Rabu, 22 Februari 2017

DUA PENGAWAL YANG BEREBUT KEKUASAAN




Di sebuah belahan dunia yang tidak dikenal namanya, hiduplah seorang Raja yang gemar membawa rakyatnya bertamasya. Meskipun rakyatnya sedikit -hanya lima puluh orang saja-, ia tetap merasa bahagia ketika membawa rakyatnya berjalan menikmati keindahan dunia. Selain membawa rakyatnya, ia juga selalu menyertakan dua pengawal untuk selalu berada di sampingnya; satu sebagai sekretaris yang bertugas mencatat arah perjalanan yang mereka tempuh agar tidak tersesat sehingga bisa kembali ke kerajaan, dan satunya lagi sebagai penasehat apabila ada hal-hal yang tidak diketahui oleh sang Raja ketika hendak memutuskan sesuatu.

Suatu hari rombongan sang Raja pulang dari bertamasya, ia menaiki kuda putihnya dan dikawal oleh kedua pengawalnya yang juga menaiki kuda namun dengan warna yang berbeda; yaitu cokelat muda. Di belakang mereka bertiga, ada rombongan rakyat yang mengekor dengan berjalan kaki. 

Di tengah perjalanan, tiba-tiba sang Raja mengalami sesak nafas dan nyeri di dada. Karena tak kuat menahan, akhirnya raja jatuh dari kudanya dan bedebam ke tanah. Pengawal yang berada di sisinya dan rakyat yang berjalan di belakangnya terkejut. Kedua pengawal segera turun dari kuda dan melihat keadaan sang Raja, sementara rakyat mengerumuni dari belakang.

Usin (pengawal yang bertugas sebagai pensehat sang Raja) melingkarkan tangan kanannya pada punggung sang Raja dan mengangkatnya sedikit agar sang Raja mendapatkan posisi yang nyaman. “Ada apa Raja?,” tanya Usin. Tangan kiri Usin menahan janggutnya yang tebal dan panjang agar tidak mengenai wajah sang Raja.

Raja tak menjawab, matanya melotot, mulutnya terbuka lebar karena kesulitan bernafas melalui hidung, dan tangan kanannya menempel di dada sebelah kiri. Keringat dingin mengalir dari pori-pori di dahinya. 

“Bagaimana ini?,” tanya Loun panik. Loun adalah pengawal Raja yang bertugas mencatat jalur yang mereka lalui selama perjalanan. Raja memberikan tugas itu kepadanya agar mereka bisa kembali pulang ke kerajaan setelah bertamasya sekian jauh jaraknya. Loun bukanlah bangsa asli kerajaan, ia orang sewaan yang berasal dari daerah yang lebih beradab di sebelah Barat kerajaan. Loun pandai membaca dan menulis, sementara di kerajaan, tidak ada orang yang bisa melakukan hal tersebut, jadilah ia sebagai sekretaris Raja yang dalam hal ini bertugas mencatat jalur perjalanan.
 
“Sepertinya ia terkena serangan jantung,” ujar Usin. Ia mendudukkan sang Raja. “Dimana paduka Raja menyimpan obat?,” tanya Usin kepada sang Raja.

Raja melotot, bagian hitam matanya bergeser ke arah kuda putih miliknya, kemudian ia mengarahkan jari telunjuknya ke arah tas kecil yang ada di pelana kudanya. Usin menyerahkan tubuh sang Raja agar di tahan oleh Loun, kemudian ia segera memeriksa tas kecil tersebut. Usin menemukan lima biji pil berwarna putih di dalamnya yang dibungkus dengan plastik bening. Ia segera membawa pil tersebut kepada Raja. Namun nasib berkata lain, Raja tak lagi bergerak. Tangan sang Raja meringsut ke bawah melepaskan pegangan di dada. 

Usin mendekatkan jari telunjuk ke lubang hidung sang Raja, tak ada lagi hembusan nafas yang lewat di jarinya. Kemudian Usin memindahkan tangannya ke pergelangan tangan sang Raja, urat nadinya tak lagi berdenyut.

“Raja meninggal,” Ucap Usin lirih.

Lima puluh rakyat memancarkan wajah kesedihan, begitupula Loun sang pengawal. Ketika bersedih, mata Loun tampak lebih sipit daripada biasannya.

“Loun, apakah perjalan kita masih jauh?,” tanya Usin dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata. 

Loun menyeka air yang mengalir dari matanya dan membuka catatan perjalanan yang ia buat, “Sekital tiga hali peljalanan,” jawabnya. Loun memang cadel. Dan hampir semua orang di wilayah Barat kerajaan memiliki lidah pendek seperti Loun, sehingga mereka kurang baik ketika melafalkan huruf ‘R’.

“Kalau begitu Raja akan kita makamkan disini,” usul Usin. Ia mengalihkan wajahnya kepada Rakyat yang mengerumun, “Kalian segera cari kayu untuk menggali lubang. Kita akan kuburkan sang Raja di sekitar sini,” perintah Usin.

Lima puluh rakyat segera melakukan apa yang diperintahkan. Mereka mencari kayu yang dapat digunakan untuk menggali lubang. Mereka menggali dengan sangat lambat dan berat seolah ada batu besar yang menghalangi pekerjaan mereka. Hal itu disebabkan ketidakrelaan mereka untuk menguburkan sang Raja.

Setelah galian sedalam satu setengah meter terselesaikan, Usin mengangkat sang Raja dan meletakkan jasadnya di dalam galian tersebut. Setelah itu Usin kembali naik ke atas dan meminta rakyat untuk menutup lubang itu dengan tanah. Rakyat melemparkan tanah dengan sangat hati-hati seolah tidak ingin menyakiti sang Raja. 

Hari sudah sore setelah acara pemakaman sang Raja usai. Usin meminta rakyat untuk membuat perkemahan yang letaknya tidak jauh dari makam sang Raja untuk tempat bermalam. Malamnya, mereka menghidupkan api unggun untuk menerangi dan menghangatkan tubuh. Setelah itu mereka membuka perbekalan masing-masing dan melahapnya. 

Saat malam sudah mencapai puncaknya, beberapa dari mereka telah tertidur termasuk Usin yang tidur lebih awal. Namun beberapa rakyat masih bergadang sampai tengah malam, termasuk Loun yang tampak berbincang dengan salah seorang rakyat di bawah pohon besar dan agak jauh dari perkemahan. 

***

Cahaya fajar mengintip dari arah timur, menghangatkan tubuh Usin yang sedang melengkung kedinginan akibat udara malam yang masih membekas di pagi hari. Usin terkejut ketika mendengarkan suara teriakan yang memekikkan telinga. Ia bangun dan melihat Loun berorasi di atas potongan kayu yang telah terpotong setinggi setengah meter. “Kita halus mencari Laja pengganti untuk membawa kalian pulang ke kelajaan,” pekiknya lantang seolah tak memperdulikan lidah pendeknya.

sumber gambar: drawingimage.com


Usin hanya mendengar sepotong kalimat tersebut dari Loun ketika ia berjalan mendekat. “Ada apa Loun?,” tanya Usin.

“Kita sudah tidak punya Laja sekalang, jadi kita halus mencali penggantinya, paling tidak untuk membawa lakyat pulang ke kelajaan,” Loun menjelaskan. Ia memandangi rakyat yang duduk menonton dirinya, “Meleka sepakat untuk memilihku,” Loun berkata dengan penuh percaya diri sambil mengarahkan jempol tangannya ke dada. Setelah itu ia melepaskan senyuman, Usin melihat kelicikan dari garis lengkung di mulutnya itu. Saat tersenyum, matanya semakin sipit, hanya ada garis melintang di bawah alis dengan bulu yang tipis.

Usin berang melihat tingkah Loun yang dengan mudahnya menganggap dirinya sebagai pengganti sang Raja, “Bagaimana bisa kau dipercaya menjadi Raja untuk menggantikan Raja sebelumnya?,” tanyanya. “Pun seandainya kita harus punya Raja disini, maka akulah yang pantas mendapatkan gelar itu, karena aku yang paling dekat dengan Raja,” bentak Usin. Setelah itu ia mengelus dengan sedikit kasar pada janggutnya yang tebal dan panjang menutupi leher.

Loun berkacak pinggang dan mendengus, “Tidak bisa Sin, kalau kau jadi Laja,” ucapnya sambil menunjuk-nunjuk Usin. “Kau tak akan bisa membawa kami pulang ke kelajaan. Hanya aku satu-satunya olang yang punya peta pulang ke kelajaan.” Ia mencodongkan tubuhnya ke arah Usin, “Bukankah tujuan kita sekalang cuma satu?,” tanyanya. “Pulang ke kelajaan. Itu yang diinginkan lakyat sekalang.”

Usin sedikit heran dengan sikap Loun yang berubah secara mendadak. Kemudian ia menggaruk kepalanya kebingungan. Namun ia tetap tak menerima kegilaan Loun untuk menjadi pengganti Raja.

“Baiklah lakyatku, kita akan melanjutkan peljalanan,” ujar Loun. Ia kemudian menaiki kudanya. “Ayo belangkat!.” Perintahnya.

“Hei apa-apaan ini?,” bentak Usin. Ia menghadang rombongan rakyat dengan cara membentangkan kedua tangannya agar tidak mengikuti apa yang diperintahkan oleh Loun. Setelah itu ia berbalik menghadap Loun yang sudah menaiki kuda, “Kau belum resmi menjadi Raja,” Usin memaki. “Masih ada aku disini, mari kita bersaing secara adil!.”

Loun turun dari kudanya dan menoleh ke arah Usin, “Calanya?.”

Usin mengelus-ngelus janggutnya dan menengadahkan wajahnya ke langit, tangannya yang lain menggaruk-garuk kepalanya.

Tiba-tiba, dari kerumunan rakyat muncul seorang yang mengangkat jari telunjuknya. “Pengawal-pengawal,” panggilnya.

Usin dan Loun menoleh. “Ada apa?,” tanya mereka berdua kompak. 

“Kita adakan pemilihan. Rakyat lah yang akan menentukan siapa yang pantas menjadi Raja. Siapa yang paling banyak mendapatkan suara, dialah yang menjadi Raja. Pemilihan akan kita lakukan besok.” Jelas rakyat tersebut. “Dan besok -sebelum pemilihan-, akan diadakan kampanye untuk membuat rakyat paham mana Raja yang pantas mereka pilih,” jelasnya.

“Siapa namamu?,” tanya Usin.

“Namaku Bow.”

“Nah, itu ide bagus, menyeltakan lakyat untuk memilih adalah cala yang telbaik,” Loun menimpali. “Bagaimana?, kau belani Sin?,” tanya Loun.

“Baiklah, ini lebih baik daripada caramu tadi,” Usin setuju.

Mereka akhirnya tidak melanjutkan perjalan. Dengan sangat berat hati, para rakyat harus bermalam untuk kedua kalinya di tempat tersebut. Di malam itu, Usin tidur sedikit larut karena ada seorang rakyat yang mengajaknya berbincang jauh dari perkemahan. Di tempat lain, Loun juga sedang berbincang serius dengan seorang rakyat seperti satu malam sebelumnya. 

***

Keesokan harinya, rakyat diminta berkumpul oleh Usin dan Loun. Rakyat duduk bergerombol. Mereka tampak lebih bersemangat hari ini karena akan mendapatkan Raja baru dengan cara yang mereka rasa adil. Mereka merasa bangga karena suara mereka diandalkan untuk pemilihan Raja baru. Dan itu semua karena usulan yang hebat dari Bow. 

Sebagian dari mereka menyukai pemilihan sebagaimana anak kecil menyukai permainan cabut undi, di mana ada rasa penasaran yang besar muncul dari permainan tersebut. Namun rakyat yang sedikit lebih cerdas dan pragmatis menyukai pemilihan karena mereka ingin cepat pulang ke kerajaan, itu saja. Mereka sudah tidak betah tinggal berlama di hutan karena diserang dingin setiap malam dan risih digigit serangga nakal.

Kampanye pun dimulai.

“Ehm,” Usin berdehem dan mengelus janggutnya yang berkilatan ketika disinari cahaya matahari. “Wahai para rakyat, kalian pasti sudah melihat siapa dari kami berdua yang paling dekat dengan Raja,” Usin memulai. “Maka itu jangan jadikan orang lain sebagai Raja!. Kalau masalah jalan pulang kita bisa cari sama-sama. Meskipun aku tidak punya peta pulang, tapi bersamaku kalian akan lebih aman,” tambahnya.

“Sudah?,” tanya Loun.

Usin mengangguk, mataya sedikit tajam ketika memandang Loun, seperti ada kebencian di lingkaran hitamnya.

Loun maju selangkah mendekati para rakyat, “Aku memang tidak bisa menjamin keamanan di sepanjang peljalan pulang. Tapi aku punya peta, dan kalian punya peluang besal untuk kembali ke kelajaan. Jadi pilih aku sebagai Laja kalian!,” jelas Loun dengan senyumannya yang lebar. “Bukankah itu tujuan kalian saat ini?,” rayunya sambil mencondongkan kepalanya ke hadapan Rakyat.

 “Siapa yang memilih diriku untuk menjadi Raja segera minggir ke kanan tepat di depanku,”  Usin menyeru.

“Yang memilihku pindah ke sebelah kili!,” pinta Loun tidak kalah semangat.

Beberapa rakyat dengan cepat menuju arah yang mereka pilih, namun adapula yang begerak ragu sehingga ketinggalan dari beberapa rekannya. Bahkan ada yang tidak konsisten; setelah duduk di sebelah kiri, ia bangkit dan duduk ke sebelah kanan, begitupula sebaliknya dari beberapa rakyat yang lain. Pemilihan ini memang sedikit sulit bagi mereka.

Setelah semuanya duduk, tampaklah bahwa pendukung Loun lebih banyak; tiga puluh orang memilih duduk di hadapannya. Sementara sisanya berada di pihak Usin. Melihat kemenangan itu, Loun tertawa, hanya ada garis bujur di bawah alis. 

“Hei”, tiba-tiba seorang rakyat dari pihak Usin protes. Ia berdiri dan semua mata tertuju padanya, termasuk Usin dan Loun. “Mengapa kalian percaya pada Loun yang bukan berasal dari kerajaan kalian?. Mengapa kalian tidak memilih Usin?. Usin dekat dengan Raja dan berasal dari kerajaan, kita harus lebih percaya padanya, bukan pada Loun”, teriaknya. “Loun hanyalah orang asing yang disewa Raja untuk menjadi sekretaris karena pandai menulis dan membaca, bukan disewa untuk menjadi Raja” rakyat yang berdiri itu mengingatkan. 

Tiba-tiba tepuk tangan dan pujian dilemparkan dari pihak yang memilih Usin. Mereka memuji Usin dan seorang rakyat yang membelanya itu. Usin mengelus-ngelus janggutnya dan tersenyum, “Bagus Box,” puji Usin. Box adalah nama rakyat yang barusan berdiri dan membela Usin. Box juga yang berbincang cukup lama dengan Usin pada malam hari, sehingga mereka berdua baru tidur pada saat larut malam.

Tiba-tiba dari pihak Loun, Bow berdiri, “Woi, tujuan kita saat ini adalah pulang ke kerajaan, bukan yang lain. Loun yang bisa membawa kita kembali ke sana, karena ia punya petanya. Jangan membeda-bedakan orang disini, kita semua sama. Fokuslah pada tujuan yaitu pulang, dan Loun adalah orang yang pantas untuk itu,” tegasnya. “Lagipula, sesuai dengan peraturan yang disepakati, Loun lah yang jadi pemenangnya, kalian harus mentaati kesepakatan!”.

Mendengar itu, rakyat yang berada di pihak Loun bertepuk tangan memuji pembelaan yang dilantangkan oleh Bow. Loun tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya berkali-kali kepada Bow. 

“Sin, pemilhan sudah dilakukan dan kau kalah, sekalang kau halus menjadi bawahanku, dan aku yang menjadi Laja sekarang,” Loun berkata angkuh.

Mendengar Loun merendahkan dirinya, Usin murka. Ia pun segera berlari ke arah Loun dan mengacungkan belati tajam yang sudah ia selipkan dalam jubahnya. Loun panik dan meminta perlindungan rakyat. Beberapa rakyat menghalangi gerakan Usin namun menghindar juga setelah melihat senjata itu diarahkan kepada siapa saja yang menghalanginya. 

Usin berhasil meraih tubuh Loun dan menancapkan belati tepat di jantung Loun. “Rasakan!,” ucap Usin dengan nada yang begitu bengis.

Loun terjatuh. Darah mengalir di sekitar lubang yang tertancap belati. Namun Usin tak mengetahui tangan kanan Loun yang bergerak diam-diam mengambil pisau lipat di sakunya. Loun menancapkan senjata kecil tersebut ke leher Usin dan menorehkannya sepanjang mungkin. Darah mengalir dari leher Usin dan menciprati wajah Loun. 

Darah mengalir cukup lama, hingga kedua pengawal itu tewas.

Bow dan Box berjalan mendekati kedua mayat tersebut. Mereka menggerak-gerakkan mayat pengawal itu dengan kakinya. Merasa kedua mayat itu sudah benar-benar mati, Bow pun mendekat dan merogoh saku Loun, ia mengambil peta yang ada di dalamnya.

“Ini yang kita butuhkan,”  Bow berkata bahagia seperti menemukan harta karun.

“Kita akan menguasai kerajaan,” ujar Box.

Mereka berdua kemudian menaiki kuda pengawal dan mengajak rakyat kembali pulang ke kerajaan. 

Bow dan Box berhasil mengadu domba Usin dan Loun untuk bertarung memperebutkan kekuasaan. Bow bertugas merayu Loun untuk mencalonkan diri sebagai Raja dengan iming-iming harta kerajaan. Bow juga menyatakan dirinya siap untuk membela Loun hingga bisa mendapatkan tahta tersebut. Ia juga yang mengajak rakyat berpikir pragmatis; bahwa orang yang punya peta lah yang pantas untuk menjadi Raja, dan orang itu adalah Loun.

Sementara itu, di sisi lain, Box yang menghasut Usin agar tidak membiarkan Loun menjabat sebagai Raja karena dia bukan orang asli dari kerajaan, ia hanya sewaan yang ditugaskan sebagai seretaris. Bow juga yang menyampaikan prediksi pemilihan kepada Usin bahwa ia tak akan berhasil menjadi Raja karena Loun punya peta untuk kembali pulang, dan rakyat akan mendukung siapa yang punya peta untuk menjadi Raja, dan tidak peduli pada orang yang dekat dengan Raja. Dan sadisnya, Box juga yang menyarankan Usin untuk membunuh Loun apabila ia menang, hanya itu satu-satunya jalan terakhir agar ia menjadi Raja.

Tidak cukup sampai disitu. Di tengah perjalanan pulang, di dalam kepala Bow dan Box, mereka sudah menyusun strategi untuk memanfaatkan empat puluh delapan rakyat bodoh yang mengikuti mereka dari belakang. 

Dan sudah barang tentu, harta berlimpah di kerajaan sekarang berpindah jadi milik Bow dan Box.

Share:

Kamis, 09 Februari 2017

LARON MENCARI PASANGAN



 “Aku benci jadi dewasa”, protes Bow. Ia berjalan ke sudut liang yang di lantainya ada kubangan air. Ia menunduk, memandang bayangan wajahnya di kubangan, “Astaga, gemuk sekali diriku,” keluhnya sambil mencubit perutnya yang penuh lemak. Ia kemudian meraba punggungnya, ada sayap pendek halus yang tumbuh begitu cepat. 

Bow adalah seekor Rayap jantan yang sebentar lagi menjadi dewasa. Saat dewasa ia akan menjadi Laron. Di satu sisi ia suka nama itu, karena terdengar garang di telinga. Namun di sisi lain ia kurang suka, karena nama ‘Laron’ tidak sesuai dengan tubuhnya yang gemuk dan rupanya yang buruk. 

Bow kembali bersandar di liangnya. “Aku benci dewasa,” sungutnya lagi. Alasan Bow benci dewasa cukup banyak; Pertama, ia akan menjadi Rayap dewasa alias Laron. Kedua, kalau ia sudah menjadi Laron, maka ia harus kawin. Ketiga, kalau di malam kawin –yang waktunya nanti akan ditentukan oleh sang Raja- ia tidak mendapatkan pasangan, maka ia akan mati. 

Bow sudah memperkirakan bahwa peluang mati dirinya nanti di malam kawin akan lebih besar ketimbang peluang hidup. Alasannya; pertama, karena waktu yang ditentukan tidaklah banyak, hanya satu malam. Jika fajar sudah muncul di arah timur ia tidak juga menemukan pasangan, maka habislah riwayatnya. Kedua, yang paling parah adalah; ia tidak memiliki bentuk tubuh dan rupa yang bagus seperti Rayap-Rayap penjantan lainnya. Padahal ketampanan dan bentuk tubuh yang ideal adalah modal yang paling ampuh untuk memikat para betina.

***

Hari terus berlalu dan sayapnya sudah tumbuh semurna. Hari ini ia sudah resmi menjadi Laron dan nanti malam mereka –para Laron- akan dilepaskan ke luar sarang untuk mencari pasangan. Bow kembali berkaca pada kubangan air di liangnya, “Mengapa bentuk tubuhku tidak berubah, wajahku juga?,” Bow menggerundel dalam hati. 

Masih belum puas Bow dengan bayangan dirinya di kubangan, tiba-tiba suara takzim terdengar dari belakang, “Permisi Laron Bow.”

Bow membalikkan badan, seekor Rayap muda sedang berdiri di lobang liang miliknya. “Ada apa?,” tanya Bow.

“Saya hendak menyampaikan pesan dari sang Raja terkait dengan kegiatan malam kawin yang akan diadakan pada malam ini. Raja menghimbau kepada para Laron agar berkumpul sore nanti di aula kerajaan. Mungkin akan ada sedikit pengarahan dari sang Raja sebelum para Laron dilepas dari kerajaan.” Jelas Rayap muda.

Bow mengangguk. Ada pancaran kesedihan di wajahnya. “Terima kasih,” ucapnya lirih.

Rayap muda itu kembali bertugas, ia masuk ke liang-liang lainnya untuk melaporkan hal serupa kepada Laron-Laron yang ada di kerajaan.

Bow semakin gelisah, yang lebih ia khawatirkan sebenarnya bukanlah karena tidak ada betina yang mau kawin dengannya, melainkan karena kematian yang akan menghampirinya jika ia tidak kawin. Mengapa harus mati, pikirnya. Tidak adakah takdir lain, seperti patah kaki, putus antena, rusak rahang, atau kesakitan-kesakitan lain, asal jangan kematian yang datang. Kepalanya semakin pusing memikirkan kematian, akhirnya ia bersandar di dinding liang dan mencoba menutup mata. Untuk saat ini ia ingin tidur, melupakan segala kesuraman yang akan menantinya, bukankah tidur adalah cara terbaik untuk melupakan kesedihan?.

***

“Ehm....selamat datang rakyat baruku,” kata Raja di atas undakan tanah. Suaranya berat dan berwibawa. “Maksud dari rakyat baru adalah Laron-Laron. Bukankah dulu kalian adalah Rayap?, dan sekarang kalian berubah menjadi Laron. Kalian adalah makhluk pilihan, karena tidak semua Rayap yang akan menjadi Laron. Tapi kalian harus tau, setiap makhluk pilihan akan mengemban tugas pilihan juga, tugas yang tidak akan didapatkan oleh makhluk biasa. Aku rasa kalian sudah tau dengan tugas yang akan kalian dapatkan; yak betul, kalian akan mencari pasangan malam ini. Aku rasa kalian juga sudah tau resiko yang akan kalian hadapi bila kalian tidak bisa menjalankan tugas kalian; yak betul, kalian akan mati jika tidak mendapatkan pasangan. Oleh karena itu, aku menghimbau kepada para rakyatku yang istimewa ini; berusahalah sekuat mungkin untuk berhasil, karena masa depan Rayap ada di tangan kalian. Jika kalian gagal, maka kalian sudah mengecilkan populasi Rayap di dunia ini. Mungkin cukup disini nasehat dariku – Raja Degolan-. Sekarang berkemaslah, bersiap untuk pesta nanti malam!.”

Raja turun dari undakan. Laron-Laron bubar dari barisan, bergegas masuk ke liang masing-masing dan mulai berdandan untuk nanti malam. Namun Bow masih tak menunjukkan keceriaan, malahan ia semakin tampak bersedih karena waktu yang paling ia takutkan akan segera tiba.

Bow kembali ke sarang. Ia tak berdandan, karena percuma juga pikirnya. Sementara Laron-Laron lain sangat bersemangat menghias dan memperbagus diri; merapikan antena, membersihkan maksila dan mandibula, memotong kuku kaki, mengelap sayap agar lebih mengkilat, dan tak lupa menyemprotkan bau khas Laron di sekujur tubuh agar semakin memikat.

Bow ke luar sarang, melihat matahari terbenam. Ini mungkin matahari terakhir yang akan ia lihat. Sinarnya semakin redup seredup kebahagiaan di dalam hatinya.

Bow kembali ke dalam sarang. Para Laron sudah berbaris rapi. Laron-Laron jantan tampak gagah dan tampan, sedangkan yang betina tampak cantik dan menawan. Sementara Bow terlihat gemuk, buruk, kusut dan suram. 

Bow mencari barisan paling belakang, hampir semua pasang mata menjalar di tubuhnya, menyaksikan kelusuhan pada diri Bow. “Calon gagal,” kata Laron jantan dalam hati ketika melihat Bow. “Bukan pilihanku,” kata Betina dalam hati ketika melirik Bow. Bow terus berjalan dengan menunduk, ia tak memperdulikan tatapan dan lirikan yang tak bersahabat itu. Sesampainya di barisan paling belakang, ia memberanikan diri untuk membalas tatapan; ia mengangkat kepalanya, dengan cepat tatapan dan lirikan tak suka itu beralih ke tempat lain. 

Raja naik ke undakan. Ia melemparkan pandangan ke arah Laron-Laron, setelah ia merasa semuanya siap, ia kemudian melepas para Laron ke luar sarang untuk mencari pasangan. 

Ratusan Laron terbang ke luar sarang, berputar-putar memperlihatkan keindahan dan keahlian dalam mengudara. Melebarkan sayap, menebarkan aroma Laron untuk memikat. Ada beberapa Laron yang sudah mendapat pasangan. Mereka jatuh ke tanah, menanggalkan sayap, kawin dan membuat liang baru untuk telur-telur mereka nantinya. Bagi yang belum mendapat pasangan, maka mereka akan terbang lagi semakin jauh dari sarang, meliuk-liuk bagaikan peri dalam cerita dongeng.

Laron-Laron terbang bertebaran menjauhi sarang. Semakin jauh dan semakin bertebaran, maka semakin banyaklah tempat yang bisa mereka dapatkan untuk melanjutkan keturunan. Bahkan ada yang terbang sampai area perkampuangan. Beberapa Laron sempat berkelakukan romantis di dekat lampu penerangan; terbang sambil berpelukan, jatuh ke tanah, melepaskan sayap, kawin dan membuat sarang. 

SUMBER GAMBAR : deliaputrikesuma.blogspot.co.id


Di tengah kegembiraan itu, Bow masih terbang santai. Ia tidak meliuk-liukkan cara terbangnya karena badannya tidak mendukung untuk melakukan itu. Jika ia melakukan apa yang Laron jantan lain lakukan, mungkin ia akan jatuh ke tanah sebelum mendapatkan pasangan; diinjak kaki manusia atau dijadikan mainan oleh anak-anak kecil yang kurang hiburan. 

Malam semakin larut, banyak pasangan yang sudah mendapatkan pasangan dan kawin di dalam sarang kecil di dalam tanah. Sementara itu, Bow masih terbang. Ia tidak mencari pasangan, tapi menunggu pasangan yang tidak mendapatkan pasangan. Pekerjaan menunggu memang beresiko, karena sisa-sisa betina yang belum mendapatkan pasangan akan ketahuan bila waktu sudah hampir shubuh, sehingga waktu yang ia miliki hanya sedikit.

***

Ayam sudah banyak berkokok, lantunan ayat suci sudah mulai terdengar di  beberapa penjuru, para pedagang sayur sudah memulai kesibukan. Bow masih terbang mencari pasangan. Sayangnya, keadaan di atas udara sudah lengang, tak ada lagi Laron-Laron betina yang berkeliaran. Di bawah tanah, sayap-sayap Laron menumpuk seperti pakaian manusia yang dilepaskan ketika naik ke ranjang pelaminan.

Bow merasa harapannya sudah selesai, ajal sudah menunggangi tubuhnya. “Aku tak mau mati di tanah,” ucap Bow dalam hati. Ia mendarat di ventilasi pada sebuah rumah. Dilihatnya ke dalam rumah tersebut, ternyata ia berada di sebuah ventilasi kamar seorang gadis. Ia tahu karena di dalam kamar tersebut ada seorang gadis yang sedang duduk di sebuah kursi dan menyandarkan kepalanya pada meja belajar. 

Bow masuk ke dalam kamar, merayap di dinding dan singgah di atas lemari yang ada di samping meja belajar. Dari tempat tersebut Bow dapat melihat wajah sang gadis. Ia tampak bersedih, matanya bengkak, mungkin tidak tidur semalaman atau karena menangis semalaman. Di sampingnya ada smartphone yang menampilkan percakapan antara si gadis dan si cowok. Mungkin cowok itu adalah pacar sang gadis pikir Bow.

Bow mendekat ke arah layar smartphone. (Seekor Laron tentu saja bisa mengerti bahasa manusia. Manusia saja yang tidak mengerti bahasa Laron). Di layar itu tertulis;

“Dini, aku nggak bisa lagi melanjutkan hubungan ini” (Cowok)

“Maksud kamu?” (Cewek)
 
“Kita putus. Kamu udah beda, nggak kayak dulu lagi” (Cowok)

Hanya percakapan itu yang berhasil dibaca oleh Bow. Ia tak sempat melanjutkan percakapan selanjutnya. Tubuhnya ngilu, kepalanya serasa ditarik, perutnya seperti dikocok, ternyata ajal sudah menjemputnya. Bow melompa tepat di atas layar smartphonenya. Hal itu cukup menarik perhatian si gadis, sehingga ia memandangi Bow. Bow gemetaran, sayapnya tanggal. Sebelum ajal ia berkata lirih kepada si gadis, “Jangan menjadi Laron, yang mati di pagi hari karena tidak mendapatkan pasangan.” Setelah mengucapkan kata itu, Bow tak lagi bernyawa. Tentu saja sang gadis tidak mengetahui apa yang dikatakan oleh Bow. 

Gadis itu memegang tubuh Bow dengan dua jarinya dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di bawah meja belajarnya. 

Gadis itu kembali ke meja belajarnya. Ia mencari-cari silet di sorongan meja. Setelah menemukannya, ia membuka bungkus silet tersebut dan menggoreskan benda tajam itu di pergelangan tangannya. Goresan itu mengeluarkan darah yang mengalir deras, merah dan kental. Gadis itu pergi menyusul Bow. 

Hari itu, seekor Laron dan seorang anak manusia merenggang nyawa karena tidak mendapatkan pasangan.





Share: