Suasana kelas berubah riuh, masing-masing
mahasiswa berargumen dan memberikan pendapat. Tidak peduli pendapatnya logis
atau tak logis yang penting ikut nimbrung memberikan opini plus solusi. Bahkan tak
jarang kegiatan diskusi menjadi debat kusir. Isu yang dibahas waktu itu adalah
tentang pendidikan Islam.
Begitulah kira-kira suasana kelas para
mahasiswa terutama mahasiswa pendidikan agama Islam ketika membahas isu-isu
mengenai pendidikan. Model dan metode perkuliahan pada semua mata kuliah hampir
sama. Dosen datang, kasi tugas buat makalah, kemudian minggu depan presentasi
sekalian didiskusikan.
Itulah penampakan ketika berada di bangku
kuliah. Beda dengan pada saat jadi siswa baik di bangku SD, SMP, SMA. Semua serba
diajari, kalaupun ada diskusi atau debat, pembelajaran tetap berlangsung sepi
dan minus akan pendapat dari setiap siswa.
Makanya tugas guru dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen adalah mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Sementara
tugas dosen mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni. Jika guru tugasnya sangat detail dan kompleks,
dosen tidaklah seperti itu dalam pembelajaran, sehingga yang aktif haruslah
mahasiswa.
Tapi pola pikir kebanyakan mahasiswa
dalam menanggapi sikap dosen dalam memberikan pembelajaran masihlah sama ketika
jadi siswa. Pembuatan makalah dan pendiskusian hanya berlangsung di dalam kelas
dan tak pernah dikembangkan lagi di luar kelas. Dosen masih dianggap sama
seperti guru, yang mana kehadirannya selalu ditunggu dan menganggap pada saat
mata kuliah berlangsung, pada saat itulah pembelajaran diadakan.
Apa yang dosen lakukan dengan memberikan
tugas dan melakukan pendiskusian hanyalah stimulus, berharap mahasiswa
terangsang pikirannya untuk mencari tau lebih banyak atau mengeksplor
pengetahuan yang ia dapatkan dalam pembelajaran di kelas. Harapannya di luar
kelas kegiatan pembelajaran lebih lagi di banding di dalam kelas, harapannya pembelajaran
tidak hanya berhenti saat itu saja.
Mungkin bagi banyak mahasiswa, stimulus
yang diberi dosen tidak berhasil, tapi untukku sepertinya bekerja lumayan. Hal ini
bermula dari ketika aku dan teman-teman membahas mengenai pemikiran para tokoh pendidikan
Islam. Setelah semua bahan dipresentasikan, masuklah sesi tanya jawab. Aku menjadi
salah satu orang yang mengangkat tangan dan memberikan pertanyaan. Pertanyaan yang
cukup simpel namun punya jawaban yang cukup berat. Pertanyaannya kurang lebih
seperti ini “para tokoh islam membahas pendidikan Islam yang sangat-sangat
ideal, tujuan pendidikannya bagus, metodenya bagus, isi pendidikannya bagus,
tidak mendikotomikan ilmu, evaluasinya bagus, tapi mengapa wajah pendidikan
Islam kita saat ini masih buram terbukti dengan akhlak remaja (peserta didik)
yang jauh dari apa yang diharapkan, dimana salahnya pendidikan kita?. memang
agak panjang, tapi kesimpulan pertanyaannya sederhana, mengapa pendidikan kita
masih belum berhasil?, itu saja.
Dari mahasiswa pemateri sampai dosen
tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Sehingga pertanyaan ini juga harus ku
jawab dan cari sendiri. Dari kegiatan perkuliahan seperti itulah yang aku
bilang sebagai stimulus, kegiatan perkuliahan tidak hanya berhenti sampai di
kelas saja, akan tetapi berlanjut sampai di manapun mahasiswa berada.
Semenjak itu, aku jadi orang yang mau
membaca buku, padahal sebelumnya, di saat sekolah, buku adalah sesuatu yang
asing bagiku. Paling banter buku yang dibaca adalah buku fiksi seperti novel
atau komik naruto. Untuk menjawab pertanyaan tersebut aku mencoba mencari
buku-buku yang membahas isu mengenai pendidikan.
Dari beberapa buku aku melihat bahwa ada
banyak hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan dari suatu pendidikan, salah
satunya adalah politik. Akhirnya aku eksplor buku-buku yang bertemakan politik
terutama yang oposisi terhadap pemerintah. Muncullah dalam koleksi buku ku
yaitu bukunya Fuad Bawazier yang berjudul Republik akal-akalan, kemudian
ku baca juga bukunya Imam Ratrioso yang berjudul Rakyat Enggak Jelas,
buku Tohir Bawazir dengan judul jalan tengah demokrasi. Mereka memberi komentar
terhadap sistem pemerintah yang masih carut marut.
Ku baca-baca lagi, ternyata media juga
turut mempengaruhi pendidikan kita. maka buku-buku yang bertemakan media
menjadi santapan, seperti bukunya AM. Waskito (Invasi Media Melanda
Kehidupan Umat), Muhammad Fadhilah Zein (Kezaliman media massa terhadap
umat Islam), Yovantra Arief dkk (Orde Media), Abu bakar fahmi (mencerna
situs jejaring sosial), Sinyo (generasi penipu), O. Solihin (sosmed
addict).
Selain itu, aku juga melihat adanya
konspirasi di balik ini semua. Maka langsung buku-buku yang bertemakan
konspirasi ku lahap juga, seperti buku Jagad A. Purbawati (New world order dan
pemerintahan bayangan), A. Ralph Epperson (new world order) dan
Jerry D Gray (Deadly mist).
Selain itu aku melihat perpecahan
diantara umat Islam juga memberi pengaruh terhadap mandeknya (berhenti)
pendidikan kita. maka buku-buku yang berbau pemikiran golongan islam menjadi
koleksi seperti buku Artawijaya (Indonesia
tanpa liberal), Akhmad Sahal Munawir Aziz (Islam Nusantara), Achmad
Satori Ismail dkk (Islam Moderat) Al Makin (antara barat dan timur),
Ahmad Rusydi (syiah dan tarekat sufi), Fahmi Salim (tafsir sesat),
Hisanori Kato (Islam di mata orang jepang), Muhammad bin Sa’ad (sejarah
wahabi), Graham E Fuller (Apa jadinya dunia tanpa islam?).
Sampai konflik internasional juga kurasa
memberi dampak atau dapat memberi jawaban tentang kegagalan pendidikan kita,
karena bisa jadi penyebab konfilk internasional juga sama dengan penyebab
kegagalan pendidikan kita. seperti buku Dina y sulaiman (Prahara Suriah),
Yanuardi Syukur (presiden Mursi), AM. Waskito (Tragedi charlie hebdo).
Selain membaca hal-hal yang penuh dengan
komentar dan opini, aku juga merasa harus membaca hal-hal ideal mengenai
pendidikan kita. Masuklah buku mantan menteri pendidikan kita yaitu M. Nuh (Menyemai
kreator peradaban), buku pak menteri pendidikan yang sekarang, Anies Baswedan
(merawat tenun kebangsaan), dan buku Tim PGRI (pendidikan untuk
transformasi bangsa), Forum Mangunwijaya (Kurikulum 2013).
Hasilnya bahwa pendidikan kita gagal
karena banyak sebab, politik pemerintahan kita masih carut marut, media yang
masih mementingkan keuntungan koorporasinya saja, kemudian umat islam yang
masih sibuk mengurusi perbedaan dan perpecahan sehingga tenaganya terkuras pada
hal-hal sepele yaitu mencaci maki antar sesama. Dari itu semua aku melihat
bahwa ada sekelompok orang yang menjadi dalang sehingga politik kita carut
marut, media menjadi panutan yang merusak, ekonomi melemah, dan pemikiran
liberal merajalela. Sekelompok orang inilah yang kita kenal dengan konspirator
atau sering dikenal dengan zionis.
Dari sebuah diskusi kelas, aku menjadi
orang yang berubah. aku tak pernah menduga akan tertarik dengan dunia politik,
aku tak pernah menduga tertarik dengan dunia media, aku tak pernah menduga akan
penasaran dengan dunia konspirasi, aku juga tak pernah menyangka akan membeli
buku mengenai perpecahan di kalangan umat islam. Semua itu tentu saja karena
stimulus dari sebuah diskusi yang diadakan dosen di kampus berhasil merasuk
pikiranku. Ditambah dengan pertanyaan yang tak terjawab sebelumnya.
Hal inilah yang kuinginkan kepada semua
mahasiswa di Indonesia. Kita mau belajar tidak hanya di kelas, diskusi-diskusi
yang ada di kelas menjadi landas pacu untuk belajar di luar kelas. kita mau membuka
wawasan mengenai dunia ini, kita mau meluangkan pikiran untuk memikirkan
tentang kondisi bangsa ini. waktu akan terus berlalu, para pemerintah yang
sekarang akan digantikan anak-anak muda saat ini. apa jadinya indonesia masa
depan jika tak ada kemauan kuat untuk memperbaiki negara dari anak muda masa
kini?.
Untuk meluaskan wawasan mengenai
permasalah negara ini salah satunya tadi adalah dengan membaca buku. Budaya membaca
di kalangan pelajar indonesia masih jauh kalah dibanding dengan budaya membaca
di negara-negara maju. Aku setuju bahwa membaca tak buat kita jadi kaya atau
sukses dalam bidang bisnis, membaca tidak membuat kita jadi cepat lulus kuliah,
membaca tak langsung membuat kita berprestasi di kampus, tapi membaca itu
menumbuhkan kepekaan dan kepedulian. Membaca itu menumbuhkan sikap empati. Ini yang
penting, bagaimana kita mau bermanfaat buat bangsa ini, kalau sikap peduli kita
pada permasalahan bangsa saja tidak ada. maka untuk menumbuhkan kepedulian itu
adalah dengan membaca.
Pada saat aku baca buku di tengah
teman-teman, mereka sering nanya “ngapa sih kamu suka baca buku ini buku itu?”,
seharusnya pertanyaan ini dilemparkan balik kepada mereka, “mengapa sih kamu
tidak pernah mau membaca?”, mengapa sih kamu sukanya foto selfie terus diupload
ke medsos?, mengapa sih kamu mengisi waktu luang dengan scrol-scrol medsos
sampai berjam-jam?”, yang seperti itu justru dipertanyakan, mengapa kita mampu
menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia?, karena itu adalah masalah dan patut
untuk diteliti dan dipertanyakan.
Akhirnya, tulisan ini seperti curhatan
nggak jelas. Tapi ada keinginan dari penulis untuk mahasiswa, siswa, generasi
muda untuk merubah sikap kita, merubah kebiasaan kita, merubah pola pikir kita,
yang mana tingkah laku kita sepertinya tidak memperlihatkan sebagai generasi
penerus yang baik. Untuk merubah itu, mulai dari yang sederhana yaitu membaca
buku, karena membaca membuka kepedulian kita terhadap problem bangsa ini. untuk
saat ini mau peduli dan berpikir tentang masalah bangsa ini sudah bagus karena
itu adalah modal kita untuk bisa memperbaiki bangsa ini ke depannya.
0 komentar:
Posting Komentar