Belakangan ini kita
sering mendengar tindakan kriminal yang begitu sadis, seperti pembegalan,
pembacokan, sampai penembakan. Mendengar hal itu, mungkin kita masih bisa
mengelus dada karena yang ada di pikiran kita, para pelakunya pastilah rata-rata
orang dewasa yang barangkali hal itu dilakukan karena desakan ekonomi yang
mencekik di samping peluang kerja yang sangat sempit.
Tapi bagaimana bila yang
melakukan tindakan kriminal adalah anak-anak yang masih remaja?.
Selasa 30 Mei 2017,
Detiknews.com menerbitkan berita dengan judul “Polisi Tangkap Kawanan Geng
Motor Nyambi Begal Sadis di Bandung”. Polisi berhasil meringkus 14 pelaku, 4
orang diantaranya berusia dewasa dan 10
orang berusia belia mulai dari 15 sampai 17 tahun. Saat melakukan aksi begal,
para pelaku ini tak segan berbuat sadis. Berbekal senjata tajam dari mulai arit
hingga pisau daging, para pelaku nekat melukai korbannya.
Baru-baru ini juga, muncul berita mengenai kasus bullying terhadap siswi SMP di Thamrin City, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Video itu sempat viral di media sosial. Peristiwa tersebut terjadi pada Jum'at (14/7/2017) sekitar pukul 13.30 WIB di lantai 3A Thamrin City. Video berdurasi 50 detik itu menunjukkan sejumlah siswa SMP sedang mengelilingi satu siswi menggunakan seragam putih. Siswi berseragam putih itu mendapat kekerasan dari sejumlah siswa-siswi lainnya (Kompas.com edisi Senin, 17 Juli 2017, "Ini Kronologi 'Bullying' Siswi SMP di Thamrin City").
Jika anda merasa hal itu adalah kenakalan yang wajar, anda bisa menyaksikan videonya di Youtube. Saksikan dan renungkan!, betapa mengerikan perilaku anak-anak zaman sekarang.
Baru-baru ini juga, muncul berita mengenai kasus bullying terhadap siswi SMP di Thamrin City, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Video itu sempat viral di media sosial. Peristiwa tersebut terjadi pada Jum'at (14/7/2017) sekitar pukul 13.30 WIB di lantai 3A Thamrin City. Video berdurasi 50 detik itu menunjukkan sejumlah siswa SMP sedang mengelilingi satu siswi menggunakan seragam putih. Siswi berseragam putih itu mendapat kekerasan dari sejumlah siswa-siswi lainnya (Kompas.com edisi Senin, 17 Juli 2017, "Ini Kronologi 'Bullying' Siswi SMP di Thamrin City").
Jika anda merasa hal itu adalah kenakalan yang wajar, anda bisa menyaksikan videonya di Youtube. Saksikan dan renungkan!, betapa mengerikan perilaku anak-anak zaman sekarang.
Hasil pantauan KPAI
Tahun 2015 di 7 Provinsi dengan sampel 134 anak berhadapan dengan hukum (ABH)
yang berada di LAPAS ditemukan fakta sebagai pelaku pencurian 32%, pelaku
kekerasan seksual 30%, pelaku pembunuhan 21%. Hal ini menandakan bahwa
kerentanan anak menjadi pelaku tindak pidana tergolong tinggi (Detiknews.com
edisi rabu 29 Juni 2016).
Jika kita bandingkan
data di atas dengan keadaan anak-anak di sekitar kita, mungkin kita masih
bersyukur karena tingkah dan kelakuan anak-anak di sekitar kita belum separah
itu. Tapi bila kita geser sedikit skalanya, maka sering kita dapati anak-anak
yang ada di sekitar kita entah itu adik, keponakan, murid, atau bahkan anak
sendiri yang berlaku impulsif, agresif, sulit dinasehati, tidak sopan santun, serta
berlaku dan berbicara kasar. Dan jika perilaku itu tidak diperbaiki, tidak menutup
kemungkinan sifat-sifat tersebut akan terus berkembang dan mengarah pada
tindakan kriminal yang telah kita sebutkan di atas.
Hal itulah yang dikeluhkan oleh Yee-Jin
Shin, seorang spesialis anak terbaik di Korea. Ia menjumpai banyak anak-anak
yang bermasalah di kliniknya selama lebih dari dua puluh tahun. Yee-Jin Shin (2014: 17) mengatakan, “Anak-anak remaja zaman
sekarang membuat orang tua dan guru sangat kewalahan. Tingkat kenakalan mereka
hampir menyamai tingkat kejahatan. Semakin lama, semakin muda saja usia anak yang menjadi
pelaku kejahatan dan diganjar hukuman kriminal.”
Anak-anak yang seperti itu digelari oleh Yee-Jin Shin
sebagai anak “matang semu.”
Apa itu “matang semu”?.
Istilah
“matang semu” merujuk pada anak yang fisiknya berkembang sangat baik, tetapi
jiwanya tidak. Istilah ini digunakan karena anak-anak zaman sekarang cederung
impulsif, tidak tahu sopan santun, dan tidak memiliki rasa bersalah (Yee-Jin Shin, 2014: 28).
Lalu apa penyebabnya sehingga hal
tersebut bisa terjadi?.
Penyebab utamanya adalah karena anak tidak memiliki kecerdasan emosi yang baik. Dan di era sekarang ini, pengabaian terhadap kecerdasan emosi sering
disebabkan oleh penggunaan perangkat digital yang berlebihan pada anak.
Sebagaimana yang
disampaikan oleh Yee-Jin Shin (2014: 10), “anak
yang sudah kecanduan perangkat digital, mental mereka akan rusak. Memang,
mereka lebih cepat tumbuh besar dibandingkan anak-anak zaman dulu, tetapi jiwa mereka lambat
berkembang.”
Sumber gambar: https://bestcellphonespyapps.com |
Sederhananya, di masa perkembangannya,
seharusnya anak tidak hanya mengembangkan kecerdasan intelektual saja, tetapi juga
harus mengembangkan kecerdasan emosional. Seharusnya anak tidak hanya cerdas dalam
menalar, berbahasa, berhitung, dan menulis, tetapi yang tidak kalah penting adalah mereka
harus cerdas dalam menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan
terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegoisasi dengan orang lain
secara emosional, serta dapat menggunakan emosi sebagai alat memotivasi diri. (Howard
Gardner dalam Wikipedia mengenai kecerdasan
emosional).
Bagaimana perangkat digital bisa
menghambat perkembangan kecerdasan
emosi anak?.
Berikut adalah
penjelasan Yee-Jin Shin.
***
Lobus
Frontalis yang Tidak Mendapatkan Stimulus
Pemahaman emosi dan kemampuan berfikir
di dalam otak diperintah oleh otak besar. Otak besar terdiri atas Lobus Frontalis, Lobus Parientalis, Lobus Oksipitalis, dan Lobus Temporalis. Dalam otak besar, Lobus Frontalis menjalankan
fungsi pengambilan keputusan, pengendalian daya konsentrasi, pengendalian
emosi, dan lain-lain. Jadi dengan semakin berkembangnya Lobus Frontalis secara baik, maka seseorang
akan semakin bisa mengontrol perasaan dan emosinya dengan baik, memliki
moralitas yang tinggi, dan peduli
terhadap orang lain (Yee-Jin Shin, 2014: 131).
Namun, apabila anak
sedari kecil sudah sering diberi perangkat digital, maka Lobus Frontalis yang
berfungsi untuk mengontrol perasaan dan emosinya tadi jadi tidak berkembang.
Mengapa?.
Karena perangkat
digital pada dasarnya hanya memberikan stimulus terhadap Lobus Oksipitalis dan Parientalis yang berperan dalam
sudut pandang dan persepsi anak
saja. Sementara Lobus
Frontalis yang berguna untuk
perkembangan emosi, daya konsentrasi, dan daya pikirnya berkurang. Mengingat
prinsip otak anak hanya akan berkembang jika diberi stimulus, maka fungsi Lobus Frontalis yang tidak diberi stimulus akan
terhapus (Yee-Jin Shin, 2014: 131). Hal inilah yang akan
menyebabkan anak sulit untuk mengendalikan emosi mereka.
Perangkat digital tidak memberikan stimulus pada wilayah Lobus Frontalis |
Otak
anak akan menjadi Otak Popcorn (Popcorn
Brain)
Ada sebuah istilah unik
yang disebutkan oleh Yee-Jin Shin ketika menjelaskan dampak buruk yang dialami
oleh anak ketika menggunakan perangkat digital. Istilah itu adalah Popcorn Brain. Istilah tersebut
diberikan karena pada saat anak menggunakan perangkat digital, pendengaran dan
penglihatan mereka akan meletup-letup seperti jagung yang sedang diolah menjadi
Popcorn.
Sumber Gambar: food.detik.com |
Bagaimana penjelasannya
sehingga anak terkena Popcorn Brain?.
Saat menggunakan perangkat digital, anak
terpapar stimulus yang kuat pada indra penglihatan dan pendengarannya. Sinar
dan warna yang mencolok tersaji terus menerus. Selagi stimulus itu terus
berlanjut, situasinya berganti dengan cepat. Setiap kali ada tampilan baru,
setiap kali pula anak tidak bisa mengalihkan perhatiannya. Karena sering
terpapar dengan stimulus perangkat digital yang begitu kuat, anak tidak lagi
merespons stimulus lain yang tidak lebih kuat
dari perangkat digital. Tanpa sadar, otak anak
telah terkena Popcorn Brain
(Yee-Jin Shin, 2014: 124).
Otak yang dalam keadaan meletup-letup (Popcorn
Brain)
akan membuat anak selalu mencari hal-hal yang semakin brutal, impulsif, cepat
dan menarik. Akibatnya, daya konsentrasi dan daya ingat anak akan menurun
karena otaknya hanya akan mencari stimulus yang kuat. Jika kita amati
karakteristik anak Popcorn Brain
secara teliti, anak itu tidak bisa mengikuti pelajaran dengan sempurna karena
dia tidak sanggup berkonsentrasi dalam membaca
(Yee-Jin Shin, 2014: 125).
Multitasking
pada perangkat digital dan internet membuat anak sulit berkonsentrasi
Sistem
multitasking dalam perangkat digital juga menghambat konsentrasi anak. Hal ini disebakan oleh kemampuan internet dalam memberikan
informasi yang begitu banyak serta
kemampuan perangkat digital untuk berjalan dalam sistem multitasking. Akibatnya,
anak cenderung membuka bagian yang ia senangi, bukan yang ia perlukan. Misalkan niat awal anak
ingin mencari tugas sekolah,
tapi yang dibuka oleh anak malah game, video, musik, dan hiburan lainnya (Yee-Jin Shin, 2014: 152-155).
Perangkat
digital menggeser peran buku
Saat usia sembilan tahun, kemampuan berpikir abstrak
menjadi standar kemampuan belajar dan kematangan anak. Dan buku sangat berperan
penting untuk mengembangkan kemampuan berpikir abstrak anak karena ia harus
menafsirkan sendiri makna dari isi yang ada dalam buku. Beda dengan perangkat
digital, ia hanya memberikan informasi apa adanya. Di perangkat digital, anak
tidak perlu membayangkannya dan menafsirkannya. Sehingga anak yang kecanduan
perangkat digital akan mengalami kesulitan dalam perkembangan kemampaun
berpikir abstraknya (Yee-Jin Shin, 2014:
155-156).
Perangkat
digital tidak memunculkan trik memori anak
Selain itu, perangkat digital juga
menghambat anak remaja untuk melakukan trik memori. Belajar menggunakan
perangkat digital hanya menyisakan memori sesaat atau memori jangka pendek
karena anak tidak membutuhkan improvisasi dalam menyerap informasi yang ada (Yee-Jin Shin, 2014: 160).
***
PENTINGNYA
DIGITAL PARENTING
Kita dihadapakan pada
keadaan yang dilematis; di satu sisi, lajunya perkembangan teknologi tidak
terbendung lagi, semua aspek kehidupan sudah mendewakan perangkat digital
sebagai alat untuk mempermudah pekerjaan, baik itu di kantor, sekolah bahkan di
rumah. Tapi di sisi lain, ada anak yang harus kita lindungi dari dampak buruk perangkat
digital yang bisa menyerang kecerdasan emosi bahkan kecerdasan intelektual
mereka.
Untuk itu, diadakanlah
sebuah pola asuh anak untuk meminimalisir dampak buruk tersebut yaitu dengan
cara menerapkan digital parenting. Yee-Jin Shin
menyebutkan ada tujuh prinsip dalam digital parenting:
PERTAMA, harus
paham “kapan” memberika perangkat digital
kepada anak. Yee-Jin Shin menyarankan agar oraang tua tidak memberikan perangkat digital
kepada anak balita, walaupun hanya
sebentar (2014:114). Anak
dapat diberikan
perangkat digital jika dia setuju menggunakannya di bawah pengawasan orang tua.
Dalam hal ini, hubungan orang tua dengan anak harus baik terlebih dahulu sehingga
pengawasan orang tua kepada anak tidak dianggap pengekangan terhadap kebebasan mereka. Dan juga perlu
dipertimbangkan, orang tua baru bisa memberikan anak perangkat digital ketika anak
sudah berhasil mengatasi emosinya. (Yee-Jin
Shin, 2014: 205-207).
KEDUA,
“kualitas” lebih penting daripada “kuantitas”. Agar digital parenting
menjadi efektif, hal paling awal yang bisa kita
lakukan adalah menentukan peraturan yang jelas tentang kapan “waktu” yang tepat untuk anak bermain perangkat digital.
Berdasarkan pengalaman saya (Yee-Jin Shin), lebih efektif menggabungkan
waktunya sekaligus ke akhir pekan
daripada menjadwalkan setiap hari. Gejala kecanduan bisa saja tercipta secara
perlahan-lahan jika anak bermain perangkat digital setiap hari. Sementara jika kita menggabungkan waktu pemakaiannya
sekaligus di akhir pekan,
anak akan merasa lebih puas karena menganggap waktu bermainnya cukup lama. Dan
yang terpenting bukan “kuantitas” melainkan “kualitas”. Anak harus memanfaatkan
waktu yang telah diberikan dengan kegiatan yang berkualitas, game yang ia
mainkan, situs yang buka, video yang ia tonton dan sebagainya (Yee-Jin Shin, 2014: 207-208).
KETIGA, tentukan sanksi bila anak
melanggar janjinya. Sebaiknya kita
mendiskusikan isi dan ketentuan
sanksi dengan anak terlebih dulu
sebelum kita memberinya perangkat digital.
Jika kita ingin agar anak kita benar-benar menjalankan peraturan
tersebut, buatlah pernyataan tertulis dan pasang di tempat yang mudah dilihat.
KEEMPAT,
jelaskan alasan diterapkannya peraturan. Kita
harus menjelaskan alasan
dibuatnya peraturan dan batasan penggunaan perangkat digital dengan benar. Dengan begitu,
anak merasa perlu
untuk menepatinya. Jika kita
memberitahunya tanpa penjelasan yang konkret dan secara sepihak, anak bisa
melawan (Yee-Jin Shin, 2014:
212).
KELIMA,
berbagilah pengalaman tentang perangkat digital dengan anak. Misalnya, saat
anak sedang main game di ponsel cerdasnya, kita
bisa mengajaknya ngobrol
dengan cara menunjukkan minat dan perhatian terhadap apa yang sedang anak
lakukan (Yee-Jin Shin, 2014: 213).
KEENAM,
libatkan seluruh anggota keluarga. Digital parenting akan berhasil jika semua
anggota keluarga dilibatkan. Jika ada satu orang yang tidak berpartisipasi,
semua upaya akan sia-sia. Oleh karena itu, semua pihak harus mengikuti
peraturan tanpa terkecuali. Bahkan ketika kita
harus menitipkan anak kepada orang lain karena kita harus bekerja, kita perlu meminta orang tersebut untuk mengikuti peraturan
yang telah ditetapkan (Yee-Jin Shin, 2014:
215).
KETUJUH,
mintalah bantuan psikiater jika orang tua tidak bisa mengatasinya atau ketika anak sudah berada pada tahap yang
membahayakan akibat perangkat digital seperti kecanduan dan sebagainya (Yee-Jin
Shin, 2014: 217).
TERKAHIR,
di luar dari prinsip digital parenting di atas, Yee-Jin Shin juga berulangkali
menyampaikan bahwa di masa balita, orang tua terutama Ibu harus megembangkan
kecerdasan emosi anak agar anak tidak tumbuh menjadi “matang semu”. Seorang Ibu harus mengajarkan anak
untuk bisa bereempati dengan cara memberikan perhatian
kepada anaknya, seorang Ibu harus mengajarkan
anak untuk dapat merespon keadaan (kapan harus tertawa bahagia dan kapan harus
sedih), dan memberikan kasih sayang kepada anak,
sehingga antara Ibu
dan anak tercipta ikatan emosional yang kuat. Di masa inilah emosi anak akan
tumbuh dan berkembang dengan baik. Sebaliknya, jika di masa balita, anak sudah diberi perangkat digital dan sering
diabaikan oleh Ibunya,
maka kecerdasan emosi anak tidak berkembang, dan akhirnya anak menjadi “matang semu”.
Sumber Gambar: Zahrafirda.com |