Rabu, 30 Desember 2015

MEMORIAN MAHASISWA



Sore tadi sekitar pukul 16.00 wib, aku melihat teman sedang membuka media sosial facebook, ia sedang melihat beranda untuk mencari informasi yang diinginkan. Sampai pada satu momen ia memberi tahuku tentang kawan lama yang mengepost status di facebook tentang masa-masa kelahiran anaknya.

Teman yang posting status itu adalah teman kuliah juga. Sudah sekitar 1 tahun ia berhenti kuliah. Di kelas ia dikenal dengan seorang yang aktif plus kritis. Hampir di setiap diskusi ia selalu melemparkan pertanyaan kepada pemateri dengan pertanyaan yang panjang dan susah untuk dijawab. Di akhir-akhir pertemuan kami, sebelum berhenti kuliah ia pernah bilang, bahwa tujuan pertanyaannya itu hanya sekedar menguji dan membuat suasan kelas agar aktif. Jika itu tujuan ia bertanya pada setiap sesi diskusi, maka aku berhak menggelarnya sebagai inspirator kelas, karena berkat trik itu, para mahasiswa yang lain mau mengeluarkan idenya untuk disampaikan di arena diskusi.

Ada satu hal yang masih kuingat tentang jiwa kritisnya pada saat kuliah. Ia selalu bertanya kepada teman-teman tentang apa pentingnya kuliah?. Orang bilang kuliah bisa membuka wawasan, mengubah cara pandang dan hal lainnya, tapi banyak orang yang tidak kuliah malah yang lebih sukses. Ia seperti socrates yang menghampiri seseorang, bertanya, kemudian orang itu bingung dan socrates pun lari, begitulah kira-kira tingkahnya. Pertanyaan-pertanyaan ini ia tanyakan kepada hampir setiap mahasiswa yang ia temui termasuk aku.

Ada banyak respon dari teman-teman tentang pertanyaanya. Ada yang acuh tak acuh, ada yang malah bertanya balik kepadanya, dan ada juga yang peduli dengan menjawab penuh hikmat. Bahkan ketika pertanyaan itu digilir kepadaku, aku menjawab, namun aku sendiri tidak yakin akan kebenaran jawaban tersebut, karena ia tidak memperlihatkan kepuasan atas jawabanku dengan cara mengerutkan dahinya sambil memandangku dengan pandangan yang merendahkan.

Waktu terus berlalu sampai dia sekarang sudah tidak lagi berada di kampus karena berhenti kuliah. Pertanyaan itu ku maklumi dan sangat wajar ditanyakan karena faktanya memang demikian. Kita tidak perlu sebuah penelitian untuk membuktikan ini, cukup hanya dengan memandang sekelilig kita yang mahasiswa bagaimana pandangan kita tentang mahasiswa sekarang kebanyakan. jika di dunia maya kita bisa melihat sesama teman kita yang mahasiswa, seberapa banyak ia memposting sesuatu yang berkaitan dengan urusan kuliahnya?, tentang pemikiran yang sedang bercokol di otaknya karena sukanya ia dengan mata kuliah filsafat?. Seringkah kita melihat kawan yang kuliah memposting penemuan atau penelitian terkait perkuliahannya?, seringkah kita melihat kawan yang kuliah mengupload kegiatan perkuliahan mereka (bukan sekedar narsis)?, jawabannya mungkin tidak banyak mahasiswa yang seperti itu.

Di media sosial kita akan banyak melihat teman-teman yang sudah bergelar mahasiswa lebih suka pamer hobi yang sangat jauh sekali dari hal akademis. Posting wisata kuliner, posting kegiatan shopping di mall, posting aktivitas pacaran, posting tempat liburan dan rekreasi, posting event-event hiburan, dan paling sering juga selfie dengan dandanan yang menarik perhatian.

Apakah hal itu memperlihatkan mereka sebenarnya?, apakah itu memang benar karakter mereka?, apakah itu memang cerminan dari keseharian mereka?, mungkin saja itu hanya di dunia maya sedangkan di dunia nyata mereka adalah orang yang bertolak belakang dengan fakta yang ada di media sosial mereka. kalau kita menggunakan sebuah penelitian, maka kita gunakan penelitian Mitja D. Back seorang pengajar psikologi di Johannes Gutenberg-University Of Mainz. Penelitiannya menyimpulkan bahwa di media sosial orang akan memperlihatkan diri mereka apa adanya. Dalam artian, itulah mereka sebenarnya, itulah karakter mereka, itulah sikap mereka, itulah watak mereka, walaupun secara fisik mungkin ada hal yang dihias atau diedit agar memperindah postingan. Penjelasan ini bisa dilihat di buku Abu Bakar Fahmi berjudul “mencerna situs jejaring sosial”.

Penelitian itu cukup untuk menyingkat tulisan ini bahwa di dunia nyata, mahasiswa sama seperti apa yang mereka lakukan di dunia maya atau media sosial. Kesimpulannya mahasiswa masih sangat jauh dari yang diharapkan. oleh karena itu, pertanyaan dari teman kuliah itu bisa dimaklumi yaitu “apa pentingnya kuliah?”, apakah kuliah bisa merubah cara pandang?”, apakah kuliah bisa menambah wawasan?”.

Kalaulah cara pandang atau wawasan kita samakan dengan pengetahuan kita tentang 1+1=2, maka di perkuliahan kita sudah menambah banyak cara pandang dan wawasan. Sehingga pertanyaan kawanku itu bisa kita jawab secara bersama-sama, “kuliah sudah memberi kami wawasan dan mengubah cara pandang kami”. Tapi, jika wawasan dan cara pandang adalah lebih dari sekedar 1+1=2, atau pengetahuan sejenisnya, maka jawabannya bisa berbeda.

Wawasan dan cara pandang lebih luas dari sekedar pengetahuan. Wawasan dan cara pandang bukan sekedar ilmu yang didapatkan dari dosen dan belajar di kelas, tetapi wawasan dan cara pandang lebih menuju ke arah yang lebih kompleks, muncul dari permasalahan yang luas dan banyak terjadi, kemudian mencari jawabannya, mengumpulkan alternatif-alternatif jawaban, sehingga mengahsilkan sudut pandang yang baru untuk menilai permasalahan tersebut.

Misalkan dalam dunia pendidikan, seorang mahasiswa punya sesuatu yang mengganjal tentang pelaksanaan ujian nasional, ia mencari tahu apa akar masalahnya dengan menelisik jauh tentang ujian nasional, pelaksanaannya, dampaknya, kenyataan di lapangan, menganalisis dengan beberapa pendapat yang ada dan kemudian menghasilkan cara pandang terhadap ujian nasional tersebut, apakah perlu atau tidak penyelenggaraan ujian nasional?.

Wawasan dan cara pandang tidaklah kegiatan rutin di kelas antara dosen dan mahasiswa, mahasiswa mengerjakan makalah, mempresentasikan kemudian selesai tanpa memperluas pembahasan tersebut di lingkungan masing-masing. Wawasan dan cara pandang juga bukan seperti kegiatan praktik lapangan, mengerjakan sesuai koridor, patuh, buat laporan selesai, tanpa ada sesuatu yang dievaluasi dan kemudian diangkat ke permukaan sehingga dirasakan permasalahannya oleh para akademisi. Jika mahasiswa berusaha mencapai nilai yang baik, selesai cepat, lulus kemudian kerja, maka kampus hanya menjadi tempat pelatihan kerja, bukan untuk mengubah cara pandang. Hal ini terus terjadi berkali-berkali sehingga tidak ada yang berubah dari dulu hingga sekarang, maka bisa disimpulkan, mahasiswa kuliah tidak untuk mengubah cara pandang akan tetapi untuk bisa kerja di instansi perusahaan atau pemerintahan.

Tidak ada yang beda dari mahasiswa dan pekerja, cara pandangnya tetaplah sama, tidak ada rasa kritis, tidak ada jiwa akademis, tidak produktif dalam hal beropini di publik, tidak ada semangat untuk peduli terhadap masalah bangsa dan negara, terbukti dengan status dan postingannya di media sosial yang melulu hanya memamerkan tentang food, fun, and fashion yang sedang di gelutinya.

Di akhir tulisan ini, maka jawaban teman lama saya bisa terjawab bahwa kuliah memang tidak merubah cara pandang mahasiswa, kuliah hanya perantara antara mereka dengan dunia kerja. Setelah kuliah atau pada saat kuliah, mereka menutup mata akan kondisi sekitar dan fokus pada hal-hal yang bersifat karir, karir dan karir. Egois. Selain itu, saya ingin menambahkan atas jawaban saya yang kurang kepada teman lama saya di postingan ini.

Tambahannnya adalah, kondisi mahasiswa sekarang, bisa dibilang wajar, karena kuatnya arus globalisasi masuk ke negara kita lewat internet dan sebagainya. Produk luar negeri yang masuk tidak hanya barang tapi juga budaya, masyarakat kita terutama mahasiswa kalap menghadapi hal seperti ini. apakah ini berbahaya? Sebenarnya tidak berbahaya, karena sah-sah saja pria memakai jeans punyanya orang barat, sah-sah saja remaja kita pakai smartphone dan berselancar di dunia maya, sah-sah saja kita selfie atau groufie dengan kawan-kawan. Tapi hal tersebut bersifat melenakan sehingga tidak sedikit kawan-kawan kita yang mahasiswa lupa apa yang seharusnya mereka lakukan.

Kuliah yang sebenarnya tidak hanya pelatihan kerja menjadi terbatas fungsinya hanya menjadi tempat pelatihan kerja. Padahal jika kita melihat sejarah, para mahasiswa adalah sebuah gerakan yang tidak hanya merubah dirinya pribadi tetapi juga dapat merubah bangsa. Dulu pemuda tidak hanya menjadi tenaga kerja, tetapi mereka berjuang dengan penuh semangat untuk merebut kemerdekaan. Itu semua mereka lakukan berkat pendidikan. mereka sadar betul fungsi pendidikan tidak hanya memberikan mereka pengetahuan tentang pekerjaan tetapi juga membuka pikiran mereka dan wawasan mereka tentang sebuah kemerdekaan.

Apakah hal ini masih relevan? Tentu saja, karena saat ini negara kita masih pesakitan dengan segala macam permasalahan yang dihadapi, sudah saatnya pemuda peduli, sudah saatnya pemuda ambil kendali karena sejarah membuktikan bahwa setiap kemenangan ada usaha pemuda di dalamnya.

Share:

Jumat, 25 Desember 2015

Surat Dari Sesama Mahasiswa


Suasana kelas berubah riuh, masing-masing mahasiswa berargumen dan memberikan pendapat. Tidak peduli pendapatnya logis atau tak logis yang penting ikut nimbrung memberikan opini plus solusi. Bahkan tak jarang kegiatan diskusi menjadi debat kusir. Isu yang dibahas waktu itu adalah tentang pendidikan Islam.
Begitulah kira-kira suasana kelas para mahasiswa terutama mahasiswa pendidikan agama Islam ketika membahas isu-isu mengenai pendidikan. Model dan metode perkuliahan pada semua mata kuliah hampir sama. Dosen datang, kasi tugas buat makalah, kemudian minggu depan presentasi sekalian didiskusikan.
Itulah penampakan ketika berada di bangku kuliah. Beda dengan pada saat jadi siswa baik di bangku SD, SMP, SMA. Semua serba diajari, kalaupun ada diskusi atau debat, pembelajaran tetap berlangsung sepi dan minus akan pendapat dari setiap siswa.
Makanya tugas guru dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Sementara tugas dosen mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Jika guru tugasnya sangat detail dan kompleks, dosen tidaklah seperti itu dalam pembelajaran, sehingga yang aktif haruslah mahasiswa.
Tapi pola pikir kebanyakan mahasiswa dalam menanggapi sikap dosen dalam memberikan pembelajaran masihlah sama ketika jadi siswa. Pembuatan makalah dan pendiskusian hanya berlangsung di dalam kelas dan tak pernah dikembangkan lagi di luar kelas. Dosen masih dianggap sama seperti guru, yang mana kehadirannya selalu ditunggu dan menganggap pada saat mata kuliah berlangsung, pada saat itulah pembelajaran diadakan.
Apa yang dosen lakukan dengan memberikan tugas dan melakukan pendiskusian hanyalah stimulus, berharap mahasiswa terangsang pikirannya untuk mencari tau lebih banyak atau mengeksplor pengetahuan yang ia dapatkan dalam pembelajaran di kelas. Harapannya di luar kelas kegiatan pembelajaran lebih lagi di banding di dalam kelas, harapannya pembelajaran tidak hanya berhenti saat itu saja.
Mungkin bagi banyak mahasiswa, stimulus yang diberi dosen tidak berhasil, tapi untukku sepertinya bekerja lumayan. Hal ini bermula dari ketika aku dan teman-teman membahas mengenai pemikiran para tokoh pendidikan Islam. Setelah semua bahan dipresentasikan, masuklah sesi tanya jawab. Aku menjadi salah satu orang yang mengangkat tangan dan memberikan pertanyaan. Pertanyaan yang cukup simpel namun punya jawaban yang cukup berat. Pertanyaannya kurang lebih seperti ini “para tokoh islam membahas pendidikan Islam yang sangat-sangat ideal, tujuan pendidikannya bagus, metodenya bagus, isi pendidikannya bagus, tidak mendikotomikan ilmu, evaluasinya bagus, tapi mengapa wajah pendidikan Islam kita saat ini masih buram terbukti dengan akhlak remaja (peserta didik) yang jauh dari apa yang diharapkan, dimana salahnya pendidikan kita?. memang agak panjang, tapi kesimpulan pertanyaannya sederhana, mengapa pendidikan kita masih belum berhasil?, itu saja.
Dari mahasiswa pemateri sampai dosen tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Sehingga pertanyaan ini juga harus ku jawab dan cari sendiri. Dari kegiatan perkuliahan seperti itulah yang aku bilang sebagai stimulus, kegiatan perkuliahan tidak hanya berhenti sampai di kelas saja, akan tetapi berlanjut sampai di manapun mahasiswa berada.
Semenjak itu, aku jadi orang yang mau membaca buku, padahal sebelumnya, di saat sekolah, buku adalah sesuatu yang asing bagiku. Paling banter buku yang dibaca adalah buku fiksi seperti novel atau komik naruto. Untuk menjawab pertanyaan tersebut aku mencoba mencari buku-buku yang membahas isu mengenai pendidikan.
Dari beberapa buku aku melihat bahwa ada banyak hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan dari suatu pendidikan, salah satunya adalah politik. Akhirnya aku eksplor buku-buku yang bertemakan politik terutama yang oposisi terhadap pemerintah. Muncullah dalam koleksi buku ku yaitu bukunya Fuad Bawazier yang berjudul Republik akal-akalan, kemudian ku baca juga bukunya Imam Ratrioso yang berjudul Rakyat Enggak Jelas, buku Tohir Bawazir dengan judul jalan tengah demokrasi. Mereka memberi komentar terhadap sistem pemerintah yang masih carut marut.
Ku baca-baca lagi, ternyata media juga turut mempengaruhi pendidikan kita. maka buku-buku yang bertemakan media menjadi santapan, seperti bukunya AM. Waskito (Invasi Media Melanda Kehidupan Umat), Muhammad Fadhilah Zein (Kezaliman media massa terhadap umat Islam), Yovantra Arief dkk (Orde Media), Abu bakar fahmi (mencerna situs jejaring sosial), Sinyo (generasi penipu), O. Solihin (sosmed addict).
Selain itu, aku juga melihat adanya konspirasi di balik ini semua. Maka langsung buku-buku yang bertemakan konspirasi ku lahap juga, seperti buku Jagad A. Purbawati (New world order dan pemerintahan bayangan), A. Ralph Epperson (new world order) dan Jerry D Gray (Deadly mist).
Selain itu aku melihat perpecahan diantara umat Islam juga memberi pengaruh terhadap mandeknya (berhenti) pendidikan kita. maka buku-buku yang berbau pemikiran golongan islam menjadi koleksi seperti buku Artawijaya (Indonesia tanpa liberal), Akhmad Sahal Munawir Aziz (Islam Nusantara), Achmad Satori Ismail dkk (Islam Moderat) Al Makin (antara barat dan timur), Ahmad Rusydi (syiah dan tarekat sufi), Fahmi Salim (tafsir sesat), Hisanori Kato (Islam di mata orang jepang), Muhammad bin Sa’ad (sejarah wahabi), Graham E Fuller (Apa jadinya dunia tanpa islam?).
Sampai konflik internasional juga kurasa memberi dampak atau dapat memberi jawaban tentang kegagalan pendidikan kita, karena bisa jadi penyebab konfilk internasional juga sama dengan penyebab kegagalan pendidikan kita. seperti buku Dina y sulaiman (Prahara Suriah), Yanuardi Syukur (presiden Mursi), AM. Waskito (Tragedi charlie hebdo).
Selain membaca hal-hal yang penuh dengan komentar dan opini, aku juga merasa harus membaca hal-hal ideal mengenai pendidikan kita. Masuklah buku mantan menteri pendidikan kita yaitu M. Nuh (Menyemai kreator peradaban), buku pak menteri pendidikan yang sekarang, Anies Baswedan (merawat tenun kebangsaan), dan buku Tim PGRI (pendidikan untuk transformasi bangsa), Forum Mangunwijaya (Kurikulum 2013).
Hasilnya bahwa pendidikan kita gagal karena banyak sebab, politik pemerintahan kita masih carut marut, media yang masih mementingkan keuntungan koorporasinya saja, kemudian umat islam yang masih sibuk mengurusi perbedaan dan perpecahan sehingga tenaganya terkuras pada hal-hal sepele yaitu mencaci maki antar sesama. Dari itu semua aku melihat bahwa ada sekelompok orang yang menjadi dalang sehingga politik kita carut marut, media menjadi panutan yang merusak, ekonomi melemah, dan pemikiran liberal merajalela. Sekelompok orang inilah yang kita kenal dengan konspirator atau sering dikenal dengan zionis.
Dari sebuah diskusi kelas, aku menjadi orang yang berubah. aku tak pernah menduga akan tertarik dengan dunia politik, aku tak pernah menduga tertarik dengan dunia media, aku tak pernah menduga akan penasaran dengan dunia konspirasi, aku juga tak pernah menyangka akan membeli buku mengenai perpecahan di kalangan umat islam. Semua itu tentu saja karena stimulus dari sebuah diskusi yang diadakan dosen di kampus berhasil merasuk pikiranku. Ditambah dengan pertanyaan yang tak terjawab sebelumnya.
Hal inilah yang kuinginkan kepada semua mahasiswa di Indonesia. Kita mau belajar tidak hanya di kelas, diskusi-diskusi yang ada di kelas menjadi landas pacu untuk belajar di luar kelas. kita mau membuka wawasan mengenai dunia ini, kita mau meluangkan pikiran untuk memikirkan tentang kondisi bangsa ini. waktu akan terus berlalu, para pemerintah yang sekarang akan digantikan anak-anak muda saat ini. apa jadinya indonesia masa depan jika tak ada kemauan kuat untuk memperbaiki negara dari anak muda masa kini?.
Untuk meluaskan wawasan mengenai permasalah negara ini salah satunya tadi adalah dengan membaca buku. Budaya membaca di kalangan pelajar indonesia masih jauh kalah dibanding dengan budaya membaca di negara-negara maju. Aku setuju bahwa membaca tak buat kita jadi kaya atau sukses dalam bidang bisnis, membaca tidak membuat kita jadi cepat lulus kuliah, membaca tak langsung membuat kita berprestasi di kampus, tapi membaca itu menumbuhkan kepekaan dan kepedulian. Membaca itu menumbuhkan sikap empati. Ini yang penting, bagaimana kita mau bermanfaat buat bangsa ini, kalau sikap peduli kita pada permasalahan bangsa saja tidak ada. maka untuk menumbuhkan kepedulian itu adalah dengan membaca.
Pada saat aku baca buku di tengah teman-teman, mereka sering nanya “ngapa sih kamu suka baca buku ini buku itu?”, seharusnya pertanyaan ini dilemparkan balik kepada mereka, “mengapa sih kamu tidak pernah mau membaca?”, mengapa sih kamu sukanya foto selfie terus diupload ke medsos?, mengapa sih kamu mengisi waktu luang dengan scrol-scrol medsos sampai berjam-jam?”, yang seperti itu justru dipertanyakan, mengapa kita mampu menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia?, karena itu adalah masalah dan patut untuk diteliti dan dipertanyakan.
Akhirnya, tulisan ini seperti curhatan nggak jelas. Tapi ada keinginan dari penulis untuk mahasiswa, siswa, generasi muda untuk merubah sikap kita, merubah kebiasaan kita, merubah pola pikir kita, yang mana tingkah laku kita sepertinya tidak memperlihatkan sebagai generasi penerus yang baik. Untuk merubah itu, mulai dari yang sederhana yaitu membaca buku, karena membaca membuka kepedulian kita terhadap problem bangsa ini. untuk saat ini mau peduli dan berpikir tentang masalah bangsa ini sudah bagus karena itu adalah modal kita untuk bisa memperbaiki bangsa ini ke depannya.

Share:

Kamis, 24 Desember 2015

BELAJAR DARI SULAP



Sejak kecil aku tertarik dengan dunia sulap. Sering sekali sehabis pulang dari sekolah waktu SD ada pertunjukkan sulap di pasar. Masih dengan pakaian putih merah, aku langsung menuju ke arah tenda yang di kerumuni banyak orang dimana tempat pertunjukan aksi sulap itu diadakan. Rela berdesak-desakkan dengan orang dewasa, menyelip diantara kerumunan dan mengambil posisi paling depan. Walau pertunjukkan sulapnya sangat tradisional dan diselingi dengan jual obat, pertunjukkan itu cukup menginspirasiku.

Si magician alias penjual obat pernah memainkan suatu permainan yang membuat ku penasaran. Ia bermain dengan dua buah gelas dan satu bola pimpong. Permainan itu ia lakukan di atas meja kecil atau lebih tepatnya sebuah kotak balok dari kayu. Bola pimpong ditutup dengan salah satu gelas, kemudian satu gelas lagi disimpan disampingnya dengan jarak yang agak jauh dari gelas yang berisi bola pimpong. Dengan komat-kamit jampi-jampi, bola pimpong bisa berpindah ke gelas yang satunya, tanpa kecepatan tangan apalagi dipindahkan secara manual. Ia tidak membongkar triknya, tapi aku menyimpulkannya bahwa kuncinya adalah percaya diri.

Permainan seperti itu ku coba dirumah. Kuambil gelas plastik di dapur dengan warna yang gelap biar bola pimpong gak nampak. Dua gelas sudah disiapkan lengkap dengan bola pimpongnya. Ku simpan bola pimpong di salah satu gelas, dan gelas satunya lagi kusimpan dengan jarak yang berjauhan persis seperti yang pesulap pasar tadi lakukan. Dengan penuh keyakinan disertai dengan do’a-do’a gak jelas, ku tiupkan pada gelas yang berisi bola pimpong. Dengan penuh keyakinan dan percaya diri aku merasa bola pimpong itu sudah berpindah ke gelas yang lain. kudekati gelas itu dan ternyata posisinya masih tetap sama. Bola pimpongnya bahkan terlihat kecewa dengan tingkah laku ku yang absurd itu..hahahahha.

Agak usia ke atas sedikit dengan pola pikir yang udah lumayan, aku mencoba mendalami lagi dunia sulap ini. tepatnya waktu SMA dengan fasilitas internet yang sudah mulai mewabah, ku manfaatkan untuk browsing mengenai trik-trik sulap sederhana. Baru beberapa hari belajar dari internet, aku sudah mulai memberanikan diri untuk tampil di sebuah acara di sekolah. Satu hari penuh menyiapkan peralatan-peralatan handmade nya dan ternyata gagal tampil, karena ada seorang pesulap yang lebih mahir tampil juga di acara tersebut dan menghabisi seluruh waktu acara. Tidak tanggung-tanggung, pesulap tersebut juga mengisi acara dengan hipnotis yang menghibur. Dalam hati aku ingin berujar “syukur tidak tampil, kalau tampil bisa dilempar pakai kursi plastik ni, soalnya ada pesulap yang lebih profesional lagi”.

Kejadian ini menjadi pelajaran berharga buatku untuk terus belajar lagi. Ku browsing-browsing tentang trik sulap, dan akhirnya ketemu dengan toko sulap online. Di situs itu aku melihat ratusan trik-trik sulap plus alat-alatnya sekaligus dengan harga puluhan ribu sampe puluhan juta. Bahkan alat-alat sulap itu juga pernah dimainkan oleh pesulap-pesulap pro di Televisi.
Tanpa pikir panjang, alat-alat itu ku pesan, ku pelajari dvd nya, dan kadang kupraktekkan dengan teman-teman. Hingga akhirnya dunia sulap mulai kudalami waktu itu. Tibalah saatnya, pada saat praktek kesenian diadakan sebuah pertunjukkan-pertunjukkan untuk mengambil nilai ujian. Perkusi ditampilkan, drama ditampilkan, puisi ditampilkan dan aku menjadi yang lain sendiri karena aku menampilkan sulap, walau dengan penampilan yang tidak memuaskan, tapi itu awal kalinya aku mempertunjukkan hobi SD di depan orang-orang ramai.

Waktu terus berlalu, selesailah masa SMA dan masuklah masa kuliah. Di Pontianak aku bergabung dengan komunitas anak sulap. Dengan mereka aku belajar sulap yang triknya bahkan tidak ada di jual di toko sulap langganan ku. Di situ kita berbagi dan sharing mengenai dunia sulap. Di komunitas ini aku belajar untuk street magic alias sulap di jalanan, di taman, di cafe, di mana saja selain di panggung. Selama bergabung dengan komunitas ini aku serasa menjadi sangat-sangat bisa walau tentu saja masih banyak kekurangan, tetapi setidaknya udah lumayan dan gak absurd kayak SD dulu lagi.

Setelah sekitar satu tahun bergabung dengan sering gathering bareng. Aku memutuskan untuk meninggalkan dunia sulap dan tidak lagi berhubung dengan dunia itu. Alasannya simpel waktu itu, “fokus kuliah kubilang”.

Nah itulah cerita tentang sulap dan rasa penasaranku waktu SD yang akhrinya terpecahkan. Ternyata semua keajaiban yang pernah para magician mainkan itu ada triknya termasuk trik yang telah dilakukan oleh pesulap pasar yang dimainkan waktu aku SD dulu.

Kawan-kawan sering bilang bahwa sulap itu nipu. Itulah respon mereka ketika beberapa kali aku tunjukkan permainan sulap dihadapan mereka. walaupun respon mereka seperti itu, tapi aku tau bahwa mereka menyimpan rasa penasaran yang mendalam dan bertanya dalam hati “kok bisa?”.

Tapi dari sulap aku belajar sesuatu. Bahwa untuk menghibur seseorang terkadang apa yang dilakukan si penghibur adalah berbohong. Pesulap salah satunya, dia memainkan sesuatu efek yang membuat orang takjub, terpukau, heran dan bahkan tertawa atau terhibur, tapi di balik itu, tangannya lincah bermain untuk melarikan suatu benda atau dengan mengalihkan perhatian orang lain sehingga tidak sadar bahwa ada satu momen pesulap memanipulasi permainannya.

Itu hanya salah satunya. Contoh yang lain apa?, contoh yang lain adalah komedian. Dalam pertunjukkan komedi orang sering tertawa, tapi kalau kita mau jujur, banyak isi komedi itu sesuatu yang gak masuk akal yang tandanya itu hanyalah bualan saja sehingga orang menganggap itu lucu.

Contoh lain lagi film atau drama. Orang kalau nonton film itu intinya lebih sering pengen cari hiburan. Ke bioskop karena pengen terhibur, beli dvd karena perlu hiburan, bahkan ngeyoutube karena ada waktu senggang dan pengen ngehibur diri. Semua film ada skenarionya, ada sutradaranya, ada pemerannya, dan terakhir pasti ada filmnya sehingga disebut film. Itu semua bukti bahwa film adalh dibuat-dibuat dan di perindah agar menghibur, entah dengan sedihnya atau bahagiannya ending film, yang penting udah memberi kamu sesuatu yang kita bilang hiburan.

Kehidupan itu gak jauh kayak sulap tadi. Dia menghibur, tapi menipu. Semuanya terasa enjoy untuk dinikmati tapi semuanya juga bersifat sementara. Steve job selama hidupnya mungkin kaya luar biasa, tapi apakah setelah tidak hidup dia masih tetap kaya? Tentu tidak. Hidup tu kayak gitu, pada saat hidup aja buat kita terhibur, tapi setelah itu atau dibalik itu ia bohong dengan kita. dia bilang semua akan baik-baik saja, tapi di balik itu ada sesuatu yang sangat tidak baik-baik saja.

Dari sulap aku belajar bahwa hidup itu sama kayak sulap, dia mengibur tapi berbohong pada kita, kita terhibur tapi kita dibohongi. Boleh terhibur dengan sulap, tapi jangan percaya kalau sulap itu bisa seperti itu, itu hanya trik saja. Gitu juga hidup, boleh terhibur dengan hidup anda, karir anda, kesuksesan anda tapi jangan percaya bahwa itu beneran, semua akan berakhir, semua akan sirna, karena hidup itu hanya trik, sama kayak sulap. Boleh terhibur tapi jangan tertipu.

Share: