Awalnya saya adalah
seseorang yang sering mencoba menebak masa depan seseorang. Masa depan
yang saya maksudkan adalah terkait
dengan sukses atau tidaknya mereka dalam mendapatkan pekerjaan dan meniti karir
di dunia ini.
Sebenarnya kesukaan untuk
menilai dan menebak masa depan bukan berasal dari diri saya, akan tetapi dari
para sesepuh yang sudah banyak makan asam garam kehidupan seperti guru dan
orang tua. Mereka sering mengajarkan kepada saya atau mungkin kepada kalian
semua bahwa orang yang sukses di masa depan adalah mereka yang saat sekolah dan
kuliah rajin belajar, patuh kepada guru dan orang tua, tekun, tidak nakal,
tidak buat masalah dan masih banyak lagi kriteria-kriteria klise lainnya yang
sudah jamak kita dengarkan pada saat makan bersama orang tua atau berada di
dalam kelas mendengarkan guru bercerita.
Dari modal itulah saya suka
menilai masa depan teman-teman. Setiap melihat orang yang sering dapat peringkat
satu di kelasnya, saya akan menekan kepala dengan jari telunjuk kiri dan kanan seperti
para mentalis saat membaca pikiran korbannya, kemudian menyimpulkan bahwa
mereka akan sukses. Setiap melihat teman-teman yang rajin, entah itu rajin
belajar, rajin mengerjakan PR, rajin membantu orang tua, rajin berkerja, rajin
menyalin tugas dari teman dan sebagainya, maka yang terlintas dalam pikiran
adalah mereka itu calon orang yang sukses.
Selain melihat orang yang
pintar dan rajin, saya juga kadang-kadang mengamati teman-teman nggak pintar,
malas dan nakal. Salah satunya adalah teman saya yang namanya Bakpao. Waktu
sekolah dulu Bakpao sering bolos. Rambut Bakpao selalu botak, bukan karena dia
suka botak, tapi karena sering mendapatkan hukuman dari ustadz. Baru aja
dibotak hari Seninnya, eh Jumat nya udah kena kasus lagi, akhirnya botak lagi. Gitu
terus sampai akhirnya Bakpao pindah sekolah dan keluar dari pesantren karena
orang tuanya udah nggak tahan liat kelakuan anaknya. Karena kenakalannya itu
saya jadi berprasangka kalau Bakpao gedenya ntar bakal jadi preman dan nyusahin
orang tua. Atau paling tidak akan jadi penjual bakso meneruskan usaha orang
tuanya. Fix...
Selain itu ada juga teman
sekolah saya yang lain, namanya Bolu. Kalau Bakpao tadi orangnya nakal dan suka
bolos, nah Bolu ini orangnya kurang cerdas dan minderan. Mungkin karena sadar
akan kekurang cerdasan dirinya, akhirnya dia juga jadi malas. Kerjaannya tukang
copy paste tugas temannya yang lebih
pintar, sama kayak saya. Kadang-kadang pas lagi nyalin, temannya mencibir,
“Eh gimana mau sukses lo Lu kalau nyontek melulu?.” Kalau udah ditanya seperti
itu, dia akan senyum-senyum terhina dan merendahkan diri. Kasian banget nasibnya.
Saat melihat kebiasaan si
Bolu, saya jadi berfirasat bahwa dia bukanlah orang yang sukses ke depannya,
sebagaimana pandangan teman-teman saya yang ngejekin dia kalau lagi nyalin
tugas. Yang ada dalam pikiran saya waktu itu adalah; Bolu bakal jadi petani di
kampung, membantu orang tuanya menanam dan memanen padi di pematang sawah
sambil memancing belut.
Selain itu ada juga teman
saya yang namanya Tongseng. Waktu kuliah kerjaannya nonton film lewat laptop
sama main game di gadget. Malasnya luar biasa minta ampun. Nggak peka sama
rangsangan alias keadaan. Lamban kayak siput lagi narik batako. Pokoknya nggak
banget lah kalau disuruh kerja. Lah tentu saja orang yang kayak Tongseng nggak
bakal diterima kalau melamar pekerjaan, penganggurannya bakal lama sehabis
kuliah nanti, dan itu yang ada dalam pikiran saya waktu itu.
***
Saat saya udah hampir
selesai kuliah, saya perhatikan lagi teman-teman yang dulu rasanya bakal suram
hidupnya, nggak bakal sukses lah pokoknya. Saya intip media sosialnya, tanya
kabarnya dan sebagainya, dan ternyata mereka saat ini tidak seperti yang dulu
saya kira. Si Bakpao yang nakal luar biasa udah jadi pelaut dan bolak balik
Indonesia-Korea. Bolu yang terkenal dengan kebegoannya dalam hal pelajaran udah
kerja di travel dan pastinya sering ke luar negeri juga, badan udah makin gemuk
saking makmurnya. Dan terakhir Tongseng yang terkenal dengan pemalasnya udah
dapat pekerjaan dengan penghasilan yang lumayan tinggi untuk seukuran fresh graduate seperti dirinya.
Kesimpulannya tebakan saya
salah.
Sejak saat itulah saya udah
nggak mau lagi membaca masa depan seseorang dengan kriteria yang udah
ditetapkan oleh kebanyakan orang mengenai kunci untuk mendapatkan kesuksesan.
Sekarang saya sudah
berpikiran lain. Saya berkesimpulan
bahwa ada banyak jalan menuju kesuksesan dan ada banyak pula lobang yang akan
membawa kita pada kegagalan. Jadi jangan pernah menilai masa depan
seseorang terkait dengan sukses tidaknya dia dengan krteria sukses yang kita
punya. Belum tentu sama. Siapa tau mereka punya kunci sukses yang belum pernah
kita ketahui.
Begitu pula sebaliknya
dengan kegagalan.
Kesimpulan berikutnya
adalah; Kita (manusia) bukan penebak masa depan seseorang, dan tak pantas untuk
itu. Kita bukan Tuhan yang menentukan masa depan seseorang apakah di sukses
atau tidak, masuk neraka atau surga. Nggak bakal bisa, meskipun peluang untuk
benarnya tebakan kita sangat besar. Wong seorang pezina aja bisa masuk surga
karena memberi minum anjing. Pezina lo, bukan main-main. Kurang besar apa lagi
tu dosa?, tapi bisa masuk surga.
Akhirnya sekarang, kalau saya
melihat orang malas, bodoh, nakal, dan melakukan keburukan lainnya yang kalau
dinilai dari kunci sukses ala-ala google mereka nggak bakal sukses, saya jadi
optimis, bahwa mereka juga bisa sukses.
Dan akhirnya, selain itu juga
saya sekarang sudah berhenti untuk menebak masa depan mantan...biarkanlah mereka meniti
jalan kesuksesan mereka masing-masing bersama pasangannya. Ehm...ehm...
0 komentar:
Posting Komentar