Jumat, 24 Maret 2017

ANNA DAN PENJUAL TEMPE



Namaku Anna. Aku sekarang kelas 4 sekolah dasar. Saat liburan setelah bagi rapor beberapa bulan yang lalu, aku mendapatkan pekerjaan yang menyenangkan, yaitu menggantikan tugas Ibu membeli tempe untuk makan siang. Aku tidak tahu mengapa Ibu tidak pernah bosan makan tempe, mungkin itu makanan kesukaannya, atau mungkin juga karena Ibu hanya mampu membeli tempe untuk makan siang.

Ibu sangat sibuk. Pekerjaan Ibu adalah pembantu rumah tangga di rumah tuan Loki. Kalian pasti sudah mengetahui siapa tuan Loki, jadi aku tidak perlu menceritakan siapa dia. 

Sebenarnya tugas membeli tempe dilakukan oleh Ibu. Hanya saja, jika Ibu yang membeli tempe, maka aku baru akan makan siang jam 3 sore. Agar aku bisa makan siang lebih awal saat liburan, jam 1 siang atau jam 12 siang, maka yang membeli tempe haruslah aku. Sekali lagi, mumpung aku libur.

Sebelumnya aku tidak pernah membeli tempe dan aku tidak tau bagaimana cara memilih tempe yang bagus. Oleh karena itu, Ibu mengajariku cara memilih tempe yang bagus sebelum membelinya. Tempe yang bagus dan nyaman adalah tempe yang tubuhnya tidak warna putih semua. Cari tempe yang masih banyak kelihatan kedelainya, itulah tempe yang bagus. Jika tempe itu berwarna putih sampai kedelainya yang kuning tidak lagi kelihatan, berarti tempe itu sudah tidak bagus lagi. Apalagi jika jamurnya sudah berwarna hitam, pastilah tempe itu sudah busuk. Dan tetap busuk walaupun sudah digoreng dan diberi garam.

Dengan berbekal pengetahuan yang Ibu berikan, keesokan harinya aku mulai membeli tempe. Aku membeli tempe di toko Paman Jo. Selain menjual tempe, ia juga menjual berbagai macam makanan, sayuran dan bumbu masakan. Tokonya tidak terlalu besar, terkadang aku harus berdesakan dengan pembeli yang tubuhnya lebih besar daripada aku. 

sumber gambar: BrandBoi.com


Paman Jo meletakkan tempe di tempat yang agak tinggi, aku harus berjinjit untuk mengambilnya dan memilihnya satu persatu. Memilih tempe bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi jika tempatnya tinggi seperti di toko Paman Jo. Aku memilih tempe yang kedelainya masih banyak kelihatan dan aku menghindari tempe yang sudah putih sekujur tubuhnya, apalagi yang sudah berwarna hitam. 

Setelah mendapatkan satu tempe yang bagus, aku menyerahkannya kepada Paman Jo. Ia melihat tempe yang aku pilih, ia kemudian pergi ke tempat tempe yang berjejer di atas kayu dan menukarkannya dengan tempe yang lain. Setelah itu ia memasukkan tempe itu ke dalam kantong kresek. 

“2000 rupiah,” katanya sambil menyerahkan kantong kresek yang didalamnya sudah dimasukkan tempe yang ia tukar, bukan yang aku pilih.

Aku heran mengapa Paman Jo menukarkan tempe itu dengan tempe yang lain, padahal aku sudah memilih tempe yang bagus sesuai dengan yang Ibu bilang. 

Saat aku kembali ke rumah, aku membuka tempe tersebut, dan tempe yang ada di dalam kantong kresek itu ternyata tidak bagus, tempe itu sudah putih, tidak satupun biji kedelai yang tampak, bahkan ada jamur hitam di ujungnya yang menguarkan bau busuk saat ku cium.

Meskipun tempe itu sudah tidak bagus lagi, aku tidak mengembalikan tempe itu ke Paman Jo. Tempe itu kopotong dan aku goreng. Aku bisa menggoreng tempe. Menggoreng tempe sangatlah mudah, aku cukup merendamnya di air garam, memanaskan minyak makan di dalam kuali dan memasukkan tempe yang sudah direndam garam ke dalam minyak yang sudah panas, mudah bukan?.

Setelah masak, tempe yang tidak bagus itu kumakan, dan tentu saja rasanya tidak enak. Saat Ibu pulang dari kerja, ia makan tempe yang aku goreng, awalnya ia tidak tahu bahwa tempe itu sudah busuk, karena tempe yang sudah digoreng warnanya sama saja; kuning dan tampak gurih. Namun rasa tempe yang sudah busuk itu tidak bisa mengakali Ibu, ia marah kepadaku.
“Mengapa kamu membeli tempe yang tidak bagus?,” bentak Ibu. 

Aku menunduk takut, “Aku lupa cara memilih tempe yang bagus.”

Aku tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya; Paman Jo menukar tempe yang telah aku pilih.

“Ibu kan sudah bilang, beli tempe yang masih tampak kacang kedelenya, bukan yang sudah putih semua, apalagi yang sudah hitam, pasti yang kau beli ini yang sudah banyak hitamnya” keluh Ibu.

Ibu kembali menyelesaikan makannya. Ia makan dengan terpaksa, aku tau itu karena ibu tidak menghabiskan tempe yang masih tersisa. Setelah itu ia tertidur, mungkin karena kelelahan atau mungkin juga karena kesal kepadaku.

Keesokan harinya Ibu masih menyuruhku untuk membeli tempe. Tentu saja ia tidak lupa mengingatkanku untuk membeli tempe yang bagus. Aku mengangguk, sebagai tanda bahwa aku sudah paham.

Sesampainya di toko Paman Jo, aku mulai memilih tempe yang bagus; tempe yang tidak terlalu banyak jamur putihnya dan tempe yang masih banyak kelihatan kedelainya. Setelah mendapatkan tempe yang bagus, aku memberinya kepada Paman Jo. Ia melihat tempe yang telah aku pilih dan menukarkannya lagi dengan tempe yang lain. 

“2000 Rupiah”, kata Paman Jo saat ia menyerahkan tempe yang telah ia tukar kepadaku.

Aku menyerahkan uang 2000 rupiah dan pulang. Di jalan aku membuka kantong kresek dan melihat tempe yang ditukar oleh Paman Jo. Tempenya putih dan ada bagian yang hitam. Aku tidak kembali untuk menukarkannya. 

Sesampainya di rumah, aku memotong tempe tersebut dan memilih bagian yang masih bagus dan memisahkannya. Aku mengetahui bagian yang masih bagus dengan cara menciumnya, ini memang tidak diajarkan oleh Ibu, ini hanya keahlianku saja. Bagian yang bau akan kumakan, dan bagian yang agak tidak bau kusisihkan untuk Ibu. Namun Ibu masih mengetahuinya, ia marah seperti hari sebelumnya. Aku menjawab bahwa aku lupa cara memilih tempe yang bagus. Aku tidak mengatakan bahwa Paman Jo telah menukar tempe yang sudah aku pilih.

Keesokannya lagi Ibu masih mempercayaiku untuk membeli tempe. Dan tentu saja tidak lupa mengingatkan agar aku memilih tempe yang bagus.

Saat aku datang ke toko Paman Jo, aku memilih tempe yang bagus. Setelah mendapatkannya, aku menyerahkannya kepada Paman Jo. Ia melihat tempe yang aku pilih dan menukarkannya lagi. Saat ia memasukkan tempe yang ia pilih ke dalam kantong dan menyerahkannya kepadaku, aku membuka kantong tersebut dan menegurnya.

“Ini bukan tempe yang bagus Paman.”

“Darimana kau tahu?”

“Lihatlah!,” kataku sambil menunjukkan tempe itu pada Paman Jo. “Tempe ini sudah busuk, di tenganyanya sudah ada hitam-hitamnya.”

Paman Jo tersenyum. Ia menukarkan tempe yang tidak bagus itu dengan tempe lain yang bagus.

“Mengapa Paman sengaja melakukan ini padaku?,” tanyaku.

“Paman tidak sengaja.”

“Kalau tidak sengaja, mengapa Paman menukar tempe yang sudah aku pilih?.”

Paman Jo sedikit menunduk untuk menatapku yang lebih rendah daripada dirinya, “Mengapa kau baru bilang sekarang?, bukankah aku sudah menukar tempemu beberapa hari yang lalu.”

“Bu guru Febrita bilang; orang dewasa bukan seperti anak kecil yang selalu diingatkan jika mereka salah.”

Paman Jo memicingkan matanya dan mengernyitkan dahi.

“Aku tidak mengatakan pada Ibu bahwa Paman telah menukarkan tempe yang telah aku pilih. Padahal aku sudah memilih tempe yang bagus seperti apa yang Ibu pesankan. Aku bilang bahwa aku lupa cara memilih tempe yang bagus.”

Aku melihat ada genangan air di mata Paman Jo. Ia mengambil empat tempe yang bagus dan memberikan tempe itu kepadaku, “Tak usah bayar,” katanya.

Setelah peristiwa itu, Paman Jo tidak lagi menukar tempe yang aku pilih. Bahkan kadang-kadang ia memasukkan cabai, bawang merah dan bawang putih di kantongku.

Setelah liburan usai, aku tidak pernah lagi berbelanja di tempat Paman Jo. Tugas membeli tempe kembali dilakukan oleh Ibu. Aku rindu pekerjaan membeli tempe saat liburan, bukan karena ingin bertemu paman Jo, tapi karena aku suka makan siang pukul 1 siang.

Sekian.

***

Suasana kelas pada saat itu riuh dengan suara tepuk tangan. Ibu Yuni mendekati Anna, “Sebuah cerita yang bagus nak,” ucapnya.

Anna tersenyum lebar. Gigi depannya yang baru patah seminggu yang lalu kelihatan. Ia menutup bukunya dan sedikit menggoyangkan pinggangnya karena malu.

“Baiklah anak-anak, pesan yang bisa kita ambil dari cerita yang dibuat dan dibacakan oleh Anna tadi adalah jangan pernah menjadi pedagang yang curang, karena itu merugikan orang lain.”

Ibu Yuni membalikkan badan dan menatap Anna, “Bukan begitu Anna?”, tanyanya.

Anna menggeleng.

“Lalu menurut Anna, apa pesan yang bisa kita ambil dari cerita yang Anna buat?.”

Anna maju selangkah, “Kita harus tau cara memilih tempe yang bagus.”

Tepuk tangan kembali terdengar. Ibu yuni tersenyum, bel tanda pelajaran usai pun berbunyi. Anak-anak berhamburan ke luar kelas.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar