Baru saja aku mematikan
motorku sehabis pulang dari sebuah cafe, Ibu kos menghampiriku sambil membawa
sebuah kertas persegi panjang berwarna biru arctic. “Ada undangan,” katanya
sambil menyerahkan kertas itu kepadaku. Undangan itu diperindah dengan sebuah
pita berwarna putih di bagian tengahnya.
Aku menerimanya dan
mengucapkan terima kasih kepada ibu kos. Sambil berjalan ke kamar, aku memandang
undangan tersebut. Ada gambar sepasang pangantin yang saling berpegangan tangan
dan berhadapan satu sama lain. Ada tulisan “The Wedding Of” di bawahnya.
Kemudian aku menurunkan lagi pandanganku ke bawah tulisan “The Wedding Of” dan
betapa terkejutnya aku melihat tulisan di bawahnya, “DONI & RISTA” di
bawahnya lagi “22 Januari 2017”.
“Rista nikah?,” tanyaku
dalam hati sambil membuka kamar.
Aku menanggalkan pita putih dan
membuka undangannya, nama panjang kedua mempelai tertulis besar di dalamnya;
DONI SAPUTRA & RISTA NATASHA. Kemudian aku melihat alamat dimana pesta
pernikahan itu akan berlangsung. Dan ternyata alamat itu berada di kota A,
kampung halamannya Rista, setengah jam dari kota tempat aku berada sekarang.
Bagaimana Rista tau alamat
kosku?. Pertanyaan itu muncul dalam pikiranku.
Belum hilang rasa
keterkejutanku, tiba-tiba aku dikejutkan lagi dengan handphoneku yang berdering.
Ternyata Joko (temanku) menelpon.
“Ha...ada apa Jok?,” tanyaku
saat menjawab panggilannya.
“Kau udah dapat undangan
dari Rista?,” tanyanya balik.
“Iya, barusan undangannya
sampai. Kau diundang?.”
“Iya pasti lah Bow.”
“Kalau kau yang diundang sih
aku nggak heran Jok, Rista tau letak kantormu. Lah...aku yang nggak punya
kantor dan nggak punya pekerjaan ini kok bisa-bisanya dapat undangan. Sejak
kapan Rista tau tempat kosku yang sekarang?.”
Joko tertawa. “Jangan GR kau.
Aku yang kasi tau alamat kosmu. Katanya sekalian, soalnya keuarga dari calon suaminya
juga ada banyak di sini.”
Aku tertawa malu.
“Pergi kan?. Nanti aku
jemput kau, kita pergi sama-sama.” Joko menawarkan.
“Nanti lah Jok, aku
pikir-pikir dulu.”
Joko tertawa lagi. “Move
on...Move on...”
Aku tertawa.
“Oke, kalau nanti kau pergi
hubungi aku!.”
“Oke.”
Joko mematikan handphonenya tanpa mengucapkan salam.
Mungkin ia sedang sibuk.
Sekarang tanggal 9 Januari,
masih ada waktu dua minggu sebelum pesta pernikahan Rista. Terlalu awal untuk
menentukan apakah aku akan pergi atau tidak. Aku meletakkan undangan tersebut
di atas tumpukan buku yang sedikit berdebu.
Di atas kasur tipis, aku merebahkan
badanku. Aku memandang langit-langit kamar. Tiba-tiba langit-langit kamar yang
dicat putih itu berubah menjadi layar yang menayangkan masa-masa saat aku masih
bersama Rista, tepatnya tiga tahun lalu –saat aku memberikan sebuah Kokeshi untuknya-.
Kokeshi adalah boneka kayu khas Jepang yang terbuat dari kayu sakura. Kokeshi yang
aku berikan berwujud gadis jepang berbadan lonjong tanpa tangan dan kaki, berwajah
bundar dengan rambut poni hitam di atasnnya. Kokeshi itu menggunakan Yukata
(pakaian musim panas tradisional khas Jepang) berawarna merah. Lucu sekali,
cocok untuk Rista yang punya cita-cita pergi ke Jepang.
|
SUMBER GAMBAR: PINTEREST.COM |
“Aku punya hadiah untukmu,”
kataku kepada Rista sambil menyerahkan kado persegi panjang berukuran kecil.
Malam itu kami berdua sedang duduk di sebuah cafe.
Wajah Rista tampak senang
sekaligus penasaran. “Boleh aku buka?,” tanyanya sambil memegang kado kecil
yang aku berikan.
Aku mengangguk.
Rista membuka kado kecil
tersebut, mengoyak kertasnya di bagian atas dan menarik kokeshi yang ada di
dalamnya. Ia girang bukan kepalang, “Wah, kokeshi....Makasih ya.”
Aku tersenyum dan menghirup
kopi susu yang sudah ku pesan. “Semoga cita-citamu tercapai.”
“Aminnn...kita pergi
sama-sama,” katanya.
Aku tersenyum, “Aku dengar kayu
untuk membuat kokeshi ini kuat dan tahan lama.”
Rista tertawa, kemudian
menebak maksud dari perkataanku, “Pasti kau ingin bilang ini seperti cinta kita;
strong and forever.”
Rista memang pandai menebak
pikiranku. Atau mungkin, karena aku keseringan mengucapkan kata-kata yang terdengar
klise baginya.
Tiba-tiba kenangan itu
lenyap, langit-langit kamar kembali putih.
***
16 Januari 2017.
Seminggu sudah berlalu. Aku
masih belum memutuskan apakah akan pergi atau tidak ke pesta pernikahan Rista. Bahkan
aku berusaha untuk tidak memikirkannya dengan cara menjalani keseharianku
seperti biasanya; membaca buku dan menulis. Memang sesekali kenangan bersama Rista
muncul, kadang di lembar buku yang aku baca atau di layar Microsoft Word saat aku sedang menulis.
Ingatanku saat bersama Rista
dengan kejadian lain mampir, tepatnya pada saat aku dan Rista memutuskan untuk
tidak lagi menjalin hubungan. Saat itu aku sedang berada di sebuah perpustakaan
dan membaca sebuah novel master piece
milik Charles Dicken berjudul A Tale Of Two Cities.
“Kamu dimana?,” tanya Rista
melalui chat BBM.
“Aku di perpus.”
“Lamaran pekerjaan udah kamu
antar?.”
“Belum.”
Rista mengirim emotikon sebal.
Kemudian pesan berikutnya masuk, “Oke. Jam 1 siang nanti kita makan siang di
tempat biasa. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
Aku hanya membalas dengan
emotikon acungan jempol.
Aku mengedarkan pandanganku
saat berada di tempat yang telah dijanjikan Rista. Ia memilih tempat duduk yang
biasa kami tempati. Ia mengenakan pakaian kerjanya dan tampak lelah. Bekerja sebagai
akuntan di sebuah perusahaan besar memang cukup menguras tenaga. Aku tau karena
Rista sering curhat mengenai pekerjaannya itu.
Aku melihat piring dengan
sisa makanan di hadapannya, tidak seperti biasanya ia demikian. Biasanya ia
baru akan memesan makanan setelah aku datang.
“Kamu mau makan apa?,”
tanyanya.
“Nggak usah, aku kenyang,”
jawabku.
Ia tidak menawarkan kembali.
“Mengapa lamaran pekerjaan belum kamu kirimkan?. Ntar lowongannya tutup baru
nyesal.” Nadanya sedikit meninggi.
“Aku belum niat untuk kerja.”
“Jadi kau masih tetap
bertahan dengan kegiatan menulismu itu?.”
“Ris, menulis itu nggak
gampang nggak seperti yang kau bayangkan.”
“Bow, waktumu udah banyak
terbuang. Sekarang kau udah dua tahun nganggur. Bagaimana dengan masa depan
kita?,” tanya Rista.
Aku terdiam, memandang lekat
ke arah meja.
“Aku tak bisa menunggumu
lebih lama lagi Bow, orang tuaku udah mendesak agar aku cepat nikah. Biaya nikah
lumayan besar, kita berdua harus bekerja untuk itu!” keluh Rista. “Berpikirlah
realistis!.”
Aku masih tak mampu berkata.
Rista ikut terdiam dan mengalihkan pandangan ke arah lain.
Aku kemudian beranjak dari
kursiku dan keluar dari tempat tersebut. Rista tak berusaha untuk
menghentikanku. Ketika aku menaiki motorku dan meihat sekilas ke arahnya yang
masih duduk di meja makan, aku melihat ia memandangiku dengan tatapan nanar.
Aku segera membawa motoku melaju pulang.
Sesampainya di kos, ia
mengirim pesan yang isinya jika aku masih tidak mau mencari pekerjaan maka
hubungan kami tidak akan dilanjutkan. “Aku tidak akan mencari pekerjaan, aku
masih tetap akan fokus menulis,” jawabku. Akhirnya hubungan kami berhenti
karena pandangan yang berbeda
***
19 Januari 2017.
Saat aku sedang melanjutkan
menulis, tiba-tiba handphoneku
berbunyi. Karena nomor yang tertera di handphoneku
adalah nomor baru, maka aku melemparkan pertanyaan, “Halo, siapa?,” tanyaku.
Suara di seberang terdengar
kesal, “Nomorku kau hapus ya?.”
Suaranya tak asing di
telingaku. “Sori, ini siapa ya?," aku memastikan.
“Ini Rista.”
Ternyata firasatku benar.
“Kamu udah dapat undangan
dariku kan?.”
“Iya udah.”
“Datang ya!.”
“Nggak janji.”
“Kok nggak janji?. Kan hari
Minggu, penulis juga libur kali hari minggu,” ejeknya.
Aku tak semangat untuk
berbicara dan meladeni candaannya.
Ia tertawa, “Bow, Bow..."
Suara hening sejenak.
Ia kembali bersuara, "Dulu
aku berpikir bahwa lelaki yang kuat itu adalah lelaki yang mampu mempertahankan
sekuat mungkin orang yang disayanginya. Tapi sekarang ada lagi lelaki yang
lebih kuat?.”
Rista terdiam sebentar. Sepertinya
dia ingin agar aku bertanya tentang hal itu. Tapi aku tetap tidak tertarik
menanyainya dan mendengar jawabannya.
“Sekarang aku pikir lelaki
yang kuat adalah lelaki yang mampu merelakan orang yang ia sayangi pergi. Karena
kepergian adalah sebuah kepastian Bow.”
Tiba-tiba aku merasa jantungku
tertusuk pedang.
Setelah itu panggilang berakhir.
***
22 Januari 2017.
Suara klakson terdengar, aku
mengintip dari arah jendela, tampak sebuah mobil Honda Brio hitam berhenti di
depan kos. Kaca depan terbuka perlahan dan tampaklah Joko di dalamnya, “Siap?,”
teriaknya ke arahku.
“Tunggu,” aku menyahut dan mengunci
jendela, mengenakan sepatu dan keluar kamar.
Aku mengedarkan pandangan
saat kami sudah berada di gedung tempat pesta pernikahan Rista berlangsung. Pelaminan
pengantin berada di ujung gedung. Latar pelaminan berwarna merah muda dihiasai
dengan dua buah pohon sakura buatan. Pasti Rista yang meminta desain pelaminan
tersebut.
Joko langsung mendatangi
sebuah pondokan untuk megambil makanan, aku ikut di belakangnya. Setelah itu kami
berdua duduk di sebuah kursi yang berjarak lima baris dari pelaminan pengantin.
Rista tampak sibuk bersalaman dan berofoto bersama para tamu undangan yang
tampak tidak pernah berhenti bergiliran untuk memberi ucapan selamat.
“Gila Bow, Rista makin cantik ya,” tutur Joko sambil melahap hidangan.
Pikiranku sama dengan Joko. Rista
memang tampak lebih cantik berada di atas sana. Kain taffeta yang dilapisi kain
organza mengembang pada bagian bawah gaun pengantin, tampak serasi dengan kain
brokat di bagian atas. Semuanya berwarna biru arctic, warna kesukaannya. Rista seperti tuan puteri di sebuah kerajaan besar di negeri fantasi.
Seusai menyantap makanan,
Joko dan aku naik ke atas pelaminan untuk mengucapkan selamat. Saat melihat Joko,
Rista tampak terkejut kemudian tertawa bahagia. Ia langsung menoleh ke belakang
Joko seolah tau kalau aku pasti ada di belakang Joko. Ia tersenyum. Aku hanya
menangkupkan kedua telapak tanganku di dada sebagai tanda bahwa aku tak akan
bersentuhan tangan dengannya. Kemudian aku menyalami tangan suaminya. Tak ada
kebencian, semuanya tersenyum.
“Foto dulu Jok,” pinta Rista
sambil menarik tangan Joko. Rista memandangiku. Aku tau dia sangat berharap
agar aku ikut berfoto.
Aku berdiri di samping
suaminya, namun Joko menarik tanganku dan membawa tubuhku agar berdiri di
samping Rista. Joko, Rista dan suaminya tertawa. Aku tidak tau apakah suaminya
tau kalau aku pernah dekat dengan Rista.
Aku tidak mau membuat
kegaduhan dengan menolak tarikan Joko. Aku pasrah dan berdiri di samping Rista.
Tukang kamera mengarahkan kameranya ke arah kami. Cahaya putih memancar
beberapa kali. Setelah itu si tukang kamera mengacungkan jempolnya tanda gambar
yang terbaik sudah ia dapatkan.
“Nanti aku kirim fotonya
Jok,” kata Rista.
***
Saat pulang ke kos aku sudah
tau akhir cerita yang akan aku tulis, sebuah cerita yang dulu aku kerjakan saat
bersama Rista, sebuah cerita yang membuat aku tidak memilih untuk melamar
pekerjaan.