Senin, 17 Juli 2017

PENTINGNYA DIGITAL PARENTING


Belakangan ini kita sering mendengar tindakan kriminal yang begitu sadis, seperti pembegalan, pembacokan, sampai penembakan. Mendengar hal itu, mungkin kita masih bisa mengelus dada karena yang ada di pikiran kita, para pelakunya pastilah rata-rata orang dewasa yang barangkali hal itu dilakukan karena desakan ekonomi yang mencekik di samping peluang kerja yang sangat sempit.
Tapi bagaimana bila yang melakukan tindakan kriminal adalah anak-anak yang masih remaja?.
Selasa 30 Mei 2017, Detiknews.com menerbitkan berita dengan judul “Polisi Tangkap Kawanan Geng Motor Nyambi Begal Sadis di Bandung”. Polisi berhasil meringkus 14 pelaku, 4 orang diantaranya berusia dewasa dan  10 orang berusia belia mulai dari 15 sampai 17 tahun. Saat melakukan aksi begal, para pelaku ini tak segan berbuat sadis. Berbekal senjata tajam dari mulai arit hingga pisau daging, para pelaku nekat melukai korbannya.

Baru-baru ini juga, muncul berita mengenai kasus bullying terhadap siswi SMP di Thamrin City, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Video itu sempat viral di media sosial. Peristiwa tersebut  terjadi pada Jum'at (14/7/2017) sekitar pukul 13.30 WIB di lantai 3A Thamrin City. Video berdurasi 50 detik itu menunjukkan sejumlah siswa SMP sedang mengelilingi satu siswi menggunakan seragam putih. Siswi berseragam putih itu mendapat kekerasan dari sejumlah siswa-siswi lainnya (Kompas.com edisi Senin, 17 Juli 2017, "Ini Kronologi 'Bullying' Siswi SMP di Thamrin City").

Jika anda merasa hal itu adalah kenakalan yang wajar, anda bisa menyaksikan videonya di Youtube. Saksikan dan renungkan!, betapa mengerikan perilaku anak-anak zaman sekarang.
Hasil pantauan KPAI Tahun 2015 di 7 Provinsi dengan sampel 134 anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang berada di LAPAS ditemukan fakta sebagai pelaku pencurian 32%, pelaku kekerasan seksual 30%, pelaku pembunuhan 21%. Hal ini menandakan bahwa kerentanan anak menjadi pelaku tindak pidana tergolong tinggi (Detiknews.com edisi rabu 29 Juni 2016).
Jika kita bandingkan data di atas dengan keadaan anak-anak di sekitar kita, mungkin kita masih bersyukur karena tingkah dan kelakuan anak-anak di sekitar kita belum separah itu. Tapi bila kita geser sedikit skalanya, maka sering kita dapati anak-anak yang ada di sekitar kita entah itu adik, keponakan, murid, atau bahkan anak sendiri yang berlaku impulsif, agresif, sulit dinasehati, tidak sopan santun, serta berlaku dan berbicara kasar. Dan jika perilaku itu tidak diperbaiki, tidak menutup kemungkinan sifat-sifat tersebut akan terus berkembang dan mengarah pada tindakan kriminal yang telah kita sebutkan di atas.
Hal itulah yang dikeluhkan oleh Yee-Jin Shin, seorang spesialis anak terbaik di Korea. Ia menjumpai banyak anak-anak yang bermasalah di kliniknya selama lebih dari dua puluh tahun. Yee-Jin Shin (2014: 17) mengatakan, “Anak-anak remaja zaman sekarang membuat orang tua dan guru sangat kewalahan. Tingkat kenakalan mereka hampir menyamai tingkat kejahatan. Semakin lama, semakin muda saja usia anak yang menjadi pelaku kejahatan dan diganjar hukuman kriminal.
Anak-anak yang seperti itu digelari oleh Yee-Jin Shin sebagai anak “matang semu.”
Apa itu “matang semu”?.
Istilah “matang semu” merujuk pada anak yang fisiknya berkembang sangat baik, tetapi jiwanya tidak. Istilah ini digunakan karena anak-anak zaman sekarang cederung impulsif, tidak tahu sopan santun, dan tidak memiliki rasa bersalah (Yee-Jin Shin, 2014: 28).
Lalu apa penyebabnya sehingga hal tersebut bisa terjadi?.
Penyebab utamanya adalah karena anak tidak memiliki kecerdasan emosi yang baik. Dan di era sekarang ini, pengabaian terhadap kecerdasan emosi sering disebabkan oleh penggunaan perangkat digital yang berlebihan pada anak.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Yee-Jin Shin (2014: 10), “anak yang sudah kecanduan perangkat digital, mental mereka akan rusak. Memang, mereka lebih cepat tumbuh besar dibandingkan anak-anak zaman dulu, tetapi jiwa mereka lambat berkembang.”
Sumber gambar: https://bestcellphonespyapps.com

Sederhananya, di masa perkembangannya, seharusnya anak tidak hanya mengembangkan kecerdasan intelektual saja, tetapi juga harus mengembangkan kecerdasan emosional. Seharusnya anak tidak hanya cerdas dalam menalar, berbahasa, berhitung, dan menulis, tetapi yang tidak kalah penting adalah mereka harus cerdas dalam menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegoisasi dengan orang lain secara emosional, serta dapat menggunakan emosi sebagai alat memotivasi diri. (Howard Gardner dalam Wikipedia mengenai kecerdasan emosional).
Bagaimana perangkat digital bisa menghambat perkembangan kecerdasan emosi anak?.
Berikut adalah penjelasan Yee-Jin Shin.
***
Lobus Frontalis yang Tidak Mendapatkan Stimulus
Pemahaman emosi dan kemampuan berfikir di dalam otak diperintah oleh otak besar. Otak besar terdiri atas Lobus Frontalis, Lobus Parientalis, Lobus Oksipitalis, dan Lobus Temporalis. Dalam otak besar, Lobus Frontalis menjalankan fungsi pengambilan keputusan, pengendalian daya konsentrasi, pengendalian emosi, dan lain-lain. Jadi dengan semakin berkembangnya Lobus Frontalis secara baik, maka seseorang akan semakin bisa mengontrol perasaan dan emosinya dengan baik, memliki moralitas yang tinggi, dan peduli terhadap orang lain (Yee-Jin Shin, 2014: 131).
Namun, apabila anak sedari kecil sudah sering diberi perangkat digital, maka Lobus Frontalis yang berfungsi untuk mengontrol perasaan dan emosinya tadi jadi tidak berkembang.
Mengapa?.
Karena perangkat digital pada dasarnya hanya memberikan stimulus terhadap Lobus Oksipitalis dan Parientalis yang berperan dalam sudut pandang dan persepsi anak saja. Sementara Lobus Frontalis yang berguna untuk perkembangan emosi, daya konsentrasi, dan daya pikirnya berkurang. Mengingat prinsip otak anak hanya akan berkembang jika diberi stimulus, maka fungsi Lobus Frontalis yang tidak diberi stimulus akan terhapus (Yee-Jin Shin, 2014: 131). Hal inilah yang akan menyebabkan anak sulit untuk mengendalikan emosi mereka.
Perangkat digital tidak memberikan stimulus pada wilayah  Lobus Frontalis
Otak anak akan menjadi Otak Popcorn (Popcorn Brain)
Ada sebuah istilah unik yang disebutkan oleh Yee-Jin Shin ketika menjelaskan dampak buruk yang dialami oleh anak ketika menggunakan perangkat digital. Istilah itu adalah Popcorn Brain. Istilah tersebut diberikan karena pada saat anak menggunakan perangkat digital, pendengaran dan penglihatan mereka akan meletup-letup seperti jagung yang sedang diolah menjadi Popcorn.
Sumber Gambar: food.detik.com
Bagaimana penjelasannya sehingga anak terkena Popcorn Brain?.
Saat menggunakan perangkat digital, anak terpapar stimulus yang kuat pada indra penglihatan dan pendengarannya. Sinar dan warna yang mencolok tersaji terus menerus. Selagi stimulus itu terus berlanjut, situasinya berganti dengan cepat. Setiap kali ada tampilan baru, setiap kali pula anak tidak bisa mengalihkan perhatiannya. Karena sering terpapar dengan stimulus perangkat digital yang begitu kuat, anak tidak lagi merespons stimulus lain yang tidak lebih kuat dari perangkat digital. Tanpa sadar, otak anak telah terkena Popcorn Brain (Yee-Jin Shin, 2014: 124).
Otak yang dalam keadaan meletup-letup (Popcorn Brain) akan membuat anak selalu mencari hal-hal yang semakin brutal, impulsif, cepat dan menarik. Akibatnya, daya konsentrasi dan daya ingat anak akan menurun karena otaknya hanya akan mencari stimulus yang kuat. Jika kita amati karakteristik anak Popcorn Brain secara teliti, anak itu tidak bisa mengikuti pelajaran dengan sempurna karena dia tidak sanggup berkonsentrasi dalam membaca (Yee-Jin Shin, 2014: 125).
Multitasking pada perangkat digital dan internet membuat anak sulit berkonsentrasi
Sistem multitasking dalam perangkat digital juga menghambat konsentrasi anak. Hal ini disebakan oleh kemampuan internet dalam memberikan informasi yang begitu banyak serta kemampuan perangkat digital untuk berjalan dalam sistem multitasking. Akibatnya, anak cenderung membuka bagian yang ia senangi, bukan yang ia perlukan. Misalkan niat awal anak ingin mencari tugas sekolah, tapi yang dibuka oleh anak malah game, video, musik, dan hiburan lainnya (Yee-Jin Shin, 2014: 152-155).
Perangkat digital menggeser peran buku
Saat usia sembilan tahun, kemampuan berpikir abstrak menjadi standar kemampuan belajar dan kematangan anak. Dan buku sangat berperan penting untuk mengembangkan kemampuan berpikir abstrak anak karena ia harus menafsirkan sendiri makna dari isi yang ada dalam buku. Beda dengan perangkat digital, ia hanya memberikan informasi apa adanya. Di perangkat digital, anak tidak perlu membayangkannya dan menafsirkannya. Sehingga anak yang kecanduan perangkat digital akan mengalami kesulitan dalam perkembangan kemampaun berpikir abstraknya (Yee-Jin Shin, 2014: 155-156).
Perangkat digital tidak memunculkan trik memori anak
Selain itu, perangkat digital juga menghambat anak remaja untuk melakukan trik memori. Belajar menggunakan perangkat digital hanya menyisakan memori sesaat atau memori jangka pendek karena anak tidak membutuhkan improvisasi dalam menyerap informasi yang ada (Yee-Jin Shin, 2014: 160).
***
PENTINGNYA DIGITAL PARENTING
Kita dihadapakan pada keadaan yang dilematis; di satu sisi, lajunya perkembangan teknologi tidak terbendung lagi, semua aspek kehidupan sudah mendewakan perangkat digital sebagai alat untuk mempermudah pekerjaan, baik itu di kantor, sekolah bahkan di rumah. Tapi di sisi lain, ada anak yang harus kita lindungi dari dampak buruk perangkat digital yang bisa menyerang kecerdasan emosi bahkan kecerdasan intelektual mereka.
Untuk itu, diadakanlah sebuah pola asuh anak untuk meminimalisir dampak buruk tersebut yaitu dengan cara menerapkan digital parenting. Yee-Jin Shin menyebutkan ada tujuh prinsip dalam digital parenting:
PERTAMA, harus paham kapan memberika perangkat digital kepada anak. Yee-Jin Shin menyarankan agar oraang tua tidak memberikan perangkat digital kepada anak balita, walaupun hanya sebentar (2014:114). Anak dapat diberikan perangkat digital jika dia setuju menggunakannya di bawah pengawasan orang tua. Dalam hal ini, hubungan orang tua dengan anak harus baik terlebih dahulu sehingga pengawasan orang tua kepada anak tidak dianggap pengekangan terhadap kebebasan mereka. Dan juga perlu dipertimbangkan, orang tua baru bisa memberikan anak perangkat digital ketika anak sudah berhasil mengatasi emosinya. (Yee-Jin Shin, 2014: 205-207).
KEDUA, “kualitas lebih penting daripada kuantitas. Agar digital parenting menjadi efektif, hal paling awal yang bisa kita lakukan adalah menentukan peraturan yang jelas tentang kapan “waktu” yang tepat untuk anak bermain perangkat digital. Berdasarkan pengalaman saya (Yee-Jin Shin), lebih efektif menggabungkan waktunya sekaligus ke akhir pekan daripada menjadwalkan setiap hari. Gejala kecanduan bisa saja tercipta secara perlahan-lahan jika anak bermain perangkat digital setiap hari. Sementara jika kita menggabungkan waktu pemakaiannya sekaligus di akhir pekan, anak akan merasa lebih puas karena menganggap waktu bermainnya cukup lama. Dan yang terpenting bukan kuantitas melainkan kualitas”. Anak harus memanfaatkan waktu yang telah diberikan dengan kegiatan yang berkualitas, game yang ia mainkan, situs yang buka, video yang ia tonton dan sebagainya (Yee-Jin Shin, 2014: 207-208).
KETIGA, tentukan sanksi bila anak melanggar janjinya. Sebaiknya kita mendiskusikan isi dan ketentuan sanksi dengan anak terlebih dulu sebelum kita memberinya perangkat digital. Jika kita ingin agar anak kita benar-benar menjalankan peraturan tersebut, buatlah pernyataan tertulis dan pasang di tempat yang mudah dilihat.
KEEMPAT, jelaskan alasan diterapkannya peraturan. Kita harus menjelaskan alasan dibuatnya peraturan dan batasan penggunaan perangkat digital dengan benar. Dengan begitu, anak merasa perlu untuk menepatinya. Jika kita memberitahunya tanpa penjelasan yang konkret dan secara sepihak, anak bisa melawan (Yee-Jin Shin, 2014: 212).
KELIMA, berbagilah pengalaman tentang perangkat digital dengan anak. Misalnya, saat anak sedang main game di ponsel cerdasnya, kita bisa mengajaknya ngobrol dengan cara menunjukkan minat dan perhatian terhadap apa yang sedang anak lakukan (Yee-Jin Shin, 2014: 213).
KEENAM, libatkan seluruh anggota keluarga. Digital parenting akan berhasil jika semua anggota keluarga dilibatkan. Jika ada satu orang yang tidak berpartisipasi, semua upaya akan sia-sia. Oleh karena itu, semua pihak harus mengikuti peraturan tanpa terkecuali. Bahkan ketika kita harus menitipkan anak kepada orang lain karena kita harus bekerja, kita perlu meminta orang tersebut untuk mengikuti peraturan yang telah ditetapkan (Yee-Jin Shin, 2014: 215).
KETUJUH, mintalah bantuan psikiater jika orang tua tidak bisa mengatasinya atau ketika anak sudah berada pada tahap yang membahayakan akibat perangkat digital seperti kecanduan dan sebagainya (Yee-Jin Shin, 2014: 217).
TERKAHIR, di luar dari prinsip digital parenting di atas, Yee-Jin Shin juga berulangkali menyampaikan bahwa di masa balita, orang tua terutama Ibu harus megembangkan kecerdasan emosi anak agar anak tidak tumbuh menjadi matang semu. Seorang Ibu harus mengajarkan anak untuk bisa bereempati dengan cara memberikan perhatian kepada anaknya, seorang Ibu harus mengajarkan anak untuk dapat merespon keadaan (kapan harus tertawa bahagia dan kapan harus sedih), dan memberikan kasih sayang kepada anak, sehingga antara Ibu dan anak tercipta ikatan emosional yang kuat. Di masa inilah emosi anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Sebaliknya, jika di masa balita, anak sudah diberi perangkat digital dan sering diabaikan oleh Ibunya, maka kecerdasan emosi anak tidak berkembang, dan akhirnya anak menjadi matang semu.
Sumber Gambar: Zahrafirda.com

Share:

Sabtu, 08 Juli 2017

MARI BUDAYAKAN PACARAN POSITIF!

Memahami Istilah Pacaran
Sebelum menulis judul ini, saya sempat ngasi kode terlebih dahulu di media sosial bahwa saya akan menulis mengenai pacaran positif. Ada beberapa teman yang langsung berkomentar bahwa “pacaran itu tidak ada yang positif”, “pacaran itu jelas haram”, “pacaran positif itu hanya modus saja” dan sebagainya.
Its ok. Nggak apa-apa. Semua orang berhak untuk berkomentar. Tapi izinkan saya untuk menyampaikan argumen saya mengenai pacara positif.
Setelah saya mendapatkan dan membandingkan beberapa informasi mengenai pacaran, untuk saat ini saya berkesimpulan bahwa istilah pacaran masih bersifat netral, wajar dan manusiawi. Karena istilah awal yang netral inilah, pacaran bisa menjadi positif, bisa juga negatif.
Nggak percaya?. Mari kita bahas!.
Di dalam Wikipedia, “Pacaran merupakan proses berkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangakaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan.” (id.wikipedia.org/wiki/pacaran. Diakses 7 Juli 2017).
Dari pengertian diatas, kita ambil kata kuncinya, yaitu: MENGENAL (melihat kecocokan) dan MENIKAH. Atau MENGENAL untuk MENIKAH. Jadi pacaran itu adalah proses yang dilewati oleh seseorang untuk mengenal calon pasangannya sebelum masuk jenjang pernikahan.
Oke, sampai disini sudah ada bayangan?.
Belum?.
Baiklah kita lanjut pada definisi berikutnya.
Untuk sedikit memperjelas, kita akan melihat definisi pacaran dari para Tokoh. Karena berhubung saya belum punya buku yang membahas definisi pacaran dari para Tokoh, maka saya mengutip definisi pacaran oleh para Tokoh dari sebuah website bernama psychologymania.com. Menurut saya, website psycholgymania.com udah lumayan kuat dan serius dalam keilmuan, hal itu terlihat dari laman website mereka yang menyediakan ebook dan jurnal mengenai dunia psikologi.
Di dalam website tersebut:
Menurut DeGenova & Rice (2005),  “Pacaran adalah menjalankan suatu hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama agar dapat saling mengenal satu sama lain.”
Menurut Bowman (1978), “Pacaran adalah kegiatan bersenang-senang antara pria dan wanita yang belum menikah, dimana hal ini akan menjadi dasar utama yang dapat memberikan pengaruh timbal balik untuk hubungan selanjutnya sebelum pernikahan di Amerika.”
Menurut Benokraitis (1996), “Pacaran adalah proses dimana seseorang bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya orang tersebut untuk dijadikan pasangan hidup.”
Lagi-lagi, ketiga definisi dari para tokoh di atas kurang lebih sama dengan definsi dari Wikipedia sebelumnya. Kata kuncinya: MENGENAL dan MENIKAH. Atau MENGENAL untuk MENIKAH.
Salahkah orang mengenal untuk menikah?. Tentu saja tidak. Itu wajar, normal, dan manusiawi. Malah akan berbahaya jika orang ingin menikah tapi tidak mengenal dan mengetahui pasangannya.
sumber gambar: http://www.sygmadayainsani.co.id
Pacaran Berawal dari Istilah Syar’i
Oke, mungkin diantara kalian masih ada yang belum puas dengan definisi pacaran dari Wikipedia dan Tokoh Barat di atas. Untuk itu, mari kita tambahkan argumennya.
Agar argumen “pacaran positif” saya lebih kokoh, maka saya akan mengutip pernyataan seorang Ustadz kondang yang video kajiannya udah tersebar dan disukai banyak orang. Beliau adalah Ustadz Adi Hidayat Lc, MA. Bagi yang belum tahu, silahkan googling dan cek di Youtube.
Dalam sebuah akun Youtube bernama Pintu Surga terdapat sebuah video berdurasi 2 menit 34 detik yang dipublikasikan pada tanggal 10 Januari 2017. Video tersebut berisi koreksi dari Ustadz Adi Hidayat Lc, MA terhadap istilah pacaran.
Menurut beliau, istilah pacaran asalnya adalah istilah yang  syar’i. Kok bisa?. Untuk lebih jelasnya, saya akan tuliskan pernyataan beliau dalam video tersebut di bawah ini:
“Asal pacaran, asalnya istilah syar’i itu. Sekarang bergeser maknanya. Dulu di penghujung Melayu, kisaran Medan ke sebalah sana, 400 kilometer dari kota Medan. Itu dulu, kalau orang suka terhadap calon pasangannya, ada ketertarikan dia ingin berta’aruf, maka dia akan mulai mendatangi rumahnya malam hari untuk menghadap Bapaknya. Di luar dia katakan keinginannya, Bapaknya akan keluar.dan mengatakan ‘Apakah kamu serius?’, dia tangkap itu. Saat ditangkap itulah kemudian ketika menyatakan serius, maka akan ditandai pada calon istrinya. Calon istrinya akan ditandai dengan daun pacar, kemudian menunggulah untuk menikah selama 40 hari. Calon istrinya akan belajar kepada ibunya bagaimana menjadi istri yang baik, calon suaminya akan belajar selama 40 hari, termasuk mencari nafkah. Nah masa menunggu ini disebut dengan PACARAN, dipacari maksudnya diberi daun pacar. Jadi pacaran bukan jalan-jalan, muda-mudi, MasyaAllah, belum sah tiba-tiba jalan berduaan”. (Adi Hidayat, Lc, MA).
Di dalam pernyataan beliau tersebut, ia mengatakan bahwa definisi pacaran itu awalnya syar’i. Yang membuat istilah pacaran itu menjadi buruk adalah karena ulah anak zaman sekarang yang gaya pacarannya tidak lagi mematuhi aturan agama, budaya dan negara.
Pacaran: Bisa Negatif, Bisa Positif.
Nah dari tiga sumber di atas; Wikipedia, Tokoh Barat dan Ustadz Adi Hidayat, saya menyimpulkan bahwa definisi pacaran yang berarti “mengenal calon pasangan sebelum menikah” adalah  masih bersifat netral, wajar, alamiah dan manusiawi.  Semua orang pasti melakukan hal tersebut sebelum menikah. Nggak ada orang yang mau nikah tanpa mengetahui siapa orang yang akan dinikahinya. Pasti dia mencari tahu terlebih dahulu, mengenal, melihat kecocokan, dan jika sudah terasa cocok, barulah menikah. Dan proses inilah yang dikenal dengan pacaran.
Jadi istilah pacaran awalnya bersifat netral dan wajar. Dia baru akan berubah menjadi positif atau negatif ketika dilakukan dengan cara tertentu. Eksekusi pacaran itu nantinya yang akan membuat dia menjadi positif atau negatif.
Layaknya internet, internet itu sifat awalnya netral. Kita nggak bisa langsung menuduh internet haram, buruk dan sebagainya. Tapi kita juga tidak langsung bilang dia baik dan bermanfaat. Semua itu tergantung dari bagaimana kita memperlakukan internet. Kalau kita menggunakan internet dengan standar norma yang berlaku dalam suatu negara dan juga agama, maka internetan kita akan bersifat positif. Tapi jika kita menggunakan internet tidak mengindahkan dua aturan itu, maka kegiatan internetan kita bisa menjadi negatif.
Begitu juga pacaran. Dia akan menjadi positif bila orang yang berpacaran adalah orang yang siap menikah dan ketika pacaran; ia mematuhi aturan agama dan negara. Dan pacaran akan bersifat negatif jika orang yang berpacaran adalah orang yang belum siap menikah dan saat berpacaran tidak mematuhi rambu-rambu yang sudah diatur dalam agama dan negara.
Kesimpulannya:
Jadi pacaran adalah suatu yang wajar, netral, normal. Karena definisinya adalah untuk mengenal calon pasangan sebelum menikah. Cara menjalankan pacarannya itulah yang akan membawanya pada makna negatif dan positif. Pacaran positif: nikahnya siap, pakai aturan agama dan negara. Pacaran negatif: belum siap nikah, tidak pakai aturan agama dan negara.
Gimana, sudah paham?.
Dokumen Ahmad Yazid
Pacaran Negatif Merugikan Cewek.
Oke, sekarang kita bahas kerugian dari pacaran negatif (belum siap nikah dan tidak pakai aturan agama dan negara) dari sisi cewek.
***
Saya heran, mengapa ada cewek yang mau menjalani pacaran negatif sama seorang cowok yang belum jelas kapan nikahnya dan ketika pacaran tidak mematuhi aturan agama dan negara?.
Karena menurut saya, cewek yang menjalani pacaran negatif akan menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan pasangan yang lebih baik dan lebih siap untuk menikah.
Agar lebih mudah dipahami, saya akan menjelaskannya lewat perumpamaan di bawah ini.
Dokumen Ahmad Yazid
Keterangan : Nita adalah seorang cewek yang menjalin pacaran negatif dengan seorang cowok bernama Yazid. Mengapa hubungan mereka disebut pacaran negatif?. Karena dalam hubungan tersebut, Yazid belum memastikan kapan akan menikahi Nita. Semuanya serba ngambang kayak jamban. Dalam hubungan itu juga, mereka tidak mengindahkan aturan agama; sering jalan berduaan, bertemu tanpa mahram, bahkan mungkin udah melakukan sesuatu yang dilarang agama, maklum, Yazid ini orangnya agak nafsuan dikit. Jiah,,, ini kok jadi ngejelekin diri saya sendiri?.
Nah, Nita yang kerudungan dan tampak cantik jelita ini ternyata diincar juga oleh lelaki lain yang tentunya lebih siap menikah daripada Yazid. Keempat lelaki itu adalah Rasyid (Ustadz), Beni (Karyawan Bank), Rian (Dokter), dan Feri (Pilot). Tapi ketika empat lelaki siap menikah ini bertanya pada orang terdekat Nita atau stalking media sosialnya Nita, mereka mendapatkan informasi bahwa Nita sudah berpacaran (negatif) dengan Yazid. Secara otomatis empat orang lelaki yang siap menikah ini mundur seketika dan mencari wanita lain.
Rugi kan?.
Padahal seandainya saja Nita nggak pacaran (negatif) sama Yazid, maka peluang Nita untuk mendapatkan salah satu dari empat lelaki bisa terwujud. Nikahnya pasti lagi, tidak kayak Yazid yang belum tau kapan mau nikah. Dan tentunya mereka harus ta’aruf (pacaran positif) dulu untuk mengenal satu sama lain. Tapi karena Nita keburu udah punya pacar, jadi gagal deh dapat kesempatan. Itu perhitungan kerugian versi saya.
Dan menurut saya, ini sekali lagi menurut saya lo ya, cowok yang pacaran (negatif) itu cemen dan nggak mau saingan secara fair (adil).
Begini, wanita cantik dan baik itu saya umpamakan dengan sebuah hadiah. Untuk mendapatkannya, seorang cowok harus berkompetisi dulu secara fair.
Cowok cemen nggak mau pakai cara fair, dia maunya pakai cara ngetag (nandai) dulu si cewek dengan menjalin hubungan (pacaran negatif). Masalah bisa nikah atau nggak?, itu urusan belakangan. Yang penting cewek cantik dan baik yang dia sukai udah dia tawan terlebih dulu agar tidak diambil orang.
Ibarat lomba lari, belum juga lari sampai finish, eh... si cowok yang curang udah ngambil pialanya duluan untuk dibawa pulang. Tapi saya lebih heran lagi dengan ceweknya, kok mau ditandai (pacaran) tanpa ada jaminan yang pasti untuk menikah?.
Pacaran Negatif Merugikan Cowok.
Sebenarnya tidak hanya cewek saja yang rugi ketika menjalani pacaran negatif. Cowok juga bisa rugi. Kenapa rugi?. Karena posisi cowok terancam dalam pacaran negatif. Mengapa terancam?. Karena cowok nggak punya jaminan untuk memastikan kapan nikah. Prinsipnya: “jalanin aja dulu”. Masalah nikahnya kapan itu urusan belakangan.
Ketika ia tidak bisa memastikan kepada ceweknya (pacar) kapan nikah, maka besar kemungkinan si cewek akan meninggalkan si cowok untuk mencari lelaki lain yang lebih siap.
Dokumen Ahmad Yazid
Apakah ada kasus seperti itu, kasus cewek meninggalkan cowoknya karena nggak siap nikah?.
Ada..... banyak.
Beda dengan pacaran positif. Posisi cowok dalam pacaran positif sangat kuat karena dia tinggal memilih dan menentukan untuk melanjutkan pada hubungan yang kuat, bukan mempertahankan hubungan yang rapuh seperti dalam pacaran negatif. Kalau srek dengan ceweknya setelah ta’aruf, ya nikah. Kalau nggak cocok ya cari lagi yang lain.
Sementara dalam pacaran negatif, posisi cowok masih ngambang dan rentan untuk ditinggalkan. Nikah segan, putus tak mau. Akan sangat rugi lagi bila si cowok udah banyak berkorban, baik korban biaya, waktu dan tenaga, tapi endingnya malah ditinggalkan begitu saja oleh sang pacar. Tapi salah siapa juga nikahnya kelamaan. Cewek kan permintaannya cuma satu: “Nikahi adek Bang!”. Euyyyyy....
Sama-Sama Rugi.
Terakhir, dalam pacaran negatif, cowok dan cewek punya kerugian yang sama, yaitu rugi waktu, biaya dan tenaga. Karena landasan pacaran negatif adalah “jalanin dulu aja” (nikahnya nggak tau kapan), maka waktu yang terbuang untuk menunggu bisa sangat lama. Bahkan bisa sampai bertahun-tahun. Dalam rentang waktu bertahun-tahun itu tentu saja menghabiskan banyak waktu, biaya dan tenaga. Habis-habis di jalan. Apanya yang habis-habis di jalan Bang?, ya itu,,, pokoknya itulah dia, yang pacaran bertahun-tahun pasti tahu. Uhukkk...
Dokumen Ahmad Yazid
Mengapa waktu, tenaga dan biaya yang terbuang akibat sesuatu yang tidak pasti itu tidak kita alihkan saja pada hal yang lebih pasti dan produktif, seperti berkarya, bekerja, berwirausaha dan sebagainya.
Kan lebih tokcer...
Sekian...
Share: