Selasa, 14 Maret 2017

KOKESHI



Baru saja aku mematikan motorku sehabis pulang dari sebuah cafe, Ibu kos menghampiriku sambil membawa sebuah kertas persegi panjang berwarna biru arctic. “Ada undangan,” katanya sambil menyerahkan kertas itu kepadaku. Undangan itu diperindah dengan sebuah pita berwarna putih di bagian tengahnya.

Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih kepada ibu kos. Sambil berjalan ke kamar, aku memandang undangan tersebut. Ada gambar sepasang pangantin yang saling berpegangan tangan dan berhadapan satu sama lain. Ada tulisan “The Wedding Of” di bawahnya. Kemudian aku menurunkan lagi pandanganku ke bawah tulisan “The Wedding Of” dan betapa terkejutnya aku melihat tulisan di bawahnya, “DONI & RISTA” di bawahnya lagi “22 Januari 2017”.

“Rista nikah?,” tanyaku dalam hati sambil membuka kamar.

Aku menanggalkan pita putih dan membuka undangannya, nama panjang kedua mempelai tertulis besar di dalamnya; DONI SAPUTRA & RISTA NATASHA. Kemudian aku melihat alamat dimana pesta pernikahan itu akan berlangsung. Dan ternyata alamat itu berada di kota A, kampung halamannya Rista, setengah jam dari kota tempat aku berada sekarang.

Bagaimana Rista tau alamat kosku?. Pertanyaan itu muncul dalam pikiranku.

Belum hilang rasa keterkejutanku, tiba-tiba aku dikejutkan lagi dengan handphoneku  yang berdering. Ternyata Joko (temanku) menelpon. 

“Ha...ada apa Jok?,” tanyaku saat menjawab panggilannya.

“Kau udah dapat undangan dari Rista?,” tanyanya balik.

“Iya, barusan undangannya sampai. Kau diundang?.”

“Iya pasti lah Bow.”

“Kalau kau yang diundang sih aku nggak heran Jok, Rista tau letak kantormu. Lah...aku yang nggak punya kantor dan nggak punya pekerjaan ini kok bisa-bisanya dapat undangan. Sejak kapan Rista tau tempat kosku yang sekarang?.”

Joko tertawa. “Jangan GR kau. Aku yang kasi tau alamat kosmu. Katanya sekalian, soalnya keuarga dari calon suaminya juga ada banyak di sini.”

Aku tertawa malu. 

“Pergi kan?. Nanti aku jemput kau, kita pergi sama-sama.” Joko menawarkan.

“Nanti lah Jok, aku pikir-pikir dulu.”

Joko tertawa lagi. “Move on...Move on...”

Aku tertawa.

“Oke, kalau nanti kau pergi hubungi aku!.”

“Oke.”

Joko mematikan handphonenya tanpa mengucapkan salam. Mungkin ia sedang sibuk. 

Sekarang tanggal 9 Januari, masih ada waktu dua minggu sebelum pesta pernikahan Rista. Terlalu awal untuk menentukan apakah aku akan pergi atau tidak. Aku meletakkan undangan tersebut di atas tumpukan buku yang sedikit berdebu. 

Di atas kasur tipis, aku merebahkan badanku. Aku memandang langit-langit kamar. Tiba-tiba langit-langit kamar yang dicat putih itu berubah menjadi layar yang menayangkan masa-masa saat aku masih bersama Rista, tepatnya tiga tahun lalu  –saat aku memberikan sebuah Kokeshi untuknya-. Kokeshi adalah boneka kayu khas Jepang yang terbuat dari kayu sakura. Kokeshi yang aku berikan berwujud gadis jepang berbadan lonjong tanpa tangan dan kaki, berwajah bundar dengan rambut poni hitam di atasnnya. Kokeshi itu menggunakan Yukata (pakaian musim panas tradisional khas Jepang) berawarna merah. Lucu sekali, cocok untuk Rista yang punya cita-cita pergi ke Jepang.

SUMBER GAMBAR: PINTEREST.COM


“Aku punya hadiah untukmu,” kataku kepada Rista sambil menyerahkan kado persegi panjang berukuran kecil. Malam itu kami berdua sedang duduk di sebuah cafe.

Wajah Rista tampak senang sekaligus penasaran. “Boleh aku buka?,” tanyanya sambil memegang kado kecil yang aku berikan.

Aku mengangguk. 

Rista membuka kado kecil tersebut, mengoyak kertasnya di bagian atas dan menarik kokeshi yang ada di dalamnya. Ia girang bukan kepalang, “Wah, kokeshi....Makasih ya.”

Aku tersenyum dan menghirup kopi susu yang sudah ku pesan. “Semoga cita-citamu tercapai.”
“Aminnn...kita pergi sama-sama,” katanya.

Aku tersenyum, “Aku dengar kayu untuk membuat kokeshi ini kuat dan tahan lama.”

Rista tertawa, kemudian menebak maksud dari perkataanku, “Pasti kau ingin bilang ini seperti cinta kita; strong and forever.”

Rista memang pandai menebak pikiranku. Atau mungkin, karena aku keseringan mengucapkan kata-kata yang terdengar klise baginya.

Tiba-tiba kenangan itu lenyap, langit-langit kamar kembali putih.

***

16 Januari 2017.

Seminggu sudah berlalu. Aku masih belum memutuskan apakah akan pergi atau tidak ke pesta pernikahan Rista. Bahkan aku berusaha untuk tidak memikirkannya dengan cara menjalani keseharianku seperti biasanya; membaca buku dan menulis. Memang sesekali kenangan bersama Rista muncul, kadang di lembar buku yang aku baca atau di layar Microsoft Word saat aku sedang menulis.

Ingatanku saat bersama Rista dengan kejadian lain mampir, tepatnya pada saat aku dan Rista memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan. Saat itu aku sedang berada di sebuah perpustakaan dan membaca sebuah novel master piece milik Charles Dicken berjudul A Tale Of Two Cities.

“Kamu dimana?,” tanya Rista melalui chat BBM.

“Aku di perpus.”

“Lamaran pekerjaan udah kamu antar?.”

“Belum.”

Rista mengirim emotikon sebal. Kemudian pesan berikutnya masuk, “Oke. Jam 1 siang nanti kita makan siang di tempat biasa. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.” 

Aku hanya membalas dengan emotikon acungan jempol.

Aku mengedarkan pandanganku saat berada di tempat yang telah dijanjikan Rista. Ia memilih tempat duduk yang biasa kami tempati. Ia mengenakan pakaian kerjanya dan tampak lelah. Bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan besar memang cukup menguras tenaga. Aku tau karena Rista sering curhat mengenai pekerjaannya itu. 

Aku melihat piring dengan sisa makanan di hadapannya, tidak seperti biasanya ia demikian. Biasanya ia baru akan memesan makanan setelah aku datang.

“Kamu mau makan apa?,” tanyanya. 

“Nggak usah, aku kenyang,” jawabku.

Ia tidak menawarkan kembali. “Mengapa lamaran pekerjaan belum kamu kirimkan?. Ntar lowongannya tutup baru nyesal.” Nadanya sedikit meninggi.

“Aku belum niat untuk kerja.” 

“Jadi kau masih tetap bertahan dengan kegiatan menulismu itu?.”

“Ris, menulis itu nggak gampang nggak seperti yang kau bayangkan.”

“Bow, waktumu udah banyak terbuang. Sekarang kau udah dua tahun nganggur. Bagaimana dengan masa depan kita?,” tanya Rista.

Aku terdiam, memandang lekat ke arah meja. 

“Aku tak bisa menunggumu lebih lama lagi Bow, orang tuaku udah mendesak agar aku cepat nikah. Biaya nikah lumayan besar, kita berdua harus bekerja untuk itu!” keluh Rista. “Berpikirlah realistis!.”

Aku masih tak mampu berkata.

Rista ikut terdiam dan mengalihkan pandangan ke arah lain.

Aku kemudian beranjak dari kursiku dan keluar dari tempat tersebut. Rista tak berusaha untuk menghentikanku. Ketika aku menaiki motorku dan meihat sekilas ke arahnya yang masih duduk di meja makan, aku melihat ia memandangiku dengan tatapan nanar.

Aku segera membawa motoku melaju pulang. 

Sesampainya di kos, ia mengirim pesan yang isinya jika aku masih tidak mau mencari pekerjaan maka hubungan kami tidak akan dilanjutkan. “Aku tidak akan mencari pekerjaan, aku masih tetap akan fokus menulis,” jawabku. Akhirnya hubungan kami berhenti karena pandangan yang berbeda
***

19 Januari 2017.

Saat aku sedang melanjutkan menulis, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Karena nomor yang tertera di handphoneku adalah nomor baru, maka aku melemparkan pertanyaan, “Halo, siapa?,” tanyaku.

Suara di seberang terdengar kesal, “Nomorku kau hapus ya?.”

Suaranya tak asing di telingaku. “Sori, ini siapa ya?," aku memastikan.

“Ini Rista.”

Ternyata firasatku benar. 

“Kamu udah dapat undangan dariku kan?.”

“Iya udah.”

“Datang ya!.”

“Nggak janji.”

“Kok nggak janji?. Kan hari Minggu, penulis juga libur kali hari minggu,” ejeknya.

Aku tak semangat untuk berbicara dan meladeni candaannya. 

Ia tertawa, “Bow, Bow..."  

Suara hening sejenak.

Ia kembali bersuara, "Dulu aku berpikir bahwa lelaki yang kuat itu adalah lelaki yang mampu mempertahankan sekuat mungkin orang yang disayanginya. Tapi sekarang ada lagi lelaki yang lebih kuat?.”

Rista terdiam sebentar. Sepertinya dia ingin agar aku bertanya tentang hal itu. Tapi aku tetap tidak tertarik menanyainya dan mendengar jawabannya.

“Sekarang aku pikir lelaki yang kuat adalah lelaki yang mampu merelakan orang yang ia sayangi pergi. Karena kepergian adalah sebuah kepastian Bow.”

Tiba-tiba aku merasa jantungku tertusuk pedang. 

Setelah itu panggilang berakhir.

***
 
22 Januari 2017.

Suara klakson terdengar, aku mengintip dari arah jendela, tampak sebuah mobil Honda Brio hitam berhenti di depan kos. Kaca depan terbuka perlahan dan tampaklah Joko di dalamnya, “Siap?,” teriaknya ke arahku.

“Tunggu,” aku menyahut dan mengunci jendela, mengenakan sepatu dan keluar kamar.

Aku mengedarkan pandangan saat kami sudah berada di gedung tempat pesta pernikahan Rista berlangsung. Pelaminan pengantin berada di ujung gedung. Latar pelaminan berwarna merah muda dihiasai dengan dua buah pohon sakura buatan. Pasti Rista yang meminta desain pelaminan tersebut.

Joko langsung mendatangi sebuah pondokan untuk megambil makanan, aku ikut di belakangnya. Setelah itu kami berdua duduk di sebuah kursi yang berjarak lima baris dari pelaminan pengantin. Rista tampak sibuk bersalaman dan berofoto bersama para tamu undangan yang tampak tidak pernah berhenti bergiliran untuk memberi ucapan selamat.

“Gila Bow, Rista makin cantik ya,” tutur Joko sambil melahap hidangan.

Pikiranku sama dengan Joko. Rista memang tampak lebih cantik berada di atas sana. Kain taffeta yang dilapisi kain organza mengembang pada bagian bawah gaun pengantin, tampak serasi dengan kain brokat di bagian atas. Semuanya berwarna biru arctic, warna kesukaannya. Rista seperti tuan puteri di sebuah kerajaan besar di negeri fantasi.

Seusai menyantap makanan, Joko dan aku naik ke atas pelaminan untuk mengucapkan selamat. Saat melihat Joko, Rista tampak terkejut kemudian tertawa bahagia. Ia langsung menoleh ke belakang Joko seolah tau kalau aku pasti ada di belakang Joko. Ia tersenyum. Aku hanya menangkupkan kedua telapak tanganku di dada sebagai tanda bahwa aku tak akan bersentuhan tangan dengannya. Kemudian aku menyalami tangan suaminya. Tak ada kebencian, semuanya tersenyum.

“Foto dulu Jok,” pinta Rista sambil menarik tangan Joko. Rista memandangiku. Aku tau dia sangat berharap agar aku ikut berfoto.

Aku berdiri di samping suaminya, namun Joko menarik tanganku dan membawa tubuhku agar berdiri di samping Rista. Joko, Rista dan suaminya tertawa. Aku tidak tau apakah suaminya tau kalau aku pernah dekat dengan Rista.

Aku tidak mau membuat kegaduhan dengan menolak tarikan Joko. Aku pasrah dan berdiri di samping Rista. Tukang kamera mengarahkan kameranya ke arah kami. Cahaya putih memancar beberapa kali. Setelah itu si tukang kamera mengacungkan jempolnya tanda gambar yang terbaik sudah ia dapatkan.

“Nanti aku kirim fotonya Jok,” kata Rista.

***

Saat pulang ke kos aku sudah tau akhir cerita yang akan aku tulis, sebuah cerita yang dulu aku kerjakan saat bersama Rista, sebuah cerita yang membuat aku tidak memilih untuk melamar pekerjaan.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar