Buku yang ditulis oleh F. Budi Hardiman ini
sangat membantu saya sebagai orang yang awam dengan istilah ‘humanisme’ dalam mengetahui
“sedikit” sekaligus “banyak” mengenai istilah tersebut. “Sedikit” karena jumlah
halaman dalam buku yang ia tulis ini hanya 84 halaman (sangat tipis untuk buku
dengan tema filsafat). Dan “banyak” karena apa yang ia sampaikan begitu jelas
dan menyeluruh mulai dari lahirnya humanisme di abad -14, perjalanannya di masa
modern, hingga humanisme yang dicita-citakan untuk saat sekarang ini.
Sebenarnya kata humanisme ini sering
terlintas di telinga saya, tapi adanya ambiguitas pemaknaan humanisme yang
keluar dari banyak sumber membuat saya bingung seperti apa tepatnya makna dari
kata tersebut. Sesekali saya mendengar orang yang meneriakkan kata “humanis”
dan “humanisme” karena membelanya dan mengaguminya. Tapi tak jarang juga saya
mendengar orang yang melakukan hal serupa –meneriakkannya- namun dengan tujuan
menolaknya dengan alasan klise: humanisme adalah produk Barat.
Kebingungan saya –benar atau salah si
humanisme- dijawab secara tersirat oleh F. Budi Hardiman dalam bukunya ini yang
berjudul “Humanisme dan Sesudahnya; meninjau ulang gagasan besar tentang
manusia”. Penulis juga menawarkan perbaikan pada gerakan humanisme ini karena
diakui bahwa dari sisi histori, humanisme tidak sebaik yang kita bayangkan,
meskipun istilah ini berdiri atas nama kemanusiaan.
Bagaimana
sejarah lahirnya humanisme?.
Humanisme dimulai pada zaman Renaisans abad
ke 14-16 M dan memuncak pada humanisme pencerahan Eropa abad ke -18 M. Gerakan
humanis modern itu sebagai upaya untuk menghargai kembali manusia dan
kemanusiaannya dengan memberikan penafsiran-penafsiran rasional yang
mempersoalkan monopoli tafsir kebenaran yang dahulu kala dipegang oleh kombinasi
ajaib agama dan negara (2012:9).
Mengapa
humanisme ngotot menundukkan agama?.
Ada dua pendekatan untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Pertama, dari sisi historis. Humanisme melihat agama mengebiri
otonomi manusia dengan segala potensi yang dimilikinya, terutama akal dan
pikiran. Kedua, alasan epistemologis. Humanisme memandang bahwasannya Tuhan
hanyalah hasil dari konstruksi atau rekaan manusia.
Lalu,
apa kontribusi gerakan humanisme di atas bagi peradaban?.
F. Budi Hardiman menyebutkan ada tiga
kontribusi humanisme bagi peradaban.
Pertama,
radikalisasi ‘moral rasional’ yaitu moral yang tidak diturunkan dari wahyu dan
tradisi religius, melainkan dari akal belaka (2012: 27). Mereka meyakini bahwa
untuk berbuat baik tidak perlu motivasi agama, dan dengan itu pula (berbuat
baik tanpa motivasi agama), manusia terlihat lebih dewasa dalam menjalani hidup
di dunia.
Kedua,
kritik agama yang berguna untuk memurnikan iman religius (2012: 28). Perlu
disadari, terkadang sebagian kelompok dari suatu agama membawa penafsiran yang
bisa mengancam kemanusiaan. Oleh karena itu, diperlukan kritik terhadap
penafsiran-penafsiran tersebut. Dan gerakan ini –humanisme- biasanya yang
berdiri paling depan ketika hal itu terjadi.
Ketiga,
berkembangnya ilmu-ilmu empiris yang meneliti agama, seperti psikologi agama,
sosiologi agama, antropologi agama, sejarah agama-agama, dsb. (2012: 31).
Pendekatan-pendekatan ini berguna untuk melihat gejala-gejala religius dari
sisi manusiawi agar manusia sendiri tidak memutlakkan pengalaman subyektifnya
sebagai kebenaran Ilahi (2012: 32).
Kemanusiaan Tanpa Manusia
F. Budi Hardiman dalam bukunya ini membuat
satu bab yang menggambarkan bahwa humanisme yang dibangun atas dasar
kemanusiaan dalam sejarahnya sempat diselewengkan untuk menindas manusia itu
sendiri. Dua gerakan yang disebutkan oleh penulis sebagai perusak humanisme
adalah kolonialisme dan totalitarianisme.
Dalam sejarah kolonialisme, manusia ditemukan
lewat penegasan diri manuasia Barat atas mereka yang terjajah (2012: 35). Hegemoni
kultural Barat dalam sejarah kolonialisme menyajikan suatu ekslusifisme dalam
humanisme (2012: 39). Sementara itu, totalitarianisme melanjutkan pekerjaan
kolonialisme dengan lebih radikal. Mereka memperlakukan kelompok-kelompok
minoritas dan oposisi politis di dalam negeri sebagai ‘bukan manusia’ (2012:
41), seperti yang dilakukan pasukan Nazi terhadap bangsa Yahudi.
Dua kelompok ini melahirkan humanisme
ekslusivitas yaitu kemanusiaan tanpa manusia dalam arti bahwa konsep universal
maupun eksklusif tentang kemanusiaan itu telah menyingkirkan manusia (2012: 45).
Humanisme Haruslah Lentur!.
Dilema humanisme itu mendesak kita untuk
menimbang ulang makna manusia dan kemanusiaan dalam humanisme. Disinilah,
seorang F. Budi Hardiman menawarkan ‘humanisme lentur’. Tentu saja tawaran ini
tidak lahir murni dari penulis, melainkan sudah diramu oleh para pemikir
sebelumnya seperti Jurgen Habermas, Heidegger, Derrida, Rorty, dan Luhmann.
Di sini penulis seolah membongkar gagasan
humanisme ini dan mencari apa yang masih bisa dipertahankan dan apa yang mesti segera
disingkirkan. Dalam merobek tubuh humanisme, penulis menemukan dua hal yang
wujud dalam humanisme; pertama, kekuatan kritis normatifnya yang mampu melucut
kekuatan-kekuatan yang menindas manusia. Kedua, kenyataan bahwa humanisme
sebagaimana ideologi lainnya bisa berpotensi untuk menjadi kebenaran tunggal
yang memaksa dan ekslusif.
Dari dua organ tubuh humanisme tersebut –daya
kritis dan daya paksa-, tentu saja yang perlu diambil hanyalah fungsi yang
pertama. Adapun yang kedua harus segera dibuang jauh-jauh dari dalam tubuh
humanisme. Daya kritis normatifnya ini nanti kemudian menjadi daya utama dalam
‘humanisme lentur’. Selanjutnya, diperlukan interseksi berbagai fragmen
kebenaran agama, filsafat dan sains dalam menjalankan gerakan ini.
Jelaslah, bahwa dalam ‘humanisme lentur’ yang
ditawarkan F. Budi Hardiman tidak menolak total kebenaran agama sebagaimana
pada masa modern. Dan yang pasti, ‘humanisme lentur’ juga tidak memberi peluang
pada kekakuan dan keekslusifan sebuah ‘isme’ yang berpotensi menjadi bencana
sebagaimana kolonialisme dan totalitarianisme.
BUKU YANG DITULIS F. BUDI HARDIMAN |