Rabu, 29 Maret 2017

BELAJAR DARI NASKAH YANG GAGAL



Awal tahun 2016 saya punya keinginan untuk menulis novel. Keinginan ini tidak kokoh sebenarnya, karena di awal tahun 2016, mahasiswa/i angkatan saya sudah mulai mengerjakan skripsi. Saya bimbang, apakah saya harus fokus dengan keinginan saya untuk menulis novel atau kenyataan yang ada di lapangan; yaitu harus mengerjakan skripsi?.

Setelah berfikir dan menimbang dengan benang akhirnya kujadikan layang-layang, akhirnya saya buat kebijakan dalam hidup saya, yaitu kedua pilihan itu akan saya kerjakan secara berbarengan.

Dalam proyek menulis novel, hal pertama yang saya lakukan adalah membaca buku sebanyak-banyaknya, mulai dari buku non fiksi, novel, cerpen, sampai puisi. Buku-buku ini saya dapatkan dengan cara menyisihkan 40 sampai 60 persen dari uang jajan saya, sehingga dalam satu bulannya saya bisa membeli 10 buku bahkan lebih.

Semenjak itu, aktivitas membaca buku mulai saya rutinkan, biasanya pagi hari mulai dari jam 6 sampai jam 8 pagi dan malam hari mulai dari jam 8 sampai jam 10 malam. Sementara untuk skripsi saya fokuskan pada pagi hari dari jam 9 sampai 1 atau 2 siang. 

Karena rutinitas membaca buku lebih kuat daripada mengerjakan skripsi, jadwal pengerjaan skripsi saya terabas juga sehingga pengerjaan skripsi menjadi terbengkalai selama kurang lebih tiga bulan. Akibatnya saya tidak bisa mengejar target normal wisuda pada bulan september 2016. 

Padahal menyelesaikan skripsi itu mudah, modalnya dua; rajin dan fokus. Rajin nunggu dosen dari pagi sampai sore hari. Fokus pada perbaikan dan pengerjaan. Sayangnya dua hal itu tidak saya lakukan karena rajin dan fokusnya malah lari ke membaca buku.

Di penghujung tahun 2016 saya tidak lagi memfokuskan pada membaca, melainkan merancang novel yang akan dibuat. Dari awal saya sudah berencana untuk menulis novel dengan tema perang dan kekuasaan, dengan serangga sebagai karakter di dalamnya. 

Maka mulailah saya riset tentang dunia serangga. Untuk riset pustaka, saya datang ke perpustakaan daerah Pontianak. Di ruangan referensi, saya buka beberapa ensiklopedia yang memberikan informasi mengenai dunia serangga. Setelah itu saya perkaya lagi bahan tulisan dari artikel-artikel di internet serta mendownload beberapa ebook yang ada kaitannya dengan karakter dalam novel.

Setelah bahan untuk karakter sudah banyak, mulailah saya buat peta konsep, sinopsis, plot serta alur cerita. Setelah itu saya pecah sinopsis itu dalam empat belas bab. Itu semua saya lakukan di bulan Desember tahun 2016.

Awal tahun 2017, setelah kembang api dan suara terompet reda saya tidur, paginya barulah saya mulai menulis. Sepanjang bulan Januari 2017, tangan saya begitu lincah beradu di papan keyboard, sehingga dalam satu bulan saya sudah menulis 60 halaman dengan satu spasi. Empat dari empat belas bab terselesaikan. Hingga pada pertengahan Febuari 2017, tulisan saya sudah sampai 80 halaman. 

Karena di awal saya tidak terlalu kuat riset pada bagian latar, pada saat lanjut ke halaman berikutnya, saya mengalami writer’s block. Untuk meredamnya, di pertengahan Februari 2017, saya pergi ke Singkawang untuk riset lapangan dengan tujuan bukit dan rawa. Sesampainya di Singkawang, naiklah saya ke sebuah bukit dan datanglah saya ke sebuah rawa untuk riset, mencatat hal-hal penting, dan berfoto ria. Sekembalinya saya dari Singkawang, kendala itu ternyata bisa dihadapi.

Sampai akhir Februari 2017, tulisan itu sudah sampai 100 halaman dan ketika diubah dalam satu setengah spasi tulisannya sudah sampai 150 halaman. Di awal Maret 2017, tepatnya sudah sampai Bab ke sepuluh –empat bab lagi selesai- saya terkena writer’s block lagi. Kali ini mandeknya bukan karena riset tapi karena plot cerita atau pondasi cerita yang sangat-sangat-sangat tidak kuat. 

Satu minggu saya berpikir untuk mengakali bagaimana agar ceritanya bisa diakali atau paling tidak nggak harus ulang dari awal, dan ternyata tidak bisa. Saya rasa kesalahannya sudah sangat fatal dan harus berubah di awal. Dan saya menyadari bahwa di awal, plot yang saya bangun terlalu cepat dan tergesa. Sebab-akibat dalam setiap peritiwa tidak terpikirkan pada saat penulisan peta konsep dan sinopsis serta plot.

1 tahun lebih berproses dari mulai menghabiskan siang dan malam untuk membaca, mengesampingkan skripsi sehingga tidak dapat wisuda di tahun 2016, memotong uang jajan untuk beli buku, biaya dan tenaga yang terkuras, bahkan sempat stres berat di awal perencanaan dan bahkan sampai sekarang masih tidak bisa tidur nyenyak karena 150 halaman harus disimpan dan tidak bisa dilanjutkan, dan semuanya menguap menjadi sebuah pengalaman yang bisa saja manis bisa saja menyedihkan.

Yah itulah yang namanya proses.

Saya rasa proses dan latihan serta usaha yang saya lakukan masih belum maksimal. Satu tahun saya rasa terlalu cepat untuk membaca dan meresapi setiap bacaan, mengingat masih banyak buku yang belum saya baca. Dan satu setengah tahun saya rasa terlalu cepat untuk bisa menulis novel.



Akhirnya tahun ini saya berhenti dulu mewujudkan keinginan itu, terutama menulis novel. Saya harus banyak membaca dulu, berlatih menulis di blog dulu, dan kalau jadi lanjut pendidikan di Jawa nanti saya mau banyak meresap ilmu dari penulis-penulis besar yang ada di sana dulu.
Tahun ini keinginan untuk menulis dan menerbitkan buku mau tidak mau ditunda.

Share:

Jumat, 24 Maret 2017

ANNA DAN PENJUAL TEMPE



Namaku Anna. Aku sekarang kelas 4 sekolah dasar. Saat liburan setelah bagi rapor beberapa bulan yang lalu, aku mendapatkan pekerjaan yang menyenangkan, yaitu menggantikan tugas Ibu membeli tempe untuk makan siang. Aku tidak tahu mengapa Ibu tidak pernah bosan makan tempe, mungkin itu makanan kesukaannya, atau mungkin juga karena Ibu hanya mampu membeli tempe untuk makan siang.

Ibu sangat sibuk. Pekerjaan Ibu adalah pembantu rumah tangga di rumah tuan Loki. Kalian pasti sudah mengetahui siapa tuan Loki, jadi aku tidak perlu menceritakan siapa dia. 

Sebenarnya tugas membeli tempe dilakukan oleh Ibu. Hanya saja, jika Ibu yang membeli tempe, maka aku baru akan makan siang jam 3 sore. Agar aku bisa makan siang lebih awal saat liburan, jam 1 siang atau jam 12 siang, maka yang membeli tempe haruslah aku. Sekali lagi, mumpung aku libur.

Sebelumnya aku tidak pernah membeli tempe dan aku tidak tau bagaimana cara memilih tempe yang bagus. Oleh karena itu, Ibu mengajariku cara memilih tempe yang bagus sebelum membelinya. Tempe yang bagus dan nyaman adalah tempe yang tubuhnya tidak warna putih semua. Cari tempe yang masih banyak kelihatan kedelainya, itulah tempe yang bagus. Jika tempe itu berwarna putih sampai kedelainya yang kuning tidak lagi kelihatan, berarti tempe itu sudah tidak bagus lagi. Apalagi jika jamurnya sudah berwarna hitam, pastilah tempe itu sudah busuk. Dan tetap busuk walaupun sudah digoreng dan diberi garam.

Dengan berbekal pengetahuan yang Ibu berikan, keesokan harinya aku mulai membeli tempe. Aku membeli tempe di toko Paman Jo. Selain menjual tempe, ia juga menjual berbagai macam makanan, sayuran dan bumbu masakan. Tokonya tidak terlalu besar, terkadang aku harus berdesakan dengan pembeli yang tubuhnya lebih besar daripada aku. 

sumber gambar: BrandBoi.com


Paman Jo meletakkan tempe di tempat yang agak tinggi, aku harus berjinjit untuk mengambilnya dan memilihnya satu persatu. Memilih tempe bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi jika tempatnya tinggi seperti di toko Paman Jo. Aku memilih tempe yang kedelainya masih banyak kelihatan dan aku menghindari tempe yang sudah putih sekujur tubuhnya, apalagi yang sudah berwarna hitam. 

Setelah mendapatkan satu tempe yang bagus, aku menyerahkannya kepada Paman Jo. Ia melihat tempe yang aku pilih, ia kemudian pergi ke tempat tempe yang berjejer di atas kayu dan menukarkannya dengan tempe yang lain. Setelah itu ia memasukkan tempe itu ke dalam kantong kresek. 

“2000 rupiah,” katanya sambil menyerahkan kantong kresek yang didalamnya sudah dimasukkan tempe yang ia tukar, bukan yang aku pilih.

Aku heran mengapa Paman Jo menukarkan tempe itu dengan tempe yang lain, padahal aku sudah memilih tempe yang bagus sesuai dengan yang Ibu bilang. 

Saat aku kembali ke rumah, aku membuka tempe tersebut, dan tempe yang ada di dalam kantong kresek itu ternyata tidak bagus, tempe itu sudah putih, tidak satupun biji kedelai yang tampak, bahkan ada jamur hitam di ujungnya yang menguarkan bau busuk saat ku cium.

Meskipun tempe itu sudah tidak bagus lagi, aku tidak mengembalikan tempe itu ke Paman Jo. Tempe itu kopotong dan aku goreng. Aku bisa menggoreng tempe. Menggoreng tempe sangatlah mudah, aku cukup merendamnya di air garam, memanaskan minyak makan di dalam kuali dan memasukkan tempe yang sudah direndam garam ke dalam minyak yang sudah panas, mudah bukan?.

Setelah masak, tempe yang tidak bagus itu kumakan, dan tentu saja rasanya tidak enak. Saat Ibu pulang dari kerja, ia makan tempe yang aku goreng, awalnya ia tidak tahu bahwa tempe itu sudah busuk, karena tempe yang sudah digoreng warnanya sama saja; kuning dan tampak gurih. Namun rasa tempe yang sudah busuk itu tidak bisa mengakali Ibu, ia marah kepadaku.
“Mengapa kamu membeli tempe yang tidak bagus?,” bentak Ibu. 

Aku menunduk takut, “Aku lupa cara memilih tempe yang bagus.”

Aku tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya; Paman Jo menukar tempe yang telah aku pilih.

“Ibu kan sudah bilang, beli tempe yang masih tampak kacang kedelenya, bukan yang sudah putih semua, apalagi yang sudah hitam, pasti yang kau beli ini yang sudah banyak hitamnya” keluh Ibu.

Ibu kembali menyelesaikan makannya. Ia makan dengan terpaksa, aku tau itu karena ibu tidak menghabiskan tempe yang masih tersisa. Setelah itu ia tertidur, mungkin karena kelelahan atau mungkin juga karena kesal kepadaku.

Keesokan harinya Ibu masih menyuruhku untuk membeli tempe. Tentu saja ia tidak lupa mengingatkanku untuk membeli tempe yang bagus. Aku mengangguk, sebagai tanda bahwa aku sudah paham.

Sesampainya di toko Paman Jo, aku mulai memilih tempe yang bagus; tempe yang tidak terlalu banyak jamur putihnya dan tempe yang masih banyak kelihatan kedelainya. Setelah mendapatkan tempe yang bagus, aku memberinya kepada Paman Jo. Ia melihat tempe yang telah aku pilih dan menukarkannya lagi dengan tempe yang lain. 

“2000 Rupiah”, kata Paman Jo saat ia menyerahkan tempe yang telah ia tukar kepadaku.

Aku menyerahkan uang 2000 rupiah dan pulang. Di jalan aku membuka kantong kresek dan melihat tempe yang ditukar oleh Paman Jo. Tempenya putih dan ada bagian yang hitam. Aku tidak kembali untuk menukarkannya. 

Sesampainya di rumah, aku memotong tempe tersebut dan memilih bagian yang masih bagus dan memisahkannya. Aku mengetahui bagian yang masih bagus dengan cara menciumnya, ini memang tidak diajarkan oleh Ibu, ini hanya keahlianku saja. Bagian yang bau akan kumakan, dan bagian yang agak tidak bau kusisihkan untuk Ibu. Namun Ibu masih mengetahuinya, ia marah seperti hari sebelumnya. Aku menjawab bahwa aku lupa cara memilih tempe yang bagus. Aku tidak mengatakan bahwa Paman Jo telah menukar tempe yang sudah aku pilih.

Keesokannya lagi Ibu masih mempercayaiku untuk membeli tempe. Dan tentu saja tidak lupa mengingatkan agar aku memilih tempe yang bagus.

Saat aku datang ke toko Paman Jo, aku memilih tempe yang bagus. Setelah mendapatkannya, aku menyerahkannya kepada Paman Jo. Ia melihat tempe yang aku pilih dan menukarkannya lagi. Saat ia memasukkan tempe yang ia pilih ke dalam kantong dan menyerahkannya kepadaku, aku membuka kantong tersebut dan menegurnya.

“Ini bukan tempe yang bagus Paman.”

“Darimana kau tahu?”

“Lihatlah!,” kataku sambil menunjukkan tempe itu pada Paman Jo. “Tempe ini sudah busuk, di tenganyanya sudah ada hitam-hitamnya.”

Paman Jo tersenyum. Ia menukarkan tempe yang tidak bagus itu dengan tempe lain yang bagus.

“Mengapa Paman sengaja melakukan ini padaku?,” tanyaku.

“Paman tidak sengaja.”

“Kalau tidak sengaja, mengapa Paman menukar tempe yang sudah aku pilih?.”

Paman Jo sedikit menunduk untuk menatapku yang lebih rendah daripada dirinya, “Mengapa kau baru bilang sekarang?, bukankah aku sudah menukar tempemu beberapa hari yang lalu.”

“Bu guru Febrita bilang; orang dewasa bukan seperti anak kecil yang selalu diingatkan jika mereka salah.”

Paman Jo memicingkan matanya dan mengernyitkan dahi.

“Aku tidak mengatakan pada Ibu bahwa Paman telah menukarkan tempe yang telah aku pilih. Padahal aku sudah memilih tempe yang bagus seperti apa yang Ibu pesankan. Aku bilang bahwa aku lupa cara memilih tempe yang bagus.”

Aku melihat ada genangan air di mata Paman Jo. Ia mengambil empat tempe yang bagus dan memberikan tempe itu kepadaku, “Tak usah bayar,” katanya.

Setelah peristiwa itu, Paman Jo tidak lagi menukar tempe yang aku pilih. Bahkan kadang-kadang ia memasukkan cabai, bawang merah dan bawang putih di kantongku.

Setelah liburan usai, aku tidak pernah lagi berbelanja di tempat Paman Jo. Tugas membeli tempe kembali dilakukan oleh Ibu. Aku rindu pekerjaan membeli tempe saat liburan, bukan karena ingin bertemu paman Jo, tapi karena aku suka makan siang pukul 1 siang.

Sekian.

***

Suasana kelas pada saat itu riuh dengan suara tepuk tangan. Ibu Yuni mendekati Anna, “Sebuah cerita yang bagus nak,” ucapnya.

Anna tersenyum lebar. Gigi depannya yang baru patah seminggu yang lalu kelihatan. Ia menutup bukunya dan sedikit menggoyangkan pinggangnya karena malu.

“Baiklah anak-anak, pesan yang bisa kita ambil dari cerita yang dibuat dan dibacakan oleh Anna tadi adalah jangan pernah menjadi pedagang yang curang, karena itu merugikan orang lain.”

Ibu Yuni membalikkan badan dan menatap Anna, “Bukan begitu Anna?”, tanyanya.

Anna menggeleng.

“Lalu menurut Anna, apa pesan yang bisa kita ambil dari cerita yang Anna buat?.”

Anna maju selangkah, “Kita harus tau cara memilih tempe yang bagus.”

Tepuk tangan kembali terdengar. Ibu yuni tersenyum, bel tanda pelajaran usai pun berbunyi. Anak-anak berhamburan ke luar kelas.

Share:

Selasa, 14 Maret 2017

KOKESHI



Baru saja aku mematikan motorku sehabis pulang dari sebuah cafe, Ibu kos menghampiriku sambil membawa sebuah kertas persegi panjang berwarna biru arctic. “Ada undangan,” katanya sambil menyerahkan kertas itu kepadaku. Undangan itu diperindah dengan sebuah pita berwarna putih di bagian tengahnya.

Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih kepada ibu kos. Sambil berjalan ke kamar, aku memandang undangan tersebut. Ada gambar sepasang pangantin yang saling berpegangan tangan dan berhadapan satu sama lain. Ada tulisan “The Wedding Of” di bawahnya. Kemudian aku menurunkan lagi pandanganku ke bawah tulisan “The Wedding Of” dan betapa terkejutnya aku melihat tulisan di bawahnya, “DONI & RISTA” di bawahnya lagi “22 Januari 2017”.

“Rista nikah?,” tanyaku dalam hati sambil membuka kamar.

Aku menanggalkan pita putih dan membuka undangannya, nama panjang kedua mempelai tertulis besar di dalamnya; DONI SAPUTRA & RISTA NATASHA. Kemudian aku melihat alamat dimana pesta pernikahan itu akan berlangsung. Dan ternyata alamat itu berada di kota A, kampung halamannya Rista, setengah jam dari kota tempat aku berada sekarang.

Bagaimana Rista tau alamat kosku?. Pertanyaan itu muncul dalam pikiranku.

Belum hilang rasa keterkejutanku, tiba-tiba aku dikejutkan lagi dengan handphoneku  yang berdering. Ternyata Joko (temanku) menelpon. 

“Ha...ada apa Jok?,” tanyaku saat menjawab panggilannya.

“Kau udah dapat undangan dari Rista?,” tanyanya balik.

“Iya, barusan undangannya sampai. Kau diundang?.”

“Iya pasti lah Bow.”

“Kalau kau yang diundang sih aku nggak heran Jok, Rista tau letak kantormu. Lah...aku yang nggak punya kantor dan nggak punya pekerjaan ini kok bisa-bisanya dapat undangan. Sejak kapan Rista tau tempat kosku yang sekarang?.”

Joko tertawa. “Jangan GR kau. Aku yang kasi tau alamat kosmu. Katanya sekalian, soalnya keuarga dari calon suaminya juga ada banyak di sini.”

Aku tertawa malu. 

“Pergi kan?. Nanti aku jemput kau, kita pergi sama-sama.” Joko menawarkan.

“Nanti lah Jok, aku pikir-pikir dulu.”

Joko tertawa lagi. “Move on...Move on...”

Aku tertawa.

“Oke, kalau nanti kau pergi hubungi aku!.”

“Oke.”

Joko mematikan handphonenya tanpa mengucapkan salam. Mungkin ia sedang sibuk. 

Sekarang tanggal 9 Januari, masih ada waktu dua minggu sebelum pesta pernikahan Rista. Terlalu awal untuk menentukan apakah aku akan pergi atau tidak. Aku meletakkan undangan tersebut di atas tumpukan buku yang sedikit berdebu. 

Di atas kasur tipis, aku merebahkan badanku. Aku memandang langit-langit kamar. Tiba-tiba langit-langit kamar yang dicat putih itu berubah menjadi layar yang menayangkan masa-masa saat aku masih bersama Rista, tepatnya tiga tahun lalu  –saat aku memberikan sebuah Kokeshi untuknya-. Kokeshi adalah boneka kayu khas Jepang yang terbuat dari kayu sakura. Kokeshi yang aku berikan berwujud gadis jepang berbadan lonjong tanpa tangan dan kaki, berwajah bundar dengan rambut poni hitam di atasnnya. Kokeshi itu menggunakan Yukata (pakaian musim panas tradisional khas Jepang) berawarna merah. Lucu sekali, cocok untuk Rista yang punya cita-cita pergi ke Jepang.

SUMBER GAMBAR: PINTEREST.COM


“Aku punya hadiah untukmu,” kataku kepada Rista sambil menyerahkan kado persegi panjang berukuran kecil. Malam itu kami berdua sedang duduk di sebuah cafe.

Wajah Rista tampak senang sekaligus penasaran. “Boleh aku buka?,” tanyanya sambil memegang kado kecil yang aku berikan.

Aku mengangguk. 

Rista membuka kado kecil tersebut, mengoyak kertasnya di bagian atas dan menarik kokeshi yang ada di dalamnya. Ia girang bukan kepalang, “Wah, kokeshi....Makasih ya.”

Aku tersenyum dan menghirup kopi susu yang sudah ku pesan. “Semoga cita-citamu tercapai.”
“Aminnn...kita pergi sama-sama,” katanya.

Aku tersenyum, “Aku dengar kayu untuk membuat kokeshi ini kuat dan tahan lama.”

Rista tertawa, kemudian menebak maksud dari perkataanku, “Pasti kau ingin bilang ini seperti cinta kita; strong and forever.”

Rista memang pandai menebak pikiranku. Atau mungkin, karena aku keseringan mengucapkan kata-kata yang terdengar klise baginya.

Tiba-tiba kenangan itu lenyap, langit-langit kamar kembali putih.

***

16 Januari 2017.

Seminggu sudah berlalu. Aku masih belum memutuskan apakah akan pergi atau tidak ke pesta pernikahan Rista. Bahkan aku berusaha untuk tidak memikirkannya dengan cara menjalani keseharianku seperti biasanya; membaca buku dan menulis. Memang sesekali kenangan bersama Rista muncul, kadang di lembar buku yang aku baca atau di layar Microsoft Word saat aku sedang menulis.

Ingatanku saat bersama Rista dengan kejadian lain mampir, tepatnya pada saat aku dan Rista memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan. Saat itu aku sedang berada di sebuah perpustakaan dan membaca sebuah novel master piece milik Charles Dicken berjudul A Tale Of Two Cities.

“Kamu dimana?,” tanya Rista melalui chat BBM.

“Aku di perpus.”

“Lamaran pekerjaan udah kamu antar?.”

“Belum.”

Rista mengirim emotikon sebal. Kemudian pesan berikutnya masuk, “Oke. Jam 1 siang nanti kita makan siang di tempat biasa. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.” 

Aku hanya membalas dengan emotikon acungan jempol.

Aku mengedarkan pandanganku saat berada di tempat yang telah dijanjikan Rista. Ia memilih tempat duduk yang biasa kami tempati. Ia mengenakan pakaian kerjanya dan tampak lelah. Bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan besar memang cukup menguras tenaga. Aku tau karena Rista sering curhat mengenai pekerjaannya itu. 

Aku melihat piring dengan sisa makanan di hadapannya, tidak seperti biasanya ia demikian. Biasanya ia baru akan memesan makanan setelah aku datang.

“Kamu mau makan apa?,” tanyanya. 

“Nggak usah, aku kenyang,” jawabku.

Ia tidak menawarkan kembali. “Mengapa lamaran pekerjaan belum kamu kirimkan?. Ntar lowongannya tutup baru nyesal.” Nadanya sedikit meninggi.

“Aku belum niat untuk kerja.” 

“Jadi kau masih tetap bertahan dengan kegiatan menulismu itu?.”

“Ris, menulis itu nggak gampang nggak seperti yang kau bayangkan.”

“Bow, waktumu udah banyak terbuang. Sekarang kau udah dua tahun nganggur. Bagaimana dengan masa depan kita?,” tanya Rista.

Aku terdiam, memandang lekat ke arah meja. 

“Aku tak bisa menunggumu lebih lama lagi Bow, orang tuaku udah mendesak agar aku cepat nikah. Biaya nikah lumayan besar, kita berdua harus bekerja untuk itu!” keluh Rista. “Berpikirlah realistis!.”

Aku masih tak mampu berkata.

Rista ikut terdiam dan mengalihkan pandangan ke arah lain.

Aku kemudian beranjak dari kursiku dan keluar dari tempat tersebut. Rista tak berusaha untuk menghentikanku. Ketika aku menaiki motorku dan meihat sekilas ke arahnya yang masih duduk di meja makan, aku melihat ia memandangiku dengan tatapan nanar.

Aku segera membawa motoku melaju pulang. 

Sesampainya di kos, ia mengirim pesan yang isinya jika aku masih tidak mau mencari pekerjaan maka hubungan kami tidak akan dilanjutkan. “Aku tidak akan mencari pekerjaan, aku masih tetap akan fokus menulis,” jawabku. Akhirnya hubungan kami berhenti karena pandangan yang berbeda
***

19 Januari 2017.

Saat aku sedang melanjutkan menulis, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Karena nomor yang tertera di handphoneku adalah nomor baru, maka aku melemparkan pertanyaan, “Halo, siapa?,” tanyaku.

Suara di seberang terdengar kesal, “Nomorku kau hapus ya?.”

Suaranya tak asing di telingaku. “Sori, ini siapa ya?," aku memastikan.

“Ini Rista.”

Ternyata firasatku benar. 

“Kamu udah dapat undangan dariku kan?.”

“Iya udah.”

“Datang ya!.”

“Nggak janji.”

“Kok nggak janji?. Kan hari Minggu, penulis juga libur kali hari minggu,” ejeknya.

Aku tak semangat untuk berbicara dan meladeni candaannya. 

Ia tertawa, “Bow, Bow..."  

Suara hening sejenak.

Ia kembali bersuara, "Dulu aku berpikir bahwa lelaki yang kuat itu adalah lelaki yang mampu mempertahankan sekuat mungkin orang yang disayanginya. Tapi sekarang ada lagi lelaki yang lebih kuat?.”

Rista terdiam sebentar. Sepertinya dia ingin agar aku bertanya tentang hal itu. Tapi aku tetap tidak tertarik menanyainya dan mendengar jawabannya.

“Sekarang aku pikir lelaki yang kuat adalah lelaki yang mampu merelakan orang yang ia sayangi pergi. Karena kepergian adalah sebuah kepastian Bow.”

Tiba-tiba aku merasa jantungku tertusuk pedang. 

Setelah itu panggilang berakhir.

***
 
22 Januari 2017.

Suara klakson terdengar, aku mengintip dari arah jendela, tampak sebuah mobil Honda Brio hitam berhenti di depan kos. Kaca depan terbuka perlahan dan tampaklah Joko di dalamnya, “Siap?,” teriaknya ke arahku.

“Tunggu,” aku menyahut dan mengunci jendela, mengenakan sepatu dan keluar kamar.

Aku mengedarkan pandangan saat kami sudah berada di gedung tempat pesta pernikahan Rista berlangsung. Pelaminan pengantin berada di ujung gedung. Latar pelaminan berwarna merah muda dihiasai dengan dua buah pohon sakura buatan. Pasti Rista yang meminta desain pelaminan tersebut.

Joko langsung mendatangi sebuah pondokan untuk megambil makanan, aku ikut di belakangnya. Setelah itu kami berdua duduk di sebuah kursi yang berjarak lima baris dari pelaminan pengantin. Rista tampak sibuk bersalaman dan berofoto bersama para tamu undangan yang tampak tidak pernah berhenti bergiliran untuk memberi ucapan selamat.

“Gila Bow, Rista makin cantik ya,” tutur Joko sambil melahap hidangan.

Pikiranku sama dengan Joko. Rista memang tampak lebih cantik berada di atas sana. Kain taffeta yang dilapisi kain organza mengembang pada bagian bawah gaun pengantin, tampak serasi dengan kain brokat di bagian atas. Semuanya berwarna biru arctic, warna kesukaannya. Rista seperti tuan puteri di sebuah kerajaan besar di negeri fantasi.

Seusai menyantap makanan, Joko dan aku naik ke atas pelaminan untuk mengucapkan selamat. Saat melihat Joko, Rista tampak terkejut kemudian tertawa bahagia. Ia langsung menoleh ke belakang Joko seolah tau kalau aku pasti ada di belakang Joko. Ia tersenyum. Aku hanya menangkupkan kedua telapak tanganku di dada sebagai tanda bahwa aku tak akan bersentuhan tangan dengannya. Kemudian aku menyalami tangan suaminya. Tak ada kebencian, semuanya tersenyum.

“Foto dulu Jok,” pinta Rista sambil menarik tangan Joko. Rista memandangiku. Aku tau dia sangat berharap agar aku ikut berfoto.

Aku berdiri di samping suaminya, namun Joko menarik tanganku dan membawa tubuhku agar berdiri di samping Rista. Joko, Rista dan suaminya tertawa. Aku tidak tau apakah suaminya tau kalau aku pernah dekat dengan Rista.

Aku tidak mau membuat kegaduhan dengan menolak tarikan Joko. Aku pasrah dan berdiri di samping Rista. Tukang kamera mengarahkan kameranya ke arah kami. Cahaya putih memancar beberapa kali. Setelah itu si tukang kamera mengacungkan jempolnya tanda gambar yang terbaik sudah ia dapatkan.

“Nanti aku kirim fotonya Jok,” kata Rista.

***

Saat pulang ke kos aku sudah tau akhir cerita yang akan aku tulis, sebuah cerita yang dulu aku kerjakan saat bersama Rista, sebuah cerita yang membuat aku tidak memilih untuk melamar pekerjaan.
Share: