Kamis, 04 Oktober 2018

SAYA KECANDUAN INTERNET. BAGAIMANA DENGAN ANDA?

Gara-gara lupa password wifi dan malas nanya lagi ke penjaga kasir apa password wifinya, saya jadi tidak punya kerjaan sekarang (nongkrong di kafe). Biar kelihatan sibuk sama orang-orang yang ada di sekitar saya (salah satunya yang lagi pacaran di dekat meja saya), saya lalu membuka file-file jurnal yang sempat saya kumpulkan beberapa bulan lalu. 

Salah satu jurnal yang menarik yang saya temukan berjudul, “Internet Addiction in Students: A Cause of Concern”. Penelitian ini dilakukan oleh Kanwal Nalwa Ph.D dan Archana Preet Anand, Ph. D. Mereka berdua adalah sepasang teman. Ya iyalah. Mereka melakukan penelitian terhadap pelajar di India yang berusia 16-18 tahun. Alat ukur yang mereka gunakan untuk mengetahui kecanduan internet pada pelajar ini adalah The Davis Online Cognition Scale (DOCS). Pengukuran dengan DOCS itu kemudian menghasilkan dua kelompok, yaitu dependent dan non-dependent. Sepertinya istilah ini memiliki arti, jomblo dan tidak jomblo. Hahah... nggak lah ya. Mungkin artinya adalah “yang sangat bergantung” pada internet dan “tidak terlalu bergantung”. Kayak cinta kamu... digantung.

Selain The Davis Online Scale, ia juga menggunakan alat ukur The UCLA Loneliness Scale (alat pengukur kesepian yang kayaknya cocok juga buat mengukur tingkat kesepian para jomblo). Selain itu, peneliti juga menggunakan kuesioner semi terstruktur. Pertanyaan yang diajukan seperti “Berapa lamu waktu yang digunakan untuk internetan? Aplikasi apa yang digunakan? Berapa sering menunda pekerjaan hanya untuk online? hingga bagusan kartu indosad apa telkonsel? 

Hasil penelitiannya berupa:

Pertama, orang akan sering menunda pekerjaan ketika sudah online. Benar nggak? Saya sih mengakui itu. Saya sering banget kalau udah online lupa dengan apa yang harus saya kerjakan, seperti tugas dan lain-lain. Bahkan juga lupa kalau saya masih sendiri. Parahnya lagi, menunda pekerjaan akibat online ini bisa berjam-jam lamanya. Kan? Kan? Kan? 

Kedua, orang sering kehilangan waktu tidur malam akibat online. Benar nggak ni man-teman? Kalau menurut saya sih benar banget, saya sendiri sering bergadang kalau udah online. Entah kenapa, cahaya gawai yang memancar ke mata saya itu dapat menghilangkan rasa kantuk saya. Efeknya udah sama kayak kopi (yang terbakar kalau terkena api). Tidur pun jadi susah, karena pengen buka media sosial lagi, padahal yang chat juga nggak ada. Hadeh....

Ketiga, ada perasaan bosan kalau nggak buka internet. Apakah ini terjadi pada kalian? Kalau saya sering terjadi. Makanya dalam satu hari saya bisa online selama beberapa jam. Bahkan hidup saya mungkin lebih banyak di internet daripada di jalanan (emang anak jalanan?).

Keempat, waktu lebih banyak dihabiskan untuk internet. Ya, salah satu indikasi kita kecanduan internet adalah waktu yang kita habiskan lebih banyak untuk dirinya (internet). Tapi yang bagaimana lagi, semuanya serba di internet, dari berpolitik sampai beragama. Hihihi....

Kelima, kesepian. Karena kebanyakan hidup di ruang maya, ada kalanya kita kesepian lo gaes. Benar nggak? Kita hidup dalam ruang yang orang-orangnya mulai menjauh (secara fisik dan emosional). Memang sih kita bisa tertawa cekikian saat menghadap layar gawai, tapi cobalah alihkan pandangan dari layar gawai anda, dan lihat sekeliling anda, hampir semuanya sibuk dengan gawainya masing-masing. Sejatinya kita sedang kesepian. Dekat di mata, jauh di hati. Heuheuheu....

Dari kesemua gejala yang ada, sepertinya saya sudah termasuk orang-orang yang kecanduan internet. Bagaimana dengan anda? 

sumber gambar: vgalexandra.blogspot.com


Catatan: memang ada perbedaan antara yang dependent dan non-dependent dalam penelitian. Hanya saja, untuk memudahkan penulisan, saya satukan semua gejala, baik itu yang menimpa kelompok dependent, maupun non-dependent.
Share:

Rabu, 19 September 2018

MEMBACA DAN MENULIS PERLU LATIHAN



Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah buku yang bagus, yang ditulis oleh Nicholas Carr mengenai bagaimana internet mendangkalkan cara berpikir kita? Dari bukunya itu ada satu hal yang cukup melekat di benak saya yaitu ketika Nicholas mengulas tentang “membaca” dan “menulis”. Nicholas Carr berpendapat bahwa “membaca dan menulis bukan merupakan bakat alam,” sehingga “untuk bisa membaca dan menulis, diperlukan pembentukan otak secara sengaja melalui belajar dan latihan” (2011: 51).
Untuk menguatkan argumennya, Nicholas Carr mengutip berbagai penjelasan ahli seperti Feggy Ostrosky-Solis (psikolog Meksiko) dan Maryanne Wolf (psikolog perkembangan dari Tufts University), serta pengalaman sejarah manusia masa lalu yang memperlihatkan bahwa membaca dan menulis memerlukan latihan serta kerja otak yang serius. Nah, kaitannya dengan internet, karena kerja otak bekerja secara serius pada saat membaca dan menulis, maka Nicholas Carr berkesimpulan dalam bukunya itu –setelah memaparkan penjelasan yang disertai riset mendalam- bahwa internet dapat mengacaukan proses latihan kita dalam membaca dan menulis, atau paling tidak internet dapat mengubah cara kita dalam membaca dan menulis.
Satu premis yang menjadi fondasi tulisan saya kali ini yaitu “membaca dan menulis” perlu latihan. Yap, selama beberapa tahun bergelut dengan aktivitas membaca buku serta sedikit menulis di blog, saya setuju dengan argumen Nicholas Carr bahwa membaca dan menulis perlu latihan.
sumber gambar: www.edx.org

Mungkin bagi sebagian orang akan bertanya, “Kok perlu latihan?” “Bukankah saya sudah bisa membaca dan menulis?” “Saya bisa menulis huruf, kemudian menjadikannya sebuah kata, kemudian dari kata itu saya rangkai menjadi kalimat?” “Saya juga bisa membaca.” “Ini Budi.” “Ini bapak Budi,” dan sebagainya.
Ya, betul, kalau tujuannya adalah membaca kata per kata di dalam buku atau di papan pengumuman, maka sebagai besar dari kita sudah pantas disebut orang yang bisa membaca. Begitupula dengan menulis, ketika tujuannya adalah agar kita bisa menuliskan kembali huruf yang kita lihat ke lembaran kertas atau ke halaman microsoft word, maka kita sudah layak mendapatkan pengakuan dari orang lain bahwa kita bisa menulis. Tapi bukan itu yang saya maksudkan dengan membaca dan menulis di sini. Membaca yang saya maksudkan di sini yaitu membaca tulisan panjang (makalah, jurnal, buku, dsb) serta paham apa yang kita baca. Sedangkan menulis yang saya maksudkan adalah menulis apa yang ada di pikiran kita (bukan sekedar menyalin tulisan yang terindra oleh mata).
Sekali lagi saya sepakat dengan Nicholas Carr mengenai pernyataannya, karena ada beberapa keluhan dari teman-teman saya mengenai aktivitas membaca, dan banyak pengamatan saya hingga saat ini yang memperlihatkan bahwa menulis ternyata bukanlah perkara yang mudah. Keduanya ternyata perlu latihan.
Mengenai membaca, teman-teman sering mengatakan seperti ini, “Kok saya nggak paham buku ini?” “Kok berat ya bukunya?” Ada juga yang tidak menyelesaikan buku bacaannya, karena frustasi dengan buku yang dibaca. Ada juga yang sudah kuliah tingkat tinggi (katakanlah sarjana atau pascasarjana), tapi level bacaannya tidak sesuai dengan tingkat pendidikannya. Di sini saya tidak merendahkan mereka, karena saya sendiri juga menyadari bahwa bacaan saya masih jauh di bawah standar. Pendapat saya itu hanya ingin menguatkan argumen awal bahwa membaca itu perlu latihan. Ada step-step yang harus dilewati. Pembaca pemula pasti mulai dari buku-buku yang ringan. Maka mereka (termasuk saya) yang saya bilang tadi masih membaca tidak sesuai pada level pendidikannya adalah orang yang sedang berlatih untuk membaca. Begitu juga saya, masih merangkak untuk menaikkan level bacaan.
Oleh karena itu, bagi yang baru mulai membaca buku, karena menganggap membaca buku itu penting, maka jangan merasa rendah diri walau di awal-awal hanya baca buku kumpulan quote, misalnya. Jangan pernah putus asa, teruslah membaca, mulai dari yang ringan. Jika konsisten, maka nanti level bacaanmu akan naik dengan sendirinya. Kerja otak yang panas karena buku yang kamu baca, kalimat yang tidak dimengerti, serta rasa frustasi yang menghampiri adalah bumbu-bumbu yang harus kamu kecap dalam proses dan latihan tersebut.
Ada beberapa teman yang bilang bahwa saya termasuk yang hebat bisa membaca buku ini dan buku itu, yang bagi mereka itu cukup berat. Mereka tidak tahu, bahwa sebenarnya level bacaan saya sendiri masih sangat rendah, seperti yang sudah saya akui di awal tadi. Bagi orang yang level bacaannya di atas saya tentu akan tertawa dengan saya yang hingga saat ini tidak paham dengan tulisannya Jean Baudrillard, Roland Barthes, B. F Skinner, Mircea Eliade, dan seabrek tokoh-tokoh besar lainnya. Tapi latihan itu terus berlanjut. Saya bisa di tingkat ini karena ada latihan yang saya jalani. Mereka yang level bacaannya di atas saya bisa sampai di tingkat sana karena ada proses dan latihan yang mereka lewati.
Tidak hanya itu, aktivitas membaca saya juga mengalami evolusi. Dari mulai yang hanya membaca saja, kemudian membaca dengan mencatat hal penting di gadget, kemudian berubah lagi jadi membaca dengan cara menggaris kalimat yang penting, kemudian berubah lagi jadi membaca dengan membuat resume sederhana di instagram, dan sekarang berusaha untuk mengeksplorasi hasil bacaan dan mengaitkannya dengan pengalaman sehingga menjadi tulisan yang lebih panjang. Jadi terus berubah-ubah sepanjang waktu. Rentetan evolusi membaca ini bagi saya adalah hasil dari latihan.
Selain membaca, menulis juga perlu latihan. Proses saya dalam membaca yang berubah dari waktu ke waktu juga terjadi pada kegiatan saya dalam menulis, meskipun saya juga bukan penulis yang profesional. Saya bisa melihat itu dengan membandingkan tulisan saya di blog dari waktu ke waktu. Mulai dari diksi yang dipakai, kalau dulu kata-katanya sangat monoton, sekarang sudah lebih sedikit kaya (menurut saya). Kemudian temanya, meluas ke banyak hal. Kedewasaannya juga, walaupun di tengah-tengah saya rajin menulis dengan gaya melow dan alay, tapi sekarang saya berusaha untuk sedikit lebih dewasa. Ehm... ehm... ya itulah tadi, semuanya bagi saya adalah hasil dari proses dan latihan.
Latihan menulis sambilan ini bagi saya sangat berdampak pada kegiatan menulis di luar dari menulis blog, misalnya ketika mendapatkan tugas menulis makalah. Menulis makalah jadi lebih enak karena kosa kata di kepala ya lumayan lah, karena terbiasa menulis di blog itu tadi. Kebiasaan saya menulis di blog dengan cara menyusun terlebih dahulu ide pokoknya juga saya terapkan ketika menulis makalah. Jadi lebih mudah kan? Kebiasaan saya mengedit tulisan sebelum posting di blog mampu meminimalisir typo (salah ketik) dan kata yang tidak sesuai dengan KBBI di makalah. Latihan yang saya lakukan di blog sangat berguna, ada manfaatnya.
Jadi kegiatan membaca dan menulis yang sepertinya sepele bagi banyak orang, sebenanrnya bagi diri saya pribadi itu begitu bermanfaat, terutama dalam dunia perkuliahan ya. Kalau dalam dunia pertanian mungkin tidak berdampak. Hehe.... Jadi pesannya bagi mahasiswa-mahasiswi atau siswa-siswi, atau yang punya perhatian dalam dunia membaca dan menulis, yang kalian hendak memulai kedua aktivitas itu, teruslah berlatih! Membaca dari yang ringan dulu, kemudian naik ke level yang lebih berat, terus, terus dan terus. Begitu juga dengan menulis, manfaatkan blog untuk tulisan yang lebih panjang, tulis apa saja, karena walaupun anda tidak sedang menjadi penulis profesional atau mendapatkan pembaca yang banyak, tapi sebenarnya anda sedang mengasah keterampilan menulis yang suatu saat nanti akan bermanfaat untuk anda.
Perlu saya jelaskan bahwa tulisan ini tidak memaksa anda untuk menulis dan membaca. Tulisan ini juga tidak dalam rangka memuliakan orang yang senang membaca dan menulis. Tidak sama sekali. Tapi tulisan ini hanyalah sepotong semangat dari saya untuk anda yang sedang memulai aktivitas membaca dan menulis. Ketika suatu saat nanti anda merasa frustasi karena aktivitas membaca dan menulis anda tidak anda nikmati, maka ketahuilah bahwa membaca dan menulis perlu latihan, perlu proses, otak dan pikiran anda perlu tegang.
Dan saya pun masih berlatih.
Sekian....
Share:

Senin, 09 Juli 2018

MENJADI MAHASISWA/I IDEAL ALA AHMAD WAHIB

Menurut saya, saat menjadi mahasiswa/i baru merupakan saat-saat yang cukup mendebarkan. Pada masa itu kebebasan baru mulai muncul, pengawasan orang tua mulai kendur karena antara orang tua dan anak terpisah dengan jarak yang cukup jauh (biasanya). Selain itu, keadaan urbanisasi (perpindahan dari desa ke kota) bagi mereka yang berasal dari desa saya pikir juga cukup berpengaruh, karena seseorang yang berasal dari desa akan menemukan banyak hal baru yang sebelumnya belum pernah ia temukan. Selain itu, secara psikologis, masa di awal-awal kuliah adalah masa-masa dimana seseorang berada di puncak usia remaja, yaitu menuju usia 20 tahun. Di masa ini seseorang akan tertarik untuk mencoba hal-hal baru dan berusaha menemukan identitasnya. Pada masa ini, seseorang akan bertanya pada dirinya sendiri, “gue siapa sih sebenarnya?”
Oleh karena itu, saya pikir sangat relevan untuk menghadirkan kembali sosok mahasiswa ideal ke hadapan adik-adik yang baru mau masuk kuliah, agar sedari awal, kalian mengetahui apa yang seharusnya dikejar atau yang dilakukan sebagai seorang mahasiswa/i. Ketika kesadaran itu sudah muncul, maka harapan selanjutnya adalah berkurangnya kebiasaan-kebiasaan unfaedah yang seringkali diidap oleh mahasiswa/i baru. Tidak hanya kepada adik-adik mahasiswa/i baru saja sebenarnya, tapi kepada saya pribadi pun tulisan ini akan sangat bermanfaat, karena saya juga masih berstatus mahasiswa.
Nah, pada tulisan ini, saya ingin menghadirkan buah pikiran salah satu sosok mahasiswa (ideal menurut saya) bernama Ahmad Wahib. Memang, tokoh ini agak kontroversial karena ada beberapa kelompok yang memandang bahwa Ahmad Wahib terlalu liberal dalam pemikirannya. Oleh karena itu, saya akan berusaha menarik serabut hasil pemikiran Ahmad Wahib yang saya anggap bisa kita praktikkan bersama, dan meminggirkan hal lainnya yang saya pikir belum bisa kita cerna.
Ahmad Wahib lahir pada tanggal 9 November 1942. Setelah tamat dari SMA pada tahun 1961, ia melanjutkan studinya di Fakultas Ilmu Pasti dan Alam Universitas Gajah Mada. Namun ia tidak menyelesaikan kuliahnya di kampus tersebut. Ia meninggal pada tahun 1973 setelah ditabrak oleh pengendara sepeda motor. Ia termasuk anggota organisasi HMI, aktif berdiskusi di “Lingkaran diskusi Limited Group” dan diskusi yang sering diadakan di rumah Dawam Rahardjo. Ia juga sering mengikuti kuliah-kuliah filsafat di STF Driyarkara. Pada akhir hayatnya, ia sempat bekerja di majalah Tempo sebagai calon reporter.
Ada satu fakta menarik mengenai jejak rekam pendidikan Ahmad Wahib, yaitu dia tidak merampungkan kuliahnya di Universitas Gajah Mada. Maka sebuah pertanyaan muncul, “lalu mengapa kita mengambil Ahmad Wahib sebagai contoh?” Menurut saya tidak ada kaitannya antara sikap yang ia miliki dengan tidak selesainya dia dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Lagipula beberapa sumber informasi tidak memberikan penjelasan mengenai penyebab tidak selesainya Ahmad Wahib dalam menempuh pendidikan di universitas bergengsi tersebut. Atau mungkin saja Ahmad Wahib sudah cerita di catatan hariannya, dan saya melewatkannya (ngantuk pada saat membaca). Namun tetap saja, fakta di atas tidak lantas menggagalkan keingininan kita untuk belajar banyak hal dari Ahmad Wahib mengenai mentalitas sebagai seorang mahasiswa/i.
Beberapa poin yang akan saya sampaikan mengenai idealitas mahasiswa/i di bawah ini adalah hasil pembacaan saya terhadap buku berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam”, sebuah kumpulan catatan harian yang ditulis oleh Ahmad Wahib. Perlu saya sampaikan di sini bahwa Ahmad Wahib tidak banyak menulis secara langsung bahwa mahasiswa/i harus begini-begini, namun saya lah yang mencoba menarik serat-serat berharga dalam tulisannya, kemudian menggarapnya menjadi beberapa poin penting yang bisa kita pelajari bersama mengenai bagaimana sebaiknya menjadi mahasiswa/i. Tentu saja poin-poin ini tidak dapat merangkum semua hal yang ia tuliskan, sehingga sangat bisa saya pastikan bahwa masih banyak hal-hal penting yang tercecer, yang tidak termuat dalam tulisan ini.

Lalu apa hal-hal (ideal) yang sebaiknya dimiliki oleh mahasiswa/i?
Pertama, keberanian untuk berpikir bebas.
Dari sekian banyak tulisan Ahmad Wahib dalam catatan hariannya, mungkin judul “Kebebasan Berpikir” adalah judul yang paling kontroversial. Anda bisa membaca sendiri dalam catatan hariannya, dan jika iman anda tidak kuat, atau sebaliknya: iman anda terlalu kuat, maka mungkin anda akan berhenti membaca catatan hariannya, kemudian menyimpan buku tersebut di dalam kaleng KHONG GUAN. Oleh sebab itu, penting sekali memisahkan terlebih dahulu kegelisahan Ahmad Wahib mengenai agamanya dalam judul “kebebasan berpikir” itu, kemudian memeras poin berharga mengenai kebebasan berpikir yang ia utarakan untuk digunakan pada hal yang lain. Kebebasan berpikir di sini bisa kita katakan sebagai usaha untuk melepas asumsi kita terhadap sesuatu, terkhusus pada asumsi-asumsi yang tidak memiliki fondasi yang kuat.
Perkuliahan adalah ajang untuk memperluas wawasan. Anda harus membuka pikiran, meninggalkan sejenak asumsi mengenai kepastian terhadap sesuatu. Ragukan segalanya dan bangun ulang keraguan itu menjadi sebuah keyakinan yang kokoh. Bahasa saya memang sudah kayak motivator MLM, tapi ... itulah poinnya.
Jika dosen anda masuk ke ruang kelas, dan anda berasumsi bahwa dosen itu punya pengetahuan yang lebih dari anda, selalu benar dan tidak pernah salah, maka habislah sudah. Perkuliahan anda tak ubahnya seperti kaum buruh yang teralienasi dari pekerjaannya. Mboh ... ngomong apa. Akibatnya: di sepanjang perkuliahan akan anda habiskan dengan membuka telinga anda selebar-lebarnya untuk mendengarkan ceramahnya, kemudian mengekang sekuat-kuatnya otak anda untuk berpikir. Jangan seperti itu! Bertanyalah! Kritisilah! Dengan itu perkuliahan akan menjadi lebih dinamis, bukan sekedar transfer pengetahuan belaka. MERDEKA!!! Takbir juga boleh.
Dalam catatan hariannya, Ahmad Wahib mengatakan, “pada hemat saya orang-orang yang berpikir itu, walaupun hasilnya salah, masih jauh lebih baik daripada orang-orang yang tidak pernah salah karena tak pernah berpikir” (2013: 23). Dalam catatan harian saya, saya mengatakan, “pada hemat saya, orang-orang yang jomblo itu, walau tidak punya pacar, masih jauh lebih baik daripada mereka yang punya pacar tapi nggak tau kapan mau nikah.” Ehm, nggak nyambung, sih. LANJUT ... LANJUT !!!
Kedua, membaca, merenung dan observasi langsung.
Ahmad Wahib mengatakan, “membaca buku-buku dari segala macam ilmu dan paham dan mendengarkan pendapat-pendapat dari segala macam ahli akan memperkaya kita dengan formulasi-formulasi (rumusan-rumusan) yang singkat dan kena” (2013: 103). Aneh rasanya jika ada seseorang mahasiswa/i yang tidak akrab dengan buku. Lalu dari mana pengetahuan, buah pemikiran, gagasan dan ide akan ia dapatkan? Dari pacar? Mustahil rasanya ada mahasiswa/i yang pacarnya tiap hari datang ke kos-kosan untuk memberikan kuliah singkat mengenai teori strukturasi sosial Anthony Giddens. Dari dosen? Hmmm .... Sayang juga jika semua pengetahuan harus berasal dari dosen. Jika semuanya hanya bersandarkan pada pengetahuan dosen, maka sedikit sekali hasil yang akan anda dapatkan dari perkuliahan.
Oleh karena itu, alternatif lain adalah dari buku. Ketika dosen membaca, mahasiswa/i membaca, maka di kelas akan terjadi benturan antara hasil bacaan dosen dan hasil bacaan mahasiswa. Dengan begitu, pengayaan materi akan sangat mungkin terjadi. Kelas akan banjir pengetahuan, pertanyaan, sanggahan, apalagi? Cercaan? Mungkin. Tetapi apabila mahasiswa pasif karena kurangnya pengetahuan dan ia hanya berharap dari pengetahuan dosen, maka jangan harap ada pengayaan, barangkali mencapai kompetensi dasar pun akan terseok-seok seperti divingnya Neymar saat melawan Mexico kemarin. Ough ... Noooo ....
Namun membaca saja tidak cukup, mahasiswa/i juga perlu banyak merenung. Merenung tidak sama dengan melamun. Merenung ialah berpikir secara sungguh-sungguh tentang sesuatu hal yang besar. Sedangkan melamun biasanya berpikir tidak tentu arah, dan kalaupun berpikir, maka yang dipikirkan biasanya seringkali merupakan hal yang remeh.
Sementara hal lainnya yang penting adalah mengamati atau observasi langsung. Anda boleh membayangkan bahwa observasi langsung di sini berupa pengamatan secara ilmiah, yang kemudian ditulis dalam bentuk laporan atau tugas akhir (skripsi/tesis). Namun sangat sedikit sekali observasi yang bisa anda lakukan jika maknanya hanya sekedar itu. Oleh karenanya, pengamatan secara sederhana terhadap fenomena sehari-hari dalam kehidupan anda juga bisa kita anggap observasi. Gunakan pengamatan itu dengan teori yang telah anda pelajari. Sesuaikah ia? Tidak sesuaikah ia? Renungkan dan coba cari solusinya dengan kembali membaca teori.
Salah satu tujuan membaca, merenung dan observasi langsung menurut Ahmad Wahib adalah untuk membentuk pendapat atau pemikiran kita sendiri. Ahmad Wahib mengatakan, “banyak membaca harus diimbangi dengan merenung dan observasi langsung. ... dengan demikianlah kita akan mampu membentuk pendapat sendiri dan tidak sekedar mengikut pendapat orang atau memilih salah satu di antara pendapat yang berbeda-beda” (2013: 80).
Ketiga, berorganisasi.
Jika anda membaca catatan harian Ahmad Wahib, maka anda bisa melihat cukup banyak pembahasan mengenai organisasi. Hal itu membuktikan bahwa dia aktif dalam organisasi dan punya perhatian yang besar terhadap organisasi. Namun tidak sekedar berorganisasi, ia juga menginginkan sebuah organisasi mampu bergerak secara independen aktif. Ia mengatakan bahwa, “independen artinya bebas, menempatkan diri sebagai insan dan himpunan yang merdeka, lepas dari tekanan-tekanan luar, dari person atau organisasi, langsung atau tidak langsung. ... dalam suasana bebaslah kemampuan-kemampuan kreatif kita akan berkembang menemukan bentuk yang seindah-indahnya” (2013: 275).
Ada banyak manfaat yang bisa diambil dari berorganisasi, seperti pengalaman manajerial, memperluas jaringan, serta memiliki wadah untuk mempraktikkan teori yang dipelajari di kampus dalam kehidupan nyata.
Keempat, jangan pacaran!
Ye malah ketawa? Ini serius. Meskipun pada beberapa catatan hariannya memperlihatkan bahwa Ahmad Wahib pernah merasakan kasmaran dan rindu pada pujaan hati, yang jika anda membaca catatannya mengenai itu mungkin akan terasa ngilu di kaki (kesemutan), namun ada satu catatan yang mengatakan bahwa dia “lebih baik” ketika tidak berhubungan dengan kegiatan “cinta-cintaan” itu. Ia mengatakan, “ilmuku terasa bertambah dengan cepat akhir-akhir ini sejak membebaskan diri dari ‘hubungan-hubungan’ nuisance dengan beberapa teman putri. Apakah kelembutan wajah itu mengganggu aktivitas mengejar ilmu?” (2013: 320). Bagaimana? Mari kita renungkan bersama!
SEKIAN.
Share: