kita untuk mencari ilmu, belajar, bermanfaat untuk orang lain, peduli terhadap sesama, bukan hanya sekedar masalah nikah dan jodoh. Lalu mengapa ada gejala status “religius” baper yang dibumbui dengan keinginan menikah dan minta jodoh setelah mereka berhijrah?.

Ketiga, “Mengapa status yang bertema religi dan bertabur bumbu-bumbu baper itu terkadang atau bahkan seringkali disertai dengan foto si pemilik akun yang seringkali pula tidak relevan dengan materi status. “Apa kaitannya antara cewek berhijab dengan status yang bertemakan zikir kepada Allah swt?, yang sebenarnya akan sangat nyambung bila foto yang ia sertakan dalam status adalah foto untaian tasbih.” "Apa hubungannya foto cowok memegang Al-Quran dengan status tentang anjuran menyegerakan menikah?, akan lebih nyambung bila foto yang ia unggah adalah foto pelaminan atau buku nikah.”

Untuk sementara penulis masih berspekulasi itu adalah promosi diri. Dan tentu saja tidak dilarang promosi diri di akun media sosial, itu hak anda. Tapi kalau sampai menjadikan agama untuk menarik minat lawan jenis anda, nah pada garis ini perlu diperhatikan dan dipertimbangkan lagi. Benar nggak nih caranya?. 

Dari tiga pertanyaan diatas, kita bisa tarik kesimpulan bahwa jangan-jangan hijrahnya si penulis status “religius” baper masih kurang benar. Tujuan hijrahnya karena pengen dapat jodoh bukan karena Allah. Dan ketauan dari status media sosial yang ia produksi. Sama dengan pemuda di zaman Rasulullah yang hijrahnya karena pengen mendapatkan hati wanita. Ketebak sama sahabat, karena pasti terasa kejanggalannya, sama seperti pembuat status “religius” baper tadi, rasanya janggal. Kok harus ada foto pemilik akun?, kok harus ada bumbu-bumbu pengen nikah?, kok pas hijrah bawaan statusnya nikah dan jodoh melulu. Kan janggal rasanya.

Dampaknya apa?.

Dampaknya adalah ada pada hijrah itu sendiri. Niat itu bisa mempengaruhi kekuatan dan keistiqomahan dalam hijrah.

Kalau hijrahnya untuk menarik lawan jenis agar diperhatikan, maka ada dua hal yang akan terjadi, dan ini tergantung dari bagaimana respon si lawan jenis yang menjadi target tujuan hijrah tadi.

Pertama, kalau target merespon, si cewek/cowok. Maka besar kemungkinan hijrah gagal, hubungan “khusus” pra nikah pun akan terjadi. 

Lah kan bisa saja jadi langsung nikah?. 

Ya, mungkin bisa. Tapi kalau status baper anda itu anda tabur di media sosial, maka yang memanen status anda pun orang-orang maya di media sosial. Hal seperti ini malah kelihatan menjadi gurauan, bukan sesuatu yang serius. Dan nikah harus melalui cara yang serius.

Kedua, kalau target tidak respon, maka orang yang mulai berhijrah tadi bisa stres sendiri. Kalau udah tujuan hijrah nggak respon, ya buat apa lagi hijrah?. Apalagi kalau si target udah keburu nikah sama orang lain. 

Tapi kalau hijrah karena Allah swt maka hijrahnya akan kuat, karena tujuannya kekal yaitu Allah swt. Sementara bila tujuannya manusia, tujuannya fana, ada limitnya, ada batasnya. 

Inilah yang mungkin menjadi penyebab, mengapa banyak dari kita yang hijrah tapi belum mampu istiqomah. Karena niat. Sekali lagi, kekuatan hijrah ada pada niat.

***

Saya tidak menyalahkan anda yang sudah membenarkan pakaiannya, menghindari untuk tidak pacaran, sekali lagi tulisan ini tidak untuk melemahkan semangat hijrah itu. Tapi yang juga turut diperhatikan adalah niat dan tingkah laku, serta etika setelah hijrah itu.

Karena saat anda sudah benar-benar ingin berhijrah memperbaiki diri, saat itulah anda akan menjadi perhatian orang yang belum berhijrah. Posisi anda akan dikunci oleh orang, tingkah laku anda akan diperhatikan seteliti mungkin. Tujuannya apa?, kalau anda down, jatuh, mereka –yang belum berhijrah- akan menertawakan anda. 

“Mana yang katanya nggak mau lagi pacaran?.” 

“Mana katanya yang udah tobat?.”

“Mana katanya yang udah berhijab syar’i, kok kelakuan kurang lebih sama kami yang belum hijrah, masih aja tu gandengan sama cowok?.”

***

Lalu bagaimana cara menguji kekuatan niat?.

Lihatlah pada output dari diri anda, sederhananya status anda di media sosial. Status religi yang sering dimbumbui dengan perasaan mendalam tentang ingin jodoh dan nikah adalah salah satu indikasinya, bahwa ada niatan hijrah yang mengarah pada materi (lawan jenis).

Karena begini, masalahnya adalah: hampir kebanyakan motivasi orang berhijrah adalah jodoh. Mereka menjadikan jodoh sebagai tujuan, sebagaimana yang ada dalam Al-Quran surah Nur ayat 26, lelaki baik untuk wanita yang baik, begitu juga sebaliknya. Padahal jodoh adalah akibat dari hijrah, ia adalah hadiah, akibat dari hijrah. Kalau jodoh menjadi tujuan hijrah, maka dia akan kena pasal hadis Bukhari nomor satu, manusia yang hijrah karena ingin dapat manusia, yang ia dapat hanya manusia itu saja. 

Oleh karena itu, hijrahlah karena Allah!. Masalah jodoh dan nikah juga serahkan padaNya. Tak perlu baperan dalam berstatus. Apalagi bercampur antara baperan dan ayat suci Al-Quran. 

Perbaiki niat, kalau sudah tau niatnya, maka status “religius” baper pra nikah pun akan hilang dengan sendirinya, karena anda akan sibuk mengejar Allah bukan mengejar nikah.

Share: