Namaku Anna. Aku sekarang
kelas 4 sekolah dasar. Saat liburan setelah bagi rapor beberapa bulan yang lalu,
aku mendapatkan pekerjaan yang menyenangkan, yaitu menggantikan tugas Ibu membeli
tempe untuk makan siang. Aku tidak tahu mengapa Ibu tidak pernah bosan makan
tempe, mungkin itu makanan kesukaannya, atau mungkin juga karena Ibu hanya
mampu membeli tempe untuk makan siang.
Ibu sangat sibuk. Pekerjaan Ibu adalah
pembantu rumah tangga di rumah tuan Loki. Kalian pasti sudah mengetahui siapa tuan
Loki, jadi aku tidak perlu menceritakan siapa dia.
Sebenarnya tugas membeli
tempe dilakukan oleh Ibu. Hanya saja, jika Ibu yang membeli tempe, maka aku
baru akan makan siang jam 3 sore. Agar aku bisa makan siang lebih awal saat
liburan, jam 1 siang atau jam 12 siang, maka yang membeli tempe haruslah aku.
Sekali lagi, mumpung aku libur.
Sebelumnya aku tidak pernah
membeli tempe dan aku tidak tau bagaimana cara memilih tempe yang bagus. Oleh
karena itu, Ibu mengajariku cara memilih tempe yang bagus sebelum membelinya.
Tempe yang bagus dan nyaman adalah tempe yang tubuhnya tidak warna putih semua. Cari tempe yang masih banyak kelihatan kedelainya,
itulah tempe yang bagus. Jika tempe itu berwarna putih sampai kedelainya yang
kuning tidak lagi kelihatan, berarti tempe itu sudah tidak bagus lagi. Apalagi
jika jamurnya sudah berwarna hitam, pastilah tempe itu sudah busuk. Dan tetap busuk
walaupun sudah digoreng dan diberi garam.
Dengan berbekal pengetahuan
yang Ibu berikan, keesokan harinya aku mulai membeli tempe. Aku membeli tempe
di toko Paman Jo. Selain menjual tempe, ia juga menjual berbagai macam makanan,
sayuran dan bumbu masakan. Tokonya tidak terlalu besar, terkadang aku harus
berdesakan dengan pembeli yang tubuhnya lebih besar daripada aku.
sumber gambar: BrandBoi.com |
Paman Jo meletakkan tempe di
tempat yang agak tinggi, aku harus berjinjit untuk mengambilnya dan memilihnya
satu persatu. Memilih tempe bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi jika tempatnya
tinggi seperti di toko Paman Jo. Aku memilih tempe yang kedelainya masih banyak
kelihatan dan aku menghindari tempe yang sudah putih sekujur tubuhnya, apalagi
yang sudah berwarna hitam.
Setelah mendapatkan satu
tempe yang bagus, aku menyerahkannya kepada Paman Jo. Ia melihat tempe yang aku
pilih, ia kemudian pergi ke tempat tempe yang berjejer di atas kayu dan
menukarkannya dengan tempe yang lain. Setelah itu ia memasukkan tempe itu ke dalam
kantong kresek.
“2000 rupiah,” katanya
sambil menyerahkan kantong kresek yang didalamnya sudah dimasukkan tempe yang
ia tukar, bukan yang aku pilih.
Aku heran mengapa Paman Jo
menukarkan tempe itu dengan tempe yang lain, padahal aku sudah memilih tempe
yang bagus sesuai dengan yang Ibu bilang.
Saat aku kembali ke rumah,
aku membuka tempe tersebut, dan tempe yang ada di dalam kantong kresek itu
ternyata tidak bagus, tempe itu sudah putih, tidak satupun biji kedelai yang tampak, bahkan ada jamur hitam di ujungnya yang menguarkan bau busuk saat ku cium.
Meskipun tempe itu sudah
tidak bagus lagi, aku tidak mengembalikan tempe itu ke Paman Jo. Tempe itu
kopotong dan aku goreng. Aku bisa menggoreng tempe. Menggoreng tempe sangatlah
mudah, aku cukup merendamnya di air garam, memanaskan minyak makan di dalam
kuali dan memasukkan tempe yang sudah direndam garam ke dalam minyak yang sudah
panas, mudah bukan?.
Setelah masak, tempe yang
tidak bagus itu kumakan, dan tentu saja rasanya tidak enak. Saat Ibu pulang
dari kerja, ia makan tempe yang aku goreng, awalnya ia tidak tahu bahwa tempe
itu sudah busuk, karena tempe yang sudah digoreng warnanya sama saja; kuning
dan tampak gurih. Namun rasa tempe yang sudah busuk itu tidak bisa mengakali Ibu,
ia marah kepadaku.
“Mengapa kamu membeli tempe
yang tidak bagus?,” bentak Ibu.
Aku menunduk takut, “Aku
lupa cara memilih tempe yang bagus.”
Aku tidak menceritakan
kejadian yang sebenarnya; Paman Jo menukar tempe yang telah aku pilih.
“Ibu kan sudah bilang, beli
tempe yang masih tampak kacang kedelenya, bukan yang sudah putih semua, apalagi
yang sudah hitam, pasti yang kau beli ini yang sudah banyak hitamnya” keluh
Ibu.
Ibu kembali menyelesaikan
makannya. Ia makan dengan terpaksa, aku tau itu karena ibu tidak menghabiskan
tempe yang masih tersisa. Setelah itu ia tertidur, mungkin karena kelelahan
atau mungkin juga karena kesal kepadaku.
Keesokan harinya Ibu masih
menyuruhku untuk membeli tempe. Tentu saja ia tidak lupa mengingatkanku untuk
membeli tempe yang bagus. Aku mengangguk, sebagai tanda bahwa aku sudah paham.
Sesampainya di toko Paman
Jo, aku mulai memilih tempe yang bagus; tempe yang tidak terlalu banyak jamur
putihnya dan tempe yang masih banyak kelihatan kedelainya. Setelah mendapatkan
tempe yang bagus, aku memberinya kepada Paman Jo. Ia melihat tempe yang telah aku
pilih dan menukarkannya lagi dengan tempe yang lain.
“2000 Rupiah”, kata Paman Jo
saat ia menyerahkan tempe yang telah ia tukar kepadaku.
Aku menyerahkan uang 2000
rupiah dan pulang. Di jalan aku membuka kantong kresek dan melihat tempe yang
ditukar oleh Paman Jo. Tempenya putih dan ada bagian yang hitam. Aku tidak kembali
untuk menukarkannya.
Sesampainya di rumah, aku memotong
tempe tersebut dan memilih bagian yang masih bagus dan memisahkannya. Aku
mengetahui bagian yang masih bagus dengan cara menciumnya, ini memang tidak
diajarkan oleh Ibu, ini hanya keahlianku saja. Bagian yang bau akan kumakan,
dan bagian yang agak tidak bau kusisihkan untuk Ibu. Namun Ibu masih
mengetahuinya, ia marah seperti hari sebelumnya. Aku menjawab bahwa aku lupa cara
memilih tempe yang bagus. Aku tidak mengatakan bahwa Paman Jo telah menukar
tempe yang sudah aku pilih.
Keesokannya lagi Ibu masih
mempercayaiku untuk membeli tempe. Dan tentu saja tidak lupa mengingatkan agar
aku memilih tempe yang bagus.
Saat aku datang ke toko Paman
Jo, aku memilih tempe yang bagus. Setelah mendapatkannya, aku menyerahkannya
kepada Paman Jo. Ia melihat tempe yang aku pilih dan menukarkannya lagi. Saat
ia memasukkan tempe yang ia pilih ke dalam kantong dan menyerahkannya kepadaku,
aku membuka kantong tersebut dan menegurnya.
“Ini bukan tempe yang bagus Paman.”
“Darimana kau tahu?”
“Lihatlah!,” kataku sambil
menunjukkan tempe itu pada Paman Jo. “Tempe ini sudah busuk, di tenganyanya
sudah ada hitam-hitamnya.”
Paman Jo tersenyum. Ia menukarkan
tempe yang tidak bagus itu dengan tempe lain yang bagus.
“Mengapa Paman sengaja
melakukan ini padaku?,” tanyaku.
“Paman tidak sengaja.”
“Kalau tidak sengaja,
mengapa Paman menukar tempe yang sudah aku pilih?.”
Paman Jo sedikit menunduk
untuk menatapku yang lebih rendah daripada dirinya, “Mengapa kau baru bilang
sekarang?, bukankah aku sudah menukar tempemu beberapa hari yang lalu.”
“Bu guru Febrita bilang; orang dewasa bukan seperti anak kecil yang selalu diingatkan jika mereka salah.”
Paman Jo memicingkan matanya
dan mengernyitkan dahi.
“Aku tidak mengatakan pada Ibu
bahwa Paman telah menukarkan tempe yang telah aku pilih. Padahal aku sudah
memilih tempe yang bagus seperti apa yang Ibu pesankan. Aku bilang bahwa aku
lupa cara memilih tempe yang bagus.”
Aku melihat ada genangan air
di mata Paman Jo. Ia mengambil empat tempe yang bagus dan memberikan tempe itu
kepadaku, “Tak usah bayar,” katanya.
Setelah peristiwa itu, Paman
Jo tidak lagi menukar tempe yang aku pilih. Bahkan kadang-kadang ia memasukkan
cabai, bawang merah dan bawang putih di kantongku.
Setelah liburan usai, aku
tidak pernah lagi berbelanja di tempat Paman Jo. Tugas membeli tempe kembali dilakukan oleh Ibu. Aku rindu pekerjaan membeli tempe saat liburan, bukan karena ingin bertemu paman Jo, tapi karena aku suka makan siang pukul 1 siang.
Sekian.
***
Suasana kelas pada saat itu
riuh dengan suara tepuk tangan. Ibu Yuni mendekati Anna, “Sebuah cerita yang
bagus nak,” ucapnya.
Anna tersenyum lebar. Gigi
depannya yang baru patah seminggu yang lalu kelihatan. Ia menutup bukunya dan
sedikit menggoyangkan pinggangnya karena malu.
“Baiklah anak-anak, pesan
yang bisa kita ambil dari cerita yang dibuat dan dibacakan oleh Anna tadi adalah
jangan pernah menjadi pedagang yang curang, karena itu merugikan orang lain.”
Ibu Yuni membalikkan badan
dan menatap Anna, “Bukan begitu Anna?”, tanyanya.
Anna menggeleng.
“Lalu menurut Anna, apa pesan
yang bisa kita ambil dari cerita yang Anna buat?.”
Anna maju selangkah, “Kita
harus tau cara memilih tempe yang bagus.”
Tepuk tangan kembali
terdengar. Ibu yuni tersenyum, bel tanda pelajaran usai pun berbunyi. Anak-anak
berhamburan ke luar kelas.
0 komentar:
Posting Komentar