Kota, orang bilang ini kota. Kota memang
kejam dengan berbagai kekejamannya pada manusia. Sikap sosial memang berkurang
ketika suatu tempat diberi gelar menjadi kota. Sikap berkendaraan manusia
menghilangkan budaya tegur sapa, semua orang sibuk, semua orang egois, memikirkan
dirinya sendiri.
jalanan seolah menjadi tempat aksi drama
yang menyedihkan, menampilkan kesusahan-kesusahan hidup seseorang, mulai dari
penjual koran yang menjajakan korannya, orang-orang yang pasang terik mukanya
karena kesibukan, pemulung-pemulung yang menyeret gerobak kecil sambil
menggendong anaknya, bahkan sampai orang cacat yang terseok-seok menyebrangi
jalan. Kejamnya kawan, tak ada satupun yang mau beranjak dari kendaraanya untuk
mengulurkan tangan membantu orang-orang itu.
Sempat terpikir dalam benakku, bagaimana
kalau aku menjadi mereka yang berjuang mencari sesuap nasi di teriknya matahari
dan mencucurkan keringat?. Bagaimana kalau aku menjadi si pendorong gerobak
yang sudah berkeluarga namun masih tetap bekerja dengan cara yang demikian?.
Dan bagaimana jika aku menjadi cacat yang berusaha menyebrangi jalan dengan dua
tanganku ini, bukan dengan kaki yang sempurna?. Sungguh tak bisa kubayangkan...
Di sisi lain ku saksikan orang yang bersandar
pada kursi mewah di dalam kendaraannya, tanpa kepanasan, tanpa kesusahan, tanpa
perhatian. jangankan untuk berbagi pada sesama, melayangkan pandagannya pada
orang-orang yang ada di sekitarnya pun tak sempat. Ia nyaman dengan mobil
megahnya, ber AC, full musik dan siap menuju pada tempat yang menghasilkan uang
yang tentu lebih banyak daripada penjual koran, pemulung, dan si cacat tadi.
Sepertinya inilah dunia kawan, tak pernah
kau lihat kesempurnaan di dalamnya. Selalu ada yang kekurangan, dan selalu ada
yang berlebihan. Untungnya dunia ini dijadikan sesaat untuk kita, untungnya
dunia hanya senda gurau belaka, untung saja kematian selalu mendekati kita,
sehingga dunia ini akan lepas semuanya. Andaikan dunia ini abadi maka rugilah
si penjual koran tadi, andai dunia ini abadi maka kasihanlah si pemulung tadi,
andai dunia ini abadi maka tak ada sekelumit pun kesenangan pada si cacat tadi.
Untungnya Allah punya hari yang abadi yang
tak memandang orang dari kayanya, miskinnya, cacatnya, tuanya, mudanya, gantengnya,
jeleknya. Dan Allah pandang amal dan hati seseorang. Yang lebih syukurnya lagi
untuk beramal, manusia masing-masing punya koridor masing-masing, yang miskin,
kaya, perempuan, laki-laki punya porsinya. Sehingga tak akan ada yang merasa
rugi atau dirugikan dalam melakukan amal.
Jadi, masih ada harapan bagi mereka untuk
macapai kebahagiaan abadi, masih ada senyum kecil untuk mereka yang bisa kita
berikan ketika mereka mau taat pada Ilahi.
0 komentar:
Posting Komentar