Jumat, 25 Desember 2015

Surat Dari Sesama Mahasiswa


Suasana kelas berubah riuh, masing-masing mahasiswa berargumen dan memberikan pendapat. Tidak peduli pendapatnya logis atau tak logis yang penting ikut nimbrung memberikan opini plus solusi. Bahkan tak jarang kegiatan diskusi menjadi debat kusir. Isu yang dibahas waktu itu adalah tentang pendidikan Islam.
Begitulah kira-kira suasana kelas para mahasiswa terutama mahasiswa pendidikan agama Islam ketika membahas isu-isu mengenai pendidikan. Model dan metode perkuliahan pada semua mata kuliah hampir sama. Dosen datang, kasi tugas buat makalah, kemudian minggu depan presentasi sekalian didiskusikan.
Itulah penampakan ketika berada di bangku kuliah. Beda dengan pada saat jadi siswa baik di bangku SD, SMP, SMA. Semua serba diajari, kalaupun ada diskusi atau debat, pembelajaran tetap berlangsung sepi dan minus akan pendapat dari setiap siswa.
Makanya tugas guru dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Sementara tugas dosen mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Jika guru tugasnya sangat detail dan kompleks, dosen tidaklah seperti itu dalam pembelajaran, sehingga yang aktif haruslah mahasiswa.
Tapi pola pikir kebanyakan mahasiswa dalam menanggapi sikap dosen dalam memberikan pembelajaran masihlah sama ketika jadi siswa. Pembuatan makalah dan pendiskusian hanya berlangsung di dalam kelas dan tak pernah dikembangkan lagi di luar kelas. Dosen masih dianggap sama seperti guru, yang mana kehadirannya selalu ditunggu dan menganggap pada saat mata kuliah berlangsung, pada saat itulah pembelajaran diadakan.
Apa yang dosen lakukan dengan memberikan tugas dan melakukan pendiskusian hanyalah stimulus, berharap mahasiswa terangsang pikirannya untuk mencari tau lebih banyak atau mengeksplor pengetahuan yang ia dapatkan dalam pembelajaran di kelas. Harapannya di luar kelas kegiatan pembelajaran lebih lagi di banding di dalam kelas, harapannya pembelajaran tidak hanya berhenti saat itu saja.
Mungkin bagi banyak mahasiswa, stimulus yang diberi dosen tidak berhasil, tapi untukku sepertinya bekerja lumayan. Hal ini bermula dari ketika aku dan teman-teman membahas mengenai pemikiran para tokoh pendidikan Islam. Setelah semua bahan dipresentasikan, masuklah sesi tanya jawab. Aku menjadi salah satu orang yang mengangkat tangan dan memberikan pertanyaan. Pertanyaan yang cukup simpel namun punya jawaban yang cukup berat. Pertanyaannya kurang lebih seperti ini “para tokoh islam membahas pendidikan Islam yang sangat-sangat ideal, tujuan pendidikannya bagus, metodenya bagus, isi pendidikannya bagus, tidak mendikotomikan ilmu, evaluasinya bagus, tapi mengapa wajah pendidikan Islam kita saat ini masih buram terbukti dengan akhlak remaja (peserta didik) yang jauh dari apa yang diharapkan, dimana salahnya pendidikan kita?. memang agak panjang, tapi kesimpulan pertanyaannya sederhana, mengapa pendidikan kita masih belum berhasil?, itu saja.
Dari mahasiswa pemateri sampai dosen tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Sehingga pertanyaan ini juga harus ku jawab dan cari sendiri. Dari kegiatan perkuliahan seperti itulah yang aku bilang sebagai stimulus, kegiatan perkuliahan tidak hanya berhenti sampai di kelas saja, akan tetapi berlanjut sampai di manapun mahasiswa berada.
Semenjak itu, aku jadi orang yang mau membaca buku, padahal sebelumnya, di saat sekolah, buku adalah sesuatu yang asing bagiku. Paling banter buku yang dibaca adalah buku fiksi seperti novel atau komik naruto. Untuk menjawab pertanyaan tersebut aku mencoba mencari buku-buku yang membahas isu mengenai pendidikan.
Dari beberapa buku aku melihat bahwa ada banyak hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan dari suatu pendidikan, salah satunya adalah politik. Akhirnya aku eksplor buku-buku yang bertemakan politik terutama yang oposisi terhadap pemerintah. Muncullah dalam koleksi buku ku yaitu bukunya Fuad Bawazier yang berjudul Republik akal-akalan, kemudian ku baca juga bukunya Imam Ratrioso yang berjudul Rakyat Enggak Jelas, buku Tohir Bawazir dengan judul jalan tengah demokrasi. Mereka memberi komentar terhadap sistem pemerintah yang masih carut marut.
Ku baca-baca lagi, ternyata media juga turut mempengaruhi pendidikan kita. maka buku-buku yang bertemakan media menjadi santapan, seperti bukunya AM. Waskito (Invasi Media Melanda Kehidupan Umat), Muhammad Fadhilah Zein (Kezaliman media massa terhadap umat Islam), Yovantra Arief dkk (Orde Media), Abu bakar fahmi (mencerna situs jejaring sosial), Sinyo (generasi penipu), O. Solihin (sosmed addict).
Selain itu, aku juga melihat adanya konspirasi di balik ini semua. Maka langsung buku-buku yang bertemakan konspirasi ku lahap juga, seperti buku Jagad A. Purbawati (New world order dan pemerintahan bayangan), A. Ralph Epperson (new world order) dan Jerry D Gray (Deadly mist).
Selain itu aku melihat perpecahan diantara umat Islam juga memberi pengaruh terhadap mandeknya (berhenti) pendidikan kita. maka buku-buku yang berbau pemikiran golongan islam menjadi koleksi seperti buku Artawijaya (Indonesia tanpa liberal), Akhmad Sahal Munawir Aziz (Islam Nusantara), Achmad Satori Ismail dkk (Islam Moderat) Al Makin (antara barat dan timur), Ahmad Rusydi (syiah dan tarekat sufi), Fahmi Salim (tafsir sesat), Hisanori Kato (Islam di mata orang jepang), Muhammad bin Sa’ad (sejarah wahabi), Graham E Fuller (Apa jadinya dunia tanpa islam?).
Sampai konflik internasional juga kurasa memberi dampak atau dapat memberi jawaban tentang kegagalan pendidikan kita, karena bisa jadi penyebab konfilk internasional juga sama dengan penyebab kegagalan pendidikan kita. seperti buku Dina y sulaiman (Prahara Suriah), Yanuardi Syukur (presiden Mursi), AM. Waskito (Tragedi charlie hebdo).
Selain membaca hal-hal yang penuh dengan komentar dan opini, aku juga merasa harus membaca hal-hal ideal mengenai pendidikan kita. Masuklah buku mantan menteri pendidikan kita yaitu M. Nuh (Menyemai kreator peradaban), buku pak menteri pendidikan yang sekarang, Anies Baswedan (merawat tenun kebangsaan), dan buku Tim PGRI (pendidikan untuk transformasi bangsa), Forum Mangunwijaya (Kurikulum 2013).
Hasilnya bahwa pendidikan kita gagal karena banyak sebab, politik pemerintahan kita masih carut marut, media yang masih mementingkan keuntungan koorporasinya saja, kemudian umat islam yang masih sibuk mengurusi perbedaan dan perpecahan sehingga tenaganya terkuras pada hal-hal sepele yaitu mencaci maki antar sesama. Dari itu semua aku melihat bahwa ada sekelompok orang yang menjadi dalang sehingga politik kita carut marut, media menjadi panutan yang merusak, ekonomi melemah, dan pemikiran liberal merajalela. Sekelompok orang inilah yang kita kenal dengan konspirator atau sering dikenal dengan zionis.
Dari sebuah diskusi kelas, aku menjadi orang yang berubah. aku tak pernah menduga akan tertarik dengan dunia politik, aku tak pernah menduga tertarik dengan dunia media, aku tak pernah menduga akan penasaran dengan dunia konspirasi, aku juga tak pernah menyangka akan membeli buku mengenai perpecahan di kalangan umat islam. Semua itu tentu saja karena stimulus dari sebuah diskusi yang diadakan dosen di kampus berhasil merasuk pikiranku. Ditambah dengan pertanyaan yang tak terjawab sebelumnya.
Hal inilah yang kuinginkan kepada semua mahasiswa di Indonesia. Kita mau belajar tidak hanya di kelas, diskusi-diskusi yang ada di kelas menjadi landas pacu untuk belajar di luar kelas. kita mau membuka wawasan mengenai dunia ini, kita mau meluangkan pikiran untuk memikirkan tentang kondisi bangsa ini. waktu akan terus berlalu, para pemerintah yang sekarang akan digantikan anak-anak muda saat ini. apa jadinya indonesia masa depan jika tak ada kemauan kuat untuk memperbaiki negara dari anak muda masa kini?.
Untuk meluaskan wawasan mengenai permasalah negara ini salah satunya tadi adalah dengan membaca buku. Budaya membaca di kalangan pelajar indonesia masih jauh kalah dibanding dengan budaya membaca di negara-negara maju. Aku setuju bahwa membaca tak buat kita jadi kaya atau sukses dalam bidang bisnis, membaca tidak membuat kita jadi cepat lulus kuliah, membaca tak langsung membuat kita berprestasi di kampus, tapi membaca itu menumbuhkan kepekaan dan kepedulian. Membaca itu menumbuhkan sikap empati. Ini yang penting, bagaimana kita mau bermanfaat buat bangsa ini, kalau sikap peduli kita pada permasalahan bangsa saja tidak ada. maka untuk menumbuhkan kepedulian itu adalah dengan membaca.
Pada saat aku baca buku di tengah teman-teman, mereka sering nanya “ngapa sih kamu suka baca buku ini buku itu?”, seharusnya pertanyaan ini dilemparkan balik kepada mereka, “mengapa sih kamu tidak pernah mau membaca?”, mengapa sih kamu sukanya foto selfie terus diupload ke medsos?, mengapa sih kamu mengisi waktu luang dengan scrol-scrol medsos sampai berjam-jam?”, yang seperti itu justru dipertanyakan, mengapa kita mampu menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia?, karena itu adalah masalah dan patut untuk diteliti dan dipertanyakan.
Akhirnya, tulisan ini seperti curhatan nggak jelas. Tapi ada keinginan dari penulis untuk mahasiswa, siswa, generasi muda untuk merubah sikap kita, merubah kebiasaan kita, merubah pola pikir kita, yang mana tingkah laku kita sepertinya tidak memperlihatkan sebagai generasi penerus yang baik. Untuk merubah itu, mulai dari yang sederhana yaitu membaca buku, karena membaca membuka kepedulian kita terhadap problem bangsa ini. untuk saat ini mau peduli dan berpikir tentang masalah bangsa ini sudah bagus karena itu adalah modal kita untuk bisa memperbaiki bangsa ini ke depannya.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar